TARJAMAH, MUHKAM DAN MUTASYABIH AL-QUR’AN
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 12 (DUA BELAS)
1.
DIAN MELIANI
TANJUNG 1540100267
2.
MUHAMMAD RAWI
TANJUNG 1540100268
3.
NENI PARWANI 1540100269
DOSEN PENGAMPU
Dr. ALI SATI, M.Ag
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena
atas berkat dan rahmatNya lah saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat
pada waktunya.
Makalah ini kami susun karena merupakan salah satu tugas yang diberikan
pada mata kuliah Pendidikan Pancasila. Makalah ini akan membahas Tarjamah
Al-Qur’an, Muhkam dan Mutasyabih Al-Qur’an.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam proses perkuliahan
kuhususnya bagi mahasiswa mahasiswi IAIN Padangsidimpuan ini. Kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya apabila terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam
makalah yang sederhana ini.Karena pada dasarnya saya hanya manusia biasa yang
masih dalam tahap belajar dan masih harus banyak melakukan perbaikan.
Kami mengucapkan banyak terima kasih pada semua pihak yang membantu saya
dalam menyusun makalah ini dan bagi semua pembaca makalah ini.
Padangsidimpuan,
November 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR
ISI................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A.
Latar
Belakang...................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN................................................................................ 2
A.
Tarjamah
Al-Qur’an.......................................................................... 2
B.
Muhkam
dan Mutasyabih................................................................. 6
BAB
III PENUTUP..................................................................................... 12
A.
Kesimpulan......................................................................................... 12
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah
sumber hukum Islam yang pertama.sehingga kita hendaknya harus dapat memahami
tentang kandungan di dalamnya. Al-Qur’an dengan huruf-hurufnya, bab-babnya,
surat-suratnya dan ayat-ayatnya yang sama di seluruh dunia, baik di Jepang,
Brasilia, Iraq dan lain-lain. Andaikata ia bukan dari allah Swt, tentu terdapat
perbedaan yang banyak.
Al-Qur’an adalah
laksana sinar yang memberikan penerangan terhadap kehidupan manusia, bagaikan
pelita yang memberikan cahaya kearah hidayah ma’rifah. Al-Qur’an juga adalah
kitab hidayah dan ijaz (melemahkan yang lain). Ayat-ayatnya tentu ditetapkan
kemudian diperinci dari Allah SWT yang maha bijaksana dan maha mengetahui.
Oleh karena itu
kita sebagai umat Islam harus benar-benar mengetahui kandungan-kandungan yang
ada didalamnya dari berbagai aspek. ‘Ulum Al-Qur’an adalah salah satu jalan
yang bisa membawa kita dalam memahami kandungan Al-Qur’an.
Selain memahami
Al-Qur’an kita juga perlu mengetahui bagaimana perkembangan ‘Ulum Al-Qur’an dan
siapa saja tokoh-tokoh yang menjadi pendongkrak munculnya ‘Ulum Al-Qur’an.
Secara tidak langsung pemikiran merekalah yang mengilhami kita dalam memaham
Al-qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tarjamah
Al-Qur’an
a. Awal
Mula Penerjemahan Al-Qur’an
Terjemah
berasal dari bahasa Arab, tarjamah atau turjumah, yang berarti (a) menyampaikan
perkataan kepada orang yang belum mengetahuinya, (b) menjelaskan perkataan
dengan bahasa aslinya, (c) menjelaskan perkataan dengan bahasa lain, (d)
mengalihkan bahasa satu kepada bahasa lain. Tetapi secara kebiasaan terjemah
biasa dipahami dengan makna yang keempat yakni mengalihkan bahasa satu ke
bahasa lain. Dengan demikian, terjemah secara terminologi dapat didefinisikan
dengan, mengungkapkan makna sebuah perkataan dari bahasa asal ke bahasa lain
dengan tetap memerhatikan semua makna dan maksud yang terkandung dalam bahasa
asalnya.[1]
Syarat
penerjemahan yang benar ialah mendekati makna asalnya dengan sempurna. Terjemah
ialah menjelaskan apa yang diinginkan oleh kalimat dalam bahasa asalnya, bahkan
detail-detail teks aslinya, untuk dialihbahasakan ke dalam teks penerjemah.
Dibandingkan
dengan menerjemahkan teks-teks lainnya, menerjemahkan teks al-Qur’an sangat
sulit karena nilai mukjizatnya. Karenanya, banyak sekali terjadi kesalahan
dalam terjemahan-terjemahan al-Qur’an.
Pada
dasarnya terjemah (tarjamah) memiliki dua bentuk yang berbeda, terjemah
harfiyah dan terjemah tafsiriyah (ma’nawiyah). Terjemah harfiyah adalah
mengubah pembicaraan atau perkataan atau kalimat dari satu bahasa ke bahasa
yang lain secara leterlek, dengan tetap
memerhatikan struktur bahasa asal. Sedangkan terjemah tafsiriyah adalah
menerjemahkan pembicaraan atau perkataan atau kalimat dari satu bahasa ke
bahasa lain tidaqk secara leterlek, tanpa terikat dengan struktur bahasa asal.[2]
Terjemah
bisa dibedakan menjadi dua model; model terjemah harfiyah dan terjemah
tafsiriyah. Terjemah harfiyah dibagi dua macam yaitu terjemah harfiyah yang
sangat leterlek, ketat dan apa adanya, dan model terjemah harfiyah yang
meskipun leterlek, tetapi sangat tergantung kemampuan bahasa sang penerjemah.[3]
Untuk
mendapatkan penjelasan secara komprehensif berikut akan diterangkan satu per
satu, yaitu :[4]
1.
Terjemah harfiyah yang leterlek dan
ketat, di mana bahasa penerjemahan sama persis susunannya dan strukturnya
dengan bahasa asal, letak kata per katanya pun sama, juga uslubnya juga sama,
keindahan balaghanya juga sama. Terjemah harfiyah jenis ini jelas tidak mungkin
dilakukan untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an diturunkan Allah Swt.
Untuk dua tujuan:
a) Al-Qur’an
sebagai tanda dan bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw. dan apa yang
disampaikannya adalah dari Allah Swt. Ini adalah keberadaan dan fungsi
Al-Qur’an sebagai mu’jizat yang dapat melemahkan para penentangnya. Dan ini
artinya tidak bisa dihadirkan oleh manusia, meski manusia bekerja sama dengan
jin sekali pun.
b) Al-Qur’an
diturunkan Allah Swt. sebagai hidayah bagi kebaikan hidup manusia, baik di
dunia maupun di akhirat.
Terkait
dengan tujuan yang pertama di atas, di mana Al-Qur’an sebagai mu’jizat dan
pembenar ajaran yang di bawah Nabi Saw., maka jelas bahwa Al-Qur’an tidak bisa
dihadirkan terjemahnya yang sama persis. Karena kemu’jizatan Al-Qur’an tidak
terlepas dari konteks keindahan balaghah dan uslub Al-Qur’an yang berbahasa
Arab, yang tentu ini berarti menyangkut spesifikasi bahasa Arab sebagai bahasa
yang digunakan Al-Qur’an. Spesifikasi ini tentu tidak akan sama dengan
spesifikasi bahasa lainnya. Meski mungkin bahasa lain itu memiliki keindahan
balaghahnya sendiri, tetapi tidak akan sama dengan keindahan dan keelokan
bahasa yang digunakan Al-Qur’an.
Jika
Al-Qur’an diterjemahkan secara harfiyah, secara leterlek sekali, maka akan
hilang keistimewaan balaghah Al-Qur’annya, dan akan menurunkan derajat bahasa
Al-Qur’an yang penuh mu’jizat menjadi sekadar bahasa yang dalam jangkauan akal
manusia. Dengan demikian, tujuan diturunkannya Al-Qur’an sebagai mu’jizat
menjadi terhalang.[5]
Sedangkan
tujuan kedua, turunnya Al-Qur’an menjadi hidayah bagi hidup manusia. Agar
hidayah bisa sampai kepada manusia maka Al-Qur’an harus dimengerti maksud dan
kandungannya. Karena itu perlu dilakukan pengambilan dan penetapan hukum
(istinbath al-ahkam), mencari petunjuk (irsyadat) dari Al-Qur’an. Dalam
melakukan proses penetapan hukum dan mengambil petunjuk-petunjuk dari Al-Qur’an
ini, biasanya para mutajahid tidak hanya berpegangan pada makna harfiyah,
tetapi juga acapkali menggunakan makna-makna kedua, seperti makna dilalah
an-nash, isyarah an-nash dan seterusnya. Sedangkan penerjemahan harfiyah secara leterlek akan
menghilangkan makna kedua yang sangat penting digunakan untuk memahami
kandungan Al-Qur’an itu. Dengan demikian, terjemah harfiyah yang leterlek dan
ketat akan menyebabkan fungsi Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dapat menjadi
terhalang.
2.
Terjemah harfiyah yang meski leterlek,
tetapi lebih tergantung pada kemampuan bahasa sang penerjemah. Penerjemahan
jenis ini, meski dibenarkan untuk diguanakan pada umumnya, tetapi tidak
dibenarkan untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Karena akan membahayakn dan dapat
merusak struktur bahasa Al-Qur’an dan bisa merendahkan kewibawaannya.
3.
Sementara model terjemah yang ketiga
adalah terjemah tafsiriyah (ma’nawiyah), yakni menerjemahkan dari satu bahasa
ke bahasa lain, dengan memahami makna bahasa asal, lalu mengungkapkannya
kembali dalam bahasa terjemahan, sesuai dengan susunan, struktur dan uslub
bahasa yang digunakan untuk menerjemahkan.
Terjemah
tafsiriyah (ma’nawiyah) bisa dilakukan terhadap Al-Qur’an. Dan bagaimana para
ulama sepakat memperbolehkan kegiatan penafsiran Al-Qur’an, maka para ulama
juga sepakat memperbolehkan kegiatan menerjemahkan Al-Qur’an secara tafsiriyah.[6]
b. Metode
Terjemahan
Penerjemahan
dapat dilakukan melalui tiga metode, metode tersebut akan dijelaskan sebagai
berikut;[7]
1) Penerjemahan
tekstual
Adalah
menerjemahkan setiap kata dari bahasa aslinya ke dalam kata dari bahasa
penerjemah. Susunan-susunan kalimat, satu demi satu, kata demi kata diubah
hingga akhir.
Terjemahan
seperti ini sangat sulit sekali, karena menemukan kata-kata yang sama, dengan
kriteria-kriteria yang sama dalam dua bahasa asli adalah pekerjaan yang tidak
mudah. Kebanyakan penerjemah, karena alasan ini, mengalami banyak kesulitan.
Selain itu, dalam banyak kasus, terjemahan-terjemahan seperti ini tidak bisa
menjelaskan makna dengan sempurna. Hal ini disebabkan oleh ketidaksepadanan
makna kata dalam bahasa asli dengan makna kata bahasa penerjemah.
2) Penerjemahan
bebas
Dalam
metode ini, penerjemah berusaha memindahkan suatu makna dari suatu wadah ke
wadah yang lain. Tujuannya adalah mencerminkan makna awal dengan sempurna.
Maksud dari kalimat awal bisa diartikan tanpa harus mengurangi makna dengan
sedapat mungkin menyesuaikan dengan makna dalam bahasa terjemah. Terjemahan ini
disebut dengan terjemahan maknawi karena usahanya tercurah untuk
mengalihbahasakan pengertian-pengertiannya secara sempurna bukan pada teksnya.
Terjemahan seperti ini, selama tidak merusak makna tidak harus mengikuti
susunan kata dalam teks aslinya.
3) Penerjemahan
dengan metode penafsiran
Penerjemahan
dengan metode tekstual sama sekali tidak bagus karena tidak mungkin digunakan
dalam pembahasan panjang dan buku-buku ilmiah. Demikian juga dengan
penerjemahan dengan metode penafsiran yang keluar dari batas, juga tidak
dianggap sebagai terjemahan yang baik. Penerjemahan yang bagus adalah
penerjemahan bebas. Sejak dahulu hingga kini terjemahan-terjemahan Al-Qur’an,
jika tidak diterjemahkan secara tekstual, maka diterjemahkan dengan metode
penafsiran.[8]
B.
Muhkam
dan Mutasyabih
a. Pengertian
Muhkam Dan Mutasyabih Dalam Al-Qur'an
Muhkam dalam
bahasa Arab berasal dari kata إحكام
(ihkam), kata yang terdiri dari susunan huruf dalam kata ini memiliki
banyak makna, akan tetapi berujung kepada satu makna, yaitu منع (man’u), jika
diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti mencegah, merintangi, dan menolak..[9]
Sebagaimana dikatakan أحكم الأمر (ahkamal amra), ia menyelesaikan perkara
dengan sempurna dan mencegahnya dari cacat.[10]
Mutasyabih
secara bahasa adalah suatu yang serupa satu sama lain, orang yang melihatnya
mendapatkan kesamaran pada suatu tersebut.[11]
Susunan huruf dalam kata التشابه
(tasyabuh) oleh para Ahli Bahasa digunakan pada kata yang menunjukkan kesamaan
dalam rupa dan bentuk yang sering mengakibatkan kesamaran.[12]
b. Penggunaan
Muhkam Dan Mutasyabih Dalam Al-Qur'an
Kata muhkam dan
kata yang terdiri dari susunan huruf dalam kata ini beberapa kali disebutkan
dalam al-Qur’an, diantaranya:
1.
Firman Allah ta’ala Q.S. Hud: 1.
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»t#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOÅ3ym AÎ7yz ÇÊÈ
Artinya:
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang
ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang
diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu”
2.
Firman Allah ta’ala Q.S. Yunus: 1.
!9# 4 y7ù=Ï? àM»t#uä É=»tGÅ3ø9$# ÉOÅ3ptø:$# ÇÊÈ
Artinya:
“Alif laam raa. Inilah ayat-ayat al-Quran
yang mengandung hikmah.”
3.
Firman Allah ta’ala Q.S. al-Ra’d: 37.
y7Ï9ºxx.ur çm»oYø9tRr& $¸Jõ3ãm $wÎ/{tã 4 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& $tBy÷èt/ x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$# $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <cÍ<ur wur 5X#ur ÇÌÐÈ
Artinya:
“dan Demikianlah, Kami telah menurunkan
Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. dan seandainya
kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, Maka
sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.”
Melalui
ayat-ayat diatas dan yang lainnya ditemukan kesimpulan bahwa seluruh ayat al-Qur’an
adalah muhkam, dengan pengertian sempurna tidak mengandung cacat dan kekurangan
pada lafadz dan makna.[13]
Penggunaan
mutasyabih kata yang terdiri dari susunan huruf dalam kata ini beberapa kali
disebutkan dalam al-Qur’an sebagaimana muhkam, adapun ayat yang menunjukkan
bahwa semua ayat al-Qur’an adalah mutasyabih ada dalam firman Allah ta’ala Q.S. al-Zumar: 23.
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]Ïptø:$# $Y6»tGÏ. $YgÎ6»t±tFB uÎT$sW¨B Ïèt±ø)s? çm÷ZÏB ßqè=ã_ tûïÏ%©!$# cöqt±øs öNåk®5u §NèO ßû,Î#s? öNèdßqè=ã_ öNßgç/qè=è%ur 4n<Î) Ìø.Ï «!$# 4 y7Ï9ºs yèd «!$# Ïöku ¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±o 4 `tBur È@Î=ôÒã ª!$# $yJsù ¼çms9 ô`ÏB >$yd ÇËÌÈ
Artinya:
“Allah telah menurunkan Perkataan yang
paling baik (yaitu) al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)…”
Melalui
firman Allah Q.S. al-Zumar: 23 difahami bahwa semua ayat al-Qur’an mutasyabih,
dengan pengertian serupa satu dengan yang lainnya dalam kefasihan, mukjizat,
tidak saling kotradiksi, keindahan lafadz, dan pengambilan hukum.[14]
Al-Fakhru
al-Razi mengatakan bahwa al-Qur’an seluruhnya muhkam dan seluruhnya mutasyabih,
sebagiannya muhkam dan sebagiannya mutasyabih.[15]
Penjelasan
diatas telah mewakili apa yang disebutkan oleh al-Fakhru al-Razi, seluruh
al-Qur’an muhkam dan seluruhnya mutasyabih. Pada bahasan selanjutnya akan
dibahas pendapat Ulama tentang al-Qur’an, sebagiannya muhkam dan sebagiannya
mutasyabih.
c. Definisi
Muhkam Dan Mutasyabih Menurut Ulama
Terdapat banyak
pendapat dalam mendefinisikan muhkam dan mutasyabih, berikut beberapa nukilan
pernyataan para Ulama mengenai definisi muhkam dan mutasyabih dalam buku-buku
mereka.
1.
Muhkam dan mutasyabih dalam penjelasan
al-Thabari (310 H).
Dalam Tafsirnya
Imam Ibnu Jarir al-Thabari menukilkan
lima pendapat tentang definisi muhkam dan mutasyabih. Pendapat pertama
mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam maksudnya adalah ayat-ayat yang diamalkan,
seperti ayat yang me-nasakh atau ayat yang menetapkan sebuah hukum, sedang
mutasyabihat adalah ayat-ayat al-Qur’an yang tidak diamalkan yang ayat-ayat
yang di-nasakh. Pendapat ini beliau sandarkan kepada Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhu, Rabi’, Qotadah dan al- Dhahhak.
Pendapat kedua
mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang dengannya Allah
ta’ala kokohkan penjelasan halal dan
haram, sedang ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang serupa satu sama
lain dalam makna walaupun beda lafadz. Pendapat ini beliau sandarkan kepada
Mujahid bin Jabr.
Pendapat ketiga
mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang tidak bisa ditafsirkan
kecuali dengan satu penafsiran, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang
multi tafsir. Pendapat ini beliau sandarkan kepada Muhammad bin Ja’far bin
Zubeir.
Pendapat keempat
mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang memuat kisah, sedangkan
mutasyabih adalah lafadz yang serupa pada saat pengulangan kisah, kadang
dikisahkan dengan lafadz berbeda namun semakna, dan terkadang dikisahkan dengan
lafadz sama dengan makna berbeda. Pendapat ini beliau sandarkan kepada Ibnu
Zaid.
Pendapat kelima
mengatakan bahwa muhkam adalah ayat-ayat yang diketahui oleh para Ulama takwil,
makna, dan tafsirnya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang tidak mungkin
untuk diketahui ilmunya, ia merupakan ilmu yang hanya diketahui oleh Allah
saja. Beliau mencontohkan dengan menyebut beberapa misal diantaranya kapan Isa
bin Maryam akan turun ke Bumi, kapan Matahari terbit barat, kapan kiamat, dan
yang semisalnya. Beliau lebih memilih pendapat ini dan menisbatkannya kepada
Jabir bin ‘Abdillah.[16]
2.
Muhkam dan Mutasyabih dalam Penjelasan
al-Asy’ari (324 H).
Dalam
kitab Maqalat al-Islamiyin Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari membawakan lima
pendapat tentang muhkam dan mutasyabih dalam kalangan Mu’tazilah.[17]
Lima pendapat tersebut secara garis besar tidak keluar dari apa yang telah
disebutkan oleh Imam Ibnu Jarir al-Thabari.
3.
Muhkam dan Mutasyabih dalam Penjelasan
Ibnu al-Jauzi (597 H).
Saat
menjelaskan muhkam dalam al-Qur’an Imam Ibn al-Jauzi membawakan delapan
pendapat, semua pendapat tersebut beliau nukilkan dalam tafsir beliau.
Pendapat
pertama, nasikh. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Qotadah,
al-Suddi, dan yang lain. Pendapat kedua, halal dan haram. Ini adalah pendapat
yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas dan Mujahid. Pendapat ketiga, apa saja yang
diketahui oleh ulama tafsirnya. Pendapat ini dinisbatkan kepada Jabir bin
Abdullah. Pendapat keempat, ayat yang tidak di-nasakh. Ini adalah pendapat
al-Dahhak. Pendapat kelima, yang tidak berulang lafadz-lafadznya. Pendapat Ibnu
Zaid. Pendapat keenam, ayat yang sendirinya (sudah jelas -pent), tanpa perlu
penjelasan tambahan. Pendapat yang disandarkan oleh Abu Ya’la kepada Imam
Ahmad. Dalam redaksi lain, Imam Syafi’i dan Ibnu al-Anbari mengatakan bahwa
ayat muhkam adalah yang hanya memiliki satu penafsiran.
Pendapat
ketujuh, semua ayat al-Qur’an kecuali huruf muqththa’ah yang berada diawal
surat. Pendapat kedelapan, semua perintah dan larangan, janji dan ancaman,
halal dan haram. Ketujuh dan kedelapan disebutkan oleh Abu Ya’la.
Adapun
mutasyabih, Imam Ibnu al-Jauzi membawakan tujuh pendapat tentangnya. Pendapat
pertama, mutasyabih adalah ayat-ayat yang di-mansukh. Ini adalah pendapat Ibnu
Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Qotadah, al-Suddi, dan yang lain. Pendapat kedua,
mutasyabih adalah ayat yang tidak bisa diketahui oleh Ulama ilmunya, seperti
kapan terjadinya kiamat, pendapat ini dinisbatkan kepada Jabir bin Abdullah. Pendapat
ketiga, huruf yang berada diawal surat, seperti Alif Laam Miim dan yang
lainnya. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas. Pendapat keempat, ayat yang maknanya
mengandung kesamaran. Ini adalah pendapat Mujahid. Pendapat kelima,
lafadz-lafadznya berulang. Ini adalah pendapat Ibnu Zaid. Pendapat keenam, ayat
yang multi tafsir. Ini adalah pendapat Ibnu al-Anbari. Pendapat ketujuh,
kisah-kisah dan permisalan. Ini adalah pendapat Abu Ya’la.[18]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terjemah
alqur’an bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu terjemah harfiah dan terjemah
tafsiriyah, menerjemahkan al-qur’an dapat dilakukan dengan metode-metode yang
harus diketahui sebelumnya, seperti mengetahui huruf-huruf tambahan, kata
sambung, bentuk kalimat dan mengetahui arti akar kata dalam setiap kalimat.
Dengan demikian kita bisa memulai menerjemahkan al-qur’an.
Manfaat terjemah
alqur’an dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti membantu kita
untuk memahami ceramah atau pidato yang di dalamnya bayak terdapat bunyi
ayat-ayat al-qur’an, selain itu banyak sekali manfaat yang dapat kita rasakan.
Perbedaan
definisi muhkam dan mutasyabih tidak mempengaruhi hasil tafsir
pada masa-masa ulama terdahulu. Tidak ada satu huruf al-Qur’an yang luput dari
penafsiran ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah. Muhkam
lebih banyak dari pada mutasyabih. Mutasyabih terlarang untuk
dipertanyakan adalah mutasyabih yang tidak mengetahui ilmunya kecuali
Allah ta’ala. Ayat yang membicarakan sifat-sifat Allah ta’ala muhkam maknanya dan mutasyabih kaif-nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Djalal H. A. 2013. Ulumul Qur’an. Dunia Ilmu:
Surabaya.
Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi. 1996. Ulumul Qur’an.
Titian Ilahi Press: Yogyakarta.
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. 2013. Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an). Pusataka Rizki Putra: Semarang.
Rosihon Anwar. 2013. Ulum Al-Qur’an. Pustaka
Setia: Bandung .
Ahmad Warson Munawwir, 1997, al-Munawwir: Kamus
Arab-Indonesia Terlengkap .Cet. XIV, Surabaya: Pustaka Progressif.
Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, 1995. Manahilu
al-‘Irfan Fi Ulum al-Qur’an, Juz: II (Cet. I, Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi.
Khalid Abdurrahman al-‘Ik, 1986. Ushul al-Tafsir
Wa Qawa’iduhu, Cet. II, Beirut: Dar al-Nafais.
Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, 2005. Dirasat
Fi Ulum al-Qur’an, cet. XIV, Riyadh.
Fakhru al-Din Muhammad bin Umar Al-Razi, 1981. Tafsir
al-Fakhr al-Razi, Juz: 7 .cet. I, Beirut: Dar al-Fikr.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, 2001. Jami’
al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-Qur’an, Juz: V, cet. I, Kairo.
Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il al-Asy’ari, 1990. Maqalat
al-Islamiyin Wa Ikhtilaf al-Mushallin, Juz: I, Beirut: al-Maktabah
al-‘Ashriyah.
Abul Faraj Abdurrahman bin ‘Ali al-Jauzi, 2002. Zad
al-Masir Fi Ilmi al-Tafsir, cet. I, Beirut: Dar Ibn Hazm dan al-Maktab
al-Islami.
[1]
Abdul Djalal H. A, Ulumul Qur’an, (Dunia Ilmu: Surabaya, 2013), hlm. 2-3
[2]
Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an, (Titian Ilahi
Press:Yogyakarta, 1996), hlm. 49-51
[4]
Ibid., hal. 26
[5]
Abdul Djalal H. A, Op.Cit, hlm. 19-23
[6]
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (‘Ulum al-Qur’an),
(Pusataka Rizki Puttra, Semarang, 2013), Hlm 6-11
[7]
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Op. Cit.,
hal. 98
[8]
Anwar Rosihon , Op. Cit., hal. 99
[9]
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap
(Cet. XIV, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1361.
[10]
Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, Manahilu al-‘Irfan Fi Ulum al-Qur’an,
Juz: II (Cet. I, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1995), hlm. 213.
[11]
Khalid Abdurrahman al-‘Ik, Ushul al-Tafsir Wa Qawa’iduhu, (Cet. II,
Beirut: Dar al-Nafais, 1986), hlm. 291
[12]
Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, loc. cit. hal. 76
[13]
Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Dirasat Fi Ulum al-Qur’an,
(cet. XIV, Riyadh, 2005), hlm. 509
[14]
Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, op.cit. hlm. 510.
[15]
Fakhru al-Din Muhammad bin Umar Al-Razi, Tafsir al-Fakhr al-Razi, Juz: 7
(cet. I, Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 180
[16]
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi
al-Qur’an, Juz: V, (cet. I, Kairo, 2001), hlm. 192-199
[17]
Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin Wa Ikhtilaf
al-Mushallin, Juz: I, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, 1990), hlm.
293-294
[18]
Abul Faraj Abdurrahman bin ‘Ali al-Jauzi, Zad al-Masir Fi Ilmi al-Tafsir,
(cet. I, Beirut: Dar Ibn Hazm dan al-Maktab al-Islami,2002) hlm.178.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar