KLASIFIKASI MAD’U MENURUT KEYAKINAN
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
NAMA :
ALIMAR NAULI PULUNGAN
NIM :
1430200011
Dosen Pengampu:
KAMALUDDIN
JURUSAN IMBINGAN KONSELING
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur mari kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmad
dan karunianya kepada penulis, sehingga penulis beserta bisa menyusun makalah
ini dengan judul ”Klasifikasi Mad’u menurut Keyakinan”.
Sholawat dan salam kita hadiahkan ke arwah
Nabi besar Muhammad SAW, seorang pemimpin sejati, suri tauladan yang baik bagi
semua umat, yang telah membawa kita ke zaman modern yang penuh dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini.
Penulis
berharap makalah ini bisa bermanfaat serta memberikan sumbangan pengetahuan
bagi semua pihak yang tertarik dan ingin mengetahui tentang perpajakan yang ada
di Indonesia. Makalah ini juga diharapkan bisa menjadi penambah literatur
(daftar bacaan) khususnya bagi mahasiswa IAIN Padangsidimpuan.
Namun
demikian, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari semua
pihak demi penyempurnaan makalah ini.
Akhir
kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, bersama ini penulis
mempersembahkan makalah dengan judul ” Klasifikasi Mad’u menurut Keyakinan”
kehadapan para pembaca.
Padangsidimpuan, Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Pengertian
Mad’u............................................................................. 2
B. Klasifikasi
Mad’u Menurut Keyakinannya...................................... 4
BAB III PENUTUP.................................................................................... 10
A. Kesimpulan...................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan
sehari-hari sering dijumpai, bahwa tata cara memberikan lebih penting dari
sesuatu yang diberikan itu sendiri. Semangkok teh pahit dan sepotong ubi goreng
yang disajikan dengn cara sopan, ramah dan tanpa sikap yang dibuat-buat, akan
lebih terasa enak dicicipi.
Dalam konteks
ini tata cara atau metode lebih penting dari materi, yang dalam Bahasa Arab
dikenal dengan Al-Thariqah Ahammu min Al-Maddah. Ungkapan ini sangat relevan
dengan kegiatan dakwah. Betapapun sempurnanya materi, lengkapnya bahan dan
aktualnya isu-isu yang disajikan,tetapi bila disampaikan dengan cara yang
sembrono, tidak sistematis dan sembarangan, akan menimbulkn kesan yang tidak
simpatik dan berujung kesia-siaan. Tetapi sebaliknya, walaupun materi kurang
sempurna, bahan sederhana dan isu-isu yang disampaikan kurang aktual, namun
disajikan dengan cara yang menarik dan menggugah, maka hasilnya akan impresif
dan melahirkan manfaat.
Kehadiran
makalah ini diharapkan dapat membantu memberikan landasan teori bagi
pelaksanaan dakwah. Sehingga para da’i memiliki pemahaman yang utuh dan
komprehensif terhadap aktifitas dakwah, dan mempermudah Da’i dalam mengetahui
tipologi dan klasifikasi masyarakat serta kemampuan berfikir terhadap sasaran
dakwah secara tepat. Sebab seiap sasaran atau object dakwah memiliki suatu
ciri-ciri tersendiri yang memerlukan suatu kebijakan dakwah dalam penyampaian,
baik menyangkut masalah metodologis maupun kerangka konseptualnya. Dengan
demikian, diharapkan umat akan memahami bahwa tuga dakwah baik secra individu,
maupun berorganisasi, sehingga ajaran Islam tetap membumi sebagi pegangan hidup
umat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mad’u
Mad’u adalah
objek dakwah bagi seorang da’i yang bersifat individual, kolektif, atau
masyarakat umum. Masyarakat sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah merupakan
salah satu unsur yang penting dalam sistem dakwah yang tidak kalah peranannya
dibandingkan dengan unsur unsur dakwah yang lain oleh sebab itu masalah
masyarakat ini seharusnya di pelajari dengan sebaik-baiknya sebelum melangkah
ke aktivitas dakwah yang sebenarnya. Maka dari itu sebagai bekal dakwah dari
seorang da’i atau muballig hendaknya memperlengkapi dirinya dengan beberapa
pengetahuan dan pengalaman yang erat hubungannya dengan masalah masyarakat.[1]
Para Da'i tidak
cukup hanya mengetahui objek dakwah secara umum dan secara khusus tersebut,
tetapi yang lebih penting lagi yang harus diketahui adalah hakikat objek dakwah
atau sasaran dakwah itu sendiri. Adapun hakikat objek dakwah adalah seluruh
dimensi problematika hidup objek dakwah, baik problem yang berhubungan dengan
aqidah, ibadah, akhlaq, mu'amalah, pendidikan, sosial, ekonomi, politik,
budaya, dll.
Proses dakwah
sulit berhasil tanpa adanya analisa terhadap sasaran dakwahnya terlebih dahulu.
Sebagaimana diketahui, manusia bukanlah benda mati yang dapat diatur dan
dibentuk tanpa mengadakan respons balik. Tetapi manusia adalah makhluk hidup
dengan segala esensinya, memiliki akal, hati dan perasaan, juga memiliki
kehendak dan cita-cita, selain akal yang dapat menilai mana yang baik dan harus
diikuti dan mana yang tidak baik yang harus dijauhkan. Semua potensi ini
merupakan realitas manusia yang dihadapi oleh da’wah sehingga da’wah harus
mempertimbangkan siapa mad’unya, apa kecenderungan dan permasalahan yang
dialami. Semuanya dikenal dengan analisis sosial.
Keberhasilan
dakwah akan sangat bergantung kepada bagaimana da’i tersebut berdakwah. Tidak
hanya penguasaan materi yang diluar kepala, kemampuan dai dalam mengenal dan
memahami ilmu dakwah pun sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dakwah itu
sendiri. Salah satu anasir ilmu dakwah tersebut ialah membahas tentang strata
Mad’u, tipologi Mad’u dan Sasaran-nya.
Secara mendasar
klasifikasi, mad’u ini tidak ada hubungannya dengan memetak-metak kelompok
ataupun pengkastaan golongan manusia atas manusia lainnya. Lebih dari itu,
pengklasifikasian mad’u memilii maksud tersendiri yakni untuk memperoleh
pengetahuan tentang karakter-karakter yang khas dimiliki oleh suatu
kelompok mad’u tertentu yang tidak
terdapat pada lainnya.
Ada banyak Ulama
yang menjelaskan tentang sasaran atau orang-orang yang perlu di dakwahi namun
penulis mencoba mengambil beberapa pendapat yang di anggap penting dan utama
dalam makala ini :
Menurut
Muhamkmad Abu Fath Al-Bayanun Dakwah itu ditujukan untuk orang kafir agar masuk islam, juga di tujukan
kepada muslim untuk memperbaiki keislaman mereka serta meningkatkan keimanan
mereka. Kalau orang-orang kafir di seru itu terdiri dari berbagai macam jenis
dan modelnya, demikina juga objek dakwah dari kalangan muslimin pun
bermacam-macam.
Al-Quran telah
mengisyaratkan bahwa muslimin itu terbagi menjadi tiga macam. Allah ta’ala
berfirman :
§NèO $uZøOu÷rr& |=»tGÅ3ø9$# tûïÏ%©!$# $uZøxÿsÜô¹$# ô`ÏB $tRÏ$t7Ïã ( óOßg÷YÏJsù ÒOÏ9$sß ¾ÏmÅ¡øÿuZÏj9 Nåk÷]ÏBur ÓÅÁtFø)B öNåk÷]ÏBur 7,Î/$y ÏNºuöyø9$$Î/ ÈbøÎ*Î/ «!$# 4 Ï9ºs uqèd ã@ôÒxÿø9$# çÎ7x6ø9$# ÇÌËÈ
Artinya
: 32. Kemudian kitab itu Kami wariskan
kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara
mereka ada yang Menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang
pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat
kebaikan[1260] dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang Amat
besar.[2]
Pengetahuan
ini, secara lebih jauh sangat berguna untuk menentukan kebijakan dakwah tentang
bagaimana cara mensikapi dan berinteraksi dengan masing-masing kelompok manusia
tersebut. Sekaligus sebagai pengalaman atas nabi: “Khatib al-nas ala qadri
uqulihim/ berkomunikasi dengan manusia setara dengan taraf penalaran mereka”.
Dalam hubungannya dengan seruan dakwah, ojek dakwah di sini digolongkan menurut empat
kategori. Pertama, sikap mad’u
terhadap seruan dakwah, kedua,
antusiasanya kepada dakwah, ketiga
kemampuan dalam memahami dan menangkap pesan dakwah, dan keempat, kelompok mad’u berdasarkan keyakinan.
B.
Klasifikasi
Mad’u Menurut Keyakinannya
Pemeran utama
dalam proses komunikasi adalah manusia. Dalam hal ini kita memandang komunikasi
justru pada perilaku manusia komunikan. Dimulai dari menganalisa berapa banyak
“noise” terjadi dijalan sebelum pesan sampai pada komunikate, dan berapa banyak
pesan yang hilang. Kemudian membicarakan bagaimana manusia memproses pesan yang
diterimanya, bagaimana cara berfikir dan cara melihat manusia dipengaruhi oleh
lambang-lambang yang dimiliki.
Dalam dakwah
juga harus memperhatikan faktor-faktor personal dan situasional yang
mempengaruhi perilaku manusia atau komunikan atau mad’u. dakwah sendiri
menggunakan teori komunikasi persuasi. Teori-teori persuasi sudah lama
menggunakan konsepsi psikoanalisis yang melukiskan manusia sebagai makhluk yang
digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens). Teori “Jarum
Hipodermik” (yang menyatakan media massa sangat berpengaruh) dilandasi konsepsi
behaviorisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang digerakkan semaunya
oleh lingkungan (Homo Mechanicus). Teori pengolahan informasi jelas dibentuk
oleh konsepsi psikologi kognitif yang melihat manusia sebagai makhluk yang
aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (Homo Sapiens). Teori-teori
komunikasi interpersonal banyak dipengaruhi konsepsi psikologi humanistik yang
menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi
transaksional dengan lingkungannya (Homo Ludens).[3]
Oleh karenanya,
objek dakwah sebaiknya diklasifikasikan agar memudahkan pelaksanaan dakwah,
seperti kelompok awam dan intelektual, kelompok masyarakat kota dan desa,
kelompok industri dan pegawai negri, serta kelompok remaja pria dan wanita.
Dengan pegelompokan itu diharapkan pelaksanaan dakwah akan lebih intesif dan
terkendali. Apabila objek dakwah sudah jelas dari segala aspek, maka pelaku
dakwah (da’i) lebih mudah untuk mengenal dan dapat mensinkronkan dengan
kegiatan dakwah yang akan diproyeksikan. Kegiatan dakwah yang punya kolerasi
dengan permasalahan kehidupan yang dihadapi masyarakat akan menjadikan dakwah
lebih berkesan dan menarik untuk diikuti.
Dakwah tidak
dapat meniscayakan agama yang beraneka ragam. Karena ada keanekaragaman agama
ini, maka ada misi dakwah. Agama yang membawa kebahagiaan memungkinkan menjadi
sarang konflik, tatkala tafsiran eksklusif muncul dari masing-masing agama.
Mengemukakan perang atas nama agama. Kemerdekaan agama dalam lingkup dakwah
jika dilihat dengan jitu, merupakan ajang agama untuk berlomba-lomba dalam
kebaikan (dimensi positif untuk menarik pengikut).
Setiap agama dituntut
untuk bersikap dewasa dalam menghadapi segala problem yang berkaitan dengan
interaksi antar agama. Pluralisme positif memiliki kaidah bahwa selain agama
sendiri masih ada agama lain yang harus dihormati, sikap inilah yang harus
dipupuk dan dikembangkan. Kebenaran agama pun tidak ditafsirkan secara Rigid
(Kaku).[4]
Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan dalam setiap agama samawi,
walaupun masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkusnya yang
berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalahpahaman
dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke permukaan.
Rasulullah SAW
juga mengembangkan dan memberlakukan pluralisme positif. Ketika beliau berada
di Madinah, dengan masyarakatnya yang beraneka ragam agama dan suku, ia
mencanangkan Piagam Madinah (Mitsaqul Madinah). Dengan perjanjian yang
merupakan manifesto politik penting ini, maka Rasul telah berhasil menyatukan
penduduk Madinah yang berbeda agama dan turunan darah untuk menghadapi musuh.
Sebuah paradigma
bisa dianggap menawarkan semangat pembebasan jika ia mampu meratakan jalan dan
membuka kemungkinan bagi transformasi sosial dalam lingkungan kehidupan di
sekitar kita. Paling tidak perubahan pada tingkat kesadaran kita, mesti lebih
dahulu diwujudkan.
Agama,
pendeknya, boleh menawarkan jalan kebenaran, tapi tidak boleh merasa paling
benar. Agama boleh menawarkan kemenangan tapi tidak boleh cenderung ingin
menang sendiri. Allah yang memiliki agama itu, boleh bersikap mutlak, tapi
bukanlah kita sendiri makhluk dhaif dan tidak mutlak. Nilai toleransi beragama,
ditegaskan dalam satu kaidah atau prinsip tidak ada paksaan dalam agama
“tiadalah ada paksaan dalam beragama, nyatalah sudah suatu petunjuk dan
kebathilan”.[5]
Maka setelah
menegaskan kemerdekaan memeluk agama, Islam berkata bahwa adalah kewajiban
tiap-tiap orang beriman supaya mempertahankan kemerdekaan menyembah
Tuhan. Toleransi yang diajarkan dalam Islam adalah toleransi yang mewajibkan
tiap-tiap pemeluk agama untuk berjuang dan menjunjung kemerdekaan beragama,
bukan bagi agama Islam saja akan tetapi juga bagi agama-agama ahli kitab. Yakni
melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan dalam Gereja, Biara, Sinagong dan Masjid
dimana disebut nama Allah SWT.
Dakwah diakui
sebagai ajakan universal, artinya ajakan dakwah tidak dibatasi hanya kepada
kelompok tertentu dan tidak yang lainnya. Terkait dengan aneka ragam keyakinan
manusia di muka bumi, dakwah juga memiliki kepentingan untuk menarik orang
kejalan kepentingan untuk mrnarik orang kejalan Tuhan. Untuk itu, tentu saja
dakwah dituntut untuk menyiapkan sterategi yang berbeda ketika dihadapkan
dengan para kelompok mad’u yang beragama Islam dan mad’u yang tidak beragama
Islam. Tiga kategori mad’u yang penulis telah paparkan, sebetulnya dimaksud
untuk memilih-milih tipe mad’u yang masuk dalam kelompok mad’u muslim. Dalam
ruang diskusi ini, secara singkat penulis akan memaparkan mengenai kelompok
mad’u yang kedua, yaitu kelompok nonmuslim.
Dalam al-qur’an,
nonmuslim dalam artian mereka yang tidak mengimani Muhammad sebagai Rasul, juga
digolongkan dalam banyak kelompok, misalnya ahl al-kitab, musyirikin dan
kafirun. Menurut Abdul Moqsith Gazali dalam kajiannya tentang al-qur’an,
kelompok musyirikun, sejauh pengguna istilah al-qur’an, disebut untuk mewakili
kaum pagan Quraish yang tidak mengimani Muhammad sebagai Rasul dan tidak memiliki
pegangan kitab suci pun.[6]
Adapun kelompok kafirun, disebut untuk menunjuk kepada mereka yang gemar
menutup-nutupi kebenaran dan memutarbalikkan fakta, baik dari golongan
musyirikun maupun ahl-Kitab.[7]
Khusus terkait dengan golonga tersebut terakhir, dalam tinjuan ulama ditemukan
polemik yang tidak mudah untuk dikompromikan. Dalam bahasan ini, penulis
menilai pendapat yang menyatakan bahwa ahl-kitab sebagai semua kelompok
agama-agama di dunia yang memiliki pedoman kitab suci dan tidak terbatas pada
penganut Nasrani dan Yahudi adalah yang dapat dipertanggung jawabkan.[8]
Sejauh pandangan
al-qur’an tentang kelompok ahl-kitab, begitu Moqsith menjelaskan, adalah lebih
positif ketimbang pandangan al-qur’an tentang musyirikun. Demikian, karena itu
dinilai sebagai kelompok yang beriman kepada para rasul dan memiliki pandangan
hidup Islam, (dalam artian pasrah kepada Tuhan semesta alam) seperti
terejawantahkan dalam ajaran kitab suci mereka, walaupun mereka tidak memiliki
keyakinan Islam par excelence.
Penilaian
tersebut, secara objektif, juga disertai oleh kritik dan keamaan al-qur’an
terhadap sikap-sikap tertentu yang dinlai telah menyimpang dari pandangan hidup
yang benar. Begitupun al-quran melalui ayat-ayatnya masih menaruh simpati
terhadap kelompok ahl al-Kitab dikarenakan banyaknya sisi kesamaan mereka denga
orang-orang beriman pengikut nabi Muhammad. Melalui pandangan yang positif dan
optimis itu, al-qur’an sejatinya menarh kepercayaan besar pada kelompok ahl
al-kitab dan menghidupkan gelobal yang lebih bermakna dan bernilai. Adapun
pandangan-pandangan negatifyang keras terhadap ahl kitab yang selama ini
terdengar, sebetulnya lahir belakangan bersama dengan sejarah dinamika
perkembangan agama-agama yang menurut orientalis Bernard Lewis, lebih
disebabkan oleh faktor kesamaan antara agama-agama itu ketimbang perbedaannya.
Terkait dengan
dakwah, pemaparan mengenai ahl al-kitab kiranya sebagai representatif dari
kelompok mad’u nonmuslim, diharapkan mampu memberikan pandangan bijak dalam
menyampaikan pesan dakwah. Sebagai objek dakwah, di satu sisi kelompok mad’u
boleh dibilang secara instiristik telah memiliki sikap “Islam” (berkebutuhan yang Maha Esa) seperti Tersurat
dalam ajaran kitab suci mereka, di sisi
yang lain mereka seperti pemaparan agama al-qur’an tidak lepas dasri
penyimpangan-penyimpangan pandangan hidup yang benar. Gambaran inilah yang akan
menjadi dasar pijakan dalam pilihan metode dakwah terhadap ahl al-kitab.
Terakhir, mata
juga tidak menutup mata terhadap kemungkinan sekelompokk manusia yang gemar
mengingkari kebenaran atau malah berubah melawan kebenaran itu, sukar diajak
berdamai atau bekerja sama dan melulu mengingkari kesepakatan. Mereka senang
tiasa mengingkari kebenaran orang untuk berdakwah dan berusaha
menghalang-halangi orang untuk menerima kebenaran.
Kelompok
mad’u ini yang disebut kelompok kafir
(Harbi) yang dapat eksis dalam setiap kelompok/pengnut agama. Terhadap mereka
itu, da’I tidak dianjurkan untuk menunjukkan sikap persahabatan dalam
menyampaikan kebenaran. Lebih dari itu, adalah sikap tegas (al-ghilz) dan tegas
(tasydid), bukan lagi tablig dan pertemanan (al-rifq).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masyarakat
sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah merupakan salah satu unsur yang penting
dalam sistem dakwah yang tidak kalah peranannya dibandingkan dengan unsur unsur
dakwah yang lain, oleh sebab itu masalah masyarakat ini seharusnya di pelajari
dengan sebaik-baiknya sebelum melangkah ke aktivitas dakwah yang sebenarnya
agar dakwah yang kita sampaikan labi terarah dan mengenah ketujuan dakwah.
Dakwah dapat
diartikan cara atau strategi penyampaian nilai nilai Islam baik secara lisan
maupun perbuatan yang dilakukan secara individual maupun kelompok agar timbul
kesadaran untuk menjelaskan nilai-nilai Islam tanpa adanya unsur paksaan demi
kemaslahatan dunia dan akhirat. Dengan demikian, hakekat dakwah ialah mengajak
manusia ke jalan Allah (din al-Islam) untuk memperoleh keselamatan
dunia-akhirat.
Pluralisme dalam
konteks keberagaman adalah mengakui adanya keanekaragaman agama di
tengah-tengah kita, sebab pluralisme merupakan fakta atau realitas yang tidak
dapat dipungkiri. Pluralisme adalah bukan hanya mengakui keanekaragaman agama
semata, tetapi lebih jauh lagi adalah pengakuan secara akomodatif adanya
hukum kemajemukan sebagai suatu aturan Tuhan, dan terciptanya interaksi sosial
antara masyarakat agama secara positif, harmonis, dan berkesinambungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Moqsith Ghazali, 2009. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Jakarta:Kata
Kita.
Bachtiar Wardi, 1997. Metode Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos.
Muhammad Abu Fath Al-Bayanun, 2008. Nasihat untuk para Da’I,
cet 1, Surakarta: indiva pustaka.
Syarif Hidayatullah, 992. Ensiklopedi Islam Jakarta:
Djambatan
Saputra Wahidin, 2011. Pengantar Ilmu
Dakwah,jilid 1. .Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Saputra Wahidin, 2010. Retorika Monologika: Kiat Dan Tips Praktis Menjadi Muballig,
Bogor: Titian Nusa Press.
Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, (Damaskus:
Dar al-Fikr al-Muashir, 1997), Juz 22
[1]
Wahidin Saputra, Retorika Monologika: Kiat Dan Tips Praktis Menjadi Muballig,(Bogor:
Titian Nusa Press, 2010), hlm.5-6
[2]
Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir Fi
al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir,
1997) Juz 22, hal 266
[3]
Drs.Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., “Psikologi Komunikasi” (PT REMAJA ROSDAKARYA. Bamdung.2008), Hal,
17-18.
[4]
Ibrahim Ibn ‘Umar Abu Bakar al-Baqa’iy, Nazm
al-Durar li Tanasub al-Ayat wa al-Suar, (Mauqi’ al-Tafsir), Juz 7, hal 479
[5]
Abu al-Wahid Ibn Muhammad Ibn Rusyd al Qurtuby, Fasl al-Maqal Fi Ma Bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittisal,
(Kairo: dar al-Ma’arif), Cet ketiga, hal 31
[6]
Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme
Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta:Kata Kita, 2009),
hal 318
[7]
Ibid, hal 302
[8]
Ibid, hal 275-277
Tidak ada komentar:
Posting Komentar