ISTISHAB
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
1.
SITI RODIAH
HASIBUAN 153030005
2.
HAHOLONGAN
SIREGAR 1530300010
Dosen Pengampu:
Drs. H. ZULPAN EFENDI, MA
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang Maha Kuasa yang telah
melimpahkan karunia nikmat bagi umat-Nya. Atas Ridho-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.
Dalam
makalah ini kami menjelaskan mengenai “ISTISHAB” yang telah kami susun secara
sistematis dan materi yang di sajikan kami ambil dari sumber-sumber terpercaya.
Makalah
ini tidak akan terwujud, jika tidak ada dorongan dan dukungan dari berbagai
pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Besar
harapan kami makalah ini dapat membantu meningkatkan profesi belajar mahasiswa
dan dapat bermanfaat bagi mahasiswa, khususnya dalam masalah disajikan
dalam makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik dan
saran yang membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik di masa
mendatang. Terima kasih.
Padangsidimpuan, Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATAR
PENGANTAR ................................................................. i
DAFTAR
ISI ................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 1
C. Tujuan .................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN ................................................................ 2
A. Pengertian Istishab .............................................................. 2
B. Landasan Hukum Istishab .................................................. 2
C. Pandangan Ulama Terhadap Istishab................................ 4
D. Macam-macam
Istishab ...................................................... 7
BAB
III PENUTUP ........................................................................ 9
A. Kesimpulan.............................................................................
9
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam hukum
Islam terdapat dua ketentuan landasan hukum yaitu yang disepakati dan yang
tidak disepakati. Adapun landasan hukum yang disepakati oleh para ulama yaitu
Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sedangkan landdasan hukum Islam yang
tidak disepakati salah satunya adalah Istishab.
Istishab sendiri
adalah dalil syar’i terakhir yang dapat digunakan sebagai rujukan oleh mujtahid
untuk mengetahui hukum dari permasalahn yang dihadapinya apabila tidak terdapat
penjelasan dalam al-Qur’an dan as-sunnah.
Dalam
peristilahan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang
terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia
diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula
tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah
ketentuan itu.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian istishab?
2. Bagaimana
kedudukan istishab?
3. Apa
saja macam-macam istishab?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
qowaidul dan ushul fiqh.
2.
Sebagai bahan diskusi.
3.
Sebagai tambahan wawasan keilmuan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Istishab
Secara bahasa
istishab berasal dari bahasa arab yang maknanya yaitu adanya hubungan
perkawinan. Sedangkan secara istilah, menurut ulama ushul yaitu menetapkan
sesuatu menurut keadaan sebelumya sehingga terdapat dalil yang menunjukkan
perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu
secara kekal menurut keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan atas
perubahannya.[1]
Pendapat lainnya
mengenai istishab yakni, menurut al-Asnawi istishab adalah penetapan hukum
berdasarkan adanya sesuatu pada masa kini berdasarkan adanya sesuatu tersebut
pada masa yang telah lalu.[2]
Menurut Abdur Rahman I. Doi istishab adalah dugaan dalam hukum pembuktian
sehingga suatu keadaan masalah yang diketahui pada masa lalu terus ada sampai
kebalikannya dapat terbukti.[3]
Sedangkan pengertian istishab menurut al-Syaukani adalah apa yang telah
ditetapkan pada masa lalu, pada dasarnya masih dapat dilestarikan pada masa
yang akan datang selama tidak didapai sesuatu yang mengubahnya.[4]
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwasanya istishab adalah penetapan hukum atas sesuatu
berdasarkan ketetapan hukum yang terdaulu, sampai adanya dalil yang dapat
membuktikan perubahan hukumnya.
B.
Landasan
Hukum Istishab
Adapun landasan
dari istishab menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah firman Allah dalam Surah
al-Baqarah ayat 29 yakni:
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
Artinya
: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu. (al-Baqarah: 29)[5]
Dalam ayat yang lainnya Allah juga
berfirman:
t¤yur /ä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# $YèÏHsd çm÷ZÏiB 4 ¨bÎ) Îû Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 crã©3xÿtGt ÇÊÌÈ
Artinya
: Dan
Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.
(al-Jaatsiyah: 13)[6]
óOs9r& (#÷rts? ¨br& ©!$# t¤y Nä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# x÷t7ór&ur öNä3øn=tæ ¼çmyJyèÏR ZotÎg»sß ZpuZÏÛ$t/ur 3 z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ãAÏ»pgä Îû «!$# ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ wur Wèd wur 5=»tGÏ. 9ÏZB ÇËÉÈ
Artinya
: Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya
Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang
di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara
manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. (Luqman: 20)[7]
Dalam beberapa
ayat tesebut diatas Allah menjelaskan bahwasanya apa yang ada di langit dan
bumi semuanya untuk manusia, dan tidaklah apa yang ada di langit dan bumi itu
dijadikan dan ditaklukkan untuk manusia, kecuali hal itu diperbolehkan bagi
manusia karena seandainya itu dilarang, niscaya bukan untuk manusia semua itu
diciptakan.[8]
C.
Pandangan
Ulama Terhadap Istishab
Ulama berbeda
pendapat mengenai kebolehan istishab sebagai metode ijtihad ketika tidak ada
keterangan dalam dalil al-Qur’an dan sunnah. Ada yang menerima dan ada pula
yang menolaknya. Ulama yang menerima istishab sebagai metode penetapan hukum
memberikan argumen sebagai berikut:[9]
1.
Telah nyata terjadi ijma’ mengenai
perihal ketidakbolehan shalat seseorang yang sejak semula sudah ragu apakah ia
sudah mempunyai wudhu atau belum. Lalu apabila seseorang ragu apakah masih
mempunyai wudhu atau tidak, maka ia ditetapkan masih mempunyai wudhu dan boleh
shalat. Dengan demikian, keadaan awal harus dijadikan patokan, apabila
mempunyai wudhu keadaan ini yang berlaku dan apabila tidak mempunyai wudhu
keadaan ini pula yang berlaku. Sekiranya tidak demikian cara menetapkannya,
tentu akan bertentangan dengan ijma’. Cara menetapkan hukum yang demikian itu
merupakan wujud dari istishab.
2.
Para ahli pikir dan ‘urf meyakini
eksisnya sesuatu atau tidak eksisnya sesuatu dengan kondisi tertentu,
membolehkan penetapan putusan pada masa kemudian dari masa eksis atau tidak
eksisnya sesuatu itu. Maka mereka menetapkan kebolehan berkorespondensi dengan
orang yang semula diketahui eksis dirinya, tetapi hilang untuk waktu yang lama,
dan diakui pula efektifnya wadiah dan rahn orang yang bersangkutan. Hal ini jelas menunjukkan prinsip istishab.
3.
Aturan –aturan hukum syara’ yang pernah
ada pada masa Rasulullah, juga berlaku bagi kita yang hidup setelah masa
tersebut. Jadi kita juga terkena taklif aturan aturan tersebut. Hal demikian
didasarkan atas logika prinsip istishab, yakni yang sudah ada tetap diakui ada
sebagaimana adanya.
4.
Keadaan ragu yang timbul terhadap akad
perkawinan mengimplikasikan haramnya si laki-laki berhubungan terhdap si
perempuan, si laki-laki itu ragu apakah telah berakad atas si perempuan itu
atau tidak. Keadaan ragu yang timbul terhadap talak tidak menyebabkan haranya
si suami menggauli si istri, si suami
ragu apakah telah mentalak istrinya atau tidak. Dalam dua kasusus sesungguhnya
tidak ada yang berbeda. Pada kasus pertama terjadi istishab terhadap kondisi
yang ada yakni ketiadaan akad sebelum timbul keraguan. Sedangkan pada kasus
kedua terjadi istishab pada kondisi yang ada yakni adanya akad. Sekiranya
istishab tidak menunjukkan adanya dugaan yang kuat atas keterus berlakuan tentu
hukum dari kedua itu sama.
Adapun ulama
yang menolak istishab sebagai metode ijtihad memberikan argumen sebagai
berikut:[10]
1. Telah
ada ijma’ bahwa keterangan yang bersifat menetapkan harus di prioritaskan daripada
keterangan yang bersifat mengingkari. Maksudnya adalah sekiranya yang menjadi
kaidah pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu maka keterangan yang bersifat
mengingkari itu, karena berlawanan dengan kaidah pokok tersebut maka lebih
layak untuk diprioritaskan.
2. Eksisnya
hukum pada masa berikutnya itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil, dan
penetapan hukum tanpa dalil sama sekali kesiasian, oleh karenanya istishab
bukan hujjah yang syar’iyyah.
3. Dalam
fiqh mazhab syafi’i, tindakan membayar kafarah dengan cara memerdekakan budak
yang hilang, tidaklah sah secara syar’iy dan sekiranya yang menjadi kaidah
pokok itu adalah sifat lestarinya sesuatu, tentu tindakan membayar kafarah
dengan cara demikian itu sah hukumnya.
Sedangkan
menurut al-Syaukani terdapat beberapa pendapat ulama ushul yaitu:[11]
1. Istishab
dapat dijadikan sebagai alasan hukum secara mutlak. Inilah pendapat ulama
Malikiyyah, mayoritas ulama Syafi’iyyah, ulama Hanabilah, dan ulama Zahiriyyah.
2. Istishab
tidak dapat dijadikan sebagai alasan hukum, karena untuk menetapkan suatu hukum
harus dengan dalil, hukum yang ditetapkan pada masa lalu tidak dengan dalil
tidak dapat dilestarikan sampai sekarang, dan mujtahid sekarang harus
berijtihad menetapkan hukumya dengan metode-metode lain. Inilah pendapat ulama Hanafiyyah
dan ulama kalam, diataranya Abu al-Husain al-Bashri.
3. Istishab
hanya berlaku dalam hubungan seorang mujtahid dengan Tuhannya, karena ketika
seorang mujtahid tidak mendapatkan dalil suatu hukum, maka hukum yang telah ada
merupakan rujukan maksimal baginya, tetapi itu hanya berlaku sebagai pegangan
bagi mujtahid itu sendiri, bukan sebagai alasan dalam penetapan hukum.
4. Istishab
hanya dapat diberlakukan untuk menafikan suatu kasus, bukan untuk menetapkan
hukumnya. Disebutkan oleh al-Kayya bahwa ini adalah pendapat ulama
muta’akkhirin Hanafiyyah.
5. Istishab
hanya dapat dipakai untuk men-tarjih hukum suatu kasus. Menurut Abu Ishaq,
inilah pendapat yang sah dari al-Syafi’i, tetapi al-Syafi’i tidak menggunakanya
sebagai alasan hukum.
6. Istishab
boleh digunakan secara mutlak untuk menafikan suatu hukum, tetapi jika dipakai
untuk menetapkan hukum baru, dalam hal ini ada yang membolehkan dan ada pula
yang yang memandang tidak boleh,
tergantung pada bentuk istishab yang ingin diterapkan.
7. Al-Syaukani
memandang istishab merupakan salah satu metode ijtihad untuk mendapatkan suatu
ketentuan hukum. Akan tetapi al-Syaukani tidak dapat menerima segala bentuk
istishab. Ia hanya menerima dua bentuk istishab yakni, pertama Istishab yang
ditunjukkan oleh akal dan syara’ kebolehan pelestarian dan pemberlakuannya.
kedua Istishab al’adam al-ashli atau disebut juga bara’ah al-adzimmah, yakni
kebebasan asli yang dimiliki oleh manusia.
D.
Macam-macam
Istishab
Para ulama ushul
Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, Yaitu:[12]
1.
Istishab hukm al- ibahah al ashliyah.
Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh,
selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh
pepohonan yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing
berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti
yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
2.
Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu
kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks
hukum-hukum syar’i. Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan
adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang
menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada
hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut
aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah
dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas
mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai
adanya penyebab yang membatalkannya.
3.
Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap
dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan
istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang nash (yang membatal-kannya).
Suatu nash yang umum mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang
suatu nash lain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan
takhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun
daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalilyang khusus. Contohnya: kewajiban
puasa yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam
(QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.
4.
Istishab An-Nashshi (Istishab
Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi sekarang dalam menentukan
status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya,
merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada
masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya,
dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh
sesuatu nash, yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan
pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini?,padahal kemarin ia benar-benar
melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.
5.
Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu
yang telah diyakini adanya, atau tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah
hukum demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut pula dengan
istishabul madhi bilhali yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada
masa sekarang. Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam
kasus yang dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat.
Contoh: Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air.
Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan
sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan ketetapan
hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan batalnya penetapan
tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istishab
merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai
umat Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang
ada. Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu
seperti keadaanya semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
Istishab
adalah penetapan hukum atas sesuatu berdasarkan ketetapan hukum yang terdaulu,
sampai adanya dalil yang dapat membuktikan perubahan hukumnya.
Istishab
sendiri adalah dalil syar’i terakhir yang dapat digunakan sebagai rujukan oleh
mujtahid untuk mengetahui hukum dari permasalahn yang dihadapinya apabila tidah
terdapat penjelasan dalam al-Qur’an dan as-sunnah.
Ulama
berbeda pendapat mengenai kebolehan istishab sebagai metode ijtihad, ketika
tidak ada keterangan dalam dalil al-Qur’an dan sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmawi, 2011. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta:
Amzah.
Departemen Haji dan Wakaf Kerajaan Saudi Arabia, Alqur’an
dan Terjemah, (Madinah: Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain asy
Syarifaian Raja Fadh, 1412 H)
Doi, Abdur Rahman I., 1993. Syari’ah kodifikasi
Hukum Islam, terj. Basri Iga Asghari dan Wadi Masturi, Jakarta: Rineka
Cipta.
Kallaf, Abdul Wahhab, 2000. Kaidah-kaidah Hukum
Islam: Ilmu Ushul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moch. Tolchah
Mansoer, Jakarta: raja grafindo Persada.)
Rusli, Nasrun, 1999. Konsep Ijtihad al-Syaukani;
Relevansinya Bagi Pembaharuan hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos.
[1]
Abdul Wahhab Kallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh, terj.
Noer Iskandar al-Barsany dan Moch. Tolchah Mansoer, (Jakarta: raja grafindo
Persada, 2000), hal. 76
[2]
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 65
[3]
Abdur Rahman I. Doi, Syari’ah kodifikasi Hukum Islam, terj. Basri Iga
Asghari dan Wadi Masturi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 54
[4]
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani; Relevansinya Bagi Pembaharuan
hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 76
[5]
Departemen Haji dan Wakaf Kerajaan Saudi Arabia, Alqur’an dan Terjemah,
(Madinah: Komplek Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain asy Syarifaian Raja
Fadh, 1412 H), hal. 69
[6]
Ibid., hal. 70
[7]
Ibid., hal. 187
[8]
Abdul Wahhab Kallaf, Op. Cit., hal.
98
[9]
Asmawi, Op. Cit., hal. 102
[10]
Asmawi, loc. Cit., hal. 103
[11]
Nasrun Rusli, Op. Cit., hal. 108
[12]
Abdul Wahhab Kallaf, Loc. Cit., hal.
76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar