KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami (penulis) panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya yang
berlimpah, kami (penulis) dapat menyusun makalah ini dengan baik sesuai dengan
kemampuan kami untuk menyelesaikan tugas Mata Kuliah kami, Kewarganegaraan dengan
judul tugas makalah “Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”. Tidak lupa pula kami
ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada
kami untuk menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami (penulis)
mengharapkan semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan
juga mahasiswa IAIN Padangsidimpuan.
Kami
menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kami
mengharapkan saran dan kritik agar makalah ini mendekati sempurna, kami sadar
bahwa kesempurnaan hanya milik NYA.
Akhir
kata, semoga makalah yang kami susun ini berguna bagi kita semua.
Amin-amin
yarabbal ‘alamin.
Padangsidimpuan, Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Sejarah
Terbentuknya UUD 1945.................................................... 2
B. Pengertian
Amandemen UUD 1945................................................ 3
C. UUD
1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen.............................. 5
D. Bentuk
Perubahan............................................................................ 6
E. Prosedur
Perubahan......................................................................... 9
BAB III PENUTUP.................................................................................... 12
A. Kesimpulan...................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 13
BAB
I
PENDAHLUAN
A.
Latar
Belakang
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia disahkan dan ditetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, istilah
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), pada saat itu ia hanya bernama”OENDANG-OENDANG
DASAR” tanpa tahun 1945. Baru kemudian dalam Dekrit Presiden 1959 memakai UUD
1945 sebagaiamana yang di undangkan dalam Lembaran Negara No.75 tahun 1959.
Di dalam
perjalanan sejarah ketatanegaraan di Indonesia telah membuktikan bahwa pernah
berlaku tiga macam Undang-Undang Dasar (Konstitusi) dalam empat periode
pergantian konstitusi dari awal mula Indonesia merdeka hingga sekarang yakni :
1.
UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 –
27 Desember 1949.
2.
Konstitusi RIS pada tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950.
3.
UUD 1950 pada tanggal 17 Agustus 1950 –
5 Juli 1959.
4.
UUD 1945 sejak dikeluarkanya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 – sekarang.
Jadi secara historis konstitusi di Indonesia ialah
UUD 1945 yang merupakan juga salah satu Konstitusi yang paling singkat dan
sederhana di dunia. UUD 1945 terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal Peralihan
dan 2 ayat Aturan Tambahan itu yang mengatur lima unsur yaitu kekuasaan negara, hak rakyat, kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sejarah pembuatannya yang kilat
menyebabkan Soekarno pada waktu memberlakukan UUD 1945 bersifat sementara dan
dapat disempurnakan pada saat nantinya sesuai dengan perkembangan/perubahan di
dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Terbentuknya UUD 1945
a. Pembahasan
oleh BPUPKI
Naskah UUD 1945
pertama kali dipersiapkan oleh suatu badan bentukan pemerintahan Jepang yang
diberi nama “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” yang dalam bahasa Indonesia “Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI). BPUPKI ini
beranggotakan oleh 62 orang diiketuai oleh K.R.T Radjiman Wedyodiningrat, serta
Itibangase Yosio dan Raden Panji Suroso. Badan ini melaksanakan sidang dalam 2
periode, yaitu sidang pertama pada tanggal 29 mei sampai 1 juni 1945. Pada sidang
pertama membicarakan mengenai dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam
rangka negara indonesia merdeka dan mengenai 2 pembentukan sebuah negara
merdeka. Setelah itu sidang kedua tanggal 10 juli sampai dengan 17 agustus 1945
yang dimana membentuk panitia Hukum Dasar dengan anggota terdiri atas 19 orang
yang diketuai oleh Ir.Soekarno. Panitia ini membentuk panitia kecil yang diketuai oleh Prof.Dr Soepomo,
anggotanya terdiri dari wongsonegoro, R.Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih,
H. Agus Salim, dan Sukiman. Panitia kecil ini berhasil menyelesaikan tugasnya
dan akhirnya BPUPKI menyetujui hasil kerja sebagai Rancangan Undang-Undang
Dasar pada tanggal 16 agustus 1945.[1]
b. Pengesahan
oleh PPKI
Pemerintah Bala
Tentara Jepang membentuk “panitia persiapan kemerdekaan Indonesia” (PPKI), yang
dilantik pada tanggal 18 agustus 1945. Dengan menetapkan Ir. Soekarno sebagai
ketua dan Drs. Mohhamat Hata sebagai wakilnya yang beranggotakan 21 orang.
Sidang ini bertujuan untuk, (I) Menetapkan Undang-undang Dasar, (II) Memilih
Presiden dan Wakil Presiden, (III) Dan Perihal lainnya. Setelah mendengarkan
hasil laporan kerja BPUPKI, kemudian pada sidang PPKI 18 agustus 1945 para
anggota sidang PPKI masih berencana untuk mengajukan usul perubahan pada UUD
hasil rancangan BPUPKI. Tetapi akhirnya rancangan UUD tersebut disahkan dan
menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
B.
Pengertian
Amandemen UUD 1945
Amandemen adalah
proses perubahan terhadap ketentuan dalam sebuah peraturan. Berupa penambahan
maupun pengurangan/penghilangan ketentuan tertentu. Amandemen hanya merubah
sebagai ( kecil ) dari peraturan.[2]
Sedangkan penggantian peraturan terhadap ketentuan dalam UUD 1945. Amandemen
UUD 1945 dilakukan sebanyak 4 kali. Keempat tahap amandemen tersebut adalah
sebagai berikut:
-
Amandemen pertama: dalam sidang umum MPR
oktober 1999
-
Amandemen kedua: dalam sidang tahunan
MPR tahun 2000
-
Amandemen ketiga: dalam sidang tahunan
MPR oktober 2001
-
Amandemen keempat: dalam siding tahunan
MPR Agustus 2002
a. Amandemen
pertama menyakut 5 persoalan pokok. Kelima persoalan itu meliputi:[3]
-
Perubahan tentang lembaga pemegang
kekuasaan membuat undang- undang
-
Perubahan tentang masa jabatan presiden
-
Perubahan tentang hak prerogative
presiden
-
Perubahan tentang fungsi menteri
-
Perubahan redaksional
b. Amandemen
kedua dilakukan terhadap 9 persoalan. Kesembilan persoalan tersebut meliputi
pengaturan mengenai:
-
Wilayah Negara
-
Hak hak asasi manusia
-
DPR
-
Pemerintahan Daerah
-
Pertahan dan keamanan
-
Lambang Negara
-
Lagu kebangsaan
c. Amandemen
ketiga berkenaan dengan 16 persoalan pokok. Persoalan itu meliputi:[4]
-
Kedaulatan rakyat
-
Tugas MPR
-
Syarat syarat presiden dan wakil
presiden
-
Pemilihan presiden dan wakil presiden
secara langsung
-
Pemberentian Presiden
-
Presiden berhalangan tetap
-
Kekosongan wakil presiden
-
Perjanjian internasional
-
Kementrian Negara
-
DPD
-
Pemilihan umum
-
APBN, pajak dan keuangan Negara
-
Badan pemeriksa keuangan
-
Kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung
-
Komisi yudisial
-
Mahkamah Konstitusi
d. Amandemen
keempat berkenaan dengan 12 persoalan. Persoalan tersebut adalah:
-
Komposisi keanggotaan MPR
-
Pemilu presiden dan wakil presiden
-
Presiden dan wakil presiden tidak dapat
menjalankan kewajiban dalam masa jabatan secara bersamaan
-
Dewan pertimbangan yang bertugas member
nasihat presiden
-
Mata uang
-
Bank sentral
-
Badan badan lain dalam kekuasan
kehakiman
-
Pendidikan
-
Kebudayaan
Bagi
pendukungnya, amandemen tersebut dinilai sebagai keberhasilan. Tidak demikian
halnya bagi penentangnya. Menurut mereka, semestinya UUD 1945 ( konstitusi 1 ) tidak perlu diamandemenkan.
C.
UUD
1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen
Secara yuridis,
UUD 1945 sebelum amandemen sejak kurun waktu 1966-1998 adalah sebagai sumber
hukum formal dalam penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia pada masa orde baru
oleh Presiden Soeharto, tetapi dalam UUD 1945 sebelum Amandemen ini terdapat
hal-hal penyimpangan seperti: (a)Terjadi pemusatan kekuasaan di tangan
Presiden, sehingga pemerintahan dijalankan secara otoriter. (b) Pemilu
dilaksanakan secara tidak demokratis, pemilu hanya menjadi sarana untuk mengukuhkan
kekuasaan seorang Presiden ( Soeharto ), sehingga presiden terus menerus
dipilih kembali.[5]
Pada era
reformasi muncul tuntutan dari berbagai kalangan untuk mengamendemen UUD 1945.
Kemudian keinginan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada awal masa
reformasi ( 1998-1999 ) yang dilakukan oleh MPR yang mengambil sikap maju dan
berani dengan memutuskan perlunya amandemen dengan alasan demokratisasi. Contoh
yang paling konkret adalah ketentuan dalam UUD 1945 sebelum amandemen tentang
Presiden sebagai pemegang kekuasaan legislatif dengan persetujuan DPR, UUD 1945
hasil amandemen dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan legislatif dipegang
oleh DPR. Selanjutnya UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan yaitu perubahan pertama pada tahun 1999, kedua pada
tahun 2000, ketiga pada tahun2001, keempat pada tahun 2002. Pasca perubahan keempat UUD 1945, konstitusi
ini resmi disebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
D.
Bentuk
Perubahan
Dari uraian di
atas, dapat diketahui bahwa dalam sejarah ketata- negaraan Indonesia merdeka,
telah tercatat beberapa upaya, (a) pem- bentukan Undang-Undang Dasar, (b)
penggantian Undang-Undang Dasar, dan (c) perubahan dalam arti pembaruan
Undang-Undang Dasar. Pada tahun 945,
Undang-Undang Dasar 945 dibentuk atau
disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) se- bagai hukum dasar bagi
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada
tanggal 7 Agustus 1945.[6]
Pada tahun 1949,
ketika bentuk Negara Republik Indonesia diubah menjadi Negara Serikat
(Federasi), diadakan penggantian konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada tahun
1950, ketika bentuk Negara Indonesia diubah lagi dari bentuk Negara Serikat
menjadi Negara Kesatuan, Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Un- dang
Dasar Sementara Tahun 1950. Setelah itu, mulailah diadakan usaha untuk menyusun
Undang- Undang Dasar baru sama sekali dengan dibentuknya lembaga Konsti- tuante
yang secara khusus ditugaskan untuk menyusun konstitusi baru.
Setelah
Konstituante terbentuk, diadakanlah persidangan-per- sidangan yang sangat
melelahkan mulai tahun 1956 sampai tahun 1959, dengan maksud menyusun
Undang-Undang Dasar yang bersifat tetap. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa
usaha ini gagal diselesaikan, sehingga pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan
keputusannya yang dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya
antara lain membubarkan Konstitu- ante dan menetapkan berlakunya kembali
Undang-Undang Dasar 1945 menjadi hukum
dasar dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.[7]
Perubahan dari
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 ke Undang-Undang Dasar 1945 ini tidak
ubahnya bagaikan tindakan penggantian Undang-Undang Dasar juga. Karena itu,
sampai dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 itu, dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia modern belum pernah terjadi perubahan dalam arti
pembaruan Undang-Undang Dasar, melainkan baru pe-rubahan dalam arti
pembentukan, penyusunan, dan penggantian Undang-Undang Dasar. Perubahan dalam
arti pembaruan Undang-Undang Dasar, baru terjadi setelah bangsa Indonesia
memasuki era reformasi pada tahun 1998, yaitu setelah Presiden Soeharto
berhenti dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie, barulah pada tahun 1999
dapat diadakan Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana mes- tinya.[8]
Perubahan
Pertama ditetapkan oleh Sidang Umum Majelis Per- musyawaratan Rakyat pada tahun
1999, disusul dengan Perubahan Kedua dalam Sidang Tahunan Tahun 2000 dan
Perubahan Ketiga dalam Sidang Tahunan Tahun 2000 . Pada Sidang Tahunan Tahun
2002, disahkan pula naskah Perubahan Keempat yang melengkapi naskah-naskah
Perubahan sebelumnya, sehingga keseluruhan materi perubahan itu dapat disusun
kembali secara lebih utuh dalam satu naskah Undang-Undang Dasar yang mencakupi
keseluruhan hukum dasar yang sistematis dan terpadu.[9]
Kedua bentuk
perubahan Undang-Undang Dasar seperti tersebut, yaitu penggantian dan perubahan
pada pokoknya sama-sama meru- pakan perubahan dalam arti luas. Perubahan dari
Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi RIS 1949, dan begitu juga dari
Undang-Un- dang Sementara Tahun 1950 ke Undang-Undang Dasar 1945 adalah contoh
tindakan penggantian Undang-Undang Dasar.
Sedangkan
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dengan naskah Perubahan Pertama, Kedua,
Ketiga dan Keempat adalah contoh perubahan Undang-Undang Dasar melalui naskah
Perubahan yang tersendiri. Di samping itu, ada pula bentuk perubahan lain
seperti yang biasa dipraktekkan di beberapa negara Eropa, yaitu perubahan yang
dila- kukan dengan cara memasukkan (insert) materi baru ke dalam naskah
Undang-Undang Dasar
Cara terakhir
ini, boleh jadi, lebih tepat dise- but sebagai pembaruan terhadap naskah lama
menjadi naskah baru, yaitu setelah diadakan pembaruan dengan memasukkan
tambahan materi baru tersebut. Berkenaan dengan prosedur perubahan
Undang-Undang Dasar, dianut adanya tiga tradisi yang berbeda antara satu negara
dengan negara lain. Pertama, kelompok negara yang mempunyai kebiasaan mengubah
materi Undang-Undang Dasar dengan langsung memasukkan materi perubahan itu ke
dalam naskah Undang-Undang Dasar.
Dalam kelompok
ini dapat disebut, misalnya, Republik Perancis, Jerman, Belanda, dan
sebagainya. Konstitusi Perancis, misalnya, terakhir kali diubah dengan cara
pembaruan yang diadopsikan ke dalam naskah aslinya pada tanggal 8 Juli 1999
lalu, yaitu dengan mencantumkan tambahan ketentuan pada Article 1, Article4 dan
ketentuan baru Article 5-273 naskah asli Konstitusi Perancis yang biasa disebut
sebagai Konstitusi Tahun 1958. Sebelum terakhir diamandemen pada tanggal 8 Juli
1999, Konstitusi Tahun 1958 itu juga
pernah diubah beberapa kali, yaitu penambahan ketentuan mengenai pemilihan presiden
secara langsung pada tahun 1962, tambahan pasal mengenai pertanggungjawaban
tindak pidana oleh pemerintah yaitu pada tahun 1999,[10]
dan diadakannya perluasan ketentuan mengenai pelaksanaan referendum, sehingga
naskah Konstitusi Perancis menjadi seperti sekarang. Keseluruhan materi
perubahan itu langsung dimasukkan ke dalam teks konstitusi. Kedua, kelompok
negara-negara yang mempunyai kebiasaan mengadakan penggantian naskah
Undang-Undang Dasar.
Di lingkungan
negara-negara ini, naskah konstitusi sama sekali diganti dengan naskah yang
baru, seperti pengalaman Indonesia dengan Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950. Pada umumnya,
negara-negara demikian ini terhitung sebagai negara yang sistem politiknya
belum mapan. Sistem demokrasi yang dibangun masih bersifat jatuh bangun, dan
masih bersifat 'trial and error'. Negara-negara miskin dan yang sedang
berkembang di Asia dan Afrika, banyak yang dapat dikategorikan masih berada
dalam kondisi demikian ini. Tetapi pada umumnya, tradisi penggantian naskah konstitusi
itu tidaklah dianggap ideal. Praktek penggantian konstitusi itu terjadi
semata-mata karena keadaan keterpaksaan. Oleh karena itu, kita perlu menyebut
secara khusus tradisi yang dikembangkan oleh Amerika Serikat sebagai model
ketiga, yaitu per- ubahan konstitusi melalui naskah yang terpisah dari teks
aslinya, yang disebut sebagai amandemen pertama, kedua, ketiga, keempat, dan
seterusnya. Dengan tradisi demikian, naskah asli Undang-Undang Dasar tetap
utuh, tetapi kebutuhan akan perubahan hukum dasar dapat dipenuhi melalui naskah
tersendiri yang dijadikan adendum tambahan terhadap naskah asli tersebut.
Dapat dikatakan,
tradisi perubahan demikian memang dipelopori oleh Amerika Serikat, dan tidak
ada salahnya negara-negara demokrasi yang lain, termasuk Indonesia untuk
mengikuti prosedur yang baik seperti itu. Perubahan UUD 945 yang telah berlangsung empat kali
berturut-turut sampai sekarang74, sesungguhnya, tidak lain juga mengikuti
mekanisme perubahan gaya Amerika Serikat itu.
E.
Prosedur
Perubahan
Mudah tidaknya
prosedur perubahan dilaksanakan, mendapat perhatian yang penting dalam studi
hukum tata negara. Bahkan, telah mengenai tipologi konstitusi dikaitkan oleh
para ahli dengan sifat rigid atau fleksibelnya suatu naskah Undang-Undang Dasar
mengha- dapi tuntutan perubahan. Jika suatu konstitusi mudah diubah, maka
konstitusi itu disebut bersifat 'fleksibel', tetapi jika sulit mengubahnya maka
konstitusi tersebut disebut 'rigid' atau kaku. Kadang-kadang, kekakuan suatu
undang-undang dasar dikaitkan dengan tingkat ab- straksi perumusannya ataupun
dengan rinci tidaknya norma aturan dalam konstitusi itu dirumuskan.[11]
Kalau Undang-Undang Dasar itu hanya memuat garis besar ketentuan yang bersifat
umum, maka konstitusi itu juga kadang-kadang disebut 'soepel' dalam arti lentur
dalam penafsirannya. Makin ringkas susunan suatu Undang-Undang Dasar, makin umum dan abstrak perumusannya,
maka makin 'soepel' dan 'fleksibel' penafsiran Undang-Undang Dasar itu sebagai
hukum dasar.
Namun, karena
tingkat abstraksi perumusan hukum dasar dianggap sebagai sesuatu yang niscaya,
maka soal prosedur perubahanlah yang dianggap lebih penting dan lebih
menentukan kaku atau 'rigid' tidaknya suatu Undang-Undang Dasar. Makin ketat
prosedur dan makin rumit mekanisme perubahan, makin 'rigid' tipe konstitusi itu
disebut.
Konstitusi
Perancis Tahun 1958 sebagaimana terakhir diubah pada bulan Juli tahun 1999,
dapat dinilai jauh lebih rumit menentu- kan prosedur perubahannya. Dalam
Article 89 tentang perubahan, Konstitusi Perancis menentukan76: "The President of the Republic, on a
proposal by the Prime Minister, and Members of Parliament alike shall have the
right to initiate amendment of the Constitution. A government or a Member's
bill to amend the Constitution shall be passed by the two assemblies in
identical terms. The amendment shall have effect after approval by referendum.
However, a government bill to amend the Constitution shall not be submitted to
referendum where the President of the Republic decides to submit it to
Parliament convened in Congress; the government bill to amend the Constitution
shall then be approved only if it is adopted by a three-fifths majority of the
votes cast. The Bureau of the Congress shall be that of the National Assembly.
No amendment procedure shall be commenced or continued where the integrity of
the territory is jeopardized. The republican form of government shall not be
the object of an amendment."
Dari ketentuan
di atas, dapat diketahui bahwa usul perubahan Undang-Undang Dasar dapat datang
dari inisiatif Presiden, atas usul Perdana Menteri dan Anggota Parlemen. Jika
yang mengajukan usul itu adalah pemerintah atau perorangan anggota parlemen,
maka rancangan perubahan itu harus mendapat persetujuan di kedua kamar
parlemen. Akan tetapi perubahan itu baru dinyatakan berlaku secara resmi
apabila telah mendapat persetujuan langsung dari rak- yat melalui referendum.
Rancangan Perubahan yang datang dari pemerintah, tidak akan diajukan ke
referendum apabila Presiden menghendaki untuk mengajukan rancangan itu kepada parlemen.
Dalam hal demikian, perubahan dinyatakan sah apabila mendapat dukungan
mayoritas 5 suara dalam kongres.
Prosedur perubahan ini dinyatakan tidak berlaku atau tidak dapat dilaksanakan
jika integritas wilayah negara dianggap terancam. Di samping itu, ben- tuk
pemerintahan republik, menurut ketentuan Article 89 tersebut, dikecualikan atau
tidak boleh dijadikan objek perubahan.
Mirip dengan
Perancis, Konstitusi Irlandia juga 'rigid'
dan su- kar untuk diubah. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Irlandia
sebagaimana terakhir diubah pada tahun 1917, perubahan Undang-Undang Dasar
hanya dapat dilakukan oleh 'constituent
power'. Perubahan dapat disahkan apabila disetujui oleh kedua kamar
parlemen Irlandia, dan selanjutnya, sebelum dinyatakan berlaku secara resmi
harus terlebih dulu mendapat dukungan persetujuan dari rakyat secara langsung
melalui referendum.[12]
Dalam hubungan mekanisme dan prosedur perubahannya itu, maka, baik Konstitusi
Perancis maupun Konstitusi Irlandia, sama-sama dapat dinilai lebih 'rigid'
daripada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan
undang-undang dasar harus diikuti pula oleh perubahan budaya masyarakat,
perubahan budaya birokrasi yang kondusif untuk pelaksanaan nilai-nilai
konstitusi untuk menjadi bangsa yang sejahtera dan bermartabat. Sebab tanpa
perubahan budaya tersebut jurang pemisah antara harapan dan kenyataan akan
tetap lebar. Bangsa Indonesia harus bergerak dari regulasi ke implementasi
secara konsisten dengan kecerdasan menangkap peluang-peluang yang terbuka di
hadapan kita.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam empat kali
perubahan Undang-Undang Dasar secara kuantitatif dan kualitatif sebetulnya
wajah Undang-Undang Dasar sebelum perubahan nyaris tak dikenali lagi. Jimly
Asshiddiqie (2006:61) antara lain mengemukakan ”Dari segi kuantitatif saja
sudah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya UUDNRI Tahun 1945 setelah mengalami
empat kali perubahan, sudah berubah sama sekali menjadi satu konstitusi baru.
Hanya nama saja yang dipertahankan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sedangkan isinya sudah berubah secara besar-besaran.”
Lalu mengapa
setelah lebih dari 10 tahun perubahan UUDNRI Tahun 1945 harapan yang menyertai
perubahan UUDNRI Tahun 1945 tersebut belum menjadi kenyataan? Apakah karena
kelemahan yang interen dengan UUDNRI Tahun 1945 pasca perubahan ataukah karena
bangsa kita kehabisan energi sosial untuk semakin mendekatkan kenyataan dengan
harapan?
Sesungguhnya
untuk mengubah undang-undang dasar tidak mudah, tetapi yang tidak kalah
sulitnya ialah membangun budaya taat berkonstitusi. Oleh karena itu diperlukan
upaya yang bersungguh-sungguh dan dilakukan secara berkelanjutan oleh segenap
lapisan masyarakat dengan keteladanan dari para pemimpin. Spirit
konstitusionalisme harus disemai dan terus dipupuk agar tumbuh subur dalam
kesadaran masyarakat, terutama dikalangan para penyelenggara negara dan para
pemimpin politik.
DAFTAR
PUSTAKA
Alrasid,
Harun.2003. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat
Kali Diubah Oleh MPR. Revisi Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Asshiddiqie,
Jimly. 1999. Gagasan Kedaulatan Rakyat
Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve.
Mahfud
MD., Moh. 2001. Dasar Dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Simanjuntak,
Marsillam. 1993. Pandangan Negara
Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945.
Jakarta: Pustaka Grafiti.
[1]
Marsillam Simanjuntak. Pandangan Negara
Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945. (Jakarta:
Pustaka Grafiti, 1993)., hal. 65
[2]
Moh Mahfud MD., Dasar Dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006).,
hal. 201
[3]
Ibid., hal. 202
[4]
Ibid., hal. 204
[5]
Jimly Asshiddiqie,. Gagasan Kedaulatan
Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia. (Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), hal. 43
[6]
Harun Alrasid, Naskah UUD 1945 Sesudah
Empat Kali Diubah Oleh MPR. Revisi Cetakan Pertama. (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 2003), hal. 90
[7]
Ibid., hal. 93
[8]
Moh Mahfud MD., Op. Cit., hal. 42
[9] Jimly
Asshiddiqie, Op. Cit. hal. 56
[10]
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hal. 87
[11]
Marsillam Simanjuntak, Op. Cit., hal. 43
[12]
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hal. 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar