KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM
BUDAYA TAPANULI
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK II (DUA)
NAMA :
RINA SARI LUBIS
NIM :
DOSEN PENGAMPU
Dr. ALI SATI, M.Ag
NIP. 19620926
199303 1001
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan dan berkat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah “Kedudukan Perempuan dalam Budaya Tapanuli” ini dengan
baik. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Bahasa
Indonesia.
Penulis
berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua,
dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai keluasan kalimat dalam
bahasa Indonesia, khususnya bagi penulis.
Akhir
kata, mungkin dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Kritik dan
saran tentunya sangat kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan. Akhirnya
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Padangsidimpuan, Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Kedudukan Perempuan dari Sisi
Kehidupan terdahulu........... 2
B. Kedudukan Perempuan dari Segi
Keluarga Suami................... 4
C. Kedudukan Perempuan dari Segi Waris..................................... 5
D. Kedudukan Perempuan setelah terjadi
Pergeseran Sosial......... 7
BAB III PENUTUP.................................................................................... 12
A. Kesimpulan...................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 13
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masyarakat di
Kabupaten Tapanuli Selatan adalah masyarakat beradat Angkola yang terdiri dari
beberapa masyarakat marga. Dalam kehidupan social, setiap anggota masyarakat
marga memiliki norma-norma yang sama terhadap minat, dimana para anggota
berperan serta dalam sebuah sistem peran yang saling terbuka—setiap anggota
mengidentifikasi diri satu sama lain sebagai tuntutan dari cita-cita atau
harapan mereka; setiap anggota merasa bahwa kelompok tersebut memberikan
kepuasan; setiap anggota mengupayakan pencapaian tujuan yang saling
berhubungan; setiap anggota memiliki persepsi bersama tentang kesatuan; dan
setiap anggota cenderung bertindak dalam pola perilaku sama terhadap lingkungan
sekitar.
Sejarah
peradaban masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan adalah serentangan kisah
gilang-gemilang di masa lalu tentang kekayaan alam yang melimpah, yang memikat
hati kolonial untuk mengeruknya hingga ke dasar perut bumi. Kekayaan alam yang
mampu menopang kehidupan masyarakat sehingga secara ekonomi hidup lebih sejahtera,
kemudian menghasilkan masyarakat yang secara sosiologis mampu membangun sistem
harapan (system of hope) yang luar biasa untuk hanya mengejar tiga hal dalam
kehidupan: hamoraon (kehormatan), hagabeon (kebahagiaan), dan hasangapon
(kekayaan).
Tidak terlepas
juga dengan kedudukan seorang perempuan dalam budaya Tapanuli Selatan yang
terkenal dengan masyarakat beradat Angkola dan beradat Mandailing. Sejarah
panjang dan gemilang masyarakat tidak terlepas dari peran perempuan dalam
setiap kehidupan masyarakat Tapanuli selatan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan
Perempuan dari Sisi Kehidupan terdahulu
Seperti yang
dapat kita lihat dari suku batak tapanuli selatan ialah dalam suku adat batak
tapanuli selatan, jika dalam sebuah perkawinan muda telah berujung dalam maut
dimisalkan saja yang meninggal adalah seorang perempuan dan Perempuan tersebut meninggalkan anak dan
suaminya. Setelah istrinya dikuburkan dan dalam kelang waktu beberapa saat,
sang anak yang di tinggalkan ibunya tadi pasti akan diminta sang mertua atau
sang ibunya untuk merawat anaknya tersebut, dan sang suaminya tadi pergi
meninggalkan anaknya dengan alasan untuk mencari pekerjaan. Ketika sang suami
tersebut mempunyai keinginan untuk menikah lagi, pasti sang ayah langsung
diizinkan oleh keluarganya dan biasanya jika sang istri mempunyai adik
perempuan, tidak jarang adik perempuan itu di nikahinya, tetapi bagaimana jika
yang meninggal adalah sang laki – laki dan yang ditinggalkan adalah anak dan
istrinya? Apa yang akan terjadi kepada sang perempuan? Apakah sang perempuan
mendapatkan hak istemewa seperti apa yang didapat oleh si laki – laki?
Sebuah realita
yang nyata yang dapat kita lihat di kehidupan kita sehari – hari, tak jarang
perempuan batak yang telah di tinggalkan oleh suaminya tetap hidup sendiri
(janda) dan mengurus anak dengan seorang diri.
Jika si perempuan meminta untuk menikah lagi, pasti tak diizinkan oleh
pihak keluarga dan banyak dibicarakan
oleh orang lain.
Dalam hal ini
saja dapat terlihat bahwa dalam suku batak, khususnya dibatak tapanuli selatan
adanya perbedaan gender yang terjadi. Status dan kedudukan sang laki – laki
lebih di hak istemewakan dari pada hak seorang istri. Maka dapat kita lihat,
tidak jarang perempuan batak yang janda hidup sendiri, ia harus sanggup sebagai
seorang ayah yang dapat membiayai anak – anaknya dan seorang ibu yang dapat mengurus anak – anaknya.[1]
Hidup bekerja keras untuk membiayai keluarganya. Padahal jika kita pikir –
pikir, seorang perempuan juga adalah manusia yang mempunyai perasaan dan
kebutuhan. Perempuan juga butuh teman untuk tidur dan teman untuk berbagi cita
dan duka.
Selain itu
perbedaan gender batak tapanuli selatan kita lihat dimana jika kita pergi ke
huta (perkampungan) dapat kita lihat ibu ibunya bekerja keras baik itu dirumah
maupun diladang untuk memnuhi kebutuhan keluarganya, tetapi sang suami malah
enak – enak di kedai tuak berminum –
minum dn bersenang – senang. Jika sang suami pulang kerja kerumah ia harus
dilayani, dari mempersiapkan makanan, air mandinya dll. Jika semua
permintaanya tidak diberikan ia akan
marah – marah dan memukul sang istri.
Perbedaan gender
juga terjadi kepada sang anak. Anak laki – laki dan anak perempuan. Dalam suatu rumah tangga, jika mereka tidak
mempunyai anak laki – laki mereka akan berusaha selalu membuat anak sampai
mereka mempunyai anak laki – laki. Karna laki – laki itu merupakan menjadi
garis keturunan sang ayah dan pembawa marga. Maka anak laki – laki sangat
istimewa, sehingga dalam kehidupan sehari – hari anak laki – laki sangat di
anak emaskan. Didalam kehidupan sehari – hari, anak laki – laki juga sangt
ditabukan untuk melakukan pekeeerjaan perempuan, anak laki – laki hanya
disiapkan untuk menjadi anak yang sukses dan di tuntut untuk belajar dan
belajar.[2]
Anak laki – laki
walaupun dia masih duduk dibangku sekolah ( sma) kedua orang tuanya sudah
mempersiapkan anak laki – lakinya mau kemana ia akan menempuh hidupnya, misalnya
ia akan dipersiapakan mau kemana ia akan di sekolahkan tingkat tinggi, orang
tuanya tidak peduli mau brp hartanya habis asalkan anak laki – lakinya dapat
sukses. Bandingkan bagaimana jika keadaan itu terjadi pada anak perempuannya?
Orang tuaya akan berpikir 10 x untuk menyekolahkan perempuannya tersebut,
karena ayahnya berpikir anak perempuan ngapain disekolahkan tinggi – tinggi toh
juga anak perempuannya nanti hanya bekerja di dapur.
B.
Kedudukan
Perempuan dari Segi Keluarga Suami
Perbedaan gender
telah banyak membuat para perempuan tersiksa baik itu secara fisik dan
psikologisnya( batinnya). Maka perbedaan gender di masyarakat Tapanuli Selatan
sebaiknya perlu di indahkan. Agar tidak ada yang tersakiti da menyakiti hati
perasaan manusia. Laki dan perempuan merupakan makluk Tuhan, derajatnya sama..
Cuma satu perbedaan diantara perempuan dan laki – laki yaitu perempuan dapat
mengandung dan melahirkan sedangkan laki – laki tidak dapat. Perempuan sekarang
dapat juga melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki – laki yaitu mencari
nafkah.[3]
Derajat perempuan dan laki – laki boleh disamakan dan ayah tetap kepala
keluarga.
Tidak seluruhnya
benar anggapan atau pendapat yang mengatakan bahwa perempuan menjadi inferior
dalam sistem sosial masyarakat Tapanuli Selatan dan seTapanuli Selatanknya,
lelaki, berposisi superior. Benar, etnis Tapanuli Selatan menganut garis
patrinial, namun tak berarti hak dan kedudukan perempuan jadi tereduksi oleh
sistem tersebut secara ekstrim.
Baiklah kita
amati dan buktikan dalam aktivitas kehidupan maupun hajatan adat. Peran serta
perempuan begitu aktif. Bahwa perempuan menjadi 'parhobas' dlm acara adat,
itupun harus dilihat posisinya dalam acara itu. Bila ia, misalnya, berkedudukan
sebagai 'paniaran' atau 'hula-hula' (istri tulang, istri saudara laki-laki),
tentu ia tidak dibolehkan 'marhobas' (yang mengurusi pesta atau hajatan,
termasuk melayani tetamu), sebab dianggap tidak pantas karena tugas tersebut
merupakan kewajiban perempuan (yang sudah menikah atau masih lajang) yang
berstatus 'boru' dalam kenduri adat tersebut.
Para 'paniaran'
atau 'nantulang' maupun 'eda' (ipar perempuan), dipersilakan duduk manis di
tengah hajatan, tidak usah menyampuri dapur atau harus ikut melayani tetamu.
Tetapi di hajatan lain, di mana ia tengah berposisi sebagai 'boru', tugas
'marhobas' itu sewajarnyalah ia lakukan, itu pun bukan suatu hal yang imperatif
atau memaksa, sebab bila misalnya ada boru yang enggan terlibat, dibiarkan saja
dan disindir para kerabatnya.[4]
Artinya, sistem
adat Tapanuli Selatan sebetulnya, memberi giliran bagi seseorang: di mana ia
menjadi "bos" dan kapan ia jadi "pelayan". Jangan salah,
meski kedudukannya saat itu sebagi 'boru', ia pun harus diperlakukan dengan
baik (dielek), ada jambar untuk mereka (hak adat, bisa berupa daging, kata
sambutan/tanggapan, dll) untuk mereka, juga ikan (dengke). Bila boru ngambek,
misalnya, hajatan (ulaon) bisa terancam gagal! Jadi, tak boleh main-main atau
meremehkan boru (dan suaminya).
Sangat menarik
dan sebaiknya diketahui oleh semua perempuan Tapanuli Selatan. Begitu ia resmi
menikah maka statusnya tidak saja istri (parsonduk bolon) tapi juga
kedudukannya otomatis akan setara dengan mertuanya, menjadi "ibu
kedua" bagi adik-adik suaminya, dan menjadi 'paniaran' atau menjadi 'ibu'
bagi komunitas marga.
Dengan kata
lain, sekali ia menikah, ada empat kedudukan yang dimilikinya termasuk jadi ibu
bagi anak-anak kandungnya. Sedemikian berarti dan terhormatnya perempuan bagi
masyarakat adat Batak hingga orangtua yang paham adat dan tata krama ala Tapanuli
Selatan, jauh-jauh hari sudah menyiapkan anak gadisnya agar bisa mendekati
standar perilaku yang dianggap ideal yang disebut 'boru ni raja' itu.[5]
Ada pula
anggapan atau persepsi yang keliru tentang makna 'sinamot' (semacam mahar),
sebetulnya bila dipahami secara benar, sinamot bukanlah 'uang jual-beli'
seorang boru! Itu semacam balasan atau imbalan yang dianggap sepatutnya
diberikan pihak laki-laki (paranak) kepada orangtua calon istri: sebagai bukti
bahwa boru mereka akan 'dirajakan' atau dihormati dengan cara dijadikan istri
bagi anak lelaki pihak yang meminang, atau akan jadi menantu untuk orangtua
lelaki dan kelak menjadi 'paniaran' bagi marga sang lelaki.
C.
Kedudukan
Perempuan dari Segi Waris
Selain dalam
hukum adat pernikahan dan kekerabatan, kedudukan dan peran perempuan Tapanuli
Selatan pun terlihat pada hukum adat waris. Dimana secara umum, hukum adat
waris tersebut dalam suatu keluarga adalah milik dan hak kedua belah pihak
(ayah dan ibu). Akan tetapi hukum adat waris ini antara satu daerah dengan
daerah lainnya di Indonesia tidak demikian.[6]
Hukum adat waris
itu sendiri dibentuk berdasarkan hukum atau sistem kekerabatan yang dianut oleh
suatu daerah. Dalam pembahasan ini adalah daerah Tapanuli Selatan, sehingga
dari hukum kekerabatan Tapanuli Selatan yang patrilinial berpengaruh pada hukum
adat yang memandang laki-laki sebagai pihak yang berhak atas seluruh harta
waris keluarga. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yakni :[7]
1)
Silsilah keluarga didasarkan atas
laki-laki dan bukan perempuan
2)
Di dalam keluarga, istri bukan kepala
keluarga, anak memakai nama (marga) dari ayah. Begitu juga dengan sang istri
3)
Dalam hukum adat, perempuan tidak dapat
mewakili ayahnya, sebab ia masuk anggota keluarga suami
4)
Dalam adat, laki-laki dianggap sebagai
orang tua (sekaligus ibu)
5)
Apabila terjadi perceraian antara
suami-istri, maka hak pengasuhan atas anak-anaknya akan jatuh pada ayah
Berdasarkan ikatan kekeluargaan patrilineal yang
akan menjadi ahli waris terhadap harta kekayaan orang tua baik yang bersifat
materiil maupun imateriil memiliki syarat:[8]
a)
Harus memiliki hubungan darah
b)
Anak harus laki-laki,
c)
Dalam hal ini bila tidak ada anak
laki-laki ahli waris, maka diganti oleh anak angkat laki-laki
d)
Anak perempuan (biasanya anak perempuan
tunggal) yang ditetapkan sebagai laki-laki yang disebut satu anak satu boru.
Kemudian dari persyaratan
tersebut, adapun persyaratan lainnya untuk seorang laki-laki agar senantiasa
dapat dianggap sah atas hak waris keluaraganya yakni dengan tidak melaksanakan
pernikahan nyeburin dan tidak durhaka pada orang tua dan leluhurnya. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam menerima harta waris, seorang laki-laki pun harus mampu
menjadi seorang yang berkepribadian baik. Sehingga nantinya, dalam menerima dan
memanfaatkan harta waris yang diserahkan padanya, si laki-laki tersebut dapat
bersikap bijaksana. Hak waris pun dapat jatuh pada perempuan namun harus
melalui berbagai cara. Artinya, harta waris dapat dimiliki seorang perempuan
jika benar-benar terdapat kondisi yang mengharuskan hal tersebut dilakukan.
Namun, buka berarti hal ini diijinkan, sebab hukum adat dari Tapanuli Selatan telah
memastikan hak mengenai harta waris yang paling utama adalah bagi seorang
laki-laki yang merupakan calon pemimpin bagi keluarga.
D.
Kedudukan
Perempuan setelah terjadi Pergeseran Sosial
Akan tetapi
seiring dengan bergulirnya jaman, perempuan mulai bergerak aktif dalam
masyarakat. Karena hal tersebut, mulai terlihat tanda-tanda adanya pergeseran
dari peranan perempuan itu sendiri. Pergeseran yang muncul dan terlihat bukan
hanya dalam hal tugas-tugas saja melainkan terlihat pula dalam beberapa
kebudayaan seperti status sosial, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan
pendidikan. Tentu, pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam kehidupan dan
kebiasaan perempuan Tapanuli Selatan ini dipengaruhi oleh budaya luar. Dimana
dari hal tersebut akan menimbulkan perubahan yang cepat dalam kebiasaan dan
hukum adat yang biasa dilakukan oleh perempuan Tapanuli Selatan. Sehingga dari
hal tersebut, akan mempengaruhi keaslian dan kemurnian sifat, sikap, dan
perilaku seorang perempuan Tapanuli Selatan. Berdasarkan uraian tersebut, dapat
dipaparkan selanjutnya dalam pemaparan di bawah ini.
a. Pergeseran
Status Sosial Perempuan di Tapanuli Selatan
Sistem sosial
merupakan suatu kehidupan yang tidak terisolasi, melainkan terintegrasi, satu
sama lain saling berinteraksi dengan masing-masing menempati kedudukan
tertentu. Dalam kaitannya dengan pergeseran status sosial pada kedudukan dan
peran perempuan Tapanuli Selatan, terdapat beberapa unsur penting pembentuk
hubungan sosial yang dapat dikaji untuk memperoleh data guna memahami mengenai
pergeseran kedudukan dan peran perempuan Tapanuli Selatan.[9]
Beberapa unsur tersebut diantaranya yakni :
a)
Sistem Penarikan Garis Keturunan
Berdasarkan
sistem penarikan garis keturunan, kedudukan dan peranan perempuan Tapanuli
Selatan dianggap tidak ada. Hal ini dikarenakan daerah Tapanuli Selatan
menganut sistem patrilinial dimana pihak laki-laki yang berhak atas harta
kekayaan, anak hasil perkawinan, maupun kewajiban dan hak lainnya. Pada masa
dulu, norma ini sangat dijunjung dan ditaati oleh masyarakat Tapanuli Selatan.
Akan tetapi dari adanya kemajuan dan perkembangan jaman, pada sistem penarikan
garis keturunan ini mulai bergeser. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya
pewarisan harta kekayaan, anak hasil perkawinan, dan harta lainnya tidak secara
utuh menjadi hak dari keluarga laki-laki. Melainkan, perempuan telah memperoleh
sebagian hak atas harta dan pengasuhan anak. Ini terjadi, karena perempuan Tapanuli
Selatan memiliki dan merasa mampu untuk mendapatkan mata pencahariannya
sendiri. Dari hal itu, perempuan dapat mencari nafkah tambahan bagi
keluarganya, sehingga ketika terjadi perpisahan, maka separuh hak atas harta
maupun anak berada pada pihak perempuan. Dengan demikian jelas bahwa telah
terjadi pergeseran pada kedudukan dan peranan perempuan di daerah Tapanuli
Selatan.
b) Kelompok
Kekerabatan
Pergeseran
peranan dan kedudukan perempuan Tapanuli Selatan dapat ditinjau dari segi
kepemimpinan dan keanggotaan baik dalam kelompok kekerabatan yang terkecil
(keluarga menek), maupun kelompok kekerabatan besar (keluarga godang). Keluarga
menek ini terdiri dari suami, istri, dan anak-anak; belum menikah atau dapat
disebut keluarga inti yang sederhana. Dalam hal ini, dilihat dari masa lampau
kedudukan dan peran perempuan Tapanuli Selatan dalam keluarga batih hanya pada
status sebagai anggota dan tidak memiliki hak untuk memutuskan sesuatu hal bagi
keluarga batih. Akan tetapi hal tersebut mulai bergeser, dimana seorang istri
dalam keluarga kecil pada masa sekarang ini dapat memutukan sesuatu untuk
keluarga menek. Sebab, istri dapat berperan ganda sebagai ibu dan juga pemimpin
rumah tangga. Hal tersebut dipicu pula oleh adanya kemampuan seorang perempuan Tapanuli
Selatan yang dapat melakukan aktivitas ekonomi.
Tidak
hanya pada lingkup keluarga menek, pada keluarga yang lebih luas kedudukan dan
peranan perempuan Tapanuli Selatan juga mengalami pergeseran. Dimana seorang perempuan
awalnya hanya sebagai pelengkap dalam kegiatan rumah tangga dan upacara-upacara
adat. Akan tetapi, pada masa sekarang perempuan Tapanuli Selatan memiliki peran
dan kedudukan yang jauh lebih penting dari laki-laki. Perempuan Tapanuli
Selatan dapat menjadi penentu dan memberi keputusan atas berbagai kegiatan
keluarga luas serta menjadi tokoh penting dalam upacara-upacara adat. Perempuan
dianggap paling mengerti dan memahami mengenai tata cara upacara maupun materi
dari upacara.
c) Adat
Menetap Setelah Menikah
Pada
sistem sosial masyarakat Tapanuli Selatan, bagi perempuan yang telah menikah
mutlak harus mengikuti kehendak kerabat laki-laki. Dalam hal ini yang
dimaksudkan adalah hukum adat menetap setelah menikah. Seorang perempuan harus
mengikuti adat virilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar
tempat kediaman kaum kerabat suami (laki-laki). Pada masa sekarang ini, adat
setelah menikah yang dianut oleh masyarakat Tapanuli Selatan ini masih
dilaksanakan. Meski begitu, adat menetap ini telah mengalami pergeseran.
Seorang perempuan Tapanuli Selatan pada masa ini, dapat memilih tempat tinggal
yang baru dengan tidak mengelompok pada kediaman kerabat suaminya. Terdapat
kecenderungan bahwa adat menetap virilokal berganti menjadi adat menetap
neolokal. Hal ini merupakan hasil dari adanya kedudukan dan majunya pendidikan
yang perempuan Tapanuli Selatan peroleh dan pendapatan ekonomi mereka yang
tidak dapat diremehkan.
b. Pergeseran
Dalam Mata Pencaharian Perempuan di Tapanuli Selatan
Pergeseran
kedudukan dan peranan perempuan Tapanuli Selatan dalam sistem mata pencaharian
dapat terlihat dari adanya berbagai bidang ekonomi yang juga mengalami
perubahan. Dimana hal tersebut membuat kaum perempuan di Tapanuli Selatan
bergeser peran dan kedudukannya, Pada mulanya, seorang perempuan Tapanuli
Selatan hanya berperan dalam mengurusi rumah tangga. Akan tetapi pada masa
kini, peran perempuan tersebut berubah, tidak hanya melakukan aktivitas sebagai
pengurus rumah tangga. Akan tetapi, kaum perempuan pun ikut bekerja dalam
bercocok tanam atau bertani. Pada masa lalu, perempuan juga sering membantu
dalam bertani, tetapi bukan sebagai pekerja utama dalam bertani melainkan hanya
sebagai penunjang. Bentuk pergeseran yang semacam ini pada akhirnya melunturkan
nilai-nilai kebiasaan dan kebudayaan dari masyarakat Tapanuli Selatan itu
sendiri.
c. Pergeseran
Kedudukan Perempuan Dalam Pendidikan
Pergeseran yang terjadi dalam
masyarakat Tapanuli Selatan berkaitan dengan pendidikan seorang perempuan,
dapat diuraikan bahwa pada masa lampau seorang perempuan Tapanuli Selatan
dianggap tidak berhak untuk menempuh pendidikan hingga jenjang yang tinggi. Hal
tersebut berbeda dengan masa kini, dimana peran perempuan yang cenderung lebih
penting dan berpengaruh di lingkungan masyarakat. Penting dan berpengaruhnya
peranan perempuan menjadikannya berkedudukan lebih tinggi. Dari semua hal
tersebut, merupakan hasil dari tingkat pendidikan perempuan Tapanuli Selatan
yang mengalami peningkatan baik melalui pendidikan formal, informal, maupun non
formal. Kebebasan bagi perempuan untuk menempuh pendidikan ini semakin membuat
kedudukan perempuan tidak dapat diremehkan. Bahkan dalam banyak hal, pendapat
yang diajukan oleh perempuan sering kali lebih diterima dan diyakini.
Berdasarkan
uraian diatas pergeseran kedudukan dan peran perempuan Tapanuli Selatan akibat
adanya pendidikan dapat dikatakan menuju ke arah yang baik (positif). Dapat
dilihat bahwa perempuan mulai memperoleh penghargaan sesuai dengan peran ganda
mereka yang cukup luas dan peranan perempuan sebagai seorang pendidik anak-anak
mereka di lingkungan rumah tangga, telah bergeser atau sebagian besar diambil
alih oleh para pendidik di sekolah-sekolah maupun oleh para tutor,
kursus-kursus keterampilan di masyarakat.
Dari
itu dapat disimpulkan bahwa dalam adat masyarakat Tapanuli Selatan, kedudukan
dan peranan perempuan mengalami pergeseran yang meliputi; sistem sosial, sistem
kekerabatan, adat tempat tinggal, sistem
mata pencaharian, religi, dan pendidikan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang telah dipaparkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan
dan peran dari perempuan Tapanuli Selatan pada masa anak-anak, remaja, dan
setelah menikah lebih pada kedudukannya yang penting dan peranannya yang lebih
banyak pada pelaksanaan upacara-upacara adat di daerah Tapanuli Selatan. Selain
itu pada perkembangan selanjutnya, masa menapaki jenjang pernikahan, kedudukan perempuan
apapun kondisinya baik berkasta rendah maupun tinggi tetap harus berada pada
kedudukan di bawah laki-laki. Sistem patrilinial memandang adanya perbedaan yang
memang mendasar pada laki-laki dan perempuan. Dimana laki-laki memang diberi
hak-hak untuk mendapat kekuasaan yang lebih tinggi, memperoleh hak atas harta
dan hak lain yang telah dimilikinya dari keluarga.
Mengenai
kedudukan dan peranan perempuan pada hukum adat masyarakat Tapanuli Selatan
lainnya yakni pada hukum adat waris dimana hukum tersebut dapat ditentukan
berdasarkan hukum kekerabatan. Dimana dalam hal ini, Tapanuli Selatan yang
menganut hukum kekerabatan patrilinial, hukum adat dalam waris pun jatuh pada
laki-laki. Akan tetapi perlu digaris bawahi pula bahwa dalam hukum adat Tapanuli
Selatan meskipun pada beberapa hukum adat sangat diuatamakan untuk seorang
laki-laki, akan tetapi kedudukan seorang perempuan dalam hukum adat Tapanuli
Selatan terutama dalam upacara-upacara adat sangat dihormati. Selain itu,
seiring dengan perkembangan jaman kedudukan dan peranan dari perempuan Tapanuli
Selatan mengalami pergeseran yang meliputi; sistem sosial, sistem kekerabatan,
adat tempat tinggal, sistem mata pencaharian, religi, dan pendidikan. Akan
tetapi pergeseran yang dialami dalam kedudukan dan peranan perempuan Tapanuli
Selatan ini bukan berarti menuju ke arah yang negatif melaikan positif.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahril Hidayat, 2004.
Tema-tema Psikologis dalam tradisi Mangupa pada pasangan pernikahan pemula
dalam masyarakat perantau Tapanuli Selatan di Pekanbaru. Yogyakarta: Program
Studi Psikologi FPSB UII.
Koentjaranigrat,
2002, Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Elfitriana Kaspy
Lubis, 1988. Tradisi Mangupa dalam masyarakat suku Batak Angkola Mandailing,
skripsi (tidak diterbitkan), Pekanbaru: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Riau.
Marpaung Marakub,
1969. Djop ni Roha Pardomuan (Paradaton Tapanuli Selatan) Padang
Sidempuan: Pustaka Timur.
Persadaan Marga
Harahap Dohot Boruna, 1993. Horja: adat-istiadat Dalihan Na Tolu,
musyawarah adat Persadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna di Padang Sidempuan
26-27 Desember 1991, Bandung: PT. Grafiti.
[1]
Bahril Hidayat, 2004. Tema-tema
Psikologis dalam tradisi Mangupa pada pasangan pernikahan pemula dalam
masyarakat perantau Tapanuli Selatan di Pekanbaru. (Yogyakarta: Program Studi Psikologi FPSB UII),
hal. 98
[2]
Koentjaranigrat, Manusia dan
kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan. 2002) hal. 76
[3]
Ibid., hal. 78
[4]
Marpaung Marakub, Djop ni
Roha Pardomuan (Paradaton Tapanuli Selatan), (Padang Sidempuan: Pustaka Timur. 1969),
hal. 56
[5]
Ibid., hal. 57
[6]
Persadaan Marga Harahap Dohot
Boruna, Horja: adat-istiadat Dalihan Na Tolu, musyawarah adat
Persadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna di Padang Sidempuan 26-27 Desember
1991, (Bandung:
PT. Grafiti, 1993),
hal. 102
[7]
Marakub Marpaung , Op. Cit., hal. 104
[8]
Marakub Marpaung , Op. Cit., hal. 105
[9]
Elfitriana Kaspy Lubis, Tradisi
Mangupa dalam masyarakat suku Batak Angkola Mandailing, skripsi (tidak
diterbitkan), (Pekanbaru:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau. 1988), hal. 90
HIS Graha Elnusa Hubungi : 0822 – 9914 – 4728 (Rizky)
BalasHapusMenikah adalah tujuan dan impian Semua orang, Melalui HIS Graha Elnusa Wedding Package , anda bisa mendapatkan paket lengkap mulai dari fasilitas gedung full ac, full carpet, dan lampu chandeliar yg cantik, catering dengan vendor yang berpengalaman, dekorasi, rias busana, musik entertainment, dan photoghraphy serta videography. Kenyaman dan kemewahan yang anda dapat adalah tujuan utama kami.