KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT dzat yang Maha Sempurna pencipta dan penguasa segalanya.
Karena hanya dengan ridho-nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini
sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu makalah tentang “Tafsir Surah Al-Fatihah”. Dengan harapan semoga tugas makalah ini bisa
berguna dan ada manfaatnya bagi kita semua. Amiin.
Tak lupa pula penyusun sampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi dalam proses penyusunan
tugas makalah ini, karena penulis sadar sebagai makhluk sosial penulis tidak
bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi dengan orang lain dan tanpa adanya
bimbingan, serta rahmat dan karunia dari –Nya.
Akhirnya walaupun penulis telah berusaha
dengan secermat mungkin. Namun sebagai manusia biasa yang tak mungkin luput
dari salah dan lupa. Untuk itu penulis mengharapkan koreksi dan sarannya semoga
kita selalu berada dalam lindungan-Nya.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................................................. .. i
DAFTAR
ISI................................................................................................................................. .. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................. .. 1
A.
Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah
................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................... .. 2
A.
Pengertian
dan Riwayat Turunnya Surah Al-Fatihah....................................................... .. 2
B.
Pokok-Pokok
Kandungan Surah Al-Fatihah
................................................................... .. 3
C.
Nama-nama
Surah Al-Fatihah ........................................................................................... 4
D.
Turunnya
(Nuzul) Al-Fatihah ............................................................................................. 5
E.
Hukum-Hukum
yang berhubungan dengan Al-Fatihah ..................................................... 6
F.
Bacaan
Basmalah dalam Surah Al-Fatihah ........................................................................ 7
G.
Rahasia
dan Hikmah Al-Fatihah ........................................................................................ 8
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................... 12
A.
Kesimpulan ......................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Qur’an
sebagai mu’jizat Nabi Muhammad merupakan panduan dasar bagi umat Islam selain
Hadis dalam menetapan hukum Islam. Diakui atau tidak turunnya al-Qur’an secara
bertahap adalah terkait dengan problem masyarakat arab waktu itu. Dalam
menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an, tentunya
dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an yang
didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh Wa
al-Mansukh dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.
Nasikh
dan Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki
kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu
memahami apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih
berlaku atau tidak.
Oleh
karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana sebenarnya
Al-Nasakh Wa al-Mansukh. Namun demikian harus dipahami bahwa makalah ini hanya
merupakan acuan dasar yang patut mendapatkan pembahasan dan kajian ulang.
B. Rumusan
Masalah
a. Bagaimana
pengertian Nasikh Mansukh?
b. Apa
saja dasar, rukun dan syarat Naskh?
c.
Bagaimana pembagian dan macam naskh
dalam Al Qur’an?
d.
Bagaimana pendapat para ulama tentang
Naskh?
e.
Apa saja hikmah adanya Naskh?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh-Mansukh
berasal dari kata naskh. Nasikh menurut bahasa ialah hukum syara’ yang
menghapuskan, menghilangkan, atau memindahkan atau juga yang mengutip serta
mengubah dan mengganti.[1]
Adapun makna Nasikh menurut para Ulama’ secara bahasa ada empat:[2]
a.
Bermakna izalah atau
menghilangkan
b.
Bermakna tabdil atau mengganti
c.
Bermakna tahwil atau memalingkan
d.
Bermakna menukil atau memindah dari
satu tempat ke tempat lain
e.
Bermakna takhsis atau mengkhususkan
Adapun dari
segi terminologi, para ulama’ mendefinisikan
mendefinisikan naskh dengan “raf’u Al-hukm Al-syar’I “(menghapuskan
hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain). Menghapuskan dalam definisi
tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukalaf,
dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Sedangkan,
Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau dihilangkan atau
dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’ ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil
syara’ yang sama, yang belum diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum
syara’ yang baru yang datang kemudian.
B.
Rukun dan Syarat Naskh
a. Rukun Naskh
1)
Adat Naskh, adalah pernyataan yang
menunujukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2)
Nasikh, yaitu dalil kemudian yang
menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah
karena Dialah yang membuat hukum dan Dia pula yang menghapusnya.
3)
Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan
dihapuskan atau dipindahkan.
4)
Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani
hukum.
b.
Syarat-syarat
Naskh
1)
Yang dibatalkan adalah hukum syara’
2)
Pembatalan itu datangnya dari tuntutan
syara’
3)
Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh
berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban
berpuasa tidak berarti di naskh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4)
Tuntutan yang mengandung Naskh harus
datang kemudian.[3]
C.
Dasar Dasar Penetapan Naskh dan
Mansukh
Manna
Al Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan naskh
(menghapus) ayat lain mansukh (dihapus), antara lain:
a.
Melalui pentransmisian yang jelas (an-Naql
as-Sharih) dari nabi atau para sahabatnya, seperti hadis: “kuntu
nahaitukum ‘anziyarat al-qubur ala fazuruha” (Aku (dulu) melarang kalian
ziarah kubur, (sekarang) berziarahlah).
b.
Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini naskh
dan ayat itu mansukh.
c.
Melalui studi sejarah, mana ayat yang
lebih belakang turun, sehingga disebut naskh dan mana yang duluan turun,
sehingga disebut mansukh.[4]
D.
Ruang Lingkup Naskh
Naskh
hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas
dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna
amar (perintah) atau nahi (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan
dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada zat Allah, sifat-sifatnya,
kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula
dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal ini
karena semua syariat ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam
masalah pokok (ushul) semua syari’at adalah sama. Naskh tidak terjadi dalam
berita, khabar yang jelas-jelas tidak bermakna tholab (tuntutan; perintah atau
larangan ), seperti janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id).
E.
Pembagian Naskh
Naskh
ada 4 bagian :
1) Naskh
al-qur’an dengan al-qur’an.
Bagian ini disepakati kebolehannya oleh ulama’ dan
telah terjadi dalm pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya,
ayat tentang iddah 4 bulan 10 hari.[5]
2) Naskh
al-qur’an dengan as-sunnah.
Naskh ini ada 2 macam :
·
Naskh Al Qur’an dengan hadis ahad.
Jumhur
berpendapat Qur’an tidak boleh dinaskh oleh hadis ahad sebab Qur’an adalah
mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni (bersifat dugaan).
Disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui)
dengan maznun (diduga).
·
Naskh Qur’an dengan hadis mutawatir.
Naskh
demikian diperbolehkan oleh imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu
riwayat sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Namun dalam suatu riwayat
lain, as Syafi’i, Ahli Zahir, dan Ahmad menolak naskh seperti ini, berdasarkan
firman Allah QS. Al Baqarah: 106
*
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3
öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÉÏÈ
Artinya : “Apa saja yang Kami nasakhkan, atau
Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang
sebanding dengannya.”
Sedang
hadis tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al Qur’an.
3)
Naskh Sunnah dengan Al Qur’an.
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah
masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam
Al Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya.
4) Naskh
Sunnah dengan Sunnah
Dalam kategori ini terdapat 4 bentuk:
1)
Naskh mutawatir dengan mutawatir
2)
Naskh ahad dengan ahad
3)
Naskh ahad dengan mutawatir
4)
Naskh mutawatir dengan ahad
Tiga
bentuk pertama diperbolehkan, sedang dalam bentuk keempat terjadi silang
pendapat seperti halnya naskh Qur’an dengan hadis ahad, yang tidak diperbolehkan
oleh jumhur.[6]
F.
Macam-Macam Naskh dalam Al Qur’an
Ø Berdasarkan
kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al Qur’an dibagi menjadi empat macam:[7]
1)
Naskh Sharih, yaitu
ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu.
Misalnya ayat tentang perang pada QS. An Nahl: 65 yang mengharuskan satu muslim
melawan sepuluh kafir.
Ayat
ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang
kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama.
2)
Naskh dzimmi, yaitu
jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan. Serta
keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, keduanya diketahui waktu
turunnya, dan ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu.
Cotohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan
mati, yag terdapat dalam QS. Al baqarah: 180.
Ayat
ini menurut pendukung naskh di-naskh oleh hadis la washiyyah li waris (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3)
Naskh kully, yaitu
menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan iddah
empat bulan sepuluh hari pada QS. Al Baqarah: 234 di naskh oleh ketentuan iddah
satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4)
Naskh juz’iy, yaitu
menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku
bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersfat mutlaq dengan hukum
yang muqoyyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang
wanita tanpa adanya saksi pada surat An Nur ayat 4, dihapus oleh ketentuan
li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah jika si penuduh suami yang
tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Ø Dilihat
dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh tiga macam:
1)
Penghapusan terhadap hukum (hukm)
dan bacaan (tilawah) sekaligus, yaitu bacaan dan
tulisan ayatnya pun tidak ada lagi termasuk hukum ajarannya telah terhapus dan
diganti dengan hukum yang baru.
Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan
diamalkan. Misalnya, penghapusan ayat tentang keharaman kawin dengan saudara
satu susuan karena sama-sama menyusu kepada seorang ibu dengan 10 kali susuan
dengan 5 kali susuan saja.
2)
Penghapusan terhadap hukumnya saja,
sedang bacaannya tetap ada. Yaitu tulisan dan
bacaannya tetap ada dan boleh dibaca, sedangkan isi hukumnya sudah dihapus atau
tidak boleh diamalkan. Misalnya, pada surat Al Baqarah ayat 240 tentang
istri-istri yang dicerai suaminya harus beriddah 1 tahun dan masih berhak
mendapat nafkah dan tempat tinggal selama iddah. Kemudian dihapus ayat 234
surat Al Baqarah, sehingga keharusan iddah 1 tahun tidak berlaku lagi.
3)
Penghapusan terhadap bacaanya saja,
sedangkan hukumnya tetap berlaku. Sebagaimaa hadits Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab:
“Orang
tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan
pasti sebagai siksaan dari Allah.....”
G.
Pendapat tentang Naskh
Dalam masalah naskh, para ulama’ terbagi atas emapat
golongan:
1) Orang
Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya naskh mengandung
konsep al bada’, yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Naskh
itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena
sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan
yang didahului oleh ketidakjelasan dan ini pun mustahil bagiNya.
2) Orang
Syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan
meluaskannya. Mereka memandang konsep al bada’ sebagai suatu hal yang mungkin
terjadi bagi Allah. Dengan demikian, posisi mereka sangat kontradiktif dengan
orang Yahudi.
3) Abu
Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi
tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak
sepenuhnya terjadi naskh dalam Al Qur’an, dengan pengertian bahwa hukum-hukum
Qur’an tidak akan dibatalkan untuk selama-lamanya. Dan mengenai ayat-ayat
tentang naskh semuanya ia takhsiskan.
4) Jumhur
ulama’. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan
telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a.
Perbuatan Allah tidak bergantung pada
alasan dan tujuan. Dia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan
melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih
mengetahui kepentingan hamba-hambaNya.
b.
Nash-nash Kitab dan Sunnah menunjukkan
kebolehan naskh dan terjadinya, antara lain:
§ QS.
An Nahl: 101
#sÎ)ur !$oYø9£t/ Zpt#uä c%x6¨B 7pt#uä
ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ã (#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤tIøÿãB 4
ö@t/ óOèdçsYø.r& w tbqßJn=ôèt ÇÊÉÊÈ
Artinya
: “Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”
§ Dalam
sebuah hadis Shahih, dari Ibn Abbas ra., Umar ra berkata: “yang paling paham
dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun
meninggalkan sebagian perkataanya, karena ia mengatakan: ‘aku tidak akan
meninggalkan sedikitpun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw.’
Padahal Allah telah berfirman: apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya.... ”.[8]
H.
Hikmah Keberadaan Naskh
1)
Memelihara kepentingan hamba.
2)
Pengembangan pensyariatan hukum sampai
kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondidsi
umat manusia.
3)
Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4)
Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi
umat. Sebab jika naskh ituu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya
terdapat tambahan pahala. Dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia
mengandung kemudahan dan keringanan.[9]
I.
Klasifikasi Surat Al Qur’an
Kaitannya dengan Naskh
Pertama,
surat
yang tidak terdapat naskh dan mansukh, yaitu 43 surat.
Kedua,
surat
yang mengandung nasikh mansukh, yaitu 25 surat.
Ketiga,
surat
yang mengandung mansukh saja, yaitu 40 surat.
Keempat,
surat
yang mengandung nasikh saja, yaitu 6 surat.[10]
J.
Contoh-contoh Naskh
As
suyuti menyebutkan dalam al Itqan sebanyak 21 ayat yang dipandang terdapat
naskh, diantaranya:
a.
Firman Allah:
ولله
المشرق والمغرب فاين ماتولوافثم وجه الله
“Dan
kepunyaan Allahlah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah ” (QS. Al Baqarah: 115)
Dinasakh oleh:
فولوجهك
شطرالمسجدالحرام
“maka
palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.”(Al Baqarah:
144)
b.
Firman Allah:
كتب
عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيرا الوصية للوالدين والاقربين
“Diwajibkan atas kamu apabila
seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia menunggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk bapak ibu dan karib kerabatnya.....”(QS.
Al Baqarah: 180)
Dikatakan, ayat ini mansukh oleh
ayat tentang kewarisan dan oleh hadis ke: “Sesungguhnya Allah telah
memberikan pada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada
wasiat bagi ahli waris.”
c.
Firman Allah:
وعلى
الذين يطيقونه فدية
“Dan
wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah......”(Al Baqarah:184)
Ayat
ini dinaskh oleh:
فمن
شهدمنكم الشهرفاليصمه
“Maka barang siapa yang
menyaksikan bulan ramadhan, hendaklah ia berpuasa....”(Al
Baqarah:185)
K.
Naskh dengan Pengganti dan Tanpa
Pengganti
Nasakh itu adakalanya disertai dengan
badal (pengganti) dan ada pula yang tanpa badal. Nasakh dengan badal terkadang
badalnya itu lebih ringan, sebanding dan terkadang pula lebih berat.
1)
Nasakh tanpa badal. Misalnya
penghapusan keharusan bersedekah sebelum menghadap Rasulullah sebagaimana
diperintahkan dalam firman Allah surah al-Mujadilah ayat 12. Ketentuan ini dinasakh
dengan firman-Nya surat al-Mujadilah ayat 13.
2)
Nasakh dengan badal yang lebih
ringan. Misalnya surah al-Baqarah ayat 187. Ayat ini menasakh ayat 183 surah
al-Baqarah. Karena maksud ayat 183 ini adalah agar puasa kita sesuai dengan
ketentuan puasa orang-orang terdahulu; yaitu diharamkan makan, minum dan
becampur dengan istri apabila mereka mengerjakan shalat petang atau telah
tidur, sampai dengan malam berikutnya, sebagaimana disebutkan oleh para ahli.
3)
Nasakh dengan badal yang sepadan.
Misalnya penghapusan kiblat shalat menghadap ke Baitul Maqdis dengan menghadap
ke Ka'bah. Sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 144.
4)
Nasakh dengan badal yang lebih berat.
Seperti penghapusan hukuman penahanan di rumah (terhadap wanita yang berzina)
dalam ayat 15 surah an-Nisa' dengan hukuman cambuk dalam surah an-Nuur ayat 2.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Naskh ada
dua perkara yakni nasikh dan mansukh. Nasikh adalah perkara yang menghilangkan
perkara lain, sedangkan Mansukh adalah perkara yang dihilangkan oleh perkara
lain dan diperbolehkan menaskhkan ayat Al-qur’an dengan Al-qur’an, Al-qur’an
dengan hadist, hadist dengan Al-qur’an dan hadist dengan hadist. Dalam Naskh
terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Banyak perbedaan pendapat dari
para ulama’ mengenai nasikh mansukh yang menimbulkan setuju tidaknya naskh
diterapkan. Di sisi lain juga banyak hikmah yang bisa kita ambil dari
pengetahuan tentang naskh.
Demikian
makalah yang dapat kami susun Kami menyadari makalah ini jauh dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan
pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qattan,
Manna Khalil.1973.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.Jakarta:Litera Antar Nusa
Anwar,
Rosihan.2013.Ulum Al-Qur’an Bandung:CV Pustaka Setia
Hamzah, Mukhotob.2003.Studi
Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media
Hermawan, Acep.2011.‘Ulumul
Qur’an. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset
Suparta,
Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Zaid, Nasr Hamid Abu.2005. Tekstualitas
Al Qur’an. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara
[1]
Khalil al-Qattan, Pengantar
Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an terj. Aunur Rafiq el-Mazni. (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 292.
[2]
Ibid., hal. 292
[3]
Rosihon anwar.
Ulum Al Qur’an. (CV Pustaka
Setia. Bandung. 2013), Hal: 165-166
[4]
Ibid., Hal: 168-169
[5]
Manna' Khalil al-Qattan, Mabahis fi 'Ulum al-Qur'an, (Riyadh:
Mansyurat al-'Asr al-Hadis, 1972), hlm. 236.
[6]
Ibid., hal. 236
[7]
Ibid., hal. 237
[8]
Manna’ Khalil Kattan. Op. Cit,. Hal: 328-332
[9]
Ibid. Hal: 337
[10]
Acep Hermawan. Ulumul Qur’an. (PT
Remaja Rosdakarya Offset. Bandung. 2011). Hal: 170-173
Tidak ada komentar:
Posting Komentar