STUDI ISLAM ZAMAN DINASTI
FATHIMIYAH
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 6 (ENAM0
1.
YUSNIZAR 1530200025
2.
UMMU AINUN
NASUTION 1530200089
3.
FADILAH AZMI
TANJUNG 1530200004
4.
DESTRIA SILVI
ANGGRAINI 1530200006
DOSEN PEMBIMBING :
Dr. ICHWANSYAH TAMPUBOLON
JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2016/2017
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang menyayangi tanpa
pernah meminta imbalan dari mahluk-Nya, yang atas berkat rahmat, inayah serta
hidayah-Nya lah kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak
lupa shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat, serta, umatnya yang membela risalahnya sampai
akhir jaman.
Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
dan benar, yang merupakan salah satu tugas mata kuliah, dalam memenuhi tugas
tersebut maka kami menyusun makalah yang berjudul “Studi Islam Zaman Dinasti
Fathimiyan” kami telah mendapatkan bantuan dari beberapa sumber yang telah di
lampirkan di halaman pada Daftar
Pustaka.
Kami
berharap makalah ini dapat menambah wawasan kepada pihak yang membacanya. Kami
sadar sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Apabila terdapat
kesalahan yang kecil ataupun yang fatal kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada pihak yang
membaca makalah ini. Dan kami juga menerima kritik dan saran terhadap makalah
yang kami buat ini, mudah-mudahan dengan adanya kritik dan saran kami dapat
membuat makalah yang lebih bagus lagi di hari kemudian.
Padangsidimpuan, Desemberr 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Latar
Belakang Sosial, Politik Dunia Islam Pada
Zaman Dinasti Fathimiyah.............................................................. 2
B. Tokoh-Tokoh
Khalifah Pengembangan Ilmu
Pengetahuan
pada Masa Dinasti Fathimiyah k................................ 10
C. Tokoh-Tokoh
Ilmuwan Zaman Dinasti Fathimiyah......................... 11
D. Tujuan
Studi Islam pada Masa Zaman Dinasti Fathimiyah............. 14
BAB III PENUTUP.................................................................................... 17
A. Kesimpulan...................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 18
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dinasti
Fatimiyah atau disebut juga
al-Fathimiyyun adalah satu-satunya
Dinasti Shi’ah dalam Islam yang penamaannya dinisbatkan kepada Fatimah
al-Zahra, putri nabi Muhammad SAW.
Kebangkitan Dinasti ini berasal dari suatu tempat yang kini dikenal
sebagai Tunisia (Ifriqiyyah) ketika Dinasti Abbasiah di baghdad mulai melemah.
Dinasti Fatimiyah ini adalah salah satu dinasti Islam yang beraliran Syi’ah
Isma’iliyah yang lahir di Afrika utara pada tahun 909 M setelah mengalahkan
Dinasti Aghlabiyah di Sijilmasa.
Dalam sejarah,
kejayaan Dinasti Fatimiyah datang setelah pusat kekuasaanya dipindahkan dari
tunisia (al-Mahadiah) ke Mesir. Kekhalifahan Fatimiyah lahir sebagai
manisfestasi dari idealisme orang-orang Syi’ah yang beranggapan bahwa yang
berhak memangku jabatan imamah adalah keturunan dari Fatimah binti Rosulullah.
Kekhalifahan ini lahir di antara dua kekuatan politik kekhalifahan, Abbasiah di
Baghdad, dan Umayyah II di Cordova.
Sebenarnya
golongan Syi’ah sudah lama mencita-citakan berdirinya kekholifahan sejak
pudarnya kekhalifahan Ali bin Abi Tholib di Kufah. Mereka selalu mendapat
tekanan-tekanan politik semasa periode Kekhalifahan Umayah maupun Abbasiah.
Dalam kegiatan politiknya, mereka melakukan gerakan taqiyah yang kelihatannya
taat terhadap penguasa tetapi sebenarnya mereka menyusun kekuatan secara
diam-diam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Sosial, Politik Dunia Islam Pada Zaman Dinasti Fathimiyah
a. Dinasti
Umayyah
Masa
kekuasaan Mu’awiyah yang menjadi awal dari kekuasaan bani Umayyah telah merubah
sistem pemerintahan Islam dari demokratis menjadi monarchiheriditas (kerajaan
turun menurun). Hal ini tampak jelas sejak proses awal pengangkatan Mu’awiyah
sebagai khalifah, dimana pada masa al- Khulafa’ ar- Rasyidin seorang khalifah
dipilih berdasarkan musyawarah dan pemilihan atau suara terbanyak, sebaliknya
kekhalifahan Mu’awiyah diperoleh melalui jalan kekerasan – diantaranya dalam
perang Shiffin – jalan diplomasi, tipu daya dan tidak dengan musyawarah.
Selain
itu, Mu’awiyah juga telah memplopori tren baru dengan menunjuk seorang putra
mahkota sebagai penerusnya dan mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan
setia terhadap anaknya, Yazid. Bentuk pengukuhan sistem baru secara turun
menurun yang dibangun oleh Mu’awiyah ini menunjukkan bahwa orang-orang yang
berada di luar garis keturunan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki
ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah Umat Islam. Padahal
sejak zaman Rasulullah saw pemerintahan kepemimpinan berjalan di atas asas
permusyawaratan seperti yang termaktub dalam al-Qur’an, dimana seorang khalifah
dipilih oleh para pemuka dan tokoh di Madinah kemudian dilanjutkan dengan bai’at
oleh seluruh pemuka Arab. Namun hal ini tidak pernah terjadi pada masa
pemerintahan dinasti Umayyah.
Disamping
itu juga, Selama masa pemerintahan demokratis khulafa’ al-Rasyidun, khalifah
didampingi oleh dewan penasihat yang terdiri dari pemuka-pemuka Islam, di mana
seluruh kebijaksanaan yang penting dimusyawarahkan secara terbuka terutama
ketika negara menghadapi kesulitan, bahkan rakyat biasa mempunyai hak
menyampaikan pertimbangan dalam pemerintahan. Tradisi musyawarah dan kebebasan
menyampaikan pendapat ini tidak berlaku dalam pemerintahan Bani Umayyah. Dewan
pemusyawaratan dan dewan penasihat tidak berfungsi secara efektif, kebebasan
dalam menyampaikan kritik atas kebijakan pemerintahan sangat dilarang, bahkan
sering kali bertindak otoriter. Sehingga hal ini menimbulkan kecemburuan dan
permusuhan antara keluarga sendiri.[1]
Pada
masa pemerintahan khulafa’ al-Rasyidun, baitul mal berfungsi sebagai harta
kekayaan rakyat sehingga setiap orang memiliki hak yang sama terhadap baitul
mal, namun sejak Mu’awiyah mendirikan dinasti Umayyah, baitul mal menjadi harta
kekayaan keluarga raja. Seluruh raja dinasti Umayyah kecuali Umar Ibn Abdul
Azis memperlakukan baitul mal sebagai harta kekayaan pribadi sehingga raja
berhak menggunakannya sekehendak hati.
Dalam
hal penyebaran Islam, para raja dinasti Umayyah ini melakukan ekspansi yang
sempat terhenti pada masa Utsman dan Ali karena konflik internal, baik itu ke
kawasan barat yang meliputi wilayah Romawi (Turki) dan Afrika, maupun ke
kawasan timur meliputi negara Asia tengah dan Sindh.[2]
Ekspansi
ke kawasan barat secara besar-besaran dilakukan pada masa khalifah Al-Walid bin
Abdul Malik dimana telah tercatat ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
benua Eropa pada tahun 711 M dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziyad.
sehingga, wilayah kekuasaan umat Islam pada masa bani Umayyah betul-betul
sangat luas. Masa ini merupakan masa-masa kejayaan kekuasaan Bani Umayah,
karena Umat Islam benar-benar mendapatkan kebahagiaan, ketenteraman, kemakmuran
dan ketertiban.
Tampaknya
kebijaksanaan Mu’awiyah dalam sistem pemerintahan dan administrasi banyak
merujuk kepada Byzantium dan Persia. Jasa-jasa dalam pembangunan di berbagai
bidang banyak dilakukan Bani Umayyah. Mu’awiyah mendirikan dinas pos,
menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan jabatan Qadhi (hakim)
mulai berkembang menjadi profesi sendiri. Abdul Malik ibn Marwan adalah
khalifah yang pertama kali membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya
ayat-ayat al-Qur’an.[3] Ia
juga melakukan pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Pada
masa khalifah Al-Walid ibn Abdul Malik di bangun panti-panti untuk orang cacat,
membangun jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung pemerintahan dan
masjid-masjid yang megah. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memprioritaskan
pembangunan dalam negeri, keberhasilannya antara lain ialah menjalin hubungan
baik dengan golongan Syi’ah, memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk
beribadah sesuai dengan keyakinannya, pungutan pajak diperingan, dan kedudukan
mawali (non Arab) disejajarkan dengan muslim Arab. Dengan keberhasilan dan
keteladanannya, maka Umar ibn Abdul Aziz sering disebut-sebut sebagai khalifah
kelima setelah Ali ibn Abi Thalib.
b. Dinasti
Abbasiyah
Pembagian kelas
dalam masyarakat Daulat Abbasiyah tidak lagi berdasarkan ras atau kesukaan,
melainkan berdasarkan jabatan seseorang seperti menurut jarzid Zaidan,
masyarakat Abbasiyah terbagi dalam 2 kelompok besar, kelas khusus dan kelas
umum. Kelas khusus terdiri dari khalifah, keluarga khalifah (Bani Hasyim) para
pembesar negara (Menteri, gubernur dan panglima). Kaum bangsawan non Bani
Hasyim (Quraisy) pada umumnya. Dan pra petugas khusus, tentara dan pembantu
Istana. Sedangkan kelas umum terdiri dari para seniman, ulama, pujangga fukoha,
saudagar dan penguasa buruh dan petani.
Sistem Sosial
Pada masa ini, sistem social adalah sambungan dari masa sebelumnya (Masa
Dinasti Umayah). Akan tetapi, pada masa ini terjadi beberapa perubahan yang
sangat mencolok, yaitu :
-
Tampilnya kelompok mawali dalam
pemerintahan serta mendapatkan tempat yang sama dalam kedudukan sosial.
-
Kerajaan Islam Daulah Abbasiyah terdiri
dari beberapa bangsa ang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab dll.).
-
Perkawinan campur yang melahirkan darah
campuran.
-
Terjadinya pertukaran pendapat, sehingga
muncul kebudayaan baru .[4]
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah
mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang
kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain,
kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil
menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam
Islam.
Periode kedua (847-945 M), perkembangan peradaban
dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode
pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung
mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan
anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan
rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional
asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih
kendali pemerintahan. Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari
periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. [5]
Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat
merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah
yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada
di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah.
Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, Setelah
tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat
yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan
Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik
Islam.
Periode ketiga (945 -1055 M), pada periode ini,
Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah lebih
buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran
Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji.
Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah
bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk
wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini
tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di
masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.Meskipun
demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terusmengalami
kemajuan pada periode ini.
Periode keempat (1055-1199 M), periode ini ditandai
dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini
adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di
Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya
dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang –orang
Syi’ah. Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang
pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan
Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah
di Baghdad.
c. Dinasti
Fathimiyah
Pada masa
pemerintahan Fatimiyah, kepada Negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah,
para imam bagi fatimiyah memang sesuatu yang diwajibkan, ini merupakan
penerapan kekuasaan yang turun temurun, mulai dari Nabi Muhammad, Ali bin Abi
Thalib, kemudian selanjutnya di teruskan oleh para imam. Imamah ini diwariskan
dari seorang bapak kepada anak laki-laki yang paling tua dari keturunan mereka.
Dan menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam pengangkatan seorang imam
adalah adanya nash atau wasiat khusus dari imam sebelumnya.[6]
Baik wasiat yang di kemukakan di hadapan umat islam secara umum, atau hanya
diketahui oleh orang-orang tertentu sebagian dari mereka saja.
Para imam
didinasti fatimiyah, mereka anggap sebagai penjelmaan Allah di bumi, meraka
menjadikan Imam-imam sebagai tempat rujukan utama dalam syariat, dan orang
paling dalam ilmunya.
Selanjutnya dari
segi politik juga daulat fatimiyah membentuk wazir-wazir (wazir tanfiz dan
wazir tafwid). Wazir ini dibentuk pada masa Aziz billah pada bulan Ramadhan tahun 367H/979
M.Disamping itu daulat fatimiyah juga membentuk dewan-dewan dalam
pemerintahannya diantaranya, dewan majlis , dewan nazar, dewan tahkik
(sekretaris)dewan barid (pos), dewan tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak)
dan lain-lainnya.[7]
Bentuk
pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dianggap
sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya Khalifah adalah
kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengakatan dan pemecatan penjabat
tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan Khalifah.
Mentri-mentri
Wazir kekhalifahan dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Militer dan Sipil.
Yang dibidangi oleh kelompok Militer diantaranya: urusan tentara, perang,
pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan.
Yang termasuk kelompok Sipil diantaranya:
a. Qadi,
yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
b. Ketua
dakwah, yang memimpin Darul Hikmah
c. Inspektur
pasar, yang membidangi bazar, jalan dan pengawasan timbangan
d. Bendaharawan
Negara, yang membidangi Baitul Mal
e. Wakil
kepala urusan rumah tangga Khalifah
f. Qori,
yang membaca al-Qur’an bagi Khalifah kapan saja dibutuhkan.
Selain dari
penjabat di istana ini ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh Khalifah
untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Siria, dan Asia kecil. Ketentaraan dibagi
ke dalam tiga kelompok:
a)
Amir-amir yang berdiri dari
pejabat-pejabat tinggi dan pengawal Khalifah
b)
Para Obsir Jaga
c)
Resimen yang bertugas sebagai Hafizah
Juyudsiah dan Sudaniyah
Mayoritas khalifah Fathimiyah bersikap moderat dan
penuh perhatian kepada urusan agama nonmuslim. Selama masa ini pemeluk Kristen
diperlakukan secara bijaksana, hanya Khalifah Al-Hakim yang bersikap agak keras
terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia tidak pernah merasakan
kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz
bahkan mereka lebih diuntungkan dari pada umat Islam di mana mereka ditunjuk
menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian pula pada masa Al-Mustansir
dan seterusnya, mereka hidup penuh dengan kedamaian dan kemakmuran. Sebagian
besar jabatan keuangan dipegang oleh orang-orang Kopti. Pada khalifah generasi
akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar, pemeluk Kristen pula semakin
banyak yang diangkat sebagai pegawai pemerintah. Demikianlah semua ini
menunjukkan kebijaksanaan pengusa Fathimiyah terhadap umat kristiani.[8]
Mayoritas khalifah Fathimiyah berpola hidup mewah
dan santai. Al-Mustansir, menurut satu informasi, mendirikan semacam pavillun
di istananya sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foya bersama sejumlah
penari rupawan.
Nasir Al-Khusraw, salah seorang pengembara
Ismailiyah berkebangsaan Persia, yang mengunjungi Mesir antara tahun 1046-1049
M, meninggalkan catatan tentang kehidupan kota Kairo ibu kota Dinasi
Fathimiyah. Pada saat itu ia mendapatkan kota kairo sebagai kota makmur dan
aman. Menurutnya, Toko-toko perhiasan dan pusat-pusat penukaran uang
ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja tanpa kunci, rakyat menaruh kepercayaan
penuh terhadap pemerintah, jalan-jalan raya diterangi beragam lampu. Penjaga
toko menjual barang dengan harga jual yang telah diputuskan dan jika seseorang
terbukti melanggar ketentuan harga jual akan dihukum dengan diarak di atas unta
sepanjang jalan dengan diiringi bunyi-bunyian.
Nasir Al-khusraw menulis catatan bahwa ia
menyaksikan khalifah pada sebuah festival tampak sangat mempesona dengan
pakaian kebesarannya. Istana khalifah dihuni 30.000 orang, di antara mereka
terdapat 12.000 orang pembantu dan 1.000 orang pegawal berkuda dan pengawal
jalan kaki. Kota kairo dihiasi dengan sejumlah masjid, perguruan, rumah sakit,
dan perkampungan khafilah. Tempat-tempat pemandian umum yang cukup indah dapat
dijumpai diberbagai penjuru kota, baik pemandian khusus untuk laki-laki maupun
untuk perempuan. Pasar-pasar yang menjual 20.000 pertokoan padat dengan
produk-produk dunia. Nasir Al-Khusraw sangat takjub atas kesejahteraan dan
kemakmuran negeri ini, sehingga dengan sangat menarik ia mengatakan.” Saya tidak
sanggup menaksir kesejahteraan dan kemakmuran negeri ini, dan saya belum pernah
melihat kemakmuran sebagaimana yang terdapat di negeri ini.
Dinasi Fathimiyah berhasil dalam mendirikan sebuah
Negara yang sangat luas dan peradaban yang berlainan semacam ini di dunia
timur, hal ini sangat menarik perhatian karena sistem Administrasinya yang
sangat baik sekali, aktivitas artistik, luasnya toleransi relijiusa, efisiensi
angkatan perang dan angkatan laut, kejujuran pengadilan, dan terutama
perlindungannya terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.[9]
B.
Tokoh-Tokoh
Khalifah Pengembangan Ilmu Pengetahuan pada Masa Dinasti Fathimiyah
a. Al-‘Aziz
( 975-996 M. / 365-386 H. )[10]
Abu Mansur Nizar
(lahir pada tahun 344 H./954 M.) menggantikan ayahnya pada bulan Rabi’ al-Awwal
365 H. memasuki tahun ke-22 dari umurnya
dengan gelar al-‘Aziz bi Allah, ia terkenal sangat pemurah dan bijaksana bahkan
terhadap musuh-musuhnya sekalipun. Puncak kekuasaan Dinasti Fatimiyah adalah
pada saat pemerintahannya yang meliputi dari wilayah Euprat sampai Atlantik,
melampaui kekuasaan dinasti Abbasiyah di Baghdad yang sedang memasuki masa
kemunduran dibawah kekuasaan Buwaihiyah
Dalam
pemerintahannya, ia sangat liberal dan memberi kebebasan kepada setiap agama
untuk berkembang, kerukunan antar umat beragama terjalin dengan sangat baik,
bahkan seorang wazirnya, Isa ibn Nastur adalah beragama kristen dan Manasah
seorang Yahudi menjadi salah seorang pejabat tinggi di istananya. Pembangunan
fisik dan seni arsitektur merupakan lambang kemajuan pemerintahannya, karena ia
juga ahli Sha’ir dan pendidikan seperti The Golden Palace, The Pearl Pavillion
dan masjid Karafa, masjid al-Azhar dijadikan al-Jami’ah/Universitas.
b. Al-Hakim
( 996-1021 M. / 386-411 H. )[11]
Al-‘Aziz
digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Ali
Mansur (lahir pada bulan Rabi’ al-Awwal 875 H./985 M.) dengan gelar
al-Hakim bi Amr Allah yang masih berumur 11 tahun. Selama tahun-tahun pertama,
ia berada dibawah pengaruh Gubernurnya yang bernama Barjawan yang sedang
terlibat koinflik dengan panglima militer Ibn ‘Ammar, setelah berhasil
menyingkirkan sang panglima, Barjawan menjadi pelaku utama dalam
pemerintahannya meskipun pada tanggal 26 Rabi’ Al-Thani 390 H./1000 M. Bajarwan
dibunuh karena tuduhan penyalah-gunaan kekuasaan negara. Pemerintahannya
ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan, ia membunuh beberapa
orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja, orang kristen dan orang yahudi
harus memakai jubah hitam dan hanya dibolehkan menunggangi keledai, ia
mengeluarkan maklumat untuk menghancurkan seluruh gereja di Mesir dan menyita tanah serta seluruh
harta kekayaan mereka sehingga mereka merasa kehilangan hak-haknya sebagai
warga negara.
Prestasi besar
dalam pemerintahannya adalah pembangunan sejumlah masjid, perguruan-perguruan
dan pusat observatorium astrologi, tahun 395 H./1005 M. ia merampungkan
pembangunan Dar al-Hikmah sebagai sarana penyebaran ajaran-ajaran Shi’ah dan
pada tahun 403 H./1013 M.. ia mendirikan al-Jam’iyyah al-‘Ilmiyyah “Akademia”
dari berbagai disiplin ilmu seperti Fiqh, mantiq, Filsafat, matematika,
kedokteran dan lainnya, setelah itu seluruh kitab yang ada di Dar al-Hikmah ia
pindahkan ke masjid al-Azhar. Tetapi pada tangaal 13 Pebruari 1021 M./411 H. Ia
terbunuh di Mukatam, kemungkinan konspirasi yang dipinpin oleh adik
perempuannya yang bernama Sitt al-Mulk yang telah diperlakukan tidak hormat
oleh khalifah.
C.
Tokoh-Tokoh
Ilmuwan Zaman Dinasti Fathimiyah
1. Ya’cub
bin Killis
Beliau adalah
seorang wazir pada kekhalifahan al-Mu’iz dan al-Aziz. Ia adalah seorang Yahudi
dari Baghdad yang masuk Islam. Berkat karir pilitiknya yang meningkat dan
kecakapannya di bidang administrasi, berhasil meletakkan dasar-dasar ekonomi
sehingga negeri itu mencapai kemakmuran di sepanjang sungai Nil. Dan dikabarkan
Ibn Killis juga adalah tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan pada kekhalifahan
Fatimiyah di Mesir.[12]
Bahkan, Ya’cub rela rumahnya dijadikan tempat belajar bagi murud-muridnya.
2. Muhammad
at-Tamimi
Seorang
dokter yang lahir di Yerusalam dan pindah ke Mesir sekitar tahun 970. Beliau
adalah ahli fisika dan kedokteran.[13]
3. Al-Kindi
Muhammad
bin Yusuf al-Kindi adalah seorang sejarawan ternama yang meninggal dunia di
Fusthat pada tahun 961 M. Di antara karyanya adalah Kitab al-Wulah wa Kitab
al-Qudhah. Buku ini telah diedit oleh R. Guest dan dicetak di Leiden pada tahun
1908.[14]
4. An-Nu’man
Beliau adalah ahli hukum dan pernah
menjabat sebagai hakim.[15]
5. Ali
ibn Yunus
Seorang
astronom hebat yang pernah dilahirkan Mesir ini meninggal pada tahun 1009, pada
masa pemerintahan al-Hakim.[16]
6. Ali
al-Hasan ibn al-Haitsami (w. + 1039 M)
Ibnu Haitsam
adalah peletak dasar ilmu fisika dan optik. Ia dilahirkan di Bashrah sekitar
tahun 965. dalam bahasa Latin, ia lebih dikenal dengan sebutan Alhazen. Dalam
pelbagai penelitiannya, ia pernah mencoba untuk mengatur aliran sungai Nil yang
mengalir setiap tahun. Ketika percobaannya gagal, ia berpura-pura gila dan
menyembunyikan diri dari kemarahan sang khalifah, sampai sang khalifah
meninggal dunia. Ia menulis tidak kurang dari seratus karya yang meliputi
bidang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran. Karya terbesar yang
patut dicatat adalah Kitab al-Munazhir, mengenai ilmu optik.
Edisi buku asli
ini telah hilang, tetapi sudah diterjemahkan pada masa Gerald dari Cremona atau
sebelumnya, dan sudah diterbitkan dalam bahasa Latin pada tahun 1572. kitab ini
sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu optik pada abad pertengahan.
Hampir semua penulis tentang optik pada abad pertengahan menjadikan karya
warisan Alhazen sebagai rujukan utama; karya-karya Roger Bacon, Leonardo da
Vinci, dan Jonathan Kepler menunjukan adanya jejak-jejak pengaruh dari kitab
itu. Dalam karyanya Ibnu al-Haitsam menentang teori Euclid dan Ptolemius yang
mengatakan bahwa mata mengirimkan cahaya visual pada objek yang dilihat. Ia
juga melakukan percobaan untuk menguji sudut pantulan cahaya. Dalam beberapa
percobaan tertentu ia mendekati penemuan teoritis tentang lensa pemesar yang
menjadi prototipe lensa yang dibuat tiga abad kemudian di Italia.[17]
7. Ammar
ibn Ali al-Maushili
Karyanya adalah
al-Muntakhab fi ‘Ilaj al-Ayn, muncul di Mesir pada masa kekuasaan al-Hakim.
Dalam hal ini para sejarawan menyatakan bahwa karya ini jauh lebih orisinal
ketimbang Tadzkirah karya Ibnu Isa, ilmuan lain yang sezaman dengannya. Berkat
kelengkapannya, kitab ini menjadi standar dalam disiplin penyakit mata,
optalmologi. Ammar menjelaskan dasar-dasar operasi katarak yang belum parah
dengan mengisapnya melalui lobang pembuluh. Praktek operasi ini merupakan salah
satu penemuannya.[18]
8. Abu
Abdillah An-Nasafi
Ia telah menulis
kitab al-Maushul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah usul mazhab-mazhab
Islam. Selahjutnya ia menulis kitab Unwanuddin, Ushulusyar’i, Adda’watu
Munjiyah. Kemudian ia juga menulis buku tentang ilmu falak dan sifat alam
dengan judul Kaunul alam dan al-Kaunul Mujraf.[19]
Pada masa
al-Muntashir, kegagalan dan kemunduran kerajaan yang mengakibatkan berkurangnya
harta kekayaan, pada gilirannya menyebabkan kemunduran lebih besar dengan
banyaknya buku-buku yang hilang dari perpustakaan kerajaan. Perpustakaan itu
sendiri mulai didirikan pada masa al-Aziz, dan ketika itu memiliki kurang lebih
200.000 buku dan 2.400 eksemplar al-Quran yang dihiasi ornamen-ornamen indah.
Salah satu
koleksi langkah perpustakaan ini adalah naskah-naskah hasil karya Ibnu Muqlah
dan ahli-ahli kaligrafi lainnya. Di perpustakaan ini pula al-Aziz menyimpan
salinan tulis tangan buku sejarah karya at-Tabari. Dalam peristiwa perebutan
rampasan perang pada tahun 1068, seorang sejarawan menyaksikan sekitar 25 ekor
unta membawa pergi buku-buku itu. Naskah-naskah yang berharga itu digunakan
sebagai bahan bakar untuk membakar rumah-rumah dan kantor-kantor orang Turki,
sedangkan bagian sampulnya yang tebal dan mewah dijadikan untuk tambalan sepatu
budak-budak mereka.[20]
D.
Tujuan
Studi Islam pada Masa Zaman Dinasti Fathimiyah
Bagi umat Islam,
mempelajari studi Islam Dinasti Fathimiyah mungkin untuk memantapkan keimanan
dan mengamalkan ajaran Islam, sedangkan bagi non muslim hanya sekedar diskursus
ilmiah, bahkan mungkin mencari kelemahan umat Islam dengan demikian tujuan
studi Islam adalah sebagai berikut:
a. Pertama,
untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Dinasti Fathimiyah
agar kitaa dapat melaksanakan dan mengamalkan secara benar, serta menjadikannya
sebagai pegangan dan pedoman hidup. Memahami dan mengkaji Islam direfleksikan
dalam konteks pemaknaan yang sebenarnya bahwa Islam adalah agama yang
mengarahkan pada pemeluknya sebagai hamba yang berdimensi teologis, humanis,
dan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan studi Islam, diharapkan tujuan di
atas dapat di tercapai.
b. Kedua,
untuk menjadikan ajaran-ajaran Dinasti Fathimiyah Islam sebagai wacana ilmiah
secara transparan yang dapat diterima oleh berbagai kalangan. Dalam hal ini,
seluk beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku bagi umat Islam
dijadikan dasar ilmu pengetahuan. Dengan kerangka ini, dimensi-dimensi Islam
tidak hanya sekedar dogmentis, teologis. Tetapi ada aspek empirik sosiologis.
Ajaran Islam yang diklaim sebagai ajaran universal betul-betul mampu menjawab
tantangan zaman, tidak sebagaimana diasumsikan sebagian orientalis yang
berasumsi bahwa Islam adalah ajaran yang menghendaki ketidak majuan dan tidak
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
E.
Manfaat
Studi Islam Zaman Fathimiyah[21]
1. Sumbangan
terbesar Dinasti Fatimiyah yang cukup signifikan adalah menyatukan Dunia Barat
dan Timur, karena letak Mesir (Iskandariyah) yang sangat strategis untuk
tercapainya hal tersebut.
2. Selama
dua abad lebih menguasai Mesir, keberadaan Dinasti Fathimiyah telah memberikan
sumbangan peradaban yang besar. Kemajuan terbesar adalah memberikan ruang
berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam yang melahirkan banyak ilmuwan
dengan didirikannya Dar al-hikmah dan Dār al-‘Ilmi dan keberadaan Universitas
al-Azhar sebagai pusat pengkajian ilmu pengetahuan yang masih terasa hingga kini.
3. tertatanya
sistem administrasi pemerintahan yang membuahkan kemakmuran. Catatan sejarawan
tentang kecemerlangan Mesir saat itu dan
jejak peninggalannya berupa karya-karya seninya yang bernilai sangat
tinggi, membuktikan kebenaran fakta tersebut.
4. Dinasti
Fathimiyah juga terkenal dengan toleransi beragamanya. Para penguasa Fathimiyah
tidak mencoba melakukan tekanan agar penganut Sunni menyeberang ke Syi’ah
Ismailiyah. Mereka juga sangat menghargai kemerdekaan agama Kristen maupun
Yahudi. Satu-satunya pengecualian adalah pada masa khalifah al-Hakim.
5. Dalam
segala aspek kehidupan secara umum, Dinasti Fatimiyah memberikan kelonggaran
kepada semua orang untuk melakukan kegiatan sosial, keagamaan dan bahkan
politik, meskipun disisi lain dinasti ini mempunyai misi menanamkan paham
keagamaan, yaitu Shi’ah sekte Isma’iliyah
6. Kemunduran
Dinasti Fathimiyah bukan hanya disebabkan oleh faktor eksternal berupa serangan
dari pasukan luar, melainkan juga karena masalah internal yang tidak dapat
diselesaikan seperti berkurangnya kesetiaan publik kepada penguasa yang
dianggap berprilaku aneh, banyaknya campur tangan para wazir akibat penguasa
yang belum cukup umur, dan timbulnya perselisihan dalam suksesi pemerintahan.
7. khalifah
hanya sebagai raja boneka sebab roda pemerintah didominasi oleh kebijakan para
wazir sementara khalifah hanya hidup menikmati kekuasaannya didalam istana yang
megah
8. Dinasti
Fatimiyah adalah dinasti yang dibangun atas dasar protes politik terhadap
kekuasaan pada saat itu dengan legitimasi agama yaitu tuntutan Imamah sebagai
pengganti Rasulallah SAW. Karena sebuah hadith al-aimmah min quraysh dengan
keyakinan bahwa Ali ibn Abi Talib (suami Fatimah al-Zahro putri Rasulallah) dan
keturunannya sebagai pewaris kekhalifahan / Nabi
9. Terlepas
klaim sebagai keturunan nabi yang masih diperdebatkan dan salah seorang
khalifah tidak mencerminkan kepemimpinan yang ideal, namun yang jelas sumbangan
dinasti ini merupakan sumbangan berharga. (maspalah_aagun)
10. Dinasti
Fatimiyah adalah satu-satunya dinasti Shi’ah dalam Islam yang eksis selama
kurang lebih dua setengah abad dan bisa berjaya melampaui capaian wilayah
kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam terdahulu, dan telah memberi banyak sumbangan
peradaban terhadap dunia Islam, khususnya Mesir, karena pada masa Dinasti
Fatimiyah ini, Mesir mengalami tingkat kemakmuran dan vitalitas kultural yang
mengungguli Irak dan Baghdad.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan
diatas dapat kami simpulkan bahwa Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Dinasti
Ubaidillah, dengan pendirinya yaitu Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syria
ke Afrika Utara. Dinasti ini beraliran Syi’ah Islami’ilah, pusat
pemerintahannya di Cairo. Dinasti ini mengalami kejayaannya pada masa khalifah
Abu Mansur Nizar Al-Aziz
Dan pada masa
itulah, dengan prestasi gemilangnya dalam bidang pemerintahan, ekonomi sosial,
di bidang ilmu dan perkembangan intelektual islam, syiah Ismailiyah sebagai
doktrin teologi dan madzhab tata Negara Negara Fatimiyah mengalami masa
keemasan.
Dinasti
Fathimiyyah merupakan penguasa negara yang besar berpusat di lembah Nil, Kairo.
Kekhalifahan ini berkuasa selama lebih kurang 203 tahun yaitu sejak tahun 909
sampai tahun 1171 M. Cikal bakal dari keKhalifahan Fathimiyyah ini adalah Gerakan
Bani Fathimiyyah yang berasal dari kelompok Syi’ah Ismailiyah, mereka
mengasingkan diri ke kota Salamah guna menyelamatkan diri dari pengejaran Bani
Abbasiyah di bawah pimpinan Khalifah Al-Ma'mun.
Pola
pemerintahan yang dijalankan Fathimiyyah mengikuti pola pemerintahan bani
Abbasiah di Bahgdad. Kepemimpinan dikonsentrasikan kepada Khalifah dan dibai'ah
lewat seremoni yang megah. Berbagaikemajuan diraih pada masa dinastiFathimiyyah
ini,mulai darikemajuan dalambidang ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan
yang lainnya hingga dapat berdiri perguruan tinggipertama didunia yaitu
Universitas Al-Azhar yang bermarkas di Kairo, Mesir sampai sekarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Salabi, 1979, Mawsu’ah al-Tarikh al-islam
wa al-Hadaroh al-Islamiya jld 5 Kairo, Makbah al-Nahdah al-Misriyah.
Musyrifah Sunanto, 2007, Sejarah Islam
Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta, Kencana.
Siti Maryam dkk., 2003, Sejarah Peradaban
Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern Cet. I, Yogyakarta LESFI.
Jaih Mubarok, 2008, Sejarah Peradaban Islam,
Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika
Ira M. Lapidus, 2002, A History of Islamic
Societies New York: Cambridge University Press.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, 1429
H/2008, History of Arabs, Cet. I, Jakarta, PT Serambi Ilmu Sentosa.
Jaih Mubarok, 2008, Sejarah Peradaban Islam ,
Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika
Hamka, 2005, Sejarah Umat Islam ,Cet.
V, Singapura Pustaka Nasional PTE LTD.
Zainal Abidin Ahmad, 1979, Sejarah Islam dan
Ummatnya , Jakarta Bulan Bintang.
Ajid Thohir, 2004, Perkembangan Peradaban di
Dunia Islam Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada.
K. Ali, 2003, Sejarah Islam:Tarikh Pramodern,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada
Jaih Mubarak, 2008, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung, Pustaka Islamika.
[1]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam.
(PT. Rajagrafindo Perkasa, Jakarta:2007) hal. 42
[2]
Ibid., hal. 53-56
[3]
Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 258
[4]
Ratu Suntiah, M.Ag, Drs. Maslani
M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Bandun: CV. Insan Mandiri,2010), hlm 93
[5]
Badri Yatim, Op. Cit., hal. 76
[6]
Dr. Aiman Fuad Sayyid. Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. (Dar
El-Masriyah lil-Bananiyah. 1992). hal 249
[7]
Ibid, hal 250
[8]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: kota
kembang, 1989), hal 285
[9]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2013),
hal 265
[10]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam (Cet. 3, Jakarta, Kencana, 2007) h. 141
[11]
Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern (Cet.
I, Yogyakarta: LESFI, 2003) hal. 264
[12]
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet. I, Bandung:
Pustaka Islamika, 2008) hal. 190
[13]
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (New York:
Cambridge University Press, 2002) hal. 285
[14]
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dengan History of Arabs (Cet.
I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Sentosa, 1429 H/2008 H), hal. 789
[15]
Jaih Mubarok, Op. Cit., hal. 54
[16]
Hamka, Sejarah Umat Islam (Cet. V, Singapura: Pustaka Nasional
PTE LTD, 2005), hal. 333
[17]
Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979) hal. 109
[18]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: kota
kembang, 1989, hal 229
[19]
K. Ali, Sejarah Islam:Tarikh Pramodern, terj., (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal 492-493
[20]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2013),
hal 256
[21]
Moh Nurhakim, Sejarah Peradaban Islam (Malang, UMM Pres, 2003)
hal 106-107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar