MEMAHAMI STUDI JAWA ISLAM STUDI PERBANDINGAN ISLAM
TAPANULI
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Kelompok 12
NAMA
NIM
1.
ANUGRAH
AL-BASYIR 1510300050
2.
MUHAMMAD SUDUS 1510300056
Dosen Pengampu:
PUJI KURNIAWAN, SH, MH. Hk
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2016/2017
KATA PENGANTAR
Syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa senantiasa selalu memberikan taufiq dan hidayah
sehingga kita diberikan kesehatan maupun kesempatan dalam memberikan dorongan
dan motivasi sehingga terselesainya tugas ini.
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas dari bapak Puji Kurniawan, Sh, MA.Hk. Sebagai
salah satu tugas mata kuliah. Melalui makalah ini, kami mencoba menyajikan
konsep dalam kurikulum dengan makalah yang berjudul “Memahami Studi Jawa Islam
Studi Perbandingan Islam Tapanuli”. Isi makalah ini kami kutip dari beberapa reference
dan makalah yang berjudul “Memahami
Studi Jawa Islam Studi Perbandingan Islam Tapanuli “.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada
bapak Puji Kurniawan, SH, MA.Hk selaku dosen mata kuliah dasar-dasar Pengembangan
Kurikulum yang telah membimbing kami sehingga makala ini dapat kami selesaikan
denagn lancar. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.
Padangsidimpuan, Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Trikotomi
Masyarakat Jawa............................................................. 2
B. Dimensi-Dimensi
dalam Kehidupan Masyarakat............................. 7
C. Tradisi
Slametan............................................................................... 7
BAB III PENUTUP.................................................................................... 15
A. Kesimpulan...................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 16
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Modernisasi
menjadi fenomena yang sangat umum dan hampir seluruh pelosok dunia, terutama
pada negara-negara berkembang. Seperti yang dapat dilihat bahwa proses ini
memberikan dampak terhadap berbagai lingkup tatanan duni terutama kehidupan
manusia, tidak terkecuali dengan kebudayaan manusia yang juga terpengaruhi.
Perkembangan kebudayaan ini terus berlanjut seiring dengan laju peradaban
manusia sesuai dengan berkembangannya pengetahuan manusia untuk menciptakan
suatu hal yang baru.
Seperti halnya
peradaban manusia yang berkembang secara bertahap dari zaman prasejarah hingga
sekarang. Kebudayaan juga berkembang secara bertahap mengikuti arus
perkembangan zaman. Modernisasi dalam bidang kebudayaan dapat dilihat dengan
semakin mudahnya masyarakat dunia mengenal suatu kebudayaan dari suatu daerah,
terutama Jawa yang notabene adalah plot area dimana banyak orang dari berbagai
wilayah berkumpul. Seperti yang diungkapan oleh Anthony Giddens bahwa
modernitas meruntuhkan jarak antar ruang dan waktu.
Islam dalam
realitas konkret berkembang dengan deret ukur perkembangan modernitas, bahkan
dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Bagaimanapun juga tidak bisa
dipungkiri, cepat atau lambat budaya modernitas akan memasuki semua sektor
kehidupan, bahkan juga menyentuh pemikiran keislaman. Modernitas sebagai
penawar alternative, harus dipahami sebagai kelanjutan wajar dan logis bagi
perkembangan sejarah kehidupan manusia. Islam dan tantangan modernitas tidak
lepas dari akar sejarah awal Islam yang menyertai kehidupan kaum muslim
sedunia, termasuk Indonesia dan khususnya diwilayah Jawa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Trikotomi
Masyarakat Jawa
a. Varian
Abangan
Bagi sistem
keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang
kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja
menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap
hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau
dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti
nama, sakit, dan sebagainya. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas,
dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa
Jawa kromo inggil yang resmi. Bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani
dan proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya.
Dalam tradisi
slametan dikenal adanya siklus slametan:
1) yang
berkisar krisis kehidupan;
2) yang
berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa;
3) yang
terkait dengan integrasi desa, bersih desa (nyadranan);
4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang
ingin dislameti. Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses
kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan
memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.[1]
Kepercayaan
kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari
misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi,
lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh
atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya
melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan
manusia.[2]
Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat
berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara,
puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.
Kalau
kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori daripada
agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi yang
berpusat pada peranan seorang dukun.[3]
Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun
calak, dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk,
dukun japa, dukun jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara
umum mengakui adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun
merupakan masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan. Jadi
kecocokan terhadap salah satu dari beberapa dukun lain adalah merupakan ukuran
mandhi atau tidaknya dukun tersebut.
b. Varian
Santri
Mojokuto
yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal
dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas
pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri.
Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak
acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih
memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam.[4]
Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial umat di sekeliling
mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol Islam, sekolah
agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah masjid/langgar. Keempatnya
berpautan baik pada santri yang modern dan kolot.
Ada
tiga titik komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri desa yang kaya,
pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi santri. Perbedaaan sosial
inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara mereka. Konflik itu
terpecahkan oleh kesamaan agama santri.[5]
Antara tahun 1953-1954, ada satu PSII yang
menyisakan beberapa orang SI yang asli dan kerabat keluarga, partai NU sebagai
Orsos dan Parpol yang digabungkan dalam satu kesatuan organisasi yang agak
lemah, Masyumi sedikit lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang
Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi sosial.
Pembagian
santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir
keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri,
pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni,
perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama,
pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan
pragmatis.[6]
Sehingga pandangan dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada abangan.
Hubungan santri modernis dan konservatif lebih kepada penyikapan terhadap
abangan. Jika modernis menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah
kelompok kecil pemimpin agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah
yang selaras dengan tradisi yang berlaku.
Pandangan
keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorganisasian
politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis
dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang
terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua,
sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau
mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler.
Untuk
mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus
dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan
masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisonal) dan
model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Pertemuan antara pola
pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri
memasukkan pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.
Terkait
ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di mana para
kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non muslim
tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus sesuai
dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat
Undang-undang. Geertz memandang Depag merupakan kompromi kedua santri terhadap
keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri
menguasai birokrasi di Depag.
Pola
ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto
dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan
konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan
puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan
abangan dan priyayi.
c. Varian
Priyayi
Priyayi
mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang disebabkan
ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat
mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik daripada
keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat,
klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah
keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota
selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada
kelompok instrumen administrasi pemerintahan.[7]
Priyayi
memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni,
berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan
ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik alus.
Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari
alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku
kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar.
Sementara titik kehidupan keagamaan priyayi berpusat etika, seni dan mistik.
Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada
empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk
pangkat yang tepat, ketidaklangsungan, kepura-puraan, dan menghindari perbuatan
yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh
priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Hal
ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal.
Priyayi
menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik adalah
perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek, jaranan,
dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu mengekspresikan
nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat misalnya)
mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.[8]
Pandangan
dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang
dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin
orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan
pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh
priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan
ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya pada tujuan
tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang
sempit).
Sekte-sekte
mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat
(wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya
dari kalangan priyayi.
B.
Dimensi-Dimensi
dalam Kehidupan Masyarakat
Menurut Yahya
Muhaimin, masyarakat Indonesia yang secara sosio-historis merupakan masyarakat
plural, sebenarnya mempunyai pola-pola budaya politik yang elemen-elemennya
bersifat dualistis. Dualisme tersebut berkaitan dengan tiga hal, yaitu:
1. Dualisme
antara kebudayaan yang mengutamakan keharmonisan dengan kebudayaan yang
mengutamakan kedinamisan (konfliktural). Dualisme ini bisa kita lihat dalam
interaksi antara budaya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Jawa dengan
kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan luar Jawa, terutama Sumatera Barat,
Sumatera Utara dan Sulawesi.
2. Dualisme
antara budaya dan tradisi yang mengutamakan keleluasaan dengan yang
mengutamakan keterbatasan. Fenomena ini merupakan tendensi kemanunggalan
militer-sipil dalam proses sosial politik.
3. Dualisme
akibat masuknya nilai-nilai barat ke dalam masyarakat Indonesia. Hakikat nilai
Barat adalah pandangan hidup yang menempatkan indiidualisme dalam kedudukan
yang vital (Muhaimin, Yahya; 52-53).
Pada makalah
ini, penulis memfokuskan bahasan pada titik yang pertama yaitu Dualisme Budaya
Jawa dan Non Jawa dengan penekanan pada bentuk-bentuk dominasi Budaya Jawa
dalam budaya dan pelaksanaan politik di Indonesia.
C.
Tradisi
Slametan
a. Slametan
dan Tradisi Masyarakat Jawa
Pada umumnya
masyarakat Jawa yang telah memeluk agama Islam masih bercorak aliran Islam
tradisonal. Dapat dikatakan seperti itu dikarenakan pada masyarakat tersebut
masih mengalami masa transisi dari tradisi lama yaitu kejawen menuju tradisi
baru yaitu Islam. Satu sisi mereka mempercayai dan mengakui kebenaran yang
tersimpul dari ajaran-ajaran Islam, namun pada sisi lain mereka tetap
mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan tradisi warisan kebudayaan pra
Islam yaitu Hindu-Budha.[9]
Mengutip keadaan
tersebut sampai saat ini masih tetap eksis, meskipun pada sebagian masyarakat
Jawa sudah tidak menggunakan makna sakral yang terdapat pada kebudayaan
terdahulu. Fakta sosial tradisi jawa tersebut yang menunjukkan adanya praktik
keagamaan yang sering dijumpai adalah slametan. Salah satu adat istiadat yang
dianggap sebagai ritual keagamaan dalam masyarakat Islam Jawa.
a) Pengertian
Slametan
Slametan
berasal dari Bahasa Arab salima-yaslamu-salaman yang berarti selamat. Menurut
Quraish Shihab kata salam berarti luput dari kekurangan, kerakusan, dan aib.
Kata selamat diucapkan, misalnya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Salam atau damai yang demikian adalah “damai positif” dan juga “damai aktif”
yakni bukan saja terhindar dari keburukan, tetapi lebih dari itu, dapat meraih
kebajikan atau kesuksesan. Menurut kami penggunaan bahasa salima tersebut dalam
ritual jawa merupakan salah satu hasil dari islamisasi kultur Jawa.[10]
Tradisi
slametan dalam masyarakat jawa merupakan upacara ritual komonal yang telah
mentradisi dan dilaksanakan untuk peristiwa penting dalam kehidupan seseorang.
Bentuk pelaksanaannya diikuti oleh sejumlah tetangga dan sanak saudara. Adat
ini biasannya dipimpin oleh seseorang yang dianggap sesepuh dan didampingi para
ulama agama.[11]
Secara tradisional acara slametan merupakan bentuk acara syukuran yang dimulai
dengan do’a bersama dengan duduk bersila diatas tikar melingkari nasi tumpeng
dengan lauk pauk.[12]
Peristiwa tersebut seperti kelahiran, kematian, pernikahan, membangun rumah,
permulaan bajak sawah atau panenan, sunatan, perayaan hari besar, dan masih
banyak lagi peristiwa-peristiwa yang dihiasi dengan tradisi slametan.
Secara
umum, tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman, dan
bebas dari gangguan mahluk yang nyata dan halus (suatu keadaan yang disebut
slamet). Misalnya bernadhar akan menyelenggarakan slametan kalau anaknya sembuh
dari sakit, tetapi tidak ada alasan yang kuat daripada keinginan mencapai
keadaan yang aman dan sejahtera.
Mengadakan
upacara selametan terkadang diambil berdasarkan keyakinan keagamaan yang murni,
akan tetapi terkadang hanya juga menjadi sebuah kebiasan rutin yang dijalankan
dalam suatu adat keagamaan.[13]
Menjadi kebiasaan rutin disini dapat diartikan dalam kehidupan keseharian
masyarakat jawa tradisional yang masih
kental dengan kebiasaan lamanya.
b) Tradisi
Masyarakat Jawa Kejawen
Masyarakat
Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikuti oleh norma-norma hidup
karena sejarah, tradisi, maupun agama.[14] Hal
ini dapat dilihat dalam keadaan masyarakat jawa di sekitar kita yaitu dengan
ciri kekarabatan antar sesama masyarakat. banyak sekali anak-anak di jawa yang
masih kental terhadap hukum adat yang ada di daerah tersebut. Misalnya dalam
hal-hal tertentu setiap orang lelaki masih bekerja membantu kerabat dalam
mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah, memperbiki jembatan, dan lain
sebagainya. Kebudayaan yang mereka bngun merupakan serangkaian hidp tolong
menolong antar warga.
Keadaan
masyarakat di Jawa masih sangat terjalin keaslian dan kedamaian antar warga dan
keluarga inilah yang menjadikan adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang
yang masih dijalankan di masyarakat jawa. Internalisasi kebiasaan yang
berurutan dan sudah menjadi keyakinan mutlak bisa menjadikan sebuah tradisi
yang awet dalam masyarakat tersebut. Tanpa dilatar belakangi dari budaya luar
pun, tipikal masyarakat jawa masih ajeg dan pragmatis akan tradisi yang
ditelurkan oleh nenek moyangnya tersebut.
Lain
halnya dengan budaya saat ini yang sudah sedikit banyak tergerus oleh pengaruh
globalisasi. Akan tetapi tidak jarang juga pada masyarakat jawa yang masih
memposisikan tradisi-tradisi yang terdahulu untuk diterapkan dalam kehidupannya
sehari-hari.
Paham
kejawen tersebut memiliki akar kuat sehingga senantiasa memiliki pengikut dan
perkembangannya amat tergantung pada seberapa jauh apresiasi generasi penerus
terhadap nilai-nilai masa lalu.[15]
Oleh karena itu meskipun banyak dari masyarakat Jawa yang sudah memasuki agama,
namun keaslian akan tradisi jawa masih dijunjung sekali seperti tradisi
slametan yang masih sering kita jumpai di setiap acara-acara penting kehidupan
masyarakat Jawa.
c) Interpretasi
Slametan di Masyarakat Jawa
Jika
ditinjau dari sejarahnya, slametan mempunyai beberapa latar belakang dan
pengaruh dari sisi lain sebelum masuknya Islam ke Jawa. Hal ini lah yang
menjadikan unsur-unsur luar dan dalam masih tetap menjaga kekhasan dan keunikan
tradisi slametan di Jawa, diantaranya adalah :
a) Pengaruh
Kepercayaan Animisme-Dinamisme
Selametan
merupakan unsur jawa sebelum masuknya Islam ke tanah Jawa. Ketika Islam datang,
unsur pra-Islam yang berupa kepercayaan animisme-dinamisme sudah mengakar kuat
dalam masyarakat jawa, sehingga sulit untuk menghilangkannya. Struktur masyarak
pada waktu itu adalah didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta religinya.
Hukum adat tersebut menjadi norma yang mengikat kehidupan mereka sehingga
masyarakat bersifat statis dan konservatif.[16]
Pelaksanaan
slametan dilakukan oleh masyarakat jawa terdahulu masih mengandung unsur
kegiatan animisme yaitu masih adanya perlindungan atau keselamatan terhadap
nenek moyang mereka yang sudah meninggal, atau agar terhindar dari roh jahat
yang ada. Akan tetapi seinring masuknya Islam ke Jawa merombak struktur
pelaksanaan slametan tersebut. Meskipunbegitu, tidak jarang pula masyarakat
yang masih menggunakan pelaksanaan slametan dengan menggunakan kemenyan misalnya
untuk kelengkapannya.[17]
b) Akulturasi
Agama Hindhu-Budha
Budaya Jawa
menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme Budhaisme tidak saja
terpengaruh pada sistem budaya, akan tetapi juga berpengaruh terhadap sistem
agama.[18] Misalnya
saja pada acara kematian yang dilakukan masyarakat Islam Jawa saat ini yaitu
slametan nelung dina, mitung dina, matang puluh dina, nyatus, mendak sepisan,
mendak pindo, nyewu, dan haul.
Penetapan hari
dan waktu pada upacara kematian yang diiringi dengan slametan tersebut sudah
dimulai pada masuknya pewilangan budaya Hindu-Budha. Karena budhaya Hindhu
dalam upaca kematian masih menggunakan pewilangan seperti itu, alhasil budaya
jawa terjadi akulturasi budaya Hindhu-Budha dan sampai saat ini masih melekat
dan membudaya di kalangan masyarakat jawa tradisional (kejawen).
c) Telaah
dari Masyarakat Abangan
Sebagaimana yang
telah kita lihat bersama, Geertz dalam Religion of Java mendeskripsikan
identitas muslim Jawa dengan merumuskan trikotomi yaitu abangan, santri, dan
priayi. Menurut Geertz tradisi masyarakat abangan adalah masyarakat yang
dominan dalam masyarakat petani terutama pada tradisi slametan, kepercayaan
kompleks dan rumit terhadap roh-roh dan teori secara praktik-praktik
pengobatan, tenung dan sihir.
Slametan menjadi
ritual terpenting dari masyarakat abangan. Tujuan dari ritual tersebut adalah
menenangkan roh-roh dan memperoleh keadaan slamet. Hal ini ditandai dengan
tidak adanya perasaan sakit hati pada orang lain serta keseimbangan emosional.
Karena orientasi abangan lebih animistik ketimbang Islamnya.[19]
b. Jenis-jenis
dan Nilai yang terkandung di dalam Slametan
Penelitian
Clifford Geertz membuktikan bahwa dalam suatu slametan, setiap orang
diperlakukan sama, tidak seorang pun merasa berbeda dari yang lain, tidak
seorang pun merasa rendah dari yang lain dan tidak punya keinginan untuk
memencilkan diri dari yang lain. Geertz membagi upacara slametan menjadi empat
jenis, yaitu :
a) Berkisar
sekitar krisis-krisis kehidupan yang meliputi : kelahiran, khitanan,
perkawinan, dan kematian
b) Berhubungan
dengan hari-hari besar Islam meliputi : Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha, dan
sebagainya.
c) Bersangkutan
dengan integrasi sosial desa.
d) Slametan
sela yang diselenggerakan dalam waktu yang tidak tetap meliputi : perjalanan ke
tempat jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung, dan sebagainya.[20]
Nilai yang
terkandung dalam tradisi slametan di masyarakat Jawa diantaranya adalah
:
a) Gejala
Religi yang Unik
Keunikan
tradisi slametan di masyarakat jawa yaitu terletak pada pemanfaatan ilmu titen
turun temurun dari nenek moyang mereka dan ditempatkan kehidupan sehari-hari
msyarakat jawa. Tradisi slametan pun tidak dimiliki oleh masyarakat daerah
lain. Karena kekuatan masyarakat kejawen tetap menjaga hakikatnya. Bahkan orang
jawa menganggak “kitab” mereka adalah kehidupan mereka sendiri, sedangkan
“hadis” dan jantung pelaksanaan tradisi orang jawa menggunakan slametan.[21]
b) Jalan
Lurus Menuju Sasaran yaitu Tuhan
Tujuan
slametan yang diutarakan kepada sang Khaliq adalah keadaan selamet yaitu dimana
keadaan di mana peristiwa-peristiwa akan bergerak mengikuti jalan yang telah
ditetapkan.[22]
Adapun kehususan yang diutarakan kepadaNya merupakan sebuah jalan yang lurus
menuju sasaran dan merupakan prasyarat untuk memohon secara berhasil berkat
dari Sang maha Kuasa atau bisa dikatakan sebagai permohonan simbolik.[23]
c) Menunjukkan
Masyarakat yang Rukun
Slametan
diadakan pada setiap kesempatan peristiwa-peristiwa penting yang melibatkan
masyarakat, keluarga, tetangga, dan sanak saudara dalam kegiatan tersebut.
Sehingga menunjukkan masyarakat yang rukun tanpa membedkan dari mana dan siapa
mereka. Rukun yang berarti harmoni sosial dan ketentraman serta ketenangan
bersama merupakan nilai sosial yang amat penting dalam kehidupan masyarakat
desa.[24]
c. Interelasi
Tradisi Slametan dan Islam
Nilai-nilai
Islam dan Jawa kiranya bertemu dalam media slametan yang memuat nilai-nilai
tertentu. Kenyataan bahwa upacara slametan telah disentuh dengan ajaran Islam,
seperti masuknya unsur dzikir, penentuan waktu dan maksud penyelenggaraannya
dikaitkan dengan hari-hari besar Islam. Seperti slametan mauludan, memasuki
bulan syu’ara atau hari raya idhul adha dan idhul fitri, dan lain sebagainya. Hal
ini mengakibatkan efek slametan terkadang mampu menimbulkan getaran emosi
keagamaan. Sehingga internalisasi nilai-nilai Islam termaktub dalam tradisi
slametan tersebut.[25]
Internalisasi
nilai Islam yang berada pada tradisi slametan ini merupakan proses akulturasi
Islam dan Jawa atau dikaenal dengan istilah islamisasi kultur Jawa. Biasanya
dikenal dengan aliran Islam kejawen. Dimana slametan yang murni berasal dan
ditelurkan oleh masyarakat Jawa sendiri, sekarang sudah tidak murni kejawen
lagi, melainkan sudah bercampur dengan tradisi Islam. Mantranya pun kebanyakan
diawali dengan basmalah kemudian dilanjutkan dengan mantra Jawa. Acara slametan
pun juga seperti itu, melibatkan interelasi antara kultur Jawa dan Islam yaitu masih menggunakan
simbol-simbol makanan yang dihususkan akan tetapi pelaksaannya dilakukan dengan
tahlilan, do’a dan dzikir bersama-sama.
Para
pengembang ajaran Islam di tanah Jawa sendiri yaitu dibawa oleh para wali
songo. Mereka dalam mendakwahkan Islam pun tidak menolak adanya tradisi lokal
Jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagai senjata dakwah mereka. Para
wali menyusun ilmu-ilmu kejawen dengan lelaku dan tata cara yang lebih islami
yang intinya dalah do’a kepada Allah. Hal itu dilakukan agar orang Jawa tidak
merasa asing dengan ajaran-ajaran yang baru mereka kenal.
Tradisi slametan yang sekarang sudah
diislamkan dengan menggunakan cara islami bukanlah sekedar pesta makan untuk
menunjukkan gengsi tertentu dimata masyarakat, melainkan wujud rasa syukur atas
karunia Yang Maha Kuasa. Meskipun banyak perdebatan antara kaum muslimin
mengenai slametan yang mistik dan kejawen, akan tetapi secara jelas ada
landasan skriptural untuk mengatakan hal tersebut tidak menyalahi semangat
syari’at Islam. Nilai-nilai Islam dalam tradisi slametan pun sudah
terealisasikan menurut ajaran Islam meskipun masih menancapkan karakteristik
jawa atau orang jawa sering mengatakan Islam jawani. Yaitu memadukan kultur
Jawa dengan Islam tanpa membuang dan memarjinalkan budaya orang Jawa sendiri.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mengenai istilah
yang dipakai dalam bukunya, tentu saja bukan Geertz yang menemukan istilah
santri, abangan dan priyayi, karena istilah-istilah ini sudah dipakai meskipun
di kalangan yang lebih terbatas. Namun, Geertz lah yang pertama-tama
mensistematisasikan istilah-istilah ini sebagai mewakili kelompok-kelompok
kultural yang signifikan. Kritik terhadap Geertz seputar penggunaan istilah
priyayi (yang bersifat kelas) dan karenanya tidak cocok disandingkan dengan
santri dan abangan (yang bersifat keagamaan), seputar kurangnya pemahaman
Geertz terhadap teks-teks Islam sehingga menyangka bahwa tradisi selamatan di
Jawa adalah murni bersifat lokal dan tidak ada hubungannya dengan pengaruh
normatif Islam, seputar dikotomi santri-abangan yang dikritik terlalu berat
sehingga meniadakan orang-orang santri yang abangan atau abangan yang santri
ataupun wilayah abu-abu, dan banyak aspek lainnya. Tapi yang jelas, dari Geertz
lah para sarjana belajar tentang agama di Jawa.
Slametan
merupakan acara ritual yang sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa dengan
mengumpulkan para tetangga, warga sekitar dan sanak saudara untuk melakukan
syukuran atau sedekah dengan simbolisasi nasi tumpeng dan ayam ingkong (ayam
dimasak utuh) atau dengan menyajikan makanan has orang Jawa sendiri sebagai
sajiannya. Ritual tersebut dilakukan sebagai rapalan do’a yang dihususkan
kepada Allah untuk memohon sebuah keselamatan atau agar terhindar dari hal-hal
yang tidak diinginkan. Dalam tradisi slametan biasanya dilaksanakan pada
waktu-waktu penting seperti kematian, kelahiran, kehamilan, dan hari-hari besar
Islam. Terkadang juga diletakkan pada kondisi tertentu pada seseorang atau
keluarga tersebut dalam mengalami hari-hari penting seperti pembuatan rumah
atau keberangkatan seseorang ke suatu tempat.
DAFTAR
PUSTAKA
Fatah Amin, Kisah Dari Kampong Halaman
Masyarakat, Suku, Agama Resmi dan Pembangunan,
Surabaya: Penebit Dian/Interfidei, 1997.
Hoadley Mason C., Islam dalamTradisiHukumJawa,
Yogyakarta: GrahaIlmu, 2009.
Jamil Abdul,dkk, Islam danKebudayaanJawa,
Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Pals Daniels L, Eight Theories of Religion,
New York: Oxford University Press, 2001.
Rustopo, Menjadi Jawa, Jakarta: Penerbit
Ombak, 2006.
Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang:
PustakaZaman, 2013.
SoebardidanHarsojo, PengantarSejarah dan Ajaran
Islam, Jakarta: BinaCipta, 1983.
Abdillah, Amin. 2006, Budaya Lokal,
Yogyakarta : Lkis
Amin, Darori. dkk, 2000, Islam dan Kebudayaan
Jawa, Yogyakarta : Gama Media.
Endraswara, Suwardi. 2003, Mistik Kejawen;
Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam budaya spiritual Jawa,
Yogyakarta : Penerbit Narasi.
Geertz, Clifford. 1981, Abangan, Santri, dan
Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Jakarta : Pustaka Jaya.
Khalil, Ahmad. 2008, Islam Jawa Sufisme dalam
Etika dan Tradisi Jawa, Malang : UIN-MALANG PRESS.
Koentjaningrat, 1984, Kebudayaan Jawa,
Jakarta : Balai Pustaka.
Mulder, Niels. 1985, Pribadi dan Mayarakat di
Jawa, Yogyakarta : Sinar Harapan.
Palgunadi, Bram. 2002, Serat Kandha Karawitan
Jawi, Bandung : ITB.
Pranowo, Bambang. 2011, Memahami Islam Jawa, Jakarta : Pustaka
Alvabet.
Shodiq, 2002, Potret Islam Jawa, Semarang :
Pustaka Zaman
[2]
Amin Fatah, Kisah Dari
Kampong Halaman Masyarakat, Suku, Agama Resmi dan Pembangunan, (Surabaya: Penebit Dian/Interfidei, 1997), hlm. 5-7
[3]
Mason C. Hoadley, Islam dalam Tradisi Hukum Jawa, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009, hlm. 21
[4]
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta, LKIS, 1999), 19
[5]
Akhmad Taufiq, et. Al., Metodologi Studi Islam, (Malang: Bayumedia Publishing,
2004), hal. 15
[6]
Dr. Soebardi dan Prof. Harsojo, Pengantar Sejarah dan Ajaran Islam (Jakarta:
Bina Cipta, 1983) hlm. 40
[7]
Drs. H. Shodiq, M.Ag., Potret Islam Jawa , (Semarang: Pustaka Zaman,
2013), hlm. 41-43
[8]
Ibid., hal. 44
[9]
Ahmad Khalil, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang :
UIN-MALANG PRESS, 2008), hal. 272-273
[10]
Shodiq, Potret Islam Jawa, (Semarang : Pustaka Zaman, 2002), hal. 41
[11]
Bram Palgunadi, Serat Kandha Karawitan Jawi, (Bandung : ITB, 2002), hal.
196
[12]
Koentjaningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), hal.
56
[13]
Darori Amin dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta : Gama Media,
2000), hal. 260
[14]
Darori Amin dkk, Op. Cit, hal. 4
[15]
Darori Amin dkk, Op. Cit, hal. 170
[16]
Shodiq, Op. Cit, hal. 6-7
[17]
Shodiq, Op. Cit, hal. 11
[18]
Shodiq, Op. Cit, hal. 17
[19]
Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa, (Jakarta : Pustaka Alvabet, 2011),
hal. 8
[20]
Clifford Geertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj.
Aswab Mahasin, (Jakarta : Pustaka Jaya, 1981), hal. 38
[21]
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen; Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme
dalam budaya spiritual Jawa, (Yogyakarta : Penerbit Narasi, 2003), hal. 13
[22]
Niels Mulder, Pribadi dan Mayarakat di Jawa, (Yogyakarta : Sinar
Harapan, 1985), hal. 28
[23]
Suwardi Endraswara, Op. Cit, hal. 13
[24]
Ahmad Khalil, Op. Cit, hal. 283
[25]
Darori Amin dkk, Op. Cit, hal. 262
Tidak ada komentar:
Posting Komentar