KEPEMIMPINAN WANITA DALAM AL-QUR’AN
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
NAMA : ROMA YANTI SIREGAR
NIM : 1410500009
Dosen Pengampu:
ARSAD NASUTION, MA
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2015/2016
KATA PENGANTAR
.
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang
Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Kepemimpinan Wanita dalam
Al-Qur’an”.
Makalah
ini berisikan tentang informasi hukum jual beli online menurut pandangan islam
atau yang lebih khususnya membahas fenomena penipuan yang terjadi dalam dunia
bisnis online. Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
bagaimana jual beli online yang layak dan halal menurut ajaran-ajaran islam.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.
Padangsidimpuan, Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Defenisi Pemimpin........................................................................... 2
B. Ayat
Al-Qur’an Tentang Kepemimpinan Wanita............................ 3
BAB III PENUTUP.................................................................................... 11
A. Kesimpulan...................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejarah mencatat
betapa suatu ketika perempuan dikenal sebagai makhluk kelas dua. Dalam
masyarakat Hindu, keadaan perempuan tidak lebih baik. Dalam ajaran Manu
dinyatakan bahwa , “Wabah penyakit,
kematian, racun, ular dan api kesemuanya lebih baik dari perempuan.” Istri
harus mengabdi mengabdi pada suaminya bagaikan mengabdi pada Tuhan. Ia harus
berjalan di belakangnya, tidak boleh berbicara
dsn tidak juga maka bersamanya selain dari sisanya. Bahkan, sampai abad
ke- 17, seorang istri harus di bakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya
dibakar atau kalau ingin tetap hidup sang istri mencukur rambutnya dan
memperburuk wajahnya bahwa dia terjamin tidak akan lagi diminati lelaki.
Kendati Eropa
telah mengalami revolusi indstri (1750) dan perbudakan telah dikumandangkan
penghapusannya, harakah dan martabat perempuan belum juga mendapat tempat yang
wajar. Mereka bekerja di pabrik-pabrik tapi gajinya lebih rendah daripada
laki-laki. Bahkan, di Inggris sampai dengan tahun 1805, mereka mengakui hak
suami untuk menjual istrinya. Perempuan masa lampau juga dinilai tidak wajar
mendapat pendidikan. Apakah dasar pembeda dari perlakuan ini? Sementara pakar
berpendapat bahwa kenyataan biologis yang membedakan lelaki dan perempuan
mengantar pada lahirnya pandangan harkat, martabat serta peran utama kedua
jenis makhluk Tuhan ini.
Ada lagi yang
berpendapat bahwa pembedaan harakah dan peran lelaki dan perempuan yang
berkembang di masyarakat, umat manusia itu lebih banyak diakibatkan oleh
budaya serta pandangan agama dan kepercayaan masyarakat. Sementara itu, Agama
sering kali dijadikan dalih untuk pandangan negatife tersebut. Contohnya, dalam
fenomena kepemimpinan perempuan. Banyak dari tokoh masyarakat yang
mendiskreditkan andil perempuan dalam kepemimpinan bertolak dari doktrin agama.
Apakah benar seperti itu? Oleh karena
itu, pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba mengulas terkait.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi Pemimpin
“Setiap kalian
adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas
orang-orang yang dipimpinnya di Hari Kiamat kelak.”[1]
Secara bahasa
alam beberapa literature disebutkan varian akar kata pemimpin , diantaranya
yaitu:
a. Imam:
Asal katanya ‘Amama’ karena ia: Berada di depan (amam), mengasuh (ummah),
menyempurnakan (atammah), menenangkan (yanamma). Berkata Imam Al-Jauhary : Imam
adalah orang yang memberi petunjuk (yuqtada).
b. Amir:
Yang memberi perintah (seperti dalam ayat : Amarna mutrafiha), juga sesuatu
yang mengagumkan (seperti dalam ayat : laqad ji’ta syai’an imra).
c. Waliyy:
Dekat, akrab (Jalasa mimma yali=duduk dengan orang didekatnya); tempat
memberikan loyalitas (ALLAHumma man waliya min amri ummati
d. Qadah
atau qiyadah: Penggiring ternak, orang yang memberi petunjuk, pemandu atau
penunjuk jalan
e. Khalifah:
Para fuqaha’ mendefinisikannya sbg suatu kepemimpinan umum yg mencakup urusan
keduniaan & keagamaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW yang wajib
dipatuhi oleh seluruh ummat Islam. Menurut Imam Al-Mawardi sama dengan
al-Imamah, karena inilah asal dari kepemimpinan di masa Nabi SAW, yaitu untuk
memimpin agama & keduniaan. Menurut Ibnu Khaldun yaitu penanggungjawab umum
dimana seluruh urusan kemaslahatan syari’at baik ukhrawiyyah maupun dunyawiyyah
kembali kepadanya.
Kata khalifah
berasal dari akar kata “kh-l-f” yang dalam al-Qur’an disebut sebanyak 127 kali
dalam 12 kata jadian. Maknanya berkisar diantara kata kerja “Menggantikan”,
Meniggalkan” atau kata benda “Pengganti” atau “Pewaris”. Secara terminologis,
kata ini mengandung setidaknya dua makna ganda. Di satu pihak, khalifah
diartikan sebagai kepala Negara dalam pemerintah dan kerajaan Islam masa lalu,
yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama dengan sultan. Di lain pihak,
khalifah juga bisa berarti dua macam.
Pertama yang diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepada Negara. Kedua, fungsi
manusia itu sendiri di muka bumi sebagai ciptaan Allah yang sempurna.
Sehubungan
dengan pengertian pertama, Ulama-sarjana asal Pakistan Abu A’la al Maududi
mengarang sebuah buku yang berjudul Al-Khilafah wal Mulk. Menurutnya, istilah
khilafah berasal dari akar kata yang sama dengan khalifa, yang berarti
pemerintahan atau kepemimpinan. Khilafah, sebagai turunan dari kata khalifah
adalah teori islam tentang Negara dan pemerintahan.[2]
B.
Ayat
Al-Qur’an Tentang Kepemimpinan Wanita
a. An-Nisā:34
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuzny maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar.
b.
Pendapat para
Mufassir
Menurut
Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Mishbāh menyebutkan
bahwa:
Kaum
laki-laki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami itu adalah qawwamun pemimpin
dan penanggung jawab atas kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka yakni (laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk
isteri dan anak-anaknya.[3]
Kata قَوَّامُونَ adalah bentuk
jamak dari kata qawwām, yang terambil dari kata qāma. Kata ini
berkaitan dengannya. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak yakni qawwāmūn
sejalan dengan makna kata al-rijāl yang berarti banyak lelaki. Di dalam
kata ini tercakup pengertian kepemimpinan. Namun, makna yang dikehendaki dari
kata ini jauh lebih luas, yakni pemeliharaan, pembinaan dan pemenuhan
hak-kewajiban. Allah swt. menetapkan lelaki sebagai pemimpin dengan dua
pertimbangan pokok, yaitu:
Pertama,
بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ bimā fadhdhala-llāhu ba’dhahum ‘alā ba’dh/karena
Allah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, yakni
masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang
dimiliki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang
dimiliki perempuan.[4]
Bagi
Ayatullah Jawadi Amuli, kelebihan ini bukanlah bukti kemuliaan atau kelebihan
yang patut dibanggakan. Melainkan tugas dan tanggung jawab yang harus
dilaksanakan. Maka lelaki diharapkan untuk tidak bersikap tidak adil terhadap
apa-apa yang dipimpinnya. [5]
Kedua, وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ wa bimā anfaqū min amwālihim/karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Kalimat
ini menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu
kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak
dahulu hingga kini.
Disini
terdapat dua persoalan penting yang berada dibawah rentetan penggunaan kata
qawwam ini.
1.
Kaum lelaki bertanggung jawab untuk menyediakan segala
keperluan material dan spiritual wanita dalam bentuk yang memuaskan sesuai
dengan kesenangan dan perasaannya sehingga dia tenang dan tenteram.
2.
Kaum lelaki memeberikan perlindungan dan penjagaan
terhadap anggota keluarganya dalam batas-batas kekuasaan terhadap keluarganya.[6]
Bagi Quraish Shihab, ayat ini tidaklah mengenai kepemimpinan lelaki
dalam segala hal (termasuk sosial dan politik) atas perempuan, melainkan
kepemimpinan lelaki atas perempuan dalam rumah tangga. Artinya, menggunakan
ayat ini sebagai larangan terhadap perempuan untuk memimpin dalam politik
tidaklah tepat.[7] Melihat konteks dan
munasabah ayatnya yakni mengenai hubungan rumah tangga, tampaknya hal ini
mendukung pendapat Quraish Shihab. Kemudian, dalam bukunya Wawasan al-Qur`an
mengatakan bahwa ada ayat lain yang justru memberikan tanda-tanda kebolehan
kepemimpinan perempuan, yakni al-Tawbah:71. Melalui teks ayatnya, kata “sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong
bagi sebahagian yang lain.” berarti seorang perempuan dapat menjadi awliyā` bagi lelaki. Kemudian ia
menyebutkan bahwa arti kata awliyā`
adalah pemimpin, pelindung dan penolong. Meski dalam penerjemahan Depag
menggunakan kata penolong, menurut Quraish Shihab menganggap bahwa keluasan
makna kata awliyā` tentu saja dapat
berimplikasi pada arti kepemimpinan.[8]
Tapi bagi ‘Allamah Thabathaba`i, الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ tidaklah
dikhususkan untuk suami (atau dalam konteks rumah tangga), melainkan memberi
hak untuk kepada para lelaki, secara keseluruhan, untuk memimpin para perempuan
dalam segala hal yang mempengaruhi kehidupan keduanya.[9]
Alasannya ialah, kepemimpinan adalah suatu posisi dimana pemiliknya harus
memiliki intelektual dan logika yang baik, sesuatu yang lekat kepada para
lelaki. Pendapat ‘Allamah Thabathaba`i merupakan perwakilan dari pendapat ulama
dan ahli fikih lainnya bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, dan ayat
ini menjadi dalil mereka.[10] Namun tampaknya,
Thabathaba`i tidak memperhatikan bahwa Nabi menafsirkan ayat ini terbatas pada
rumah tangga. Ia sendiri hanya menyebutkan dua hadis yang berkenaan dengan ayat
ini. Keduanya juga hanya berkaitan dengan rumah tangga. Hadis pertama
membicarakan bahwa ada seorang Arab menanyai Imam Muhammad al-Baqīr
menceritakan bahwa tentang orang yang berkata kepada istrinya, “Urusanku ada
padamu”. Kemudian Imam al-Baqīr menjawab, “Bagaimana bisa, ketika Allah
mengatakan: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” Hadis kedua mengatakan bahwa ada
seorang sahabat Anshar datang menemui Nabi saw. untuk mengadukan bahwa ia telah
memukul istrinya, lalu Nabi saw. mengatakan untuk meng-qishash. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut, dan keputusan
Nabi saw. tersebut digugurkan. Hadis kedua ini disebutkan juga dalam
riwayat-riwayat lain dalam kitab Sunni.[11]
Nampaknya, kondisi kehidupan dan kebutuhan kehidupan pada masa
‘Allamah Thabathaba`i dan Quraish Shihab yang berbeda menyebabkan pendapat
keduanya yang berbeda. Pada masa dan tempat hidup ‘Allamah Thabathaba`i, isu
feminisme bukan suatu hal yang sering dibicarakan. Komunisme, kapitalisme, dan
liberalisme adalah ‘musuh’ Islam saat itu, sehingga kebanyakan tulisan-tulisan
ulama Islam hanya membicarakan argumentasi melawan ideologi tersebut. Murtadha
Muttahari, murid ‘Allamah Thabathaba`i pun tidak banyak membicarakan isu
feminisme (dalam pengertian ideologis). Beberapa tulisannya mengenai perempuan,
tidak banyak membicarakan partisipasi perempuan dalam kegiatan publik. Hanya
Imam Khomeini yang banyak membicarakan partisipasi politik perempuan melalui
khutbah-khutbahnya yang dibukukan menjadi Sahifah
al-Nūr. Selain itu, budaya Iran yang masih kental dengan suasana
patriarkisnya mungkin menyebabkan ‘Allamah Thabathaba`i berpendapat seperti itu
dalam kitab tafsirnya, Al-Mizān fi Tafsīr
al-Qur`ān (sama dengan keadaan ulama tradisional lainnya).
Berbeda dengan keadaan Quraish Shihab ketika menulis tafsirnya, Tafsir
al-Mishbāh. Isu feminisme dan kesetaraan gender justru sedang
gencar-gencarnya dibicarakan dan didiskusikan. Maka ia pun berusaha untuk
menggali pendapat ulama klasik mengenai ayat ini. Ia melihat bahwa kebanyakan
ulama tradisionalis menggunakan ayat ini sebagai argumen ketidak bolehan
seorang perempuan memimpin, apalagi dalam kegiatan sosial-politik. Namun ia
juga membaca bahwa ulama klasik justru mengatakan bahwa ayat ini sedang dan hanya
membicarakan berkaitan rumah tangga. Sehingga nampak baginya ketidak kaitan
ayat ini dengan tema yang diargumenkan.
Selain itu, argumen lainnya penentang kepemimpinan perempuan ialah
hadis dari Abi Bakrah bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tidak akan bahagia sesuatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin mereka
seorang perempuan. Akan tetapi Fatimah Mernissi mengkritik hadis ini,
lantaran adanya unsur politik dalam hadis tersebut. Abi Bakrah menyebutkan
hadis tersebut ketika dalam situasi Perang Jamal, dimana ‘A`isyah, bersama
Zubayr dan Thalhah menjadi pemimpin bagi pasukan Jamal (unta)[12]. Abi
Bakrah sebagai pihak oposisi nampak menyebutkan hadis tersebut untuk
mendapatkan simpati orang-orang untuk menjelek-jelekkan ‘A`isyah. Ulama lain
mencoba memahami hadis ini dengan berpendapat, bahwa perempuan boleh menjadi
pemimpin, namun tidak menjadi top leader
seperti kepala negara Islam atau khalifah. Sedang hadis dari Abi Bakrah ini
melarang kepemimpinan perempuan, al-Qur`an justru menyebutkan kepemimpinan
perempuan melalui figur Ratu Bilqis dari Saba’.
Wacana Ratu Balqis dapat dijadikan renungan bagi bangsa
Indonesia yang baru saja usai menyelenggarakan pemilihan umum. Keberhasilan
Megawati Soekarnoputri meraih suara terbanyak sudah merupakan suatu kenyataan.
Persoalan yang muncul kemudian, bisakah Megawati menjadi orang nomor satu di
Republik yang dipadati oleh umat Islam?
Pertanyaan ini mempunyai bobot yang sangat penting karena wacana
konseptual mengenai kepemimpinan perempuan belum pernah tuntas di dalam
lintasan sejarah dunia Islam. Banyak sekali perempuan kandidat pemimpin tetapi
tercekal oleh efektivitas isu agama. Tidak sedikit jumlah laki-laki kandidat
pemimpin yang underdog menjadi unggulan karena saingan terberatnya seorang
perempuan. Agak ironis memang, ada yang terorbit dan ada yang tersungkur hanya
disebabkan oleh faktor jenis kelamin. Tidak sedikit pula pemimpin perempuan
(sulthanah) harus berhenti di tengah jalan karena isu agama. Termasuk di
antaranya tiga Sultanah yang pernah memerintah secara berkesinambungan di Aceh
pada abad ke-14, yaitu Sulthanah Khadijah, Sulthanah Maryam, dan Sulthanah
Fatimah akhirnya harus terputus karena fatwa Qadhi Mekah. Alasan fatwa itu,
perempuan tidak ditolerir menjadi pemimpin (sultanah) karena dianggap menyalahi
kodratnya sebagai perempuan. Padahal, Al Quran jelas-jelas tidak membenarkan
adanya diskriminasi berdasarkan etnis, ras, dan jenis kelamin (49:13). Seorang
kandidat pemimpin dari jenis perempuan, selain harus memiliki persyaratan dan
kemampuan formal juga seolah-olah harus "direstui" oleh laki-laki.
Faktor-faktor
tabiat wanita, orang-orang
yang melarang pecalonan
wanita juga mengemukakan alasan bahwa wanita itu juga menghadapi
kendala yang sudah merupakan tabiat atau
pembawan mereka, seperti
menstruasi setiap bulan
beserta keluh-keluhnya, mengandung dengan
segala penderitaannya, melahirkan
dengan segala resikonya,
menyusui dengan segala
penderitaannya melahirkan dengan
segala resiko, menyusui dengan segala bebannya, dan sebagai ibu dengan segala tugasnya.
Semua itu menjadikan mereka secara piskis,
fisik, dan pemikiran tidak mampu mengemban tugas sebagai pemimpin ataupun
anggota Dewan yang bertugas mengawasi pemerintah dan membuat
Undang-Undang.
Hal diatas memang
benar. Wanita yang
sibuk sebagai ibu dan segala
dengan segala tugasnya tidak akan menceburkan dirinya mengemban
tugas-tugas penting itu. Dan jika
ikut maka naka-naka dan urusannya tidak ada yang memperhatikan.Yang dimaksud
dalam konteks ini ialah wanita yang
memiliki kelebihan yang berupa
kecerdasan, kemampuan, kesempatan, ilmu, serta kecerdasan dan tidak
direpotkan oleh urusan diatas.
Para Ulama telah sepakat akan terlarangnya wanita memegang
kekuasaan tertinggi atau
al-imamah al-Uzhma. Ketentuan ini
berlaku bagi wanita bila ia menjadi raja atau kepala Negara yang
mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap kaumnya, yang segala kehendaknya harus
dijalankan, semua hukumnya
tidak boleh ditolak
dan selain perintahnya tidak
boleh ditolak dan selain
perintahnya tidak boleh dikukuhkan
dengan demikian, berarti mereka
benar-benar menyerahkan segala urusan kepadanya. Dengan demikian wanita
bisa saja menjadi
menteri, hakim, atau
menjadi muhtasib yang melakukan
pengawasan umum. Pada masyarakat
modern dibawah system Demokrasi, apabila memberi kedudukan
umum kepada wanita, seperti pada kementrian,
perkantoran atau Dewan
Perwakilan Rakyat tidak berarti bahwa
mereka menyerahkan segala urusan mereka
kepada wanita, pada praktiknya
tanggung jawab tersenut
bersifat kolektif, dijalankan secara bersama-sama oleh sejumlah orang
dalam lembaga terkait, dan si wanita hanya menanggung sebagian saja bersama
yang lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebanyakan argumen yang dimiliki
oleh ulama tradisionalis tidak tepat. Sehingga penulis melihat bahwa kelemahan
ini justru memberikan bukti bahwa perempuan bisa saja memimpin. Pengutipan ayat
al-Nisā:34 sebagai titik tolak argumen ketidak bolehan kepemimpinan perempuan
terlihat tidak tepat. Justru kisah Ratu Bilqis dan ayat at-Tawbah:71
menunjukkan kebolehan seorang perempuan untuk memimpin.
Namun, ada satu hal yang menurut
penulis perlu disebutkan, yakni adalah perannya sebagai pemimpin tidaklah
mengganggu perannya sebagai ibu dan istri. Sehingga beberapa ulama menyebutkan
salah satu syarat bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik ialah,
tidak mengganggu perannya yang lain yakni ibu dan istri. Tentu saja ini patut
diingatkan karena al-Qur`an lebih menekankan pada peran perempuan sebagai ibu
dan istri yang baik dibandingkan peran perempuan dalam berpolitik.
DAFTAR
PUSTAKA
HR Bukhari, XXII/43 no. 6605; Muslim, IX/352 no. 3408
Said Agil Husain Al Munawar, 2005. Al-Qur’an membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press.
Quraish Shihab. 2000. Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan
dan Keserasian al-Qur`an. Ciputat: Lentera Hati.
Ayatullah Jawadi Amuli. 2011. Keindahan dan Keagungan
Perempuan: Perspektif Studi Perempuan dalam Kajian Al-Qur`an, Filsafat dan
Irfan. Jakarta: Sadra Press.
Hibbah Rauf ‘Izzat, 1997. Wanita dan Politik,
Pandangan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Allamah MH. Thabathaba`i. 1992. Al-Mizān: An Exegesis of the Qur`an, vol. 8. Tehran: WOFIS.
Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A.2010. Fikih
Perempuan Kontemporer. Jakarta: Ghalia Indonesia.
[1]
HR Bukhari, XXII/43 no. 6605; Muslim, IX/352 no. 3408
[2]
Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Ciputat: PT Ciputat Press, 2005), Hal.
194
[3]
Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an.
(Ciputat: Lentera Hati, 2000). Hal. 402
[4]
Ibid. hal. 404.
[5]
Ayatullah Jawadi Amuli. Keindahan dan Keagungan Perempuan: Perspektif Studi Perempuan
dalam Kajian Al-Qur`an, Filsafat dan Irfan. (Jakarta: Sadra Press. 2011), Hal.
362
[6]
Hibbah Rauf ‘Izzat, Wanita dan Politik, Pandangan Islam, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1997), h. 159
[7]
Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur`an: Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Penerbit Mizan. 1996),
Hal. 314.
[8]
Quraish Shihab, Op. Cit, hal 315.
[9]
‘Allamah MH. Thabathaba`i. Al-Mizān: An
Exegesis of the Qur`an, vol. 8. Tehran: WOFIS. 1992. Hal 210.
[10]
Asyraf Borujerdi. Op. cit hal 130.
[11]
‘Allamah MH. Thabathaba`I, op.cit,
hal 217.
[12]
Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A. Fikih
Perempuan Kontemporer. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hal 51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar