AL-AHWAL
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
1.
ANDI SYAHPUTRA 1530200010
2.
ADELINDA HUTASUHUT 1530200015
3.
SITI SALEHA HARAHAP 1530200020
DOSEN PEMBIMBING :
Drs. AGUS SALIM LUBIS, M.Ag
NIP. 19630821 199303 1
003
JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2016/2017
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang menyayangi tanpa
pernah meminta imbalan dari mahluk-Nya, yang atas berkat rahmat, inayah serta
hidayah-Nya lah kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak
lupa shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat, serta, umatnya yang membela risalahnya sampai
akhir jaman.
Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
dan benar, yang merupakan salah satu tugas mata kuliah, dalam memenuhi tugas
tersebut maka kami menyusun makalah yang berjudul “Al-Ahwal” kami telah
mendapatkan bantuan dari beberapa sumber yang telah di lampirkan di halaman pada Daftar Pustaka.
Kami
berharap makalah ini dapat menambah wawasan kepada pihak yang membacanya. Kami
sadar sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Apabila terdapat
kesalahan yang kecil ataupun yang fatal kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada pihak yang
membaca makalah ini. Dan kami juga menerima kritik dan saran terhadap makalah
yang kami buat ini, mudah-mudahan dengan adanya kritik dan saran kami dapat
membuat makalah yang lebih bagus lagi di hari kemudian.
Padangsidimpuan, Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Al-
Ahwal........................................................................................ 2
B. Macam-Macam Karakteristik Sufi................................................... 4
BAB III PENUTUP.................................................................................... 14
A. Kesimpulan...................................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang
Pada dasarnya
setiap ilmu pengetahuan satu dan lainnya saling berhubungan. Namun hubungan
tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan, dan ada pula yang agak
jauh.
Secara harfiah
terdapat beberapa penafsiran tentang arti istilah sufi. Di antara penafsiran
itu antara lain menyebutkan bahwa kata sufi bermula dari kata safa (suci hati
dan perbuatan), saff (barisan terdepan di hadapan Tuhan), suffah (menyamai
sifat para sahabat yang menghuni serambi masjid nabawi di masa kenabian),
saufanah (sejenis buah/buahan yang tumbuh di padang pasir), safwah (yang
terpilih atau terbaik), dan bani sufah (kabilah badui yang tinggal dekat ka’bah
di masa jahiliyah.
Selain itu
seseorang yang menuntut ilmu pengetahuan haruslah mempunyai jiwa yang baik
sehingga dapat menerima ilmu dengan baik pula. Contohnya kita tidaklah boleh
selalu merasa senang, sedih, takut dan sebagainya, jadi keadaan jiwa kita
haruslah stabil. Dalam hal ini disebut ahwal, dalam pengertian lain ahwal
adalah situasi kejiwaan yang yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari
Allah SWT, bukan dari hasil usahanya sendiri.
Memperbaiki budi pekerti dan membersihkan jiwa hanyalah bisa dilakukan
dengan semata-mata mengikuti sunnah nabi dimana berkat mengikuti sunnah nabi
dan meneladaninya akan membuahkan hasil berupa ahwal yang baik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Al-
Ahwal
Ahwal adalah
bentuk jamak dari “Hal” yang berarti keadaan mental seperti perasaan senang,
sedih, takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut Ahwal ialah takut( Khauf) rendah hati (al-Tawadlu)
patuh(taqwa) ikhlas (al-ikhlas) rasa berteman al-Uns) gembira hati( Al-Wajd)
berterima kasih ( Al-Syukr). Raja’ , syauq dan mahabbah. Hal sangat berlainan
dengan maqam, karena maqam sebagai proses untuk mendekatkan diri kepada tuhan dengan cara perjuangan melawan hawa
nafsunya yang sangat terjal, sedangkan ahwal merupakan sebuah fadhal
(keutamaan) yang diberikan tuhan dengan cara spontan tanpa adanya proses. Imam
al-Ghazali mengatakan apabila seseorang sudah menetap dalam suatu maqam maka ia
akan memperoleh perasaan tertentu, itulah yang disebut Ahwal.[1]
Telah disebutkan
diatas bahwa penjelasan mengenai perbedaan maqamat dan hal membingungkan karena
definisi dari masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai
sebagai berikut: Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh
para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan
perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu
termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala
untuk menuju Tuhan. Didalam kenyataannya para Salik memang untuk berpindah dari
satu maqam ke maqam lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan “ahwal”
sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum
sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah perolehan (kasb).
Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang terpisah dari
maqam.[2]
Beberapa ulama
mengatakan bahwa hal adalah sesuatu yang tidak diam dan tidak mengikat
(dinamis). Al-Gazali dalam memberi pandangan yang menyatakan bahwa apabila
seseorang telah mantap dan tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan
tertentu dan itulah hal. Mengenai hal ini ia juga memberi contoh tentang warna
kuning yang dapat dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap
seperti warna kuning pada emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada
sakit kuning. Seperti itulah kondisi atau hal seseorang. Kondisi atau sifat
yang tetap dinamakan maqam sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan hal.
Menurut Syihabuddin Suhrawardi seseorang tidak mungkin naik ke maqam yang lebih
tinggi sebelum memperbaiki maqam sebelumnya. Namun, sebelum beranjak naik, dari
maqam yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqamnya menjadi
kenyataan.[3]
Oleh karena itu,
kenaikan seorang salik dari satu maqam ke maqam berikutnya disebabkan oleh
kekuasaan Allah dan anugerahNya, bukan disebabkan oleh usahanya sendiri.
pernyataan diatas memberikan pemahaman bahwa maqam bersifat lebih permanent
keberadaannya pada diri sang salik daripada hal. Selain itu, maqamat lebih
merupakan hasil upaya aktif para salik, sedangkan ahwal merupakan anugerah atau
uluran Allah yang sifatnya pasif.
Dalam
pembicaraan tentang tarekat sebagai perjalanan spiritual kita tidak bisa
mengabaikan dua istilah teknis yang sangat penting. Yaitu: “Maqamat dan ahwal”
. Adapun “ahwal” bentuk jamak dari “hal” biasanya diartikan sebagai keadaan
mental (mental states) yang di alami oleh para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya.
Sekalipun
sama-sama di alami dan di capai selama masa perjalanan spiritual seorang sufi
menuju tuhannya. Namun menurut para sufi ada perbedaan yang mendasar antara
“maqamat” dan “ahwal” ini baik dari cara mendapatkannya maupun
kelangsungannya. “Ahwal” sering di
peroleh secara spontan sebagai hadiah dari tuhan. Diantara “ahwal” yang sering
di sebut adalah takut, syukur, rendah hati, taqwa, ikhlas, gembira. Meskipun
ada perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun ke banyakan mereka
mengatakan bahwa “ahwal” di alami secara spontan dan berlangsung sebentar dan
di peroleh tidak berdasarkan usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya
pada “maqamat” melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-0kilatan ilahi (Divine
Flashes), yang biasa di sebut “lama’at”.
Selain soal cara
memperoleh dan sifat keberlangsungannya, saya juga merasa penting untuk
menyinggung sifat pengalaman para sufi dalam pengalaman spiritualnya menuju
tuhan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah maqamat dan susunannya.
Demikian jika
kalau kita baca naskah-naskah sufi ada yang mengatakan bahwa ridha misalnya
sebagai “maqam” (al-Kalabadzi, al-Ghazali dan Qusyairi), ada juga yang mengganggap
sebagai “akhwal”, seperti yang diyakini misalnya, oleh Abu Utsman al-Hiri.
Selain pelangsungan dalam “ahwal” ada yang mengatakan bahwa “beberapa ahwal
adalah seperti kilatan. Kalau itu dikatakan menetap maka menurut seorang guru
Al-Qusyari, itu sekedar omongan nafsu”. Tetapi di pihak lain, Abu Utsman
al-Hiri justru mengatakan, “Jika hal tidak abadai dan tidak terdelegasikan,
maka iti hanyalah kilatan dan pelakunya tidak sampai pada hal yang sebenarnya.
Hanya apabila sifat tersebut menetap, maka itulah yang dinamakan hal. Bagi saya
perbedaan persepsi terhadap baik maqamat maupun ahwal adalah akibat pengalaman
subyektif masing-masing sufi dalam perjalanan spiritualnya. Tidak ubahnya
seperti serombongan turis yang mengunjungi sebuah kota juga akan memiliki
persepsi dan diskripsi yang berbeda tentang kota itu. Pebedaan-perbedaan itu
sama sekali tidak berarti bahwa pengalaman mereka itu halusinasi atau palsu dan
menunjukkan ketidakobjektifan dunia yang mereka alami, dengan alasan yang sama
bahwa kita tidak bisa begitu saja menolak realitas “kota” yang dikunjungi para
turis hanya karena perbedaan yang terdapat dalam laporan masing-masing anggota
rombongan tersebut tentang kota yang mereka kunjungi. Jadi, pengalaman
spiritual para sufi bisa subjektif tetapi dunia sufi yang mereka alami tetaplah
objektif dan real.
B.
Macam-Macam Karakteristik Sufi
a. Muraqabah
Muraabah adalah
belajar menetapkan hati, melatih jiwa dan hati untuk ingat kepada Allah dan
selalu memperhambakan diri kepada Allah sehingga dengan sendirinya ia akan
merasa selalu dalam pengawasan Allah SWT. Berarti dirinya sudah memasuki alam
muraqabah.[4]
Muraqabah
sebagai salah satu ajaran tasawuf yang bertujuan memantapkan segi hakikat untuk
mencapai ma’rifat billah,[5]
menurut kaum shufi adalah keadaan seseorang meyakini sepenuh hati bahwa Allah
selalu melihat dan mengawasi kita. Tuhan mengetahui seluruh gerak-gerik kita
dan bahkan apa saja yang terlintas dalam hati kita. Menurut Al-Qusyairi
“muraqabah adalah bahwa hamba tahu sepenuhnya bahwa Tuhan selalu melihatnya”.
Sedangkan menurut para ahli tasawuf “Barang siapa yang meraqabah dengan Allah
dalam hatinya, maka Allah akan memeliharanya dari berbuat dosa pada anggota
tubuh”.
Perkataan shufi
ini dimaksudkan, bahwa orang yang selalu muraqabah dengan Allah, pasti ia tidak
akan mengerjakan dosa lagi, karena Tuhan telah menjauhkan ia dari peruatan
dosa. Berlainan dengan orang munafik, ia takut diawasi dan diintai orang lain.
Jadi kalau tidak dilihat orang maka beranilah ia membuat dosa disetiap
kesempatan.
Muraqabah
menurut para ahli shufi ada tiga tingkatan sebagaimana yang disebutkan oleh
Syaikh Ahmad al Husni dalam kitab Iqadhul Himam, yaitu :[6]
1. Muraqabah
Qalbi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar
kehadiranya dengan Allah.
2. Muraqabatur
Ruhi, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalam
pengawasan dan pengintaian Allah.
3. Muraqabatus
sirri, yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap Sir/rahasia, agar selalu
meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki adabnya.
Sedangkan
cara bermuraqabah dengan Allah bisa di tempuh dengan berbagai macam jalan,
diantaranya :[7]
a) Sesudah
sembahyang tahajud ditengah malam dan sebelum shubuh datang menjelang, duduk
dengan kaifiyat iftiraasy, dengan sadar dan penuh kesungguhan mengkonsentrasi ,
menyatukan fikiran sambil berzikir, menunggu saat beraudensi dengan Tuhan maha
pengasih lagi maha penyayang.
b) Sesudah
berwudhu duduk dengan pakaian bersih, duduk menekur dilantai masjid sambil
berzikir dengan lisan menunggu saatnya berhadapan dengan Tuhan dengan dzauq dan
bashirah.
Dari sini, maka
sebaiknya janganlah berpikir apakah Allah dekat dengan kita, melainkan
usahakanlah agar kita dekat dengan Allah atau mendekatkan diri kepada Allah.
b. Al-Khauf
Khauf adalah rasa sakit serta bergetarnya hati
karena ada sesuatu yang dibenci dihadapannya. Perumpamaannya seperti jika
seseorang yang akan dihukum pancung oleh raja, lalu raja itu telah
memerintahkan algojonya dan algojo itu telah memegang pedangnya, maka ia telah
merasa yakin akan kematiannya sebentar lagi, maka terasalah pedih hatinya saat
itu dan bergetar karena rasa takut yang sangat, dan inilah yang disebut Khauf.[8]
Menurut
al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf
adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak
senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam
setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah
yang menyebabkan orang lari menuju Allah Khauf ini dapat menjadi kuat dan lemah
tergantung pada keyakinan seseorang pada ALLAH SWT. Dan selain Khauf yang
disebabkan takut pada hukuman sebagaimana diatas, ada pula Khauf yang
disebabkan oleh karena takut akan kebesaran dan keagungan sesuatu. Jika manusia
itu memahami begitu banyaknya maksiatnya yang akan dihadapkan pada ke-Maha
Agungan ALLAH SWT dan ketidakbutuhan-NYA pada kita, maka akan timbullah rasa
takut.
Dampak dari
Khauf yang benar adalah jika seseorang sudah benar pemahamannya, maka mulailah
rasa Khauf masuk dihatinya dan berdampak pada pucatnya wajah, tangis, gemetar,
dan dampaknya kemudian adalah meninggalkan maksiat, lalu komitmen dalam
ketaatan, lalu bersungguh-sungguh dalam beramal.
Khauf ada yang
berlebihan, moderat dan kurang. Yang berlebihan adalah yang mengakibatkan rasa
putus asa dan berpaling dari taat, sementara yang kurang akan mengakibatkan
tidak meninggalkan maksiat yang dilakukan. Sementara yang seimbang/moderat
(I’tidaal) akan menimbulkan waspada, hati-hati (wara’), takwa, mujahadah,
fikir, dzikir, kesehatan fisik dan kebersihan akal.[9]
Keutamaan Khauf
disebutkan dalam hadits Nabi SAW: “Berfirman Allah SWT: Demi Keagungan dan
Kekuasaan-KU tidak mungkin berkumpul 2 rasa takut dalam diri hambaku dan tidak
akan berkumpul 2 rasa aman. Jika ia merasa aman pada-KU di dunia maka akan aku
buat takut ia di hari kiamat, dan jika ia takut pada-KU di dunia maka akan aman
ia di akhirat.” (HR Ibnu Hibban 2494)
1. Takutnya
para Malaikat : “Mereka merasa takut kepada Rabb-nya, dan mereka melakukan
apa-apa yang diperintahkan ALLAH.” (QS An-Nahl 16/50).
2. Takutnya
Nabi SAW. “Bahwa Nabi SAW jika melihat mendung ataupun angin maka segera
berubah pucat wajahnya. Berkata A’isyah ra: “Ya Rasulullah, orang-orang jika
melihat mendung dan angin bergembira karena akan datangnya hujan, maka mengapa
anda cemas?” Jawab beliau SAW: “Wahai A’isyah, saya tidak dapat lagi merasa
aman dari azab, bukankah kaum sebelum kita ada yang diazab dengan angin dan
awan mendung, dan ketika mereka melihatnya mereka berkata: Inilah hujan yang
akan menyuburkan kita.” (HR Bukhari 6/167 dan Muslim 3/26) Dan dalam hadits
lain disebutkan bahwa Nabi SAW jika sedang shalat terdengar didadanya suara
desis seperti air mendidih dalam tungku, karena tangisnya.
3. Khauf-nya
shahabat ra. Abubakar ra sering berkata: “Seandainya saya hanyalah buah pohon
yang dimakan.” Umar ra sering berkata: “Seandainya aku tidak pernah diciptakan,
seandainya ibuku tidak melahirkanku.” Abu ‘Ubaidah ibnal Jarraah ra berkata:
“Seandainya aku seekor kambing yang disembelih keluargaku lalu mereka memakan
habis dagingku.” Berkata Imraan bin Hushain ra: “Seandainya aku menjadi debu yang tertiup angin kencang.”
4. Khauf-nya
Tabi’iin. Ali bin Husein jika berwudhu untuk shalat pucat wajahnya, maka
ditanyakan orang mengapa demikian? Jawabnya: “Tahukah kalian kepada siapa saya
akan menghadap?” Berkata Ibrahiim bin ‘Iisa as Syukriy: “Datang padaku seorang
lelaki dari Bahrain ke dalam mesjid saat orang-orang sudah pergi, lalu kami
bercerita tentang akhirat dan dzikrul maut, tiba-tiba orang itu demikian
takutnya sampai menghembuskan nafas terakhir saat itu juga.” Berkata Misma’:
“Saya menyaksikan sendiri mau’izhoh Abdul Waahid bin Zaid disuatu majlis, maka
wafat 40 orang saat itu juga dimajlis itu setelah mendengar ceramahnya.”
Berkata Yaziid bin Mursyid: “Demi ALLAH seandainya Rabb-ku menyatakan akan
memenjarakanku dalam sebuah ruangan selama-lamanya maka sudah pasti aku akan
menangis selamanya, maka bagaimanakah jika ia mengancamku akan memenjarakanku
didalam api?!”[10]
Demikianlah
Khauf para Malaikat, Nabi-nabi, ulama dan auliya’, maka kita lebih pantas untuk
takut dibanding mereka. Mereka takut bukan karena dosa, melainkan karena
kesucian hati dan kesempurnaan ma’rifah, sementara kita telah dikalahkan oleh
kekerasan hati dan kebodohan. Hati yang bersih akan bergetar karena sentuhan
kecil, sementara hati yang kotor tak berguna baginya nasihat dan ancaman.
c. Al-Raja
Raja' adalah
sikap mengharap dan menanti-nanti sesuatu yang sangat dicintai oleh si penanti.
Sikap ini bukan sembarang menanti tanpa memenuhi syarat-syarat tertentu, sebab
penantian tanpa memenuhi syarat ini disebut berangan-angan (tamniyyan).
Orang-orang yang menanti ampunan dan rahmat ALLAH tanpa amal bukanlah Raja'
namanya, tetapi berangan-angan kosong.[11]
Ketahuilah bahwa
hati itu sering tergoda oleh dunia, sebagaimana bumi yang gersang yang
mengharap turunnya hujan. Jika diibaratkan, maka hati ibarat tanah, keyakinan
seseorang ibarat benihnya, kerja/amal seseorang adalah pengairan dan
perawatannya, sementara hari akhirat adalah hari saat panennya. Seseorang tidak
akan memanen kecuali sesuai dengan benih yang ia tanam, apakah tanaman itu padi
atau semak berduri ia akan mendapat hasilnya kelak, dan subur atau tidaknya berbagai
tanaman itu tergantung pada bagaimana ia mengairi dan merawatnya.
Dengan mengambil
perumpamaan di atas, maka Raja' seseorang atas ampunan ALLAH adalah sebagaimana
sikap penantian sang petani terhadap hasil tanamannya, yang telah ia pilih
tanahnya yang terbaik, lalu ia taburi benih yang terbaik pula, kemudian
diairinya dengan jumlah yang tepat, dan dibersihkannya dari berbagai tanaman
pengganggu setiap hari, sampai waktu yang sesuai untuk dipanen. Maka
penantiannya inilah yang disebut Raja'.
Sedangkan petani
yang datang pada sebidang tanah gersang lalu melemparkan sembarang benih
kemudian duduk bersantai-santai menunggu tanpa merawat serta mengairinya, maka
hal ini bukanlah Raja' melainkan bodoh (hamqan) dan tertipu (ghuruur). Berkata
Imam Ali ra tentang hal ini:[12]
"Iman itu
bukanlah angan-angan ataupun khayalan melainkan apa-apa yang menghunjam di
dalam hati dan dibenarkan dalam perbuatannya."
Raja’ atau
harapan menurut Al Qusyairi adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang
diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, seperti halnya takut juga
berkaitan dengan apa yang akan terjadi dimasa datang. Hati menjadi hidup oleh
harapan-harapan akan lenyapnya beban di hati. Harapan adalah melihat
kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan. Harapan adalah kedekatan hati kepada
kemurahan Tuhan. Harapan berarti melihat pada kasih sayang Allah Yang Maha
Meliputi. Al Ghazali memandang Raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu
Sang Kekasih datang kepadanya. Khawf dan Raja’ adalah dua kata yang senantiasa
bergandengan dan tidak akan terputus, jika terputus bukan Khawf dan Raja’
namanya. Jika seseorang berkata, “Aku berharap terbitnya matahari disaat terbit
dan aku takut terbenamnya disaat terbenam.”, ucapan itu menurut Al-Ghozali
bukanlah Khawf dan Raja’ karena ada yang terputus. Tapi jika ada yang
mengatakan,” Aku berharap turun hujan dan aku takut berhentinya.”, itulah
ucapan yang menunjukkan keterpautan Khawf dan Raja’.
Abu Ali
Al-Rudzbari memandang Khawf dan Raja’
seperti sepasang sayap burung. Apalabila takut dan harap keduanya tidak ada,
maka si burung akan terlempar ke jurang kematiannya. Raja’ berarti suatu sikap
mental optimism dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi
hamba-hamba-Nya yang shaleh. Dalam pandangan Al Sarraj, Raja’ merupakan hal
yang mulia. Kemuliaan hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya,
-
” Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
(QS. Al-Ahzab : 21).
-
Firmannya yang lain
“Orang-orang yang mereka seru itu,
mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang
lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya;
sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”. (QS. Al-Isra’ :
57)
Menurut Al-Sarraj Raja’ terdiri
atas tiga bagian :[13]
1) raja’
bersama Allah (fi Allah)
2) raja’
di dalam luasnya rahmat Allah (fi sa’ati rahmat Allah)
3) raja’
di dalam pahala Allah (fi tsawab Allah).
d. Al-Syauq
Syauq bermakna
lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq
merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah
suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari kalbu
karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka
seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan dan pengenalan
terhadap Allah.[14]
Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah telah mendalam, maka hal
tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkan
cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bertemu dan bersama
Allah.
Secara literal,
syauq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut Suhrawardi, syauq
merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti halnya zuhud bagian dari tobat.
Jika mahabbah sudah mantab akan tampak pula syauq. Menurut Abu Utsman siapa
yang cinta kepada Allah dia akan merindu hendak berjumpa dengan-Nya. Rasa rindu
tak mungkin ada pada yang mencinta. Sementara itu, Dzunun memandang syauq sebagai derajat atau maqom tertinggi.
Jika sang hamba sudah mencapai derajat Syauq ini mati rasanya mudah dan ringan
karena kerinduan kepada Tuhannya dan harapan hendak berjumpa dengan-Nya.
Pengetahuan dan
pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan
gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu.
Rindu ingin bertemu, hasrat akan selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Di
setiap denyutan jantung, detak kalbu, dan desah nafas, serta ingatan hanya
kepada Allah, itulah Syauq (rindu).
Menurut Al
Sarraj orang yang merindu itu terbagi atas tiga golongan.[15]
a) pertama
adalah mereka yang merindu kepada janji Allah atas para kekasih-Nya tdntang
pahala, karamah, keutamaan, dan keridlaan-Nya.
b) Kedua,
mereka yang rindu kepada kekasihnya karena cintanya yang mendalam dan
bersemayamnya rindu itu hendak bertemu dengan kekasihnya.
c) Ketiga,
mereka yang menyaksikan kedekatan Allah terhadap dirinya, Allah senantiasa
hadir tidak pernah pergi, maka hatinya merasa senang walau hanya menyebut
nama-Nya saja.
e. Al-Uns
Dalam
tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj ‘Uns
adalah perbincangn roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yangs sangat dekat.
Dzunun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta
terhadap Kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada
khalifah Umar bin Abdul Aziz,”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata
dan putuskan hubungan selain dengan-Nya.”.[16] Menurut Al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi
seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan benar-benar bening
zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.
Orang-orang
yang intim itu terbagi atas tiga tingkatan.
Pertama,
mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa
intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
Kedua,
Ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun
selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang
menyibukkannya.
Ketiga
adalah hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan
keagungan bersama ‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat
‘uns itu sendiri.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Banyak orang
mukmin yang sudah beribadah dengan baik kepada Allah SWT tetapi mereka belum
bisa khusyu’ dalam ibadahnya karena keadaan jiwa mereka belum tenang atau stabil,
sedangkan agar kita bisa dekat kepada Allah SWT adalah kejiwaan kita haruslah
tenang. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia pasti merasakan apa yang namanya
keadaan mental seperti senang, sedih, perasaan takut dan sebagainya, tetapi
kita tidaklah boleh terlalu terhanyut di dalam keadaan tersebut karena kita
harus segera merubahnya menjadi lebih baik.
Selain itu kita
haruslah mencontoh sifat sufi yang selalu melatih sifat mentalnya dengan cara
riyadlah yang berarti latihan mental, mujahadah yaitu bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan perintah Allah, uzlah yaitu mengasingkan diri dari pengaruh
keduniawian, muraqabah mendekatkan diri kepada Allah. Setelah itu adalah suluk
yang berarti menjalankan cara hidup seperti sufi yaitu berdzikir dan berdzikir.
Meski para sufi
berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, perlu dipertegas disini
bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan
kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh
maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan
permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.
Dalam macamnya,
terdapat beberapa macam Ahwal yang diantaranya, Muuraqabah, Khawf, Raja’,
Syauq, ‘Uns, Thuma ‘Ninah, Musyahadah, Yaqin yang dimana pada setiap macamnya memiliki
tingkatan masing-masing
DAFTAR
PUSTAKA
Azis, Saifullah,
1998, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Terbit Terang.
Nata, Abuddin,
1996, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Toriqudin,
Mohammad, 2008, Sekularitas tasawuf, Malang:
UIN-MALANG PRESS.
Syukur, Amin, 2003,
Tasawuf
kontekstual, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Zahri, Mustafa,
1995, Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya:
Bina Ilmu.
Solihin, M, 2001, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung:
Pustaka Setia.
Kartanegara,
Mulyadi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga.
Bahri, Media
Zainul. 2005. Menembus Tirai Kesendiriannya. Jakarta: Prenada.
Haeri, Syekh
Fadhlalla. 2003. Dasar-Dasar Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka
Sufi.
Syukur, Amin. 1999. Menggugat
Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1]
M Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka
Setia.2001), hal. 45
[2]
Ibid., hal. 78
[3]
Saifullah Azis, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf,
(Surabaya: Terbit Terang,, 1998), hal. 23
[5]
Ibid., hal. 193
[6]
Mohammad Toriqudin, Sekularitas tasawuf, (Malang: UIN-MALANG PRESS, 2008)., hal. 35
[7]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hal. 98
[8]
Amin Syukur. Menggugat
Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 1999), hal. 98
[9]
Saifullah Azis, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf,
(Surabaya: Terbit Terang.1998), hal. 96
[11]
Mohammad Toriqudin, Op. Cit., hal. 65
[12]
Saifullah Azis, Op. Cit., hal. 98
[13]
Amin Syukur, Tasawuf kontekstual, (Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR, 2003), hal 87
[15]
Ibid., hal. 199
[16]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar