WADI’AH
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
1.
MUHAMMAD IDRIS
2.
WAHYU
3.
RISKA RAMADANI
4.
LINDA KHAIRANI
5.
MAIDAWATI
DOSEN PEMBIMBING :
ROSNANI SIREGAR, M.Ag
NIP. 19740626 200312 2 001
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan yang
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Atas berkat rahmat dan
hidayah-nya Allah sehingga penulis makalah ini dapat terselesaikan. Kehadiran
makalah ini diharapkan dapat melengkapi tugas
Bahasa Indonesia. Materi-materi yang disajikan dalam makalah ini, di
saring dari berbagai referensi yang memuat informasi mengenai akad Al-Wadiah dalam bank syariah, terutama
yang berkaitan dengan kinerja bank syariah di tengah-tengah perbankan
konvensional.
Makalah tentang perbankan syariah ini
akan menjelaskan tentang pendanaan Al-Wadiah
dan ruang lingkupnya. Diharapkan pembaca makalah ini dapat memahami produk-produk yang di tawarkan oleh
bank syariah.
Kami mengucapkan terima kasih atas
kerjasama team yang akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini
Padangsidimpuan, November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................................................. .. i
DAFTAR
ISI................................................................................................................................. .. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................. .. 1
A.
Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................................................................. 2
C.
Tujuan ................................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................... .. 2
A.
Wadia................................................................................................................................ .. 3
B.
Landasan Hukum Wadi’ah............................................................................................... .. 4
C.
Syarat dan Rukun Wadi’ah................................................................................................. 5
D.
Macam-macam Wadi’ah ..................................................................................................... 6
E.
Hukum Menerima Wadi’ah ................................................................................................ 7
F.
Wadi’ah
yad-Amanah Berubah Menjadi Wadi’ah yad-Dhamanah ................................... 8
G.
Produk-produk Wadi’ah dalam Perbankan Syariah .......................................................... 9
BAB
III PENUTUP ......................................................................................................................... 11
A.
Kesimpulan ........................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Banyaknya
fenomena yang ada sekitar kita dimana salah satunya yang akan kami bahas dalam
makalah ini, yaitu penitipan barang (wadi’ah). Seiring dengan bermunculannya
lembaga-lembaga penitipan barang dapat sedikit membantu ketika seorang ingin
menitipkan barangnya dalam waktu yang cukup lama, mereka tidak khawatir dengan
keadaan keadaan barang yang ditinggalkannya itu, sebab dalam lembaga tersebut
telah menjamin akan keaslian barangnya. Namun dengan sedikit mengeluarkan biaya
tentunya.
Kita lihat di
masyarakat sangatlah tidak asing lagi dalam hal penitipan barang, atau
menitipkan sebuah barang kepada orang lain. Seseorang berani menitipkan
barang kepada orang lain hanya yang biasa di kenal saja, sungguh belum tentu
seorang yang kita kenal tersebut bisa menjaga barang kita dengan baik, bisa
saja terjadi kelalaian atau kerusakan ketika barang yang dititipkan tersebut
dipakai oleh seorang yang diberikan amanah tersebut, dengan alasan yang banyak
dan dengan kedekatannya seorang penitip kepada seorang yang
diberikan amanah, kemudian seorang yang diberi amanah tersebut menipu, ketika
terjadi kerusakan pada barang yang dititipkan kepadanya. Dengan alasan apapun
bisa di terima si penitip karena si penitip yakin bahwa orang yang dikenal
dan dekat denganya tidak mungkin melakukan penipuan terhadap
dirinya.
Oleh karena itu,
fenomena yang demikian perlulah diperhatikan oleh seorang yang diberikan amanah
dan pemberi amanah. Mempelajari apa yang harus di kerjakan ketika seorang
diberikan atau memberikan barang titipan(wadi’ah) kepada orang lain. Memilih
jalan yang lebih aman dengan menitipkan barang pada lembaga-lembaga penitipan
barang yang ada di sekitar kita.
Selain itu
wadi’ah juga merupakan salah satu produk yang umumnya ada pada bank-bank
syariah, maka oleh karenanya perlu dicermati bagaimana mekanisme wadi’ah di
lembaga-lembaga keuangan yang ada sekarang.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang diatas penulis merumuskan beberapa permasalah yang akan di bahas pada
bab pembahasan di belakang diantaranya yaitu:
a.
Defenisi Hukum Wadiah
b.
Apakah syarat dan rukun wadi’ah?
c.
Berapakah macam-macam wadi’ah?
d.
Apakah Hukum Menerima Benda titipan
(wadi’ah)?
e.
Apakah wadiah yad-amanah dapat berubah
menjadi wadiah yad-damannah?
f.
Bagaimana aplikasi wadi’ah dalam
perbankan syariah ?
C.
Tujuan
Rumusan masalah
diatas memberikan penulis pemikiran bahwa tujuan dari penulisan makalah ini
yaitu:
a.
Agar mengetahu definisi
wadi’ah dan dasar hukumnya
b.
Agar mengetahui syarat dan rukun wadi’ah
c.
Agar mengetahui macam-macam wadi’ah
d.
Agar mengetahui hukum menerima benda
titipan (wadi’ah)
e.
Agar mengetahui perubahan wadi’ah
yad-amanah menjadi wadiah yad-dhamanah
f.
Agar mengetahuai aplikasi wadiah dalam
perbankan syariah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Wadiah
a. Pengertian
Wadiah
1) Secara
Etimologi
Secara
etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi’ah
berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u – wad’aan) juga berarti membiarkan
atau meninggalkan sesuatu.[1]
Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
2) Secara
terminology
Dalam
literatur fiqh, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya, disebabkan
perbedaan mereka dalam beberapa hukum yang berkenaan dengan wadi’ah tersebut
yaitu perbedaan mereka dalam pemberian upah bagi pihak penerima titipan,
transaksi ini dikatagorikan taukil atau sekedar menitip, barang titipan
tersebut harus berupa harta atau tidak.[2]
Secara
terminologi wadi’ah menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi
wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh :
a) Ulama
Hanafiyah :
تسليط الغير على حفظ ماله
“mengikutsertakan
orang lain dalam memelihara harta, (baik dengan ungkapan yang jelas, melalui
tindakan, maupun melalui isyarat)”
b) Ulama
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) :
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“mewakilkan orang lain untuk
memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”[3]
c) Secara
harfiah, Al wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak
kepihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.[4]
d) Sementara
itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan
“Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang
mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan
untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.
B.
Landasan
Hukum Wadi’ah
Ulama fiqh
sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong
menolong antara sesama manusia.
Sebagai
landasannya firman allah di dalam al-quran surah an-nisa : 58
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya
: 58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Menurut para
mufasir, ayat ini berkaitan dengan penitipan kunci Ka’bah kepada Usman bin
Talhah (seorang sahabat Nabi) sebagai amanat dari Allah SWT.
Dalam ayat lain
disebutkan:
....فليؤد الذي اؤتمن اما نته
....
“..... Hendaklah
orang dipercayai itu menunaikan amanat .... (al-Baqarah: 283).
Di dalam hadits
Rasulullah disebutkan:
“Hendaklah
amanat orang yang mempercayai anda dan janganlah anda menghianati orang yang
menghianati anda.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Hakim).
Kemudian
berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN MUI/IV/2000,
menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang
berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Demikian juga
tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No:
02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan
yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
C.
Syarat
dan Rukun Wadi’ah
a. Rukun
Wadi’ah
Dalam hal ini
persyaratan itu mengikat kepada mawaddi’, waddi’, dan wadi’ah. Mawaddi’ dan
waddi’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus baligh, berakal dan dewasa.
Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam
kekuasaan/tantangan secara nyata.[5]
Menurut ulama
ahli fiqh imam abu hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah hanyalah ijab dan
qobul. Namun menurut jumhur ulama mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga
yaitu:
1.
Orang yang berakad
2.
Barang titipan
3.
Sighah, ijab dan qabul
b. Syarat
1.
Orang yang berakad
Orang yang berakad hendaklah orang
yang sehat (tidak gila) diantaranya yaitu:
a) Baligh
b) Berakal
c) Kemauan
sendiri, tidak dipaksa
Dalam
mazhab Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang sedang
berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad
wadi’ah ini.
2.
Barang titipan
Syarat syarat benda yang dititipkan
1) Benda
yang dititipkan diisyaratkan harus benda yang bisa disimpan. Apabila benda
tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung diudara atau benda yang jatuh
kedalam air, maka wadiah tidak sah apabila hilang, sehingga tidak wajib
diganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama hanafiah.[6]
2) Syafi’iah
dan hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai
nilai atau qimah dan dipandang sebagai maal, walaupun najis. Seperti anjing
yang bisa dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga keamanan. Apabila benda
tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka
wadi’ah tidak sah.[7]
3) Sighah
(akad)
Syarat
sighah yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu orang yang menitipkan
(mudi’) dan orang yang diberi titipan (wadi’). Dalam perbankan biasanya
ditandai dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
D.
Macam-macam
Wadi’ah
a.
Wadi’ah yad-amanah
Para ulama ahli
fiqh mengatakan bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak. Akan
tetapi, apakah orang yang tanggung jawab memelihara barang itu bersifat ganti
rugi (dhamaan = الضمان).
Ulama fiqh
sepakat, bahwa status wadi’ah bersifat amanat, bukan dhamaan, sehingga semua
kerusakan penitipan tidak menjadi tangggung jawab pihak yang menitipi, berbeda
sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang dititipi, sebagai alasannya
adalah sabda Rasulullah:
ليس على المسودع غير
المغل ضمان (رواه البيهقى و الدار قطنى
orang yang dititipi barang, apabila
tidak melakukan pengkhianatan tidak dikenakan ganti rugi.” (HR. Baihaqi dan
Daru-Quthni)
Dalam riwayat lain dikatakan:
قطنيى الداررواه) مؤتمن على لاضمان
“tidak ada ganti rugi terhadap
orang yang dipercaya memegang amanat.” (HR. Daru-Quthni”).
Dengan demikian,
apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan untuk ganti rugi atas orang yang
dititipi maka akad itu dianggap tidak sah. dan orang yang dititipi pun juga
harus menjaga amanat dengan baik dan tidak menuntut upah (jasa) dari orang yang
menitipkan.
b.
Wadi’ah yad-dhamanah
Akad ini
bersifat memberikan kebebasan kepada pihak penerima titipan dengan atau tanpa
seizin pemilik barang dapat memanfaatkan barang dan bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan pada barang yang dinggunakannya.
E.
Hukum
Menerima Wadi’ah
a. Sunnah,
bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga titipan yang
diseerahkan kepadanya.
b. Mubah,
hukum menerima benda titipan dapat berhukum mubah (boleh) jika seorang
mengatakan kepada si penitip bahwa dirinya khawatir akan berkhianat namun si
pentitip yakin dan tetap mempercayai bahwa orang tersebut dapat diberikan
amanah.
c. Haram,
apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaga barang yang dititipkan
sebagaiman mestinya, karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan
atau lenyapnya barang yang dititipkan itu.
d. Wajib,
hukum menerima benda titipan dapat berhukum wajib jika tidak ada orang jujur
dan layak selain dirinya.
e. Makruh,
yaitu bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia tidak percaya kepada dirinya
boleh jadi kemudian hari hal itu akan menyebabkan dia berkhianat terhadap barang
yang dititipkan kepadanya.[8]
D.
Wadi’ah yad-Amanah Berubah Menjadi
Wadi’ah yad-Dhamanah
Kemungkinan
perubahan sifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang bersifat dhamanah (ganti
rugi). Yaitu kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1.
Barang itu tidak dipelihara oleh orang
yang dititipi. Dengan demikian halnya apabila ada orang lain yang akan
merusaknya, tetapi dia tidak mempertahankannya, sedangkan dia mampu mengatasi
(mencegahnya).
2.
Barang titipan itu dimanfaatkan oleh
orang yang dititipi, kemudian barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang
titipan seharusnya dipelihara, bukan
dimanfaatkan.
3.
Orang yang dititipi mengingkari ada
barang titipan kepadanya. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam akad wadi’ah
disebutkan jenis varangnya dan jumlahnya ataupun sifat-sifat lain, sehingga
apabila terjadi keingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
4.
Orang yang menerima titipan barang itu,
mencampuradukkan dengan bangan pribadinyam sehingga sekiranya ada yang rusak
atau hilang, maka sukar untuk
menentukannya, apakah barangnya sendiri yang rusak (hilang) atau barnag titipan
itu.
5.
Orang yang menerima titipan itu tidak
menepati syarat-syarat yang dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat
penyimpanan dan syarat-syarat lainnya.[9]
F.
Produk-produk
Wadi’ah dalam Perbankan Syariah
Seperti apa
yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa
akad wadi’ah ada dua, yaitu wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah.
Tentunya praktik wadi’ah dalam perbankan syariah haruslah terlepas dari
unsur-unsur riba (bunga).[10]
Pada awalnya, wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-amanah “tangan amanah” yang
kemudian dalam perkembangannya memunculkan yad adh-dhamanah “tangan
penanggung”. Akad wadi’ah yad dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakan dalam
produk-produk perbankan.
1.
Jenis/produk wadi’ah yad adh-dhamanah:
a) Tabungan
Wadi’ah
Dalam
hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada bank
syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya. Disisi
lain, bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil penggunaan atau
pemanfaatan dana atau barang tersebut. Ketentuan umum tabungan wadi’ah sebagai
berikut:
-
Tabungan wadi’ah merupakan tabungan yang
bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call)
sesuai dengan kehendak pemilik harta.
-
Keuntungan atau kerugian dari penyaluran
dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau tanggungan bank, sedangkan
nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
-
Bank dimungkinkan memberikan bonus
kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam
akad pembukaan rekening.[11]
b) Giro
Wadi’ah
Dalam
hal ini bank syariah menggunakan prinsip wadi’ah yad dhomanah. Dengan prinsip
ini bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan
wadi’ah.[12]
Dana tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank
berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut
dalam kegiatan kegiatan komersial. Namun demikian bank, atas kehendaknya
sendiri, dapat memberikan imbalan berupa bonus (hibah) kepada pemilik dana
(pemegang rekening wadi’ah)[15]. Yang dimaksud dengan giro wadi’ah adalah giro
yang dijalankan berdasarkan akad wadi’ah, yakni titipan murni yang setiap saat
dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Ketentuan umum giro wadi’ah sebagai
berikut:
-
Dana wadi’ah dapat digunakan oleh bank
untuk kegiatan komersial dengan syarat bank harus menjamin pembayaran kembali
nominal dana wadi’ah tersebut.
-
Keuntungan atau kerugian dari penyaluran
dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak
dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan
bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat
tapi tidak boleh diperjanjikan dimuka.
-
Pemilik dana wadi’ah dapat menarik
kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian atau seluruhnya.[13]
2.
Jenis/Produk Wadi’ah Yad Al-Amanah
Bank menerima
titipan amanah (trustee account) berupa dana infaq, shadaqah, dan zakat, karena
bank dapat menjadi perpanjangan tangan dalam baitul mal dalam menyimpan dan
menyalurkan dana umat agar dapat bermanfaat secara optimal.[14]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Yang
dimaksud wadiah secara istilah dapat dikatakan akad dalam hal penitipan barang.
2. Rukun
wadiah yaitu, orang yang berakad, barang titipan, sighat ijab dan kobul,
sedangkan syarat wadiah diantaranya yaitu: baligh, berakal, kemauan diri
sendiri
3. Ada
dua macam wadiah yaitu wadiah yad-Amanah dan Wadiah yad-Damanah
4. Hukum
menerima benda titipan dapat berubah menjadi lima hukum yakni, wajib, sunah,
makruh, haram, dan mubah
5. Wadiah
yad-Amanah dapat berubah menjadi wadiah yad-Dhamanah dengan sebab diantaranya
yaitu Orang yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat yang dikemukakan
oleh penitip barang itu, seperti tempat penyimpanan dan syarat-syarat lainnya
6. Produk
perbankan syariah yang berprinsip pada wadi’ah ada dua yaitu : tabungan wadi’ah
dan giro wadi’ah
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Amin, Hasan, Al-wadi’ah al-mashrifiyah
an-naqdiyah wa istitssmariha fi al-islam,
Jeddah : Dar asy-syuruq, 1983
Abdurrahan al-jaziri, Kitab Al fiqh `ala
Al-madzahib Al arba`ah juz 3, Beirut ; Dar al Fikr, 1992
Ahmad Mahmud, Economics of Islam, Delhi :
Jayyed Press , 1980
Ali Hasan M. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam
(Fiqh Mu’amalat). Jakarta : Rajawali
Pers, 2003
Chapra Umer, Sistem Moneter Islam, Jakarta
: Gema Insani, 2000
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah , Jakarta:Gaya
Media Pratama, 2007
Hulwati, Ekonomi Islam, Jakarta: Ciputat
Press, 2006
Ibnu Abidin, Hasyisah Radd Al-mukhtar, Beirut
: Dar al-Fikr, 1992
Karim Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqih
Dan Keuangan , Jakarta : Raja Grafindo Persada 2006
,
Islamic Banking 3rd Edition, Jakarta : Rajawali Press, 2007
Karnaen, dan Syafi’I Antonio, Apa Dan Bagaimana
Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bakti
Wakaf, 1992
Kettel Brian, Islamic Bank in a Nutshell :
A Guide For Non-Specialists, United Kingdom : Jhon Wiley & Sons
Ltd, 2010
Rasjid Sulaiman , Fiqh Islam , Bandung :
Sinar Baru, 1994
Timm Holger, The Cultural and Demographic aspects
of the Islamic Financial System and The Potential for
Islamic Financial Product in German Market, Norderstedt German : GRIN
Verlag, 2004
[1]
Kamus Arab-Indonesia, Prof. DR.
H. Mahmud Yunus, 2005, Hidayakarya Agung; Jakarta, Hal. 495
[2]
Hasan Abdullah Amin, al-wadi’ah al-mashrifiyah an-naqdiyah wa istitssmariha fi
al-islam, (Jeddah : dar asy-syuruq, 1983), hal 23-31
[3]
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah
(2007: Gaya Media Pratama, Jakarta), Hal. 244-245
[4]
Hulwati, ekonomi islam, (ciputat press, Jakarta:2006) hal 106
[5]
Umer chapra, system moneter islam ( gema insani, Jakarta ; 2000) hal 200
[6]
Ibnu Abidin, hasyisah radd al-mukhtar, (Beirut; Dar al-Fikr, 1992) hal
328
[7]
Abdurrahan al-jaziri, kitab al fiqh `ala al-madzahib al arba`ah juz 3
(Beirut ; dark al fikr) hal 249
[8]
Sulaiman rasjid , fiqh islam (Bandung, Sinar Baru, 1994) hal 330
[9]
M. Ali Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh mu’amalat).
Rajawali Pers. Jakarta. Hal 249
[10]
Adiwarman A karim, Bank Islam, Analisis Fiqih Dan Keuangan (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada) 2006 hal 297-298
[11]
Brian Kettel, Islamic Bank in a Nutshell : A Guide For Non-Specialists,
(United Kingdom, Jhon Wiley & Sons Ltd, 2010), hal 232
[12]
Holger Timm, The Cultural and Demographic aspects of the Islamic Financial
System and The Potential for Islamic Financial Product in German Market,
(Norderstedt German : GRIN Verlag, 2004), hal 40
[13]
Adiwarman Karim, Islamic banking 3rd Edition, Jakarta, Rajawali
Press, hal 287
[14]
Karnaen, dan Syafi’I Antonio, Apa Dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana
Bakti Wakaf) 1992 hal 104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar