IJAROH
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
1.
MUHAMMAD IDRIS
2.
WAHYU
3.
RISKA RAMADANI
4.
LINDA KHAIRANI
5.
MAIDAWATI
DOSEN PEMBIMBING :
ROSNANI SIREGAR, M.Ag
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT dzat yang Maha Sempurna pencipta dan penguasa segalanya.
Karena hanya dengan ridho-nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini
sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu makalah tentang “Ijaroh”. Dengan
harapan semoga tugas makalah ini bisa berguna dan ada manfaatnya bagi kita
semua. Amiin.
Tak lupa pula penyusun sampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi dalam proses
penyusunan tugas makalah ini, karena penulis sadar sebagai makhluk sosial
penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi dengan orang lain dan
tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari –Nya.
Akhirnya walaupun penulis telah berusaha
dengan secermat mungkin. Namun sebagai manusia biasa yang tak mungkin luput
dari salah dan lupa. Untuk itu penulis mengharapkan koreksi dan sarannya semoga
kita selalu berada dalam lindungan-Nya.
Padangsidimpuan, November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................................................. .. i
DAFTAR
ISI................................................................................................................................. .. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................. .. 1
A.
Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................................................................. 2
C.
Tujuan ................................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................... .. 3
A.
Ijaroh................................................................................................................................. .. 3
B.
Rukun dan Syarat Ijarah................................................................................................... .. 5
C.
Macam-Macam Ijarah.......................................................................................................... 7
D.
Akad Ijarah ......................................................................................................................... 8
BAB
III PENUTUP ......................................................................................................................... 10
A.
Kesimpulan ........................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur
hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk
muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa dan upah).Seiring dengan
perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama
klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern.Dalam
hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan
tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan
mubah.Sebelum dijelaskan mengenai ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan
mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang
berjudul Fiqh Syafi’I, berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah,
hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, mu’jir
dan musta’jir, sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh
Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah
dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada
perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, sedangkan
upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa dan
upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri
dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan dibasas dalam
makalah ini. Yangmana diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan
masukan ilmu pengetahuan kepad kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan sewa-menyewa. Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh
seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam.
Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik
dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus
mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah,
dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena
begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam
pembahasan makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Ijarah?
2.
Apayang
menjadi dasar hukum ijarah?
3.
Apa
saja yang menjadi Rukun dan syarat Ijarah?
4.
Apa
saja yang menjadi dasar hukum Ijarah?
5.
Bagaimana
Pandangan Ulama tentang ijarah ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Ijarah
2. Mengetahui dasar-dasar hukum Ijarah
3. Mengetahui rukun dan syarat Ijarah
4. Mengetahui dasar-dasar hukum Ijarah
5. Mengetahui pandangan ulama tentang
Ijarah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ijarah
a. Defenisi Ijarah
Menurut etimologi, ijarahadalah بيع المنفعة(menjual manfaat).[1]
Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi
keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan
dan lain-lain.[2]
Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah
ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama
fiqih:
1. Ulama Hanafiyah:
عقد على
المنافع بعوض
Artinya:
“Akad atas suatu
kemanfaatan dengan pengganti.”
2.
Ulama
Asy-Syafi’iyah:
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والاءباحة بعوض معلوم
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang
mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan
dengan pengganti tertentu.”
3.
Ulama
Malikiyah dan Hanabilah:
تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة بعوض
Artinya:
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan
yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
Ada yang
menterjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni
mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menterjemahkan sewa-menyewa,
yakni mengambil manfaat dari barang.
Jadi ijarah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah
atas benda.
Jumhur
ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh
disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.Oleh karena itu, mereka melarang
menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur
untuk diambil airnya, dan lain-lain, seb cab semua itu bukan manfaatnya, tetapi
bendanya. Namun sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an
dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk memenuhi
kaperluan hidup, karena mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat
mereka gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.[3]
b.
Landasan
Syara’ atau Dasar Hukum Ijarah
Hampir semua ulama fiqh sepakat
bahwa ijarah disyari’atkan dalam Islam.Namun ada sebagian yang tidak
menyepakati dengan alasan bahwa ijarah adalah jual-beli barang yang tidak dapat
dipegang (tidak ada).Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual
beli.
Dalam menjawab pandangan ulama yang
tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan
walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasan
(adat). Dan mengenai hal ini dapat dikatakan bahwa meski tidak terdapat manfaat
pada saat terjadinya akad, tetapi pada dasarnya akan dapat dipenuhi. Sedang
dari manfaat-manfaat tersebut, hukum syara’ hanya memperhatikan apa yang ada
pada dasarnya yang akan dapat dipenuhi, atau adanya keseimbangan antara dapat
dipenuhi dan tidak dapat dipenuhi.[4]
Landasan ijarah menurut jumhur ulama
adalah sebagai berikut:
a)
Al-Qur’an
فان ارضعن لكم فاتوهن اجورهن (الطلاق:
6)
Artinya:
Jika
mereka menyusukan (anak-anakmu)untukmu,
maka berikanlah mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)
b)
Assunah
اعطوا الاجير اجره قبل ان يجف عرقه.
(رواه ابن ماجه عن ابن عمر)
Artinya:
“Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering.”(HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)
c) Ijma’
Umat Islam pada masa sahabat telah
berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
B.
Rukun
dan Syarat Ijarah
Rukun-rukun
dan syarat-syarat ijarahadalah sebagai berikut.
1.
Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang melakukan
akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan
yang menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan
sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir adlah
baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf
(mengendalikan harta), dan saling meridhai.
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka (Al-Nisa:29).
Bagi orang
berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan
sempurnah sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
2.
Shighat ijab Kabul antara mu’jir dan musta’jir ,
ijab Kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah, ijab Kabul sewa-menyewa misalnya:
“Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp5.000,00”, maka musta’jir
menjawab “ Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap hari”.
Ijab Kabul upah-mengupah misalnya seseorang berkata, “Kuserahkan kebun ini
kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp5.000,00”, kemudian
musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang
engkau ucapkan.”
3.
Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua
belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalan upah-mengupah.
4.
Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan
dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa
syarat berikut ini.
a) Hendaklah
barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat
dimanfaatkan kegunaanya.
b) Hendaklah
benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah mengupah dapat diserahkan kepada
penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
c) Manfaat
dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan
hal yang dilarang (diharamkan)
d) Benda yang
disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-Nya hingga waktu yang ditentukan menurut
perjanjian dalam akad
Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat
ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak.Ulama Hanafiyah
berpendirian bahwa akad ijarah itu mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara
sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah
satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum.Akan tetapi, jumhur
ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat
atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.[5] Akibat
perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabil;a salah seorang meninggal
dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan
tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena
termasuk harta (al-mal).Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad
tidak membatalakn akad ijarah.
Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi
penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud
‘alaih, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah rusak, menerut ulama Hanafiyah,
jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang
bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad.Ini bila kerusakan
tersebut terjadi pada syarat.Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa
tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan
semestinya.
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
ijarah fasid sama dengan jual beli
fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh
barang sewaan.
C.
Macam-Macam
Ijarah
Ijarah
terbagi menjadi dua bagian, yaitu:[6]
a. Ijarah
yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan,
pakaian, dan pehiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan
syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama sepakat menyatakan boleh dijadikan
objek sewa-menyewa, jadi penyewaan barang-barang tersebut tergantung pada
kemanfaatannya.
b. Ijarah
yang bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk
melakukan suatu pekerjaan. Menurut para ulama ijarah ini hukumnya boleh apabila
pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang
sepatu dan lain-lain.Ijarah ini ada yang bersifat pribadi seperti menggaji
pembantu rumah tangga, dan ada yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau
sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti
tukang sepatu, tukang jahit dan lain-lain.Kedua bentuk ijarah ini menurut para
ulama fiqh hukumnya boleh.
D.
Akad
Ijarah
a. Perbedaan
Diantara Yang Akad
Seringkali
terjadi perbedaan pendapat diantara kedua pihak yang melakukan akad
(sewa-menyewa) tentang jumlah upah yang harus diterima atau diberikan padahal
ijarah dikategorikan shahih, baik sebelum jasa diberikan maupun sesudah jasa
diberikan.[7]
Apabila
terjadi perbedaan sebelum diterimanya jasa, keduanya harus bersumpah,
sebagaimana disebutkan pada hadist Rasulullah s.a.w.:
اذا اختلف المتبايعان تحالفا وترادا.
(رواه اصحاب السنن الاربعة واحمد والشافع)
Artinya:
“Jika
terjadi perbedaan di antar orang yang berjual beli, keduanya harus saling
bersumpah dan mengembalikan.” (HR. Ashab Sunan Al-Arba’ah, Ahmad, dan Imam
Syafi’I)
Hadist
tersebut meskipun berkaitan dengan jual-beli, juga relevan dengan ijarah.Dengan
demikian, jika keduanya bersumpah, ijarah menjadi batal.
b. Berakhirnya
Akad ijarah
Para ulama
fiqh menyatakan bahwa akad ijarah akan berakhir apabila:[8]
a) Tenggang
waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.
b) Menurut
ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad, karena kad ijarah, menurut
mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad
ijarahtidak batal dengan wafatnya salah seorang berakad, karena manfaat,
menurut mereka, boleh diwariskan dan ijaraha sama denganjual beli, yaitu
mengikat kedua belah pihak yang berakad.
c) Objek
hilang atau musnah, seperti rumah terbakar.
d) Menurut
ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang
disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad iajarah
batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad
ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh
muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seorang digaji untuk
menggali sumur disuatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu
pindah kedesa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yamng boleh
mebatalkan akad ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atau
manfaatnya yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilandabanjir.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
penjelasan dan pemaparan ijarah diatas baik itu definisi, syarat dan
rukun-rukunnya dapat penulis simpulkan bahwa:
a. Ijarah
adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia,
seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain dengan
ada imbalannya atau upahnya.
b. Dalam
memaknai ijarah itu sendiri banyak perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para
ulama. Namun intinya mereka menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing para ulama,
sehingga meskipun terjadi perbedaan didalamnya selalu ada pemecahan persoalan
terhadap permasalahan-permasalan yang timbul dikarenakan hal-hal yang terkait
dengan ijarah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzhab, Semarang:
Asy-Syifa, 1993
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap),
Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid,
Semarang: Asy-Syifa, 1990
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung:
Pustaka Setia, 2004
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya
media Pratama, 2000
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997
[1]
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia,
2004), h.121
[2]
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2000), h.228
[3]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru
Algensido, 1994), h.304
[4]
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa, 1990),
h. 196
[5]
Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqhi Muamalah, cet. Jakarta : 2005 h.
117-118
[6]
Moh. Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzhab, (Semarang: Asy-Syifa, 1993),
h.169-170
[7]
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, (Bandung : PT. AL – Ma’arif, 1987) hlm.
7.
[8]
Ibnu Rusyd, Op. Cit., hal. 89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar