APLIKASI PENGAJARAN PAI DENGAN MEMAKAI METODE
SISTIM PEMBELAJARAN BERBASIS AFEKTIF
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
NAMA : TUKMA SARI
SIREGAR
NIM : 1420100169
Dosen Pengampu:
Drs. SAMSUDDIN, M.Ag
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji dan
syukur Penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Salawat Penulis
sampaikan kepada junjungan umat Islam sedunia, Nabi Muhammad SAW yang
menyampaikan ajaran Islam untuk kecerdasan manusia.
Ucapan
terima kasih Penulis sampaikan kepada Ibu sebagai dosen pembimbing Mata Kuliah
, Tak lupa kepada orang tua, teman, dan
pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Namun
Penulis menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaa. Penulis
sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah
ini kedepannya.
Demikianlah
makalah ini Penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat menjadi amal yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia, khususnya dalam kehidupan ilmu pengetahuan.
Amin.
Padangsidimpuan, Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATAR
PENGANTAR ................................................................. i
DAFTAR
ISI ................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN ................................................................ 2
A. Pengertian Ranah Afektif....................................................... 2
B. Implementasi Strategi Pembelajaran
Afektif.......................... 3
BAB
III PENUTUP ........................................................................ 10
A. Kesimpulan.............................................................................
10
DAFTAR
PUSTAKA ..................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembentukan dan
pengembangan sikap serta moral seorang siswa melalui pendidikan agama di
sekolah menjadi sangat penting. Sebab dasar agama untuk membentuk pribadi yang
agamis (bertaqwa) merupakan kebutuhan rohaniah dan juga kebutuhan akademis
melalui ilmu pengetahuan. Namun demikian, kondisi kurikulum yang sangat padat,
serta kendala-kendala lain menuntut proses pembelajaran pendidikan agama perlu
dilakukan secara baik, sistematis agar mencapai tujuan yang direncanakan, dan
dapat menanamkan nilai-nilai agama tersebut untuk kemudian diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Telah kita
ketahui bahwa kenakalan remaja itu menjadi sumber degradasi moral pada diri
kita dan lebih-lebih pada bangsa kita ini. Oleh sebab itu, kita sebagai
mahasiswa harus peduli dan tanggap akan moral-moral remaja yang sangat bertolak
belakang dengan apa yang telah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta, seperti
halnya penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pergaulan bebas yang tidak bisa
memanaj pada diri kita masing-masing, sehingga munculah benih-benih kenakalan
remaja yang tumbuh pada diri remaja itu sendiri.
Dapat kita lihat
pada kenakalan remaja di Negara Indonesia tercinta ini. Sangat jelas dan nampak
sekali. Pada massa era globalisasi ini, khususnya remaja atau pemuda-pemudi
banyak melakukan perbuatan yang sangat tidak
etis, sehingga saat-saat ini Negara Indonesia banyak mengalami cobaan-cobaan
dan bencana alam yang salah satunya adalah akibat dari kenakalan remaja itu
sendiri.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat Salah satu faktor dari kenakalan remaja adalah sikap yang
ada pada peserta didik yang belum diterapkan dan kurang ditanamkan oleh seorang
guru dalam proses pembelajaran di sekolah dan pada kehidupan sehari-hari.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ranah Afektif
Pemikiran atau
perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah
afektif. Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku
harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif
adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau
kekuatan dari perasaan. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau
negatif dari perasaan yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk.
Misalnya senang pada pelajaran dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai
negatif.
Bila intensitas
dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada
dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide
sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang
ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi
terhadap sekolah, matematika, situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini
bisa merupakan target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui oleh
seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa
cemas bila menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar
bahwa target kecemasannya adalah tes.
Ada 5 (lima)
tipe nilai karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri,
nilai, dan moral.[1]
1.
Sikap
Sikap merupakan
suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu
objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang
positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan
sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai,
keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian
yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran,
kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
2.
Minat
Minat atau keinginan adalah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah
intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki
intensitas tinggi.
3.
Konsep Diri
Konsep
diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan
mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir
yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk
memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
4.
Nilai
Manusia belajar
menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur
penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus
membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan
signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi
konstribusi positif terhadap masyarakat.
5.
Moral
Piaget
dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun Kohlberg
mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia
hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal
terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak.
B.
Implementasi
Strategi Pembelajaran Afektif
a. Ciri-Ciri
Nilai
Pengajaran
afektif berhubungan dengan nilai (value). Oleh karena itu, sebelum kita
berbicara tentang strategi pengajaran afektif, terlebih dahulu perlu dikaji
tentang nilai itu sendiri. Nilai (value,
valere) berhubungan dengan apa yang dianggap baik dan tidak baik, indah dan
tidak indah, adil dan tidak adil, efisien dan tidak efisien dan sebagainya.
Dalam hubungan ini, J.R Fraenkel
sebagaimana dikutip oleh W. Gulo, mengemukakan beberapa ciri tentang nilai
sebagai berikut:
1.
Nilai adalah konsep yang tidak berada di
dalam dunia empirik, tetapi di dalam
pikiran manusia.
2.
Nilai adalah standar perilaku, ukuran
yang menentukan apa yang indah, apa yang efisien, apa yang berharga yang ingin
dipelihara dan dipertahankan.
3.
Nilai itu direfleksikan dalam perbuatan atau perkataan.
4.
Nilai itu merupakan abstraksi atau
idealis manusia tentang apa yang dianggap penting dalam hidup mereka.[2]
b. Hakekat
Pendidikan Nilai Dan Sikap
Komitmen
seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap,
yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu obyek. Misalnya jika seseorang berhadapan
dengan suatu obyek, maka ia akan menunjukkan gejala senang-tidak senang atau
suka-tidak suka. Seseorang yang berhadapan dengan pendidikan sebagai suatu
obyek, maka manakala ia mendengarkan dialog tentang pendidikan di televisi
misalnya, ia akan menunjukkan gejala kesenangannya dengan mengikuti dialog itu
sampai tuntas dan begitu juga sebaliknya seseorang yang menunjukkan gejala
ketidak senangannya terhadap isu pendidikan, maka ia akan tutup telinga atau memindahkan
canel televisinya.[3]
Sikap
adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu obyek
berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian,
belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak
suatu obyek, berdasarkan penilaian terhadap obyek itu sebagai hal yang berguna
atau berharga (sikap positif) dan tidak berharga (sikap negatif). Sikap
merupakan suatu kemampuan internal yang berperan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih
apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa
alternatif. Pernyataan kesenangan dan ketidaksenangan seseorang terhadap obyek
yang dihadapinya, akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek
kognitif) terhadap obyek tersebut. Oleh karena itu tingkat penalaran (kognitif)
terhadap suatu obyek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya (psikomotorik)
turut menentukan sikap seseorang terhadap obyek yang bersangkutan.[4]
c. Proses
Pembentukan Sikap
1. Pola
pembiasaan
Pada
suatu hari Watson melihat anak yang senang dengan tikus berbulu putih.
Kemanapun anak itu pergi, ia selalu membawa tikus berbulu putih yang sangat
disenanginya. Watson ingin mengubah sikap senang anak terhadap tikus putih itu
menjadi benci atau tidak senang. Maka ketika anak hendak memegang tikus itu,
Watson memberi kejutan dengan suara keras, hingga anak itu terkejut. Terus
menerus hal itu dilakukan, dimana anak itu hendak mendekati dan hendak membawa
tikus itu, dimunculkanlah suara keras,
maka anak itu semakin terkejut dan lama kelamaan anak itu menjadi takut
dengan tikus putih itu. Jangankan ia mau memegang atau membawanya, melihat saja
ia menangis dan ketakutan. Perubahan sikap anak tersebut dari positif menjadi
negatif disebabkan karena kebiasaan. Cara belajar sikap demikian menjadi dasar
penanaman sikap tertentu terhadap suatu obyek. Dalam proses pembelajaran di sekolah baik secara
disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa
melalui proses pembiasaan.[5]
2. Modeling
Pembelajaran
sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan
sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Salah satu karakteristik
anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan.
Hal yang ditiru itu ada lah perilaku-perilaku yang diperagakan oleh orang yang
menjadi idolanya. Prinsip peniruan itulah yang dimaksud dengan modeling.
Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau
orang yang dihormatinya.
d. Model
Strategi Pembelajaran Sikap
1) Model
konsiderasi, model ini dikembangkan oleh Mc. Paul. Pembelajaran moral siswa
menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh
sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat
membentuk kepribadian. Implementasi modeling konsiderasi guru dapat mengikuti
tahapan pembelajaran sebagai berikut :[6]
-
Menghadapkan siswa pada suatu masalah
yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi
“seandainya siswa ada dalam masalah
tersebut”
-
Menyuruh siswa untuk menganalisis
situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang nampak, tapi juga yang tersirat
dalam permasalahan tersebut, misalnya
perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
-
Menyuruh siswa untuk menuliskan
tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi.
-
Mengajak siswa untuk menganalisis respon
orang lain serta membuat kategori dari setiap respon yang diberikan siswa.
-
Mendorong siswa untuk merumuskan akibat
atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.
-
Mengajak siswa untuk memandang
permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka
dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
-
Mendorong siswa agar merumuskan sendiri
tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya
sendiri.
2) Model
pengembangan kognitif Menurutnya, moral Manusia itu berkembang melalui tiga
tingkat. Dan setiap tingkat terdiri dari dua tahap :[7]
-
Tingkat profesional, setiap individu
memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Pada tingkat profesional
ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap satu orientasi hukuman dan kepatuhan,
tahap dua orientasi instrumental
relatif.
-
Tingkat konvensional, anak mendekati
masalah didasarkan pada hubungan individu masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa perilaku itu
harus sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Tahap
ketiga keselarasan interpersonal, tahap keempat sistem sosial dan kata hati.
3) Tingkat
post konvensional, perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap
norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran
sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu. Tahap kelima
kontrak sosial, tahap keenam prinsip etis yang universal.[8]
4) Tehnik
mengklarifikasi nilai (VCT)
VCT
dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang
dianggap baik dalam menghadapi suatu
persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam
dalam diri siswa. Salah satu
karakteristik VCT sebagai suatu modal dalam
strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman mulai dilakukan
melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa, kemudian menyelaraskan dengan
nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan.[9]
e. Taksonomi
Domain Afektif
Taksonomi
bloommerujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan dibagi ke dalam tiga domain
yaitu cognitive domain, affective domain dan psycomotor domain.[10]
Dilihat dari strategi belajar mengajar, proses pembinaan nilai dalam kawasan afektif melalui lima tahapan secara
hirarkis. Pembagian domain afektif ini disusun oleh Bloom bersama David
Krathwol sebagai berikut :[11]
1. Penerimaan
(recevising/ attending), kesediaan untuk menyadari adanya suatu fenomena di
lingkungannya. Dalam pengajaran
bentuknya berupa mendapatkan perhatian, mempertahankannya dan mengarahkannya.
2. Tanggapan
(responding), memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di lingkungannya.
Meliputi persetujuan, kesediaan dan kepuasan dalam memberikan tanggapan.
3. Penghargaan
(valuing), berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan pada suatu obyek,
fenomena atau tingkah laku. Penilaian berdasarkan internalisasi dari
serangkaian nilai tertentu yang diekspresikan ke dalam tingkah laku.
4. Pengorganisasian
(organization), memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik
diantaranya, dibentuk suatu sistem nilai yang konsisten.
5. Karakterisasi
berdasarkan nilai-nilai (characterization by a value or value complex),
memiliki sistem nilai yang mengendalikan tingkah lakunya sehingga menjadi karakteristik
gaya hidupnya.
Sikap atau nilai menentukan wujud
tindakan seseorang. Jika seseorang memiliki aspek-aspek kawasan afektif yang
tinggi, maka ia akan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang diakui baik
secara normatif. Sikap yang berhubungan dengan nilai afektif dapat dipisahkan
menjadi :perilaku mendekat yaitu melakukan hal-hal yang baik menurut norma,
perilaku menjauh yaitu menghindari hal-hal yang tidak baik menurut norma.[12]
f. Kesulitan
Dalam Pembelajaran Afektif
Dalam proses pendidikan di sekolah, proses
pembelajaran sikap terkadang diabaikan. Hal ini disebabkan proses pembelajaran
dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan, diantaranya :[13]
1. Selama
ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan
untuk pembentukan intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan
dan proses pembelajaran di sekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan
intelektual (kemampuan kognitif). Akibatnya upaya yang dilakukan oleh setiap
guru diarahkan kepada bagaimana anak dapat menguasai sejumlah pengetahuan
sesuai standar isi kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual
identik dengan penguasaan materi pelajaran.
2. Sulitnya
melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang mempengaruhi perkembangan sikap
seseorang. Pengembangan kemampuan sikap, baik melalui proses pembiasaan maupun
modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga
faktor-faktor lainnya terutama lingkungan.
3. Keberhasilan
pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan
pembentukan aspek kognitif dan aspek ketrampilan yang hasilnya diketahui
setelah proses pembelajaran berakhir. Maka keberhasilan dari pembentukan sikap
baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang. Hal ini disebabkan
dengan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang
lama.
4. Pengaruh
kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka
pilihan acara, berdampak pada pembentukan karakter anak secara perlahan tapi
pasti oleh budaya asing yang belum tentu cocok dengan budaya lokal yang meresap
dalam setiap relung kehidupan, menggeser
nilai-nilai lokal sebagai nilai luhur.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
Strategi Pengajaran Afektif dapat kami simpulkan sebagai berikut :
1. Ciri-Ciri
Nilai diantaranya nilai adalah konsep yang tidak berada di dalam dunia empirik,
tetapi di dalam pikiran manusia, nilai
adalah standar perilaku, nilai itu direfleksikan dalam perbuatan atau perkataan, nilai itu merupakan
abstraksi atau idealis manusia tentang apa yang dianggap penting dalam hidup mereka.
2. Hakekat
Pendidikan Nilai Dan Sikap yaitu komitmen seseorang terhadap suatu nilai
tertentu terjadi melalui pembentukan sikap, yakni kecenderungan seseorang
terhadap suatu obyek. Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau
menolak suatu obyek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik.
3. Dasar
Pemikiran Tentang Nilai antara lain Wright mengemukakan empat faktor yang
mempengaruhi seseorang untuk berbuat sesuatu, yaitu : Hedonitas tanpa moral,
Rasional, Tingkat kesadaran, Konformitas, Normatifis, Intregeralis, Fenomenalis
dan Hedonis
4. Proses
Pembentukan Sikap yaitu melaui pola pembiasaan dan modeling
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.
H. Hamruni. 2009. Strategi Dan Model-Model
Pembelajaran Aktif Dan Menyenangkan, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.
W. Gulo, 2002. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta: Grasindo.
Sanjaya, Wina, 2008. Strategi
Pembelajaran:Berorientasi Standar Proses Pendidikan .Jakarta: Kencana.
Arikunto, Suharsimi, 1993. Manajemen Pengajaran
Secara Manusiawi .Jakarta: Rineka Cipta.
Hasibuan dan Moedjiono, 1991, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta.
Hamzah B. Uno, 2007. Perencanaan Pembelajaran,
Jakarta: Bumi Aksara.
Sardiman, A.M., 1986. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali.
[1]
Dr.H.Hamruni. strategi
dan model-model pembelajaran aktif dan menyenangkan, (Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, 2009), hal. 89
[2]
W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Grasindo, 2002), 147
[3]
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran:Berorientasi Standar Proses Pendidikan
(Jakarta: Kencana, 2008), hal. 273.
[4]
Ibid., hal. 276
[5]
Ibid,hal. 277-278
[6]
A.M. Sardiman, Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 102
[7]
Ibid., hal. 103
[8]
Ibid., hal. 104
[9]
Ibid., hal. 104
[10]
Hamzah B. Uno, Perencanaan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara,
2007), hal. 35
[11]
Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi (Jakarta:
Rineka Cipta, 1993), 288.
[12]
Ibid., hal. 288
[13]
Hasibuan dan Moedjiono, Proses Belajar
Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar