BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hadits merupakan
sumber hukum dalam Islam setelah Al-Qur’an, hadits di sampaikan oleh Rosululloh
SAW atas petunjuk Alloh SWT, Alloh SWT memerintahkan Rosul-Nya untuk memberikan
penjelasan akan Al-Qur’an yang diturunkan padanya, Alloh SWT berfirman dalam
surat An-Nahl ayat 44:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Artinya
: 44. Keterangan-keterangan (mukjizat)
dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya
mereka memikirkan,
Dengan adanya
perintah tersebut, Rosululloh SAW telah menjelaskan Al-Qur’an pada umatnya secara
terperinci maupun secara global, hal itu di interpretasikan dengan perkataan,
perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang di tetapkan olehnya, yang mana itu
disebut hadits sehingga sempurnalah Al-Qur’an.
Dalam rangka
untuk mengetahui apakah suatu hadits yang kita terima merupakan hadits yang
sahih, hasan ataupun daif, sehingga memudahkan kita untuk mengamati hadits tersebut. Apakah
hadits maqbul atau mardud, kegiatan takhrijhadits sangatlah penting. Serta akan
menguatkan keyakinan kita untuk mengamalkan hadits tersebut. Dalam hal ini kita
bersama-sama akan membahas tentang cara penyampaian hadits (takhrijhadits).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Takhrij Hadits
Takhrij menurut
bahasa memiliki beberapa makna. Yang paling mendekati disini adalah berasal dari
kata kharaja (خرج) yang artinya nampak dari tempatnya atau keadaaannya, dan
terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj (الاخرج) yang artinya
menampakkan dan memperlihatkannya. Dan kata al-makhraj (المخرج) yang artinya
tempat keluar.
Secara bahasa
takhrijhadits adalah:
“Mengeluarkan
sesuatu dari suatu tempat”[1]
Sedangkan
menurut istilah Muhaditsin, takhrij diartikan dalam beberapa pengertian :
1. Sinonim
dan ikhraj, yakni seorang rawi mengutarakan suatu hadits dengan menyebutkan
sumber keluarnya (pemberita) hadits tersebut.
2. Mengeluarkan
hadits-hadits dari kitab-kitab, kemudian sanad-sanadnya disebutkan.
3. Menukil
hadits dari kitab-kitab sumber (diwan hadits) dengan menyebut mudawinnya serta
dijelaskan martabat haditsnya
Dari ketiga
definisi di atas, maka Mahmud al-Thahhan mendefinisikan tentang ta’rif takhrij adalah :
التخريجهوالدلالةعلىموضعالحديثفىمصادرهالاصليةالتىاخرجتهبسندهثمبيانمرتبتهعندالحاجة
|
“Takhrij
ialah penunjukan terhadap tempat hadits dalam sumber aslinya yang dijelaskan
sanadnya dan martabatnya sesuai dengan keperluan”.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan, bahwa takhrij meliputi kegiatan :
a.
Periwayatan (penerimaan, perawatan,
pentadwinan, dan penyampaian) hadits.
b.
Penukilan hadits dari kitab-kitab asal
untuk dihimpun dalam suatu kitab tertentu.
c.
Mengutip hadits-hadits dari kitab-kitab
fan (tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, dan akhlak) dengan menerangkan
sanad-sanadnya.
d.
Membahas hadits-hadits sampai diketahui
martabat kualitas (maqbul-mardudnya).
Utang Ranuwijaya
menyimpulkan bahwa dalam pentakhrijan hadits ada dua hal yang mesti dilakukan:
1.
Berusaha menemukan para penulis hadits
tersebut dengan rangkaian sanad-sanadnyadan menunjukannya pada karya-karya
mereka, seperti kata-kata akhrojahu al-Baihaqi, akhrojahu at-Tabrani fi
mu’jamihi atau akhrojahu Ahmad fi musnadihi.
2.
Memberikan kwalitas hadits apakah hadits
itu sohih atau tidak. Peniliaian ini dilakukan andaikata diperlukan. Artinya,
bahwa penilaian kwalitas suatu hadits dalam mentakhrijhadits tidak selalu harus
dilakukan. Kegiatan ini hanya melengkapi kegiatan takhrij tersebut. Sebab,
dengan diketahhui dari mana hadits itu
diperoleh sepintas dapat dilihat sejauh mana kwalitasnya.[2]
B.
Sejarah
dan Pengenalan
a.
Sejarah Ilmu Takhrij
Ulama-ulama
terdahulu belum begitu membutuhkan ilmu takhrijhadits ini, khususnya ulama yang
berada pada awal abad kelima, karena Alloh memberi karunia kepada mereka suka
menghafal dan banyak mengkaji kitab-kitab yang bersanad yang menghimpun
hadits-hadits Nabi SAW. Keadaan ini terus berlanjut sampai beberapa abad, hingga
tradisi kecintaan terhadap hafalan dan kajian kitab-kitab hadits serta sumber
rujukan pokoknya menjadi lemah.[3]
Ketika tradisi ini lemah, para ulama selanjutnya mulai menemui kesulitan untuk
mengetahui sumber suatu hadits yang terdapat dalam Kitab Fiqih Tafsir dan
Tarikh, maka muncullah segolongan ulama yang mulai melakukan Takhrijhadits
terhadap karya-karya ilmu tersebut dan menjelaskan kedudukan hadits itu apakah
statusnya shohih. Hasan atau doif. Waktu itulah muncul kutub at-takhrij
(kitab-kitab takhrij).
Kitab-kitab
Takhrij generasi pertama, seperti yang dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan
adalah kitab-kitab buah pena al-Khatib al-Baghdadiy [w. 463 H]. Diantara kitab
yang terkenal adalah:
a) Takhrij
al-Fawaid al-Muntakhobah al-Shihah wa al-Ghoroib karya Abi Al-Ghoroib,
b) Takhrij
al-Fawaid al-Muntakhobah al-Shihah wa al-Ghoroib karya Abi Qosim al-Mahrowani.
c) Kitab
Takhrijhadits al-Muhazzab oleh karya Muhammad bin Musa al-Hazimi.[4]
Kemudian
pada masa selanjutnya, karya-karya dalam bidang ilmu takhrijhadits semakin meluas
hingga mencapai puluhan. Sumbangan karya-karya tersebut tidak dapat dipungkiri
sangat signifikan terhadap perkembangan ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya.
Mahmud
At-Tahhan menyebutkan bahwa tidak diragukan lagi cabang ilmu takhrij ini sangat
penting sekali bagi setiap ilmuan yang bergelut dibidang ilmu syariah khususnya
bagi yang bergelut dibidang ilmu hadits dengan ilmu ini seseorang bisa
memeriksa hadis ke sumber asalnya.
b.
Pengenalan kitab-kitab takhrij
Berikut adalah kitab-kitab takhrij yang termasyhur.
1. Nashb
ar-Royah li Ahadits al-Hidayah karya Abdulloh bin Yusuf al-Zaila’i (w. 762 H).
Kitab
ini mentakhrijhadits-hadits yang dijadikan oleh al-Allamah Ali bin Abi Bakar
al-Marghinani al-Hanafi (w.593 H) dalam kitab al-Hidayah. Kitab ini merupakan
kitab fikih Hanafi,sedangkan kitab takhrij ini merupakan yang paling luas dan
yang paling dikenal dibanding kitab takhrij lainnya.
Al-
Kattani berkata, “kitab ini adalah kitab takhrij yang sangat bemanfaat sekali
dijadikan patokan oleh kalangan pensyarah kitab al-Hidayah, bahkan Ibnu Hajar
banyak mengambil manfaat dari buku dalam disiplin ilmu hadits, nama-nama perawi dan luasnya pandangan beliau tentang
haditsmarfu’
2. Takhrij
Ahadits al-Mukhtashar al-Kabir karya Muhammad bin Ahmad Abd al-Hadi al-Maqdisy
(w. 744 H).
3. Takhrij
Ahadits al-Kasysyaf li az- Zamakhsyari karya Abdullah bi Yusuf az-Zaila’i. Ia
sudah dicetak.
4. Irwa’
al Ghalil fi Takhtij Ahadits Manar as-Sabil, karya asy-Syaikh Nashiruddin
al-Albani.
5. At-Talkhish
al-Habir, Takhrij Ahadits al-Wajiz
al-Kabir fi Li ar-Rifa”i, ditulis olehal-Hafidz Ibnu Hajar, sudah dicetak.
6. Takhrij
Ahadits al-Kasysyaf, karya al-Hafidz Ibnu Hajar.
7. Al-Badr al-Munir fi al-Takhrij al-Ahaditz wa
al-Atsar al-Waqi`ah fi al-Syarh al-Kabirli ar-Rafi’i [Abu al-Qasim Abd al-Karim
Ibn Muhammad al-Qazwayniy al-Rafi`iy al-Syafi`iy – w.623 H], karya Umar Ibn Ali
Ibn al-Mulqan (w. 804 H); telah ditahqiq di dalam risalah Majister di
Universitas Islam Madinah.
8. Al-Mughniy
`an Haml al-Ashfar fi al-Ashfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya’ min al-Akhbar
[al-Ghazaliy], karya al-Hafizh Zayn al-Din Abd al-Rahim Ibn al-Husayn al-Iraqiy
(w. 806 H);
9. Al-Takhrij
al-Ahadits al-latiy Yusyiru Ilayha al-Tirmidziy fi Kulli Bab, karya al-Iraqiy;
10.
Ad- Dirayah fi Takhrij Ahadits
al-Hidayah, karya al-Hafidz Ibnu Hajar.
11.
Tuhfah ar-Rawi fi Takhrij Ahadits
al-Baidhawi, karya al-Hafidz Abdurra’uf al-Munawi.
Diantara
kitab-kitab takhrij yang disebutkan di atas yang sudah banyak dipergunakan oleh
penuntut ilmu, yaitu:Nashb ar-Royah li Ahadits al-Hidayah dan At-Talkhish
al-Habir, Takhrij Ahadits al-Wajiz
al-Kabir fi Li ar-Rifa”i.[5]
Dalam melakukan
takhrij, seseorang memerlukan kitab-kitab tertentu yang dapat dijadikan
pegangan atau pedoman sehingga dapat melakukan kegiatan takhrij secara mudah
dan mencapai sasaran yang dituju. Diantara kitab-kitab yang dapat dijadikan
pedoman dalam mentakhrijadalah:
a)
Usul al – Takhrij wa Dirasat Al – Asanid
oleh Muhammad Al-Tahhan,
b) Husul
al-Tafrij bi Usul al-Takhrij oleh Ahmad ibn Muhammad al-Siddiq al- Gharami,
c)
Turuq TakhrijHadits Rasul Allah Sawkarya
Abu Muhammad al-Mahdi ibn `Abd al-Qadir ibn `Abd al Hadi,
d) Metodologi
Penelitian Hadits Nabi oleh Syuhudi Ismail.
e)
al-Mu’jam al-Mufharos li Alfazi Ahadis
al-Nabawi oleh A.J. Wensinck
f)
Miftah Kunuz al-Sunnah oleh pengarang
yang sama diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abd Baqi.
g) Mausu’ah
Athraful Hadis an-Nabawi oleh Zaglul.
h) Al-Istiab
oleh Ibnu Abd Barr
i)
Usul al-Ghabah oleh Abd Atsir
j)
Al-Ishobah oleh Ibn Hajar al-Asqolani.
k) Al-Jarh
wa at-Ta’di juga karya Ibnu Hajar
C.
Metode
Takhrij
Di dalam
melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu;
1.
Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat
Metode ini
adalah metode dengan cara mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits,
adapun kitab-kitab pembantu dari metode ini adalah:
a)
Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab
ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara
tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits,
maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab ini hingga mendapatkan petunjuk dalam satu
musnad dari kumpulan musnad tersebut.[6]
Musnad yang dapat digunakan adalah; musnad Ahmad ibn Hanbal , Musnad Dawud Al
Tayalisi, Musnad Al Humaidi, Musnad Abu Hanifah, Musnad As Syafi’i, dsb. Cara
penggunaannya adalah; misalnya sahabat yang meriwayatkan hadits itu bernama
Ali, maka pencarian atau penelusuran dilakukan melalui huruf ‘ayn.
b)
Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab
al-atraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama
mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits
itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab
al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap. Di antara
kitab-kitabAtraf yang dapat dipergunakan adalah; Atraf As Shohihayn, karya Al
Wasiti dan Al Dimashqi, Tuhfatul Al Ashrof bi Ma’rifat Al Atraf karya Al Mizzi yang merupakan Syarah
kitab Al Ashraf bi ma’rifat Al Atraf karya ibn ‘Asakir, Ithaf Al Mahram bi
Atraf Al ‘Ashrah karya Ibn Hajar Al Asqalani, dsb. Cara penggunaan kitab ini
seperti seperti cara menggunakan kitab musnad, artinya disusun secara alfabetis Hija’iyah.
c)
Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan
hadits di dalamnya berdasarkan urutan
musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf kamus
hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk
haditsnya. Dan kitab mu’jam yang
dapat kita gunakan adalah; mu’jam Al Kabir, Mu’jam Al Awsat, dan Mu’jam Al
Saghir yang kesemuanya adalah karya Al Tabrani. Juga kitab Mu’jam As Shahabah
karya Al Mawasili, Mu’jam As Sahabh karya Al Hamdani, dsb. Dan cara penggunaannya
tidak jauh berbeda dengan kitab musnad dan kitab Atraf.
Kelebihan metode ini adalah bahwa
proses takhrij dapat diperpendek. Akan tetapi, kelemahan dari metode ini adalah
ia tidak dapat digunakan dengan baik, apabila perawi yang hendak diteliti itu
tidak diketahui.
2.
Takhrij Melalui Lafadz Pertama Matan
Hadits
Metode
takhrijhadits menurut lafadz pertama, yaitu suatu metode yang berdasarkan pada
lafadz pertama matan hadits, sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah dan
alfabetis, sehingga metode ini mempermudah pencarian hadits yang dimaksud.[7] Misalnya,
apabila akan men-takhrijhadits yang berbunyi;
الشَّدِيْدبِالصُرْعَةِ ُلَيْسَ
Untuk mengetahui lafadz
lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah
menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan
matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad fuad Abdul Baqi,
penggalan hadits tersebut terdapat di halaman 2014. Bearti, lafadz yang dicari
berada pada halaman 2014 juz IV. Setelah
diperiksa, bunyi lengkap matan hadits yang dicari adalah;
عَنْاَبِيْهُرَيْرَةَأَنَّرَسُوْلَاللّهِصَلَّىاللّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَاَلَ:
لَيْسَالشَّدِيْدُبِاالصُرْعَةِاِنَّمَاالشَدِيْدُالَّذِيْيَمْلِكُنَفْسَهُعِنْدَالغَيْبِ
Artinya: Dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa)
itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut
sebagai orang yang kuat adalh orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia
marah”.
Metode ini
mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi
seorangmukharrij untuk menemukan hadits-hadits yang dicari dengan cepat. Akan
tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan
atau perbedaan lafadz pertamanya sedikit saja, maka akan sulit untuk menemukan
hadits yang dimaksud.
Kitab-kitab
hadits yang disusun berdasarkan huruf kamus, misalnya: “Al-Jami’u Ash Shoghir
min Ahadits Al-Basyir An Nadzir” karya As Suyuti.[8]
3.
Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan
Hadits
Metode ini
adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadits,
baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan
huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian haditsnya sehingga pencarian
hadits-hadits yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini
akan lebih mudah manakala menitik beratkan pencarian hadits berdasarkan lafadz
– lafadznya yang asing dan jarang penggunaanya.
Kitab yang
berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al – Mu`jam Al – Mufahras li
Al-faz Al – Hadit An – Nabawi. Kitab ini
mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadits
sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud,
Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad Imam
Ahmad.[9]
Contohnya
pencarian hadits berikut;
اِنَّالنَّبِيَصَلَّىاللّهِعَلَيْهِوَسَلَّمَنَهَىعَنْطَعَامِالْمُتَبَارِيَيْنِأَنْيُؤْكَلَ
Dalam pencarian
hadits di atas, pada dasrnya dapat ditelusuri melalui kata-kata naha (نَهَى)
ta’am(طَعَام), yu’kal (يُؤْكَلْ) al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَينِ). Akan
tetapi dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk
menggunakan kata al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَيْنِ) karena kata tersebut
jarang adanya. Menurut penelitian para ulama hadits, penggunaan kata tabara (تَبَارَى)
di dalam kitab induk hadits (yang berjumlah Sembilan) hanya dua kali.
Penggunaan
metode ini dalam mentakhrij suatu hadits dapat dilakukan dengan mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah pertama,
adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai
alatuntuk mencari hadits. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang
jarang dipakai, karena semakin asing
kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadits. Setelah itu, kata
tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar
tersebutdicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jammenurut urutannya secara
abjad (huruf hijaiyah).
Langkah kedua,
adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang terdapat di dalam hadits
yang akan kita temukan melalui Mu’jam ini. Di bawah kata kunci tersebut akan
ditemukan hadits yang sedang dicari dalam bentuk potongan-potongan hadits
(tidak lengkap). Mengiringi hadits tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang
menjadi sumber hadits itu yang dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas.
Metode ini
memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat pencarian hadits dan
memungkinkan pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam
matan hadits. Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu;
Terkadang suatu hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang
mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.
4.
Takhrij Berdasarkan Tema Hadits
Metode ini
berdasrkan pada tema dari suatu hadits. Oleh karena itu untuk melakukan
takhrijdengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu
hadits yang akan di – takhrijdan kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada
kitab-kitab yang disusun menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadits
memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang demikian seorang men – takhrij
harus mencarinya pada tema – tema yang mungkin dikandung oleh hadits tersebut.
Contoh :
بُنِيَالاِسْلاَمُعَلَىخَمْسٍشَهَادَةِانْلاَاِلهَاِلاَّاللّهُوانَّمُحَمَّدّارَسُوْلُاللَّهِوَاِقَامِالصّلاَةِوَايْتَاءِالزَّكاَةِ وَصَوْمِرَمَضَانَوَحَجّالْبَيْتِمَنِاسْتَطَاعَاِلَيْهِسَبِيْلاّ
“Dibangun
Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat,
berpuasa bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.”
Hadits diatas
mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji.
Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadits diatas harus dicari didalam
kitab-kitab hadits dibawah tema-tema tersebut.
Cara ini banyak
dibantu dengan kitab “Miftah Kunuz As-Sunnah” yang berisi daftar isi hadits
yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan.[10]
Dari keterangan
diatas jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada
pengenalan terhadap tema hadits. Untuk itu seorang mukharrij harus memiliki
beberapa pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan kajian fiqih secara
khusus.
Metode ini
memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut pengetahuan akan kandungan hadits,
tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafadz pertamanya. Akan tetapi metode ini
juga memiliki berbagai kelemahan, terutama apabila kandungan hadits sulit
disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga dia tidak dapat menentukan temanya,
maka metode ini tidak mungkin diterapkan.
D.
Tujuan
danManfaat Takhrij
Tujuan
takhrijhadits bertujuan mengetahui sumber asal hadits yang ditakhrij. Tujuan
lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadits-hadits tersebut.
Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadits-hadits yang pengutipannya
memperhatikan kaidah-kaidah ulumul hadits yang berlaku sehingga hadits tersebut
menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.[11]
Dalam melakukan takhrij tentunya
ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pokok dari Takhrij yang ingin dicapai
seorang peneliti adalah:
1.
Mengetahui eksitensi suatu hadits apakah
benar suatu hadits yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku hadits atau
tidak.
2.
Mengetahui sumber otentik suatu hadits
dari buku hadits apa saja.
3.
Mengetahui ada berapa tempat hadits
tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku hadits atau dalam beberapa buku induk hadits.
4.
Mengetahui kualitas hadits (maqbul/
diterima atau mardud/ tertolak).
Faedah dan
manfaat takhrij cukup banyak di antaranya yang dapat dipetik oleh yang
melakukannya adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui referensi beberapa buku
hadits, dengan takhrij seseorang dapat mengetahui siapa perawi suatu hadits yag
di teliti dan di dalam kitab hadits apa saja hadits tersebut di dapatkan.
2.
Menghimpun sejumlah sanad hadits,dengan
takhrij seseorang dapat menemukan
sebuah hadits yang akan diteliti di sebuah atau beberapa buku induk
hadits, misalnya terkadang di beberapa tempat di dalam kitab Al-bukhari saja,atau di dalam kitab-
kitab lain.Dengan demikian ia akan menghimpun sejumlah sanad.
3.
Mengetahui keadaan sanad yang bersambung
dan yang terputus dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadits
serta kejujuran dalam periwayatan.
4.
Mengetahui status suatu hadits.Terkadang
ditemukan sanad suatu hadits dha’if, tetapi melalui sanad lain hukumnya shahih.
5.
Meningkatkan suatu hadits yang dhoif
menjadi hasan li ghayrihi karena adanya
dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.Atau
meningkatkan hadits hasan menjadi shahih li ghayrihi dengan di temukannya sanad lain yang
seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.
6.
Mengetahui bagaimana para imam hadits
menilai suatu kualitas hadits dan bagaimana kritikan yang disampaikan.
7.
Seseorang yang melakukan takhrij dapat
menghimpun beberapa sanad dan matan suatu hadits.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahwasanya ilmu
takhrijhadits sangat perlu dipelajari, karena untuk mengetahui riwayat suatu
hadits, baik sanad, matan, perowi dan yang berkaitan dengan hadits.
Ada perbedaan di
kalangan ulama hadis dalam mendefenisikan Takhrij hadis, namun dapat
disimpulkan bahwa takhrij hadis adalah menelusuri suatu hadis kesumber asalnya
pada kitab-kitab Jami, sunan, dan musnad kemudian jika diperlukan menyebutkan
kualitas hadis tersebut apakah sohih, Hasan atau doif.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash Shidqi, Teungku
Muhammad Hashbi. 2009. Sejarah & Pengantar ILMU HADITS. Semarang
:Pustaka Rizki Putra.
Al Qaththan, Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits. 2008. Jakarta: Pustaka
Al kautsar.
az-Zahrani,
Muhammad. Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits. 2011. Jakarta: Darul
Haq. cet. Pertama.
Suyadi, M. Agus
Sholahudin dan Agus.Ulumul Hadits. 2011. Bandung: CV. Pustaka
Setia.. Cet. II.
[1]
Teungku Muhammad Hashbi Ash Shidqi.
Sejarah & Pengantar ILMU HADITS. (Semarang :Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 148
[2]
Dadi. Skripsi “Metodologi Takhrij
Hadits Muhammad Nashiruddin Al Albani, (Bogor: Stai Al Hidayah,2004), hal. 102
[3]
Muhammad az-Zahrani, Ensiklopedia
Kitab-kitab Rujukan Hadits, (Jakarta: Darul Haq, 2011, cet. Pertama), hlm. 237
[7]
M. Agus Sholahudin dan Agus Suyadi.Ulumul
Hadits. (Bandung: CV.
Pustaka Setia. 2011, Cet. II), Hlm. 196
[8]
Al Qaththan. op.cit. hlm 192
[9]
M. Agus Sholahudin. op.cit.
hlm. 198
[10]
Al Qaththan. op.cit. hlm 193
[11]
M. Agus Sholahudin. op.cit.hlm.
191
Tidak ada komentar:
Posting Komentar