PENERAPAN PRINSIP NASIONALITAS
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 10 (SEPULUH)
1.
SILFIA AINUN RITONGA 1410200071
2.
SIT HARTINI 1410200072
3.
WARTAWAN PASARIBU 1410200077
DOSEN PEMBIMBING ;
DERMINA DALIMUNTHE
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2016
Seperti kita
ketahui bahwa Indonesia dikenal sebagai Negara agraris. Dimana mayoritas
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Dalam hal pertanian masalah
yang identik yaitu mengenai pertanahan.
Terdapat
beberapa asas mengenai hukum agraria yang mana salah satunya yaitu asas
nasionalisme. Asas nasionalisme merupakan suatu asas yang menyatakan bahwa
hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang
boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan
antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun
keturunan.
Asas
nasionalisme yang seharusnya dijadikan sebagai suatu patokan atas hak warga Negara Indonesia
tentang kepemilikan tanah bumi dan ruang angkasa di Indonesia namun pada
kenyataannya banyak terdapat orang asing yang memilikinya. Sehingga hak warga
Negara Indonesia tidak terpenuhi dan terkalahkan oleh orang asing.
B.
Prinsip Nasionalitas
Pasal 1 UUPA
(1) Seluruh
wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai Bangsa Indonesia.
(2) Seluruh
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah
bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan
antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat
(2) pasal ini adalah hubungan yang
bersifat abadi.
Jadi, bumi, air
dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia menjadi hak dari Bangsa
Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya
saja.Demikian pula, tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata
menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dalam
pasal 3 ayat 3 ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia itu
masih ada pula, maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu
kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
Prinsip
Nasionalitas yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara
Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai
hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki
dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.[1]
Prinsip ini
lahir dari asas kebangsaan yang diakui oleh UUPA. Sesuai dengan azas kebangsaan
tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 yo pasal 21 ayat 1 hanya
warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, Hak milik
tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang
asing dilarang (pasal 26 ayat 2).
Orang-orang
asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian
juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21
ayat 2). Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum
mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu
mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan
yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna-usaha, hak
guna-bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41). Dengan demikian maka
dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan
mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).[2]
C.
Peran
Asas Nasionalisme Dalam Hukum Agraria
Asas
nasionalisme merupakan suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara
Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai
hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki
dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.
Asas
nasionalisme ini terdapat dalam Undang-undang Pokok Agraria No 5/1960 pasal 1 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3). Pasal 1 ayat (1) yaitu “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”.[3]
Pasal 1 ayat (2)
yaitu “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional”. Ini berarti bumi, air, dang angkasa dalam wilayah Republik
Indonesia menjadi hak bagi bangsa Indonesia, jadi tidak senata-mata menjadi hak
daripada pemiliknya saja. Demikian pula , tanah-tanah didaerah dan pulau-pulau
tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja.[4]
Pasal 1 ayat (3)
yaitu “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa
termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi”. Ini
berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia
masih ada dan selama bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula,
dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat
memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Oleh sebab itu, seluruh bumi,
air, ruang angkasa seta kekayaan alam yang terkandung didalamnya menjadi hak
seluruh bangsa Indonesia dalam hubungan yang abadi.
Dalam asas
nasoionalis berarti bahwa hanya warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai
hubungan sepenuhnya dengan bumi air dan ruang angkasa (hak milik atas tanah).
Asas nasionalitas dalam UUPA terutama sebagai hak milik turun-temurun yang
terkuat dan terpenuhi. (jurnal Dinamika Hukum, Januari 2012, Vol. 12 No.1)
Sifat terkuat
dan terpenuh dari hak milik ini merupakan suatu sifat kebendaan yang berarti
bahwa milik itu dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain, dapat dibebani
hak tanggungan dan dapat dijadikan jaminan hutang dan karena mempunyai
sifat-sifat itu pula, maka hal ini memberikan arti kepada si pemegang hak
milik, yaitu pemegang hak milik atau pemilik tanah hak unt berbuat bebas atas
tanahmmiliknya itu. Hal ini berarti bahwa bahwa pemilik tanah mempunyai hak
untuk mengasingkan atau memindahtangankan tanahnya itu dengan jalan menukarkan,
mewariskan , menghibahkan atau menjualnya kepada orang lain atau suatu badan
hukum.
Asas
nasionalitas yang dianut UUPA sepenuhnya tertuang dalam pengaturan tentang hak
milik. Warga Negara Indonesia yang dapat maempunyai hak milik atas tanah,
sedangkan warga Negara asing hanya dapat memiliki hak pakai atas tanah saja.
Makna pasal 1 dan 2 UUPA dengan demikian terpenuhi.[5]
Dengan adanya
asas nasionalitas, terdapat jaminan mengenai hak warga Negara Indonesia atas
kepemilikan tanah maupun yang berhubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa
dan kekayaan alam lain yang terkandung
di dalamnya. Dengan demikian warga Negara asing atau badan usaha asing tidak
mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Hal ini dapat di buktikan tentang
masalah hak dan kewajiban Warga Negara Asing di Indonesia tentang kepemilikan
tanah yaitu dengan adanya Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing
(WNA) dan Badan Hukum Asing (BHA) yang
mempunyai perwakilan di Indonesia ,secara garis besar telah diatur dalam Pasal
41 & Pasal 42 Undang - Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut
dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha
(HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah.
Berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing (WNA) yang
berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing (BHA) yang memiliki perwakilan
di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP). Dengan demikian tidak dibenarkan
Warga Negara Asing (WNA) atau Badan Hukum Asing (BHA) memiliki tanah dan
bangunan dengan status Hak Milik (HM). Hubungan hukum antara Warga Negara
Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA), serta perbuatan hukum mengenai
tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 9 UUPA menyatakan hanya warga
negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi,
air dan ruang udara Indonesia.
Dalam
penjelasannya dikatakan hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat 2
UUPA), dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi “Batal Demi Hukum.”
Namun demikian UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan warga negara asing dan
badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga negara
asing dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya
boleh dengan status hak pakai. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin
jelas kepentingan warga negara Indonesia diatas segala-galanya baik dari segi
ekonomi, sosial, politis dan malahan dari sudut Hankamnas.
D.
Penerapan
Asas Nasionalitas Di Indonesia
Pemberlakuan
UUPA yang memuat prinsip/ asas nasionalitas dimaksudkan untuk melindungi rakyat
Indonesia dari ketidakadilan dan perbuatan sewenang-wenang dari orang asing
terhadap tanah republik Indonesia. UUPA mengatur bahwa seluruh wilayah
Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat indonesia, yang bersatu
sebagai bangsa Indonesia.
Karena dalam
praktik, tidak sedikit warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya
berstatus Hak Milik di wilayah Propinsi Aceh, khususnya Sabang, dan daerah
lainnya dengan cara melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing
melakukan kesepakatan atau perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga
negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan.[6]
Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan melalui
’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan
hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif tanah hak milik
dimaksud terdaftar atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi fakta di lapangan
Warga Negara Asing-lah yang menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak
milik tersebut.
Tindakan
demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam hal ini UUPA,
dan karena itu merupakan tindakan yang disebut penyelundupan hukum. Dalam Pasal
26 (ayat 2) UUPA, yang menyatakan setiap jual beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada
seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, adalah batal karena hukum
dan tanahnya jatuh kepada negara.[7]
Akan tetapi,
pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 41 tahun 1996 yang mengatur tentang
pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh WNA. Peraturan Pemerintah ini berisi
antara lain:[8]
WNA yang
berkedudukan di Indonesia diperkenankan untuk memiliki 1 rumah tinggal (Satuan
Rumah Susun) yang dibangun di atas tanah Hak Pakai. Rumah yang berdiri di atas
tanah Hak Pakai tersebut dapat berasal dari Hak Pakai atas Tanah Negara atau
Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Milik yang diberikan oleh Pemegang Hak
Milik. Pemberian Hak Pakai oleh pemegang Hak Milik ini diberikan dengan akta
PPAT & perjanjiannya harus dicatat dalam Buku Tanah dan Sertifikat Hak
Milik atas tanah. Penguasaan tanah oleh orang asing dan badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA. Lebih lanjut
diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah dan PP nomor 41 tahun 1996
tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang
Berkedudukan di Indonesia.
Dalam PP Nomor
41 tahun 1996 terdapat syarat, orang asing yang dapat mempunyai rumah tinggal di Indonesia adalah orang asing yang
kehadirannya memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. Orang asing tersebut
dibatasi boleh memiliki satu rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri
sendiri, atau satuan rumah susun, yang dibangun diatas tanah hak pakai. Hak
pakai tersebut diberikan paling lama untuk jangka waktu 25 tahun. Berbeda
dengan jenis hak berjangka waktu lainnya seperti hak guna bangunan, hak guna
usaha dan hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat diperpanjang untuk
waktu tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama berakhir. Hak Pakai rumah
tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat diperbarui
untuk jangka waktu 20 tahun dengan ketentuan orang asing tersebut masih
berkedudukan di Indonesia.
Jangka waktu
’hanya’ 25 (dua puluh lima) tahun tersebut dinilai banyak kalangan sudah tidak
kondusif dengan perkembangan dunia global sekarang ini, tidak menarik minat
orang asing untuk membeli rumah di Indonesia. Sebagai perbandingan, Singapura
membolehkan warga negara asing untuk memiliki bangunan komersial, hotel dan
hunian dengan jangka waktu hak tanah 99 tahun, dan untuk industri diberikan 60
tahun. Di Thailand, hak sewa menyewa dengan warga negara asing berlaku selama
30 tahun dengan perpanjangan 30 tahun. Sedangkan di Kamboja antara 70 sampai
dengan 99 tahun.
Ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini membatasi pengertian rumah tempat tinggal yang dapat
dimiliki orang asing. Rumah tinggal yang dapat dimiliki WNA adalah yang berdiri
diatas ’hak pakai atas tanah negara’ atau ’hak pakai diatas hak milik’. Khusus
yang diatas hak milik didasarkan pada perjanjian dengan pemegang hak milik yang
dibuat dengan akta PPAT (jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN nomor
7 tahun 1996 dan nomor 8 tahun 1996). Dalam PP ini tidak disebut mengenai rumah
yang berdiri di atas hak pakai yang berasal dari hak pengelolaan.
E.
Kesimpulan
Kedudukan asas
nasionalitas dalam UUPA sangat penting karena menyangkut hak warga Negara
Indonesia untuk memiliki bumi, air dan ruang angkasa yang berada di wilayah
Negara kesatuan republik Indonesia. Negara hanya mempunyai kewenangan untuk
menguasai saja untuk kepetingan dan kesejahteraan rakyat indonesia, sedangkan
yang memiliki kekayaan tersebut adalah rakyat Indonesia.
Asas
nasionalitas menekankan bahwa hanya warga Negara Indonesia mempunyai hubungan
yang sepenuhnya dengan bumi, air dan rung angkasa, sehingga orang asing
sebagaimana hak yang pernah mereka miliki yaitu boleh mempunyai hak-hak di
Indonesia asal mau tunduk kepada BW dan peratura-peraturan keperdataan telah
diitnggalkan. sehinga dibedakan antara warga Negara Indonesia dengan pihak
asing terkait dengan hak atas tanah republic Indonesia.
Namun
kenyataannya di Indonesia masih terdapat
warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya berstatus Hak Milik
di wilayah Propinsi Aceh, khususnya Sabang, dan daerah lainnya dengan cara
melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing melakukan kesepakatan
atau perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang
hak milik atas tanah yang diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara
Indonesia memberikan kewenangan melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing
untuk menguasai dan melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut.
F.
Daftar
Pustaka
Harsono,
Boedi, 2007. Menuju Penyempurnaan Hukum
Tanah Nasional, Universitas
Trisakti, Jakarta.
Sjahdeini,
Remy, 1999. Hak Tanggungan, Bandung: PT. Alumni.
Materi
Acuan Pengelolaan Wilayah Laut Dan Pesisir Terpadu, Kementerian Perencaaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Depatemen Kelautan Dan Perikanan, Depatemen
Hukum Dan Hak Azasi Manusia bekerja sama
dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, Jakarta, 2005.
Harsono,
Budi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan
Santoso,
Urip. 2006. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana
Supriadi.
2008. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika
[1]
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta:
Universitas Trisakti, 2007) ,hal. 46-47
[2]
Materi Acuan Pengelolaan Wilayah Laut Dan Pesisir Terpadu, Kementerian
Perencaaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Depatemen Kelautan Dan Perikanan, Depatemen Hukum Dan Hak Azasi Manusia bekerja
sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, (Jakarta, 2005),
h. 5 -8
[3]
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2008), h.
228
[4]
Materi Acuan Pengelolaan Wilayah Laut Dan Pesisir Terpadu, Kementerian
Perencaaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Depatemen Kelautan Dan Perikanan, Depatemen Hukum Dan Hak Azasi Manusia bekerja
sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, (Jakarta,
2005), h. 5 -8
[5]
Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, (Bandung: PT. Alumni, 1999), hal. 51
[6]
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Universitas
Trisakti, 2007) ,hal. 46
[7]
Ibid., hal. 47
[8]
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana,
2005), h. 57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar