KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat tuhan yang maha Esa, Syukur
alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada
Allah Swt, yang karena bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah
makalah berjudul "Al-Qur’an dan Sejarah Pengumpulan serta
Penertibannya"
Shalawat bernada salam, kami sanjung sajikan kepangkuan
nabi besar Muhammad saw, dengan adanya beliau, Alhamdulillah sampai saat ini kami dapat menyusun sebuah makalah.
Makalah ini kami buat berdasarkan buku penunjang yang kami baca. Dan untuk lebih menarik peminat pembaca makalah ini kami ikut sertakan
beraneka ragam yang kami petik pada buku perpustakaan. Kami menyadari bahwa masih sangat banyak
kekurangan yang mendasar pada makalah ini, oleh karna itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pihak manapun yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.
Padangsidimpuan,
September 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
A.
Latar Belakang................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 2
A. Al-Qur,an
dan Sejarah Pengumpulannya......................................... 2
B. Tertib Ayat Dan Surat Dalam Al-Qur’an......................................... 10
BAB III PENUTUP................................................................................... 14
A.
Kesimpulan...................................................................................... 14
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Rasulullah adalah seorang yang tidak bisa membaca dan
menulis karena itu beliau tidak membukukan atau mencatat Al-Qur’an sendiri.
Beliau memerintahkan para sahabat yang dipercayainya sebagai penulis wahyu
untuk menuliskan wahyu yang turun kepada Rasullulah di atas pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit kayu, dan tulang belulang hewan. Semua ayat
yang turun ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan, tetapi semua wahyu
tersebut belum terhimpun dalam satu mushaf. Meskipun demikian, Rasullulah saw
memberikan isyarat tentang peletakan surat dan urutan ayat dalam Al-Qur’an.
Orisinalitas Al-Qur’an senantiasa terjaga karena malaikat
Jibril as membacakan kembali ayat demi ayat Al-Qur’an kepada Rasullulah saw
pada malam-malam bulanRamadhan pada setiap tahunnya. Selain itu, para sahabat
senantiasa menyetorkan hafalan maupun tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah
mereka hafal dan mereka tulis kepada Rasullulah SAW.
Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul
dalam satu mushaf. Catatan yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang
lain. Para ulama’ telah menyampaikan bahwa segolong dari mereka, di antaranya
Ali bin Abu Thalib ra, Muadz bin Jabal raUbay bin Ka’ab ra, Zaid bin Tsabit ra,
dan Abdullah bin Mas’ud ra, telah menghafal seluruh isi Al-Qur’an pada masa
Rasullulah.
Untuk menjaga orisinalitas Al-Qur’an, Rasulullah
memerintahkan para sahabat untuk tidak menuliskan sesuatupun yang berasal dari
mulut beliau kecuali Al-Qur’an. Hal ini sangat wajar dan tepat karena tidak ada
yang bisa menjamin bahwa Hadits dan Al-Qur’an tidak bercampur aduk satu sama
lainnya sehingga untuk mencegah hal ini maka Rasullulah dengan petunjuk Allah
melarang penulisan apapun dari Rasulullah kecuali Al-Qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Al-Qur,an
dan Sejarah Pengumpulannya
1. Al-Qur’an
Al-quran
menurut bahasa ialah himpunan, bagian dari kalam Allah (perkataan allah /
firman allah). [1]
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ !$tBur y71u÷r& $tB ä's#øs9 Íôs)ø9$# ÇËÈ ä's#øs9 Íôs)ø9$# ×öy{ ô`ÏiB É#ø9r& 9öky ÇÌÈ ãA¨t\s? èps3Í´¯»n=yJø9$# ßyr9$#ur $pkÏù ÈbøÎ*Î/ NÍkÍh5u `ÏiB Èe@ä. 9öDr& ÇÍÈ íO»n=y }Ïd 4Ó®Lym Æìn=ôÜtB Ìôfxÿø9$# ÇÎÈ
Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkannya
(Al-Quran) pada malam kemuliaan.Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala urusan.Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS
Al-Qadar: 1-5)
Sebenarnya
sebelum diturunkan ke muka bumi, Al-Quran adalah kitab yang sudah jadi dan
eksis sebelumnya. Para ulama menjelaskan bahwa paling tidak Al-Quran mengalami
dua kali masa turun. Pertama, turun dari Lauh al-Mahfudz ke langit dunia. Ini
terjadi pada Lailatul Qadar, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Qadar:
1-5. Dalam proses turun yang pertama ini, Al-Quran turun sekaligus, tidak
sepotong-sepotong. Kedua, turun dari langit dunia kepada Rasulullah SAW dengan
berangsur-angsur. Selama masa 23 tahun lebih beliau SAW secara rutin menerima
turunnya ayat Al-Quran.
Berbeda dengan
proses pertama yang turun sekaligus, pada kali yang kedua ini, Al-Quran
diturunkan secara acak dan sepotong-sepotong. Tidak urut dari Al-Fatihah,
Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa' dan seterusnya hingga An-Naas, tetapi
diturunkan berdasarkan kebutuhan. Hanya yang perlu dicatat, pada setiap
potongan ayat turun, Rasulullah SAW selalu memberikan penjelasan bahwa posisi
ayat itu di dalam Al-Quran adalah para surat tertentu, bahkan sampai keterangan
urutannya pada sebelum ayat apa dan sesudah ayat apa.
Ayat-ayat yang
turun ke bumi disusun sesuai dengan Al-Quran yang asli di Lauhil Mahfuz dan di
langit pertama. Jibril menurunkannya satu per satu sesuai dengan perintah
Allah, namun sambil membawa juga kode-kode alamat tiap ayat itu. Sehingga
ketika dikumpulkan, otomatis dengan mudah bisa tersusun lagi seperti versi yang
masih ada di langit.
Yang dimaksud
dengan pengumpulan Al-Quran menurut pendapat Ulama, ada dua pengertian . Arti
Pertama, mengumpulkan dengan arti menghafal. Pengertian in yang terdapat pada
firman Tuhan dalam Al-Quran dalam khitabnya kepada Nabi. Dialah yang
menggerakkan bibir dan lidah Nabi SAW untuk membaca Al-Quran apabila ada ayat
yang diturunkan kepada nabi belum lagi selesai Jibril membacakan wahyu, maka
nabi sudah ingin sekali hendak menghafalnya. Allah berfirman dalam Al-quran ;
w õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ/ y7tR$|¡Ï9 @yf÷ètGÏ9 ÿ¾ÏmÎ/ ÇÊÏÈ ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ §NèO ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmtR$ut/ ÇÊÒÈ
Artinya
: “Janganlah kamu gerakan lidahmu (untuk
membaca) Al-quran karena hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas
tanggung Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai membacanya)”
(QS Al-Qiyamah ; 16-19)
Kata
Ibnu Abbas di waktu Rasulullah menerima wahyu, dia menggerak-gerakkan lidah dan
bibirnya karena takut akan lupa. Maksud menggerakkan bibir ialah menghafalnya.[2]
Maka turunlah QS Qiyamah ayat 16-19 tersebut. Pada lafadz lain dikatakan bahwa
Kami akan membacakan padanya apabila Al-quran itu dibacakan oleh Jibril kepada
nabi, maka nabi berdiam diri tidak berbicara.
Arti
Kedua, mengumpulkan Al-quran berarti menuliskannya Al-quran itu secara
keseluruhannya.
2. Pengumpulan
Al-Quran
Pengertian
pengumpulan Al-Qur’an menurut para ‘ulama terbagi menjadi 2 macam yaitu:
Pertama, pengumpulan dalam arti hifzhuhu (menghafalnya dalam hati). Kedua,
pengumpulan dalam arti Kitabatuhu kulluhu (penulisan qur’an semuanya) baik
dengan memisahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayat
semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun
menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang
terkumpul, yang menghimpun semua surat sebagiannya ditulis sesudah bagian yang
lain.[3]
Sejak awal
pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses panjang.
Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar
terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak
terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya
tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan
menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai
dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya
pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan
Nabi.[4]
Pada mulanya,
bagian-bagian al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dipelihara dalam
ingatan Nabi dan para sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan
masyarakat Arab telah memungkinkan terpeliharanya al-Quran dalam cara semacam
itu. Jadi, setelah menerima suatu wahyu,
Nabi Lalu menyampaikannya kepada para pengikutnya, yang kemudian
menghafalkannya. Sejumlah hadits menjelaskan berbagai upaya Nabi dalam
merangsang penghafalan wahyu-wahyu yang telah diterimanya. Salah satu di
antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Utsman ibn Affan bahwa Rasulullah
pernah bersabda: “Yang terbaik di antara kamu adalah mereka yang mempelajari
al-Quran dan kemudian mengajarkannya.”[5]
Semasa hidup
Nabi Muhammad dikenal beberapa orang yang dijuluki sebagai Qari’ yaitu seorang
yang menghafal al-Qur’an, adapun para Qari’ pada masa Nabi Muhammad adalah
sebagai berikut : Keempat Khulafa’ur
Rasyidin, Tholhah, Said, Ibn Mas’ud, Hudaifa, Abu Hurairah, Ibn ‘Umar, Ibn
Abbas, ‘Amr bin ‘Ash, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ibn
Jabir, Abdullah bin Sa’ib, ‘Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah.[6]
Sedangkan untuk
penulisan wahyu yang turun, dikenal beberapa sahabat yang bertugas untuk
menuliskan wahyu yang turun atas perintah Rasulullah sendiri. Para penulis
wahyu tersebut kemudian mendapat julukan sebagai Kutabul Wahyu. Adapun para
penulis wahyu pada masa nabi muhammad yaitu Khulafaur Rasyidin, Muawiyah, Zaid
bin Sabit, ‘Ubai bin Ka’ab, Khalid bin Al-Walid dan Tsabit bin Qays.[7]
Namun karena
keterbatasan media tulis yang digunakan pada waktu itu sehingga para sahabat
menggunakan apa saja yang dapat digunakan sebagai media tulis dalam menuliskan
wahyu. Beberapa media tulis yang digunakan para sahabat untuk menuliskan wahyu
sebegaimana yang disampaikan oleh az-Zarqany adalah : lembaran lontar atau
perkamen (Riqa), batu tulis berwarna putih (Likhaf), pelapah kurma (Asib), tulang belikat(Aktaf), tulang rusuk
(Adlla’), lembaran kulit (Adim).[8]
Namun yang
menjadi catatan dari pengumpulan al-Qur’an pada masa Rasulullah adalah walupun
telah ada penulisan pada masa Rasulullah atas perintah beliau sendiri, hanya
saja pada saat itu al-Qur’an yang dituli masih berupa lembaran yang tercecer
dan belum disatukan. Mengenai hal tersebut, az-Zarqany secara khusus
menjelaskan alasan yang mendasari hal tersebut, yaitu :[9]
Keterbatasan
Media untuk membukukan al-Qur’an pada masa Rasulullah, tidak seperti pada masa
Abu Bakar bahkan ‘Utsman yang cenderung lebih mudah menemukan bahan baku
pembukuannya.
Pada saat itu
para Qari’ masih sangat banyak, dan Islam belum menyebar seperti pada masa Abu
Bakar maupun Ustman. Singkatnya jarak antara berhentinya wahyu dan wafatnya
Nabi. Ayat-Ayat al-Qur’an yang turun terkadang untuk menghapus keberlakuan ayat
sebelumnya.
Al-Qur’an tidak
turun sekaligus, melainkan dengan jalan sedikit demi sedikit (Munajaman) selama
rentang duapuluh tahun atau lebih. Urutan ayat turun kepada Nabi berdasarkan
Asbabun Nuzul, sedangkan urutan ayat dalam al-Qur’an tidak disusun berdasakan
hal tersebut.
a. Pengumpulan
al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar
Ketika
Rasulullah telah Wafat, al-Qur’an memang telah terkumpul di dada para sahabat
berupa hafalan serta telah dituliskan dalam lembaran-lembaran. Namun al-Qur’an
yang ditulis para sahabat tersebut masih berupa lembaran-lembaran yang tercecer
ditangan para sahabat atau dengan kata lain al-Qur’an pada saat itu masih belum
sepenuhnya terbukukan. Sehingga ketia terjadi perang Yamamah yang terjadi
setahun setelah wafatnya Nabi yang menewaskan 70 Qari’ menimbulkan kegelisahan
dihati ‘Umar bin Khattab hingga kemudian mendesak Abu Bakar untuk segera
membukukan al-Qur’an mengingat para Qari’ telah banyak yang meninggal sedangkan
al-Qur’an yang tertulis masih berupa lembaran-lembaran yang tercecer.[10]
Atas
desakan ‘Umar tersebut kemudian Abu Bakar berkenan untuk memerintahkan
pengumpulan tersebut walaupun pada awalnya beliau menolaknya dengan alasan
bahwa hal tersebut bukanlah perbuatan yang dilakukan oleh Nabi, namun ‘Umar
meyakinkannya dengan alasan bahwa pembukuan tersebut adalah hal yang baik dan
sangat penting. Setelah Abu Bakar merasa yakin dengan keputusannya tersebut,
maka diutuslah Zaid bin Tsabit untuk mulai mengumpulkan al-Qur’an.[11]
Pemilihan
Zaid sebagai orang yang ditugasi untuk mengumpulkan al-Qur’an menurut beberapa
Ahli Ilmu Qur’an didasarkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah Zaid adalah
seorang yang cerdas, masih muda, dan tidak memiliki sifat tercela, selain itu
peranannya sebagai penulis wahyu dimasa Rasulullah menjadi alasan yang mendsari
pemilihannya.[12]
Dalam
mengumpulkan al-Qur’an Zaid menggunakan metode yang sangat teliti berdasarkan
arahan yang diberikan oleh abu Bakar dan ‘Umar. Selama pengumpulan tersebut,
Zaid tidak serta-merta mengandalkan hafalan yang dimilikinya, tidak juga dengan
apa yang telah ditulisnya maupun yang telah didengarkannya. Dalam pengumpulan
tersebut, zaid menggunakan dua rujukan utama, yaitu :[13]
-
Berdasarkan ayat yang telah ditulis
dihadapan Rasulullah dan telah disaksikan langsung oleh beliau.
-
Ayat yang dihafal dan ditulis dalam
lembaran dengan menyertakan dua saksi yang adil yang menyaksikan bahwa ayat
tersebut telah benar-benar ditulis dihadapan Rasulullah.
Adapun yang
dimaksud dimaksud dengan disaksikan oleh dua orang adalah, bahwa hal itu
merupakan sesuatu yang ditulis sebagaimana bentuk yang dengannya al-Qur’an
telah diturunkan, atau bahwa yang ditulis itu memang telah ditulis di depan
Rasulullah saw. Tujuan dari penyertaan syarat tersebut adalah agar al-Qur’an tersebut tidak ditulis
dengan tulisan yang sama dengan yang ditulis di depan Rasulullah saw.
Karena itu,
kesaksian tersebut bukan kesaksian atas al-Qur’an, karena hal itu tidak perlu
diragukan. Mengingat jumlah para penghafal dan pembacanya sangat banyak. Namun,
kesaksian yang dimaksud di sini adalah kesaksian atas tulisan yang ditulis di
depan Nabi saw. Dengan cara itulah, penulisan tersebut telah selesai dengan
sempurna sehingga terkumpul dalam lembaran yang diikat dengan benang,
sebagaimana yang dijelaskan dalam sebagian riwayat. Inilah peranan yang
dimainkan oleh Zayd bin Tsâbit.
b. Pengumpulan
al-Qur’an Pada Masa ‘Ustsman bin ‘Affan
Pengumpulan
al-Qur’an pada masa ‘Utsman bin ‘Affan punya motif berbeda dengan pengumpulan
al-Qur’an dimasa Abu Bakar, Jika motif Abû Bakar mengumpulkan al-Qur’an karena
khawatir akan hilangnya materi yang tertulis tadi sebagai akibat dari banyaknya
para penghafal dan pembaca yang telah meninggal dunia, maka motif ‘Utsmân
adalah karena takut akan terjadinya perbedaan yang meruncing mengenai ragam
bacaan.
Pada
masa ‘Utsman ini Islam telah tersebar luas dan kaum Muslimin telah hidup
berpencar ke berbagai pelosok. Di berbagai daerah telah terkenal Qira’at
sahabat yang mengajarkan al-Qur’an kepada penduduk setempat. Penduduk Syam
memakai Qira’at Ubay bin Kaab, penduduk Kuffah memakai Qira’at Abullah bin
Mas’ud, penduduk di wilayah lainnya menggunakan Qira’at Abu Musa al-Asy’ary.
Tidak jarang terjadi pertentangan mengenai masalah bacaan dikalangan pengikut
sahabat-sahabat tersebut, hingga
kemudian pertentangan tersebut memuncak menjadi perpecahan dikalangan Muslimin
sendiri.[14]
Kondisi
semacam ini kemudian didengar oleh Hudaifah bin Yaman. Ketika Hudaifah
mengetaui hal tersebut, maka dengan sesegera mungkin beliau melaporkannya
kepada Khalifah ‘Utsman agas segera ditindak lanjuti. Setelah mendapatkan
laporan tersebut, ‘Utsman segerah mengirim surat kepada Hafshah yang berisikan
perintah untuk memberikan al-Qur’an yang telah dibukukan Zaid sebelumnya untuk
kemudian diperbanyak dan disebarluaskan ke seluruh penjuru. Untuk membukukan
al-Qur’an tersebut, ‘Ustman mengutus empat orang sahabat untuk membukukan
al-Qur’an, dari keempat orang tersebut tiga diantaranya adalah muhajirin dan
satu orang lainnya adalah kaum anshar, empat orang tersebut adalah : Zaid bin
Tsabit, ‘Abdullâh bin Zubayr, Sa’id bin al-‘Ash, ‘Abdurrahmân bin al-Harits bin
Hisyam.[15]
Dalam
melakukan pembukuan tersebut, keempat orang tersebut berpegang pada arahan dari
‘Utsman, yaitu :[16]
-
Menjadikan Mushaf Abu Bakar yang telah
dibukukan oleh Zaid bin Tsabit sebagai acuan pokok dan dumber utama dalam
penulisan al-Qur’an.
-
Mengacu pada Mushaf Abu Bakar tersebu
dalam hal penulisan dan urutannya, dan apabila terdapat perbedaan pendapat
dikalangan para anggota panitia, maka mengacu berdasarkan dialek Quraisy karena
al-Qur’an diturunkan dengan dialek Quraisy.
-
Dan al-Qur’an tidak ditulis kecuali
berdasarkan persetujuan antara para panitia, dan para sahabat bersepakat bahwa
al-Qur’an yang telah dibukukan tersebut sebagai al-Qur’an sebagaimana yang
diturunkan kepada Rasulullah.
Usaha
yang dilakukan oleh ‘Ustman tersebut mendapatkan apresiasi yang sangat
dikalangan sahabat, sehingga hasil dari usaha tersebut mendapat pengakuan dari
kalangan sahabat dan mereka meyakini bahwa al-Qur’an yang dikumpulkan oleh
‘Utsman tersebut telah sesuai dan sama persis dengan al-Qur’an yang ada pada
masa Nabi Muhammad. Baik dari segi urutan ayat (Tartibul Ayat), maupun urutan
Surat (Tartibus suwar), maupun Qira’atnya. Mushaf ‘Utsman yang telah
mendapatkan pengakuan dari para sahabat tersebut kemudian disebarkan dan
menjadi pegangan dalam penulisan al-Qur’an hingga saat ini yang dikenal dengan
Mushaf atau Rasm ‘Ustmany.[17]
B.
Tertib Ayat Dan Surat Dalam
Al-Qur’an
Umumnya para
Ulama’ sependapat bahwa tertib ayat dalam al-Qur’an sebagaimana yang kita kenal
saat ini menganut pedoman ‘Utsman dan penetapan tersebut bersifat Tauqifi atau
ketetapan dari Nabi, riwayat yang masyhur dikalangan para Ulama’ menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad ketika turun sebuah ayat akan memerintahkan para sahabat
untuk menulis. Ketika memerintahkan untuk menulis tersebut Nabi berkata :
“ Telah datang Jibril kepadaku, dan dia
memerintahkanku untuk meletakan ayat kedalam tempat ini dalam surat ini”.[18]
Berdasarkan
kisah tersebut maka dapat diketahui bahwa ketetapan posisi ayat dalam al-Qur’an
bukan hanya dari Nabi sendiri, bahkan sebenarnya ketetapan tersebut berdasarkan
perintah Allah yang disampaikan lewat perantara Jibril.
Jika susunan
Ayat dalam al-Qur’an yang bersifat Tauqifi dan itu telah disepakati oleh jumhur
‘Ulama, maka hal berbada dialami oleh susunan Surat dalam al-Qur’an. Ketika
membahas susunan suat dalam al-Qur’an para ‘Ulama berbeda pendapat.
Sebagaimana
pendapat yang disampaikan oleh as-Suyuthi bahwa para ‘Ulama terpagi menjadi dua
golongan dalam menentukan tertib Surat dalam al-Qur’an. Pendapat yang Pertama menyatakan bahwa tertib surat dalam
al-Qur’an sebagian bersifat Tauqifi sama seperti tertib Ayat yang bersifat
Tauqifi, dan sebagian yang lainnya berdasarkan ijtihad sahabat. Pendapat ini
didukung oleh salah satunya Ibn Faris yang berargumen bahwa sebagian memang
bersifat Tauqifi sebagai mana perintah Allah kepada Nabi Muhammad, namun
sebagian lainnya berdasarkan bacaan para sahabat. Argumen semacam itu didasari
oleh kenyataan bahwa Mushaf para sahabat memiliki Urutan Surat yang
berbeda-beda seperti Mushaf Ali yang disusun berdasarkan kronologi turunnya
ayat.[19]
Sedangkan
pendapat kedua menyatakan bahwa susunan surat dalam al-Qur’an bersifat Tauqifi
sepenuhnya. Pendapat ini didukung oleh beberapa tokoh salah satunya al-Kirmani
yang menyatakan bahwa urutan surat dan ayat sudah seperti itu sejak dari Lauhil
Mahfudz. Argumen tersebut didasari oleh riwayat yang mengisahkan bahwa setiap setahun
sekali Jibril mendatangi Rasulullah untuk memeriksa hafalannya, dan pada tahun
wafatnya Rasulullah, Jibril mendangi beliau setahun dua kali.[20]
Sedangkan mengenai perbedaan mushaf dikalangan para sahabat, berkomentar bahwa
perbedaan tersebut terjadi karena beberapa sahabat menyusun al-Qur’an
berdasarkan apa yang diketahui berdasarkan Asbabun Nuzul (seperti kasus Mushaf
yang ditulis oleh Ali misalnya).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Upaya yang
dilakukan Rasulullah untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak
terlupakan atau terhapus dari ingatan dengan cara yang sederhana yaitu Nabi
Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian
juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang
dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau
menuliskannya dengan persetujuan Nabi.
Pembukuan
al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar didasari oleh kekhawatiran al-Qur’an
akan hilang jika tidak dikumpulkan karena telah banyak para Qari’ yang meninggal
dan Mushaf al-Qur’an masih tercecer. Atas desakan ‘Umar akhirnya Abu Bakar
berkenan untuk membukukannya dengan memerintahkan Zaid untuk membukukan
al-Qur’an.
Pembukuan
al-Qur’an yang dilakukan pada masa ‘Ustman didasari oleh perpecahan dikalngan
sahabat akibat perbedaan bacaan yang mereka gunakan sehingga ‘Utsman
memerintahkan untuk membukukan ulang Mushaf yang sudah ada dimasa Abu Bakar dan
menyebar luaskan diseluruh penjuru. Untuk melakukan tugas tersebut ‘Utsman
memerintahkan empat orang sahabat yaitu : Zaid bin Tsabit, ‘Abdullâh bin
Zubayr, Sa’id bin al-‘Ash, ‘Abdurrahmân bin al-Harits bin Hisyam.
Jumhur ‘Ulama
sepakat bahwa urutan Ayat al-Qur’an adalah Tauqifi berdasarkan perintah dari
Allah yang disampaikan oleh Rasulullah. Sedangkan untuk urutan Surat, ‘Ulama
terbagi atas dua pendapat yaitu : Pertama, urutan Surat sebagian adalah
Tauqifi, sebagian lain berdasarkan Qia’at sahabat. Kedua, urutan surat dalam
al-Qur’an sepenuhnya Tauqifi dari Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasy, al-Burhan
Fi Ulum al-Qur’an, Cairo : Dar at-Turats, tt.
Mana’ Qathan, 1995. Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, Cairo
: Maktabah Wahbah.
H.M. Rusdi Khalid, 2011. Mengkaji Ilmu-ilmu
Al-Qur’an, Alauddin Universiti Press : Makassar.
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, 1995. Manahil
al-‘Irfan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I, Beirut : Dar al-Kitab
al-`Araby.
Philip K. Hitti, 2013. History of The Arabs, Jakarta
: PT. Serambi Ilmu Semesta,.
Muhammad Ali ash- Shabuni, 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an
Praktis, Jakarta : Pustaka Amani.
Musthofa Dhib al-Bigha dan Muhyiddin Dhib Matu, 1998.
al-Wadih Fi Ulum al-Qur’an, Damaskus : Dar al-Ulum al-Insaniyah.
Shubhi Sholih, 1997. Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an,
Cet. X. Beirut : Dar al-Ilmi.
Taufik Adnan Amal, 2011. Rekonstruksi Sejarah
al-Qur’an, Jakarta : Yayasan Abad Demokrasi.
[1] Subhi
as Shalih, Membahasa Ilmu-Ilmu Al Quran,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 81
[2]
Taufik Adnal Amal, Rekonstruksi Sejarah
Al Quran, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hal. 150
[3]
Mana’ Qathan, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Cairo : Maktabah
Wahbah, 1995). Hal. 114
[4]
H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, ( Alauddin
Universiti Press : Makassar, 2011). Hal. 55
[5]
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Jakarta :
Yayasan Abad Demokrasi, 2011). Hal. 151
[6]
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al-Qur’an,
Jilid I, (Beirut : Dar al-Kitab al-`Araby, 1995). Hal. 199
[7]
Shubhi Sholih, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, Cet. X. (Beirut : Dar
al-Ilmi, 1977). Hal. 68
[8]
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Op. Cit. Hal. 202
[9]
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Op. Cit. Hal. 204
[10]
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2013). Hal. 154
[11]
Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasy, al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an,
(Cairo : Dar at-Turats, tt). Hal. 233
[12]
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Op. Cit,
hal. 206
[13]
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Loc. Cit,
hal. 206
[14]
Muhammad Ali ash- Shabuni, Op. Cit, Hal. 89
[15]
Muhammad bin Abdullah az-Zarkasy, Op. Cit. Hal. 236
[16]
Mana’ Qathan, Op. Cit, Hal. 126
[17]
As-Suyuthi, Op. Cit. Hal. 396
[18]
As-Suyuthi, Loc. Cit. Hal. 396
[19]
As-Suyuthi, Loc. Cit. Hal. 406
[20]
Ibid. Hal. 407
Tidak ada komentar:
Posting Komentar