METODE PENETAPAN HUKUM MELALUI MAQASAD SYARI’AH
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 13 (TIGA BELAS)
1.
NUL KAMALIA
HASIBUAN 1520100153
2.
AMARDIAH 1520100146
DOSEN PENGAMPU
AHMAD TAUFIK
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur mari kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmad
dan karunianya kepada penulis, sehingga penulis beserta bisa menyusun makalah
ini dengan judul ”Metode Penetapan Hukum Melalui Maqasad Syari’ah”.
Sholawat dan salam kita hadiahkan ke arwah
Nabi besar Muhammad SAW, seorang pemimpin sejati, suri tauladan yang baik bagi
semua umat, yang telah membawa kita ke zaman modern yang penuh dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini.
Penulis
berharap makalah ini bisa bermanfaat serta memberikan sumbangan pengetahuan
bagi semua pihak yang tertarik dan ingin mengetahui tentang perpajakan yang ada
di Indonesia. Makalah ini juga diharapkan bisa menjadi penambah literatur
(daftar bacaan) khususnya bagi mahasiswa IAIN Padangsidimpuan.
Namun
demikian, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari semua
pihak demi penyempurnaan makalah ini.
Akhir
kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, bersama ini penulis
mempersembahkan makalah dengan judul ” Metode Penetapan Hukum Melalui Maqasad
Syari’ah” kehadapan para pembaca.
Padangsidimpuan, Desemberr 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah.................................................... 2
B. Peran Maqashid Al-Syari’ah
Dalam Pengembangan
Hukum Islam.................................................................................... 3
C. Pengertian Maslahah Dalam Hukum
Islam...................................... 4
D. Jenis-Jenis Maslahah........................................................................ 4
E. Asas
Hukum Islam .......................................................................... 7
F. Penerapan Al-Maslahah Sebagai
Dalil Dan
Metodologi Istinbat Hukum............................................................ 11
BAB III PENUTUP.................................................................................... 13
A. Kesimpulan...................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perlu diketahui
Ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa nash al-Qur’an dan Hadits Nabi selain
menunjukkan hukum melalui bunyi bahasanya juga juga melalui Ruh Tasryi’
Ataumaqasid Syari’at. Melalui Maqasid Syari’at inilah ayat-ayat dan
hadist-hadist hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat
dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian
kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Pengembangan ini
dilakukan dengan menggunakan metode Istinbat Seperti Qiyas, Istihsan, Maslahah
Mursalah, Dan ‘Urf yang pada sisi lain juga disebut sebagai Dalil.
Oleh karenanya, didalam makalah ini akan
diuraikan mengenai, pengertian maqasid syari’ah, peran maqashid syari’ah dalam
menetapkan hukum menurut pandangan Imam Al-Syatibi, pengertian Al-Maslahah
dalam hukum Islam, dan penerapan Al-Maslahah sebagai dalil dan metodologi
istinbat hukum.
Oleh karena hal
di atasalah, sehingga saya memilih judul ini untuk saya kaji dan pahami lebih
dalam, bahwa selain al-qur’an dan hadist, ada landasan hukum lain yang bisa
kita gunakan demi mencapai yang namanya kemaslahatan hidup.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Maqashid Al-Syari’ah
Ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa nash al-Qur’an dan
Hadits Nabi selain menunjukkan hukum melalui bunyi bahasanya juga juga melalui ruh
tasryi’ atau maqasid syari’at. Melalui Maqasid Syari’at
inilah ayat-ayat dan hadist-hadist hukum yang secara kuantitatif sangat
terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan
yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas,
istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi lain juga disebut
sebagai dalil.[1]
Secara bahasa
maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan Al-Syari’ah.
Maqashid bentuk jamak dari “maqshid” yang berarti tujuan atau kesengajaan.
Al-Syari’ah diartikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air.
Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sember
pokok kehidupan.
Sedangkan
syari’ah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat
manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar
hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.
Menurut Manna
al-Qattan yang dimaksud dengan Syari’ah adalah segala ketentuan Allah yang
disyari’atkan bagi hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun
muamalah.
Jadi, dari
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Maqashid
al-Syari’ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat
manusia.
Istilah maqashid
al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam
karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah:
هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين
والدنيامعا
“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah
dalam mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara
bersama-sama”.[2]
B.
Peran
Maqashid Al-Syari’ah Dalam Pengembangan Hukum Islam
Pengetahuan
tentang Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf,
adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami
redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan
yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang
tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.[3]
Metode istinbat,
seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode
pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid syari’ah. Qiyas,
misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid syari’ahnya
yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang
kasus diharamkannya minuman khamar (QS. al-Maidah : 90). Dari hasil penelitian
ulama ditemukan bahwa maqasid syari’at dari diharamkannya khamar ialah karena
sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi
alasan logis (‘illat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukannya,
sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang
memabukkan.
Dari sini dapat
dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya
memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam suatu ayat
atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi).
Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara
khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-kannya yang dikenal dengan al-maqis
‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).
C.
Pengertian
Maslahah Dalam Hukum Islam
Mashlahah sering
juga disebut dengan istilah istidlal, istislah. Terhadap istilah ini ulama
ushul berbeda-beda dalam memberikan definisi.
1.
Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan:
Maslahah yaitu maslahah yang
ketentuan hukumnya tidak digariskan oleh Tuhan dan tidak ada dalil syara’ yang
menunjukkan tentang kebolehan dan tidaknya maslahah tersebut.
2.
Abu Zahrah dalam kitabnya ushul fiqih
menyatakan:
Maslahah atau istislah yaitu segala
kemaslahatan yang ejalan dengan tujuan-tujuan syari’ (dalam menentukan hukum)
dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjuk tentang diakui atau
tidaknya.
3.
Yusuf Musa mmemberikan pengertian:
Maslahah yaitu segala kemaslahatan
yang tidak diatur oleh ketentuan syara’ dengan mengakui atau tidaknya akan
tetapi mengakuinya dapat menarik manfaat dan menolak kemadaratan.
Menurut istilah
malikiyah dan istilah al-Ghozali menyimpulkan bahwa maslahah adalah segala
sesuatu yang dapat menjamin kemaslahatan dan kepentingan manusia yang sejalan
dengan tujuan syar’i dalam mensyari’atkan hukum.
Sebagai contoh
maslahah ini dapat di rumuskan, misalnya pengumpulan Al-Qur’an dalam satu
muskhaf, pembuatan mata uang, pencatatan perkawinan dan lain sebagainya yang
kesemuanya merupakan ketetapan yang dapat mendatangkan kemaslahatan, walaupun
tidak ada ketegasan dari syara’ tentang diakui atau tidaknya dan kemaslahatan
itu ternyata memang sejalan dengan tujuan pembinaan hukum Islam yaitu
mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.[4]
D.
Jenis-Jenis Maslahah
Ulama Ushul
Fiqih membagi maslahah menjadi tiga bagian:
1.
Daruriyat adalah memelihara
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan
penting tersebut biasa dinamakan al-Maqashidul khomsah antara lain memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Penjabarannya:
a)
Agama, untuk maksud ini Islam antara
lain mensyari’atkan jihad untuk mempertahankan aqidah islamiyah, mewajibkan
memerangi orang yang mencoba mengganggu umat islam dalam menjalankan kewajibkan
agama dan menghukum orang yang murtad dari islam, dsb.
b)
Jiwa, untuk maksud ini islam antara lain
mensyari’atkan pemenuhan kebutuhan biologis manusia berupa sandang, pangan,
papan. Begitu pula; hukum qishos atau diyaat bagi orang yang melakukan
kesewenang-wenangan terhadap keselamatan jiwa orang lain, dsb.
b)Akal,
untuk maksud ini islam antara lain mensyari’atkan larangan minum-minuman keras
dan segala sesuatu yang dapat merusak akal, dan menjatuhkan hukuman bagi setiap
orang yang melanggarnya, dsb.
c)
Keturunan, untuk maksud ini islam
mensyari’atkan larangan perzinaan, menuduh zina terhadap perempuan mukhshonat,
dan menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang melakukannya.
d)
Harta, untuk maksud ini islam
mensyari’atkan larangan mencuri dan menjatuhkan pidana potong tangan bagi
setiap orang yang melakukannya, begitu pula larangan riba, bagi setiap orang
yang membuat rusak atau hilangnya barang orang lain, dsb.[5]
Tidak
terpeliharannya kebutuhan-kebutuhan
tersebut tentu akan berakibat negatif pada kelima unsur pokok tersebut.
2.
Hajiyat, bukan merupakan kebutuhan
esensial, tetapi kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan
dalam hidupnya. Tidak terpenuhinya kebutuhan hajiyat akan mengancam eksistensi
kelima hal pokok di atas, tapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi seseorang.
Karena Allah SWT berfirman Q.S.
Al-Maidah ayat 6 :
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã£g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4 $tB ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 crãä3ô±n@ ÇÏÈ
Artinya
: 6. Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404]
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Contoh:
Mengqashor dan menjama’ sholat dalam perjalanan, tayamum diwaktu tidak ada air,
membeli barang dengan cara pesanan dengan cara memberikan identitas.[6]
3.
Tahnisiyat
adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat
dan dihadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan dan kesempurnaan akhlak yang
mulia.[7]
E.
Asas
Hukum Islam
a. Tidak
menyulitkan ('adamul kharaj)
Yang dimaksud tidak menyulitkan
adalah hukum islam itu tidak sepi, sempit, sesak,tidak memaksa dan tidak
memberatkan. Diantara cara meniadakan kesulitan itu, ada beberapa bentuk:
1)
Pengguguran kewajiban, yaitu dalam
keadaan tertentu kewajiban shalat jum’at dan gugurnya kewajiban puasa di bulan
Ramadhan bagi orang yang sedang dalam keadaan dalam perjalanan atau sakit.
2)
Pengurangan kadar yang telah ditentukan,
seperti qashar shalat dari yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat,
yaitu shalat Dzuhur, Ashar, dan Isya’.
3)
Penukaran, yaitu penukaran satu
kewajiban dengan yang lain, seperti wudhu atau mandi besar ditukar dengan
tayamum, atau menukar kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan hari lain
bagi orang yang mempunyai halangan puasa Ramadhan.
4)
Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu
kewajiban sebelum waktunya hadir seperti shalat jama’ taqdim, shalat Ashar yang
dilaksanakan pada waktu Dzuhur, melaksanakan shalat Isya pada waktu shalat
magrib.
5)
Menangguhkan atau mengtakhirkan kewajiban yaitu mengerjakan suatu kewajiban
setelah waktunya tidak ada seperti shalat jama’ takhir, mengerjakan shalat
Dzuhur di waktu shalat Ashar atau mengerjakan shalat Magrib di waktu shalat
Isya.
6)
Mengubah dengan bentuk lain, seperti
merubah perbuatan shalat dengan shalat khauf karena alasan keamanan, atau
mengganti kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak kuat lagi puasa dengan
membayar fidyah.
b. Menyedikitkan
beban (taqlil at-taklif)
Menyedikitkan beban, yaitu dengan
menyedikitkan tuntutan Alloh untuk berbuat, mengerjakan perintahNya dan
menjauhi laranganNya.
c. Berangsur-angsur
(tadrij fi at-tasyfa)
Hukum islam dibentuk secara
gradual, tidak sekaligus. Diantara hukum islam yang diturunkan secara gradual
adalah riba.[8]
Pertama hanya dikatakan sebagai
perbuatan tercela dalam (Qs.al-Rum: 39)
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
Artinya
: “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta
manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka
(yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”.(Q.S Al-rum: 39)
Kemudian riba yang dilarang adalah yang
berlipat ganda (Qs. Ali imron: 130)
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.(Q.S Ali Imran: 130)
Yang dimaksud
Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba
nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua
macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan
oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan
barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi,
dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Terakhir dikatakan hukum secara mutlak dalam
(Qs. Al-Baqoroh: 275)
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
Artinya
: “Orang-orang
yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah:275)
Demikian juga dalam pelarangan
minuman keras, awalnya hanya dikatakan bahwa mudharatnya lebih besar dari
manfaatnya (Qs. Al-Baqoroh: 219)
* y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ÌôJyø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgÏù ÖNøOÎ) ×Î72 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 tRqè=t«ó¡our #s$tB tbqà)ÏÿZã È@è% uqøÿyèø9$# 3 Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# ãNä3s9 ÏM»tFy$# öNà6¯=yès9 tbrã©3xÿtFs? ÇËÊÒÈ
Artinya : “Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”(Q.S
Al-Baqarah: 219)
Kemudian larangan untuk mendekati shalat dalam
keadaan mabuk (Qs. an-Nisa: 43)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? wur $·7ãYã_ wÎ) ÌÎ/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3Ï÷r&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî ÇÍÌÈ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan
junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu
sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”(Q.S.An-Nisa: 43)
Dan terkhir diharamkan secara
mutlak bahkan dikatakan sebagai perbuatan syetan (al-Maidah: 90)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
(Q.S.Al-Maidah: 90)
F.
Penerapan
Al-Maslahah Sebagai Dalil Dan Metodologi Istinbat Hukum
Sudah kita
ketahui bahwasannya jenis-jenis al-maslahah ada tiga macam, yaitu: dhoruriyyah,
hajiyah dan tahnisiyyah. Dari ketiga macam tersebut muncul beberapa mabadi /
prinsip-prinsip bersifat global yang telah dijadikan metode para ahli fiqh
dalam mencari istinbath hukum.
Dibawah ini
adalah contoh dari prinsip-prinsip di atas:
1.
Ad-dhororu yuzaalu
“wajib menghilangkan kerusakan yang
telah terjadi"
Contoh: disyari’atkan konsep khiyar
bagi akad yang memiliki kerusakan seperti khiyar terhadap barang yang memiliki
aib, begitu juga diwajibkan berobat bagi yang sakit.
2.
Darul mafaasid awlaa min jalbil
al-manaafi
“menolak terjadinya kerusakan itu
lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahah”
Contoh: diharamkan menjual semua
jenis khamr walaupun dapat memberi keuntungan ekonomi.
3.
Ad-dhoruuroot tubikhu al-makhdzurot
“dalam keadaan gawat darurat,
diperbolehkan untuk melakukan hal yang dilarang”
Contoh: diperbolehkan bagi orang
yang kelaparan di hutan belantara untuk memakan bangkai atau barang yang
diharamkan syara’ demi keberlangsungan hidupnya.[9]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Maqashid al-Syari’ah adalah tujuan
segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia.
2.
Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan
oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan
alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan
dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk
menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah
secara kajian kebahasaan.
3.
Menurut istilah malikiyah dan istilah
al-Ghozali menyimpulkan bahwa maslahah adalah segala sesuatu yang dapat
menjamin kemaslahatan dan kepentingan manusia yang sejalan dengan tujuan syar’i
dalam mensyari’atkan hukum.
4.
Ulama Ushul Fiqh membagi jenis-jenis
maslahah menjadi tiga bagian: Daruriyat, Hajiyat, Tahsiniyat.
5.
Asas hukum Islam ada tiga yaitu tidak
menyulitkan ('adamul kharaj), menyedikitkan beban (taqlil at-taklif) dan
berangsur-angsur (tadrij fi at-tasyfa).
6.
Penerapan Al-Maslahah sebagai dalil dan
metodologi istinbat hukum yang mempunyai contoh dari prinsip-prinsip yaitu
Ad-dhororu yuzaalu, darul mafaasid awlaa min jalbil al-manaafi, ad-dhororuuroot
tubiichu al-machdhzuurot.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmawi,2012. Studi Hukum Islam, Yogyakarta: Teras.
Effendi, Satria, 2005.
Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media.
Jumantoro, Totok,
Samsul Munir Amin, 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah.
Shidiq, Saipudin, 2011.
Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Zidan, Abdul
Karim, 1976. Al-Wajiz, Baghdad:
Muassasah Ar-risalah.
Zuhri, Mohammad, 1980. Tarikh Tasyrik Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Semarang: Daarul
Ihya.
Zuhri, Saifudin,
2009. Ushul Fiqih Akal
Sebagai Sumber Hukum Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1]
Saipudin Shidiq, Ushul Fiqih,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.223
[2]
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus
Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.196
[3]
Satria Effendi, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.237
[4]
Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal
Sebagai Sumber Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 81-85
[5]
Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal
sebagai Sumber Hukum Islam, hlm 105-107
[7]
Asmawi, Studi Hukum Islam,
(Yogyakarta: Teras, 2012), hlm 112
[8]
Mohammad, Zuhri, Tarikh Tasyrik
Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Semarang: Daarul Ihya, 1980), hlm 39-40
[9]
Abdul Karim Zidan, Al-Wajiz, (Baghdad:
Muassasah Ar-risalah, 1976 M), hlm.383
Tidak ada komentar:
Posting Komentar