ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DITINJAU DARI UU
NO. 30 TAHUN 1999
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK II (DUA)
NAMA : NIM :
BERLIAN FITRIANA 13
240 0044
DESI SAFITTRI LUBIS 13
240 0063
MEY SASTIKA 13
240 0045
SANGKOT FADILLAH 13
240 0075
MIRANDA NASATI POHAN 14
102 0094
DOSEN PENGAMPU
PURNAMA HIDAYAH, M.H
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr.Wb.
Syukur
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Atas segala nikmat dan karunia-Nya
akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik kepada
dsenpembimbing sebagai tugas untuk memenuhi Tugas mata kuliah.
Adapun
judul makalah ini adalah Alternatif Penyelesaian Sengketa ditinjau dari UU No.
30 tahun 1999. Penulis menyadari bahwa sebagai manusia yang memiliki
keterbatasan, tentu hasil karya tulis ini masih banyak terdapat
kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun penulis
harapkan dari saudara-saudara yang membaca dan ingin maju.
Akhir
kata saya berharap apa yang saya tulis ini dapat berguna bagi kita semua, amin.
Wassalamu alaikum Wr.Wb.
Padangsidimpuan, September 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa.................................. 2
B. Arbitrase........................................................................................... 4
C. Negosiasi.......................................................................................... 9
D. Mediasi............................................................................................. 10
E. Konsiliasi.......................................................................................... 12
BAB III PENUTUP.................................................................................... 13
A. Kesimpulan...................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Pada saat
berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa(UU No. 30/1999), ketentuan-ketentuan
mengenai arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal
651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg, dinyatakan tidak berlaku lagi. UU No.
30/1999 berusaha mengatur semua aspek baik hukum acara maupun substansinya,
serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional dan
internasional.
Di Indonesia minat
untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai meningkat sejak
diundangkannya UU No. 30/1999. Arbitrase sendiri adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS).
Rachmadi Usman, mengatakan dengan diberlakukannya
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, sebagai pengganti Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan
diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan
agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa
Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua
orang atau lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya
dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya. Sengketa
dimulai ketika satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain. Ketika pihak yang
merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan pihak
kedua tersebut menunjukkan perbedaan pendapat. Sengketa dapat diselesaikan
melalui cara-cara formal yang berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri
dari proses melalui pengadilan dan arbitrase atau cara informal yang berbasis
pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi dan mediasi.
Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution (ADR)
adalah sebuah istilah asing yang memiliki berbagai arti dalam bahasa indonesia
seperti pilihan penyelesaian sengketa (PPS), Mekanisme alternatif penyelesaian
sengketa (MAPS) ,pilihan penyelesaian
sengketa diluar pengadilan, dan mekanisme penyeselaian sengketa secara
kooperatif.[1]
Pengertian alternatif penyelesaian sengketa (APS)
menurut para pakar:
a.
Menurut Gary
Goodpaster dalam “tinjauan terhadap penyelesain sengketa” dalam buku Arbitrase
di indonesia, setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh
kesempatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaian sengketa dan konflik.[2]
b.
Menurut Priyatna
Abdurrasyid, alternatif penyelesaian sengketa adalah sekumpulan prosedur atau
mekanisme yang berfungsi memberi alternative atau pilihan suatu tata cara
penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/ Arbitrase (negosiasi dan mediasi)
agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak secara umum, tidak selalu
dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen yang
diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut.
c.
Philip D.
Bostwick yang menyatakan bahwa ADR merupakan serangkaian praktek dan
teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk :
·
Memungkinkan
sengketa-sengketa hukum diselesaiakan diluar pengadilan untuk keuntungan atau
kebaikan para pihak yang bersengketa
·
Mengurangi biaya
atau keterlambatan kalau sengketa tersebut diselesaikan melalui litigasi
konvensional
·
Mencegah agar
sengketa-sengketa hukum tidak di bawa ke pengadilan
d.
Menurut M.
Husseyn Umar, penyelesaian yang tidak melalui pengadilan ini disebut sebagai
Alternative Dispute Resolution atau penyelesaian sengketa alternatif.
e.
Menurut H.
Hartono Maridjono, SH Arbtrase atau APS adalah salah satu alternatif
penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Para pihak memilih arbitrase antara
lain karena mereka menganggap penyelesaian sengketa akan dapat diselesaikan
dengan cepat dan tidak terbuka untuk umum, suatu yang selalu dijaga oleh
kalangan bisnis.
Sedangkan pengertian APS dalam kamus Bahasa ingris –
Bahasa Indonesia dengan mempertimbangkan kata alternatif diartikan “pilihan
antara dua hal, alternatif jalan lain, dengan demikian kata alternatif selain
bisa diartikan sebagai pilihan antara dua hal dapat juga diterapkan langsung
melalui penyerapan bahasa menjadi alternatif.
Pada tanggal 12 Agustus 1999 telah di undangkan dan
sekaligus di lakukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jika kita baca judul
dan tentunya isi dari undang-undang No. 30 tahun 1999 tersebut lebih lanjut, dapat kita ketahui
bahwa undang-undang ini tidak hanya mengatur mengenai arbitrase sebagai salah
satu alternatif penyelesaian sengketa, yang telah cukup di kenal di Indonesia
saat ini, melainkan juga alternatif penenyelesaian sengketa lainnya. Jika kita
baca rumusan yang di berikan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea ke-9 dari
PENJELASAN UMUM Undang-Undang No. 30 tahun 1999, I katakan bahwa alternatif
penyelesaian sengketa dapat di lakukan dengan cara konsultasi, negisiasi,
mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Kalau kita telusuri seluruh ketentuan yang ada dan
di atur dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999, maka dapat kita lihat bahwa
ketentuan-ketentuan mengenai alternatif
penyelesaian sengketa dalam undang-undang No. 30 tahun 1999 tersebut di atur
dalam BAB II yang ternyata hanya terdiiri dari satu pasal yaitu pasa 6. Dari pengertian yang di muat dalam pasal 1
angka 10 dan rumusan pasal 6 ayat (1), secara jelas dapat kita ketahui bahwa
yang di maksud dengan alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, atau dengan cara mengesampingkan
penyelesaian secara ligitasi di pengadilan negeri.
Cara alternatif penyelesaian sengketa menurut UU No
30 tahun 1999 adalah: 1) Arbitrase, 2) Negosiasi, 3) Mediasi, 4) Konsiliasi.
B.
Arbitrase
1.
Pengertian
Arbitrase
Arbitrase
adalah penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kewenangan untuk memeriksa dan
mengadili sengketa pada tingkat pertama dan terakhir kepada pihak ketiga yang
netral dan independen, yang disebut arbiter. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No 30
tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Sedangkan dalam islam
arbitrase sering disebut dengan istilah al-tahkim yang merupakan bagian
dari al-qadla (pengadilan).[3]
Arbiter
adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui
arbitrase.[4]
Dalam
pasal 5 angka 1 UU No 30 tahun 1999 disebutkan bahwa Sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai
hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai oleh pihak
yang bersengketa.
Menurut
UU No 30 tahun 1999 pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa Lembaga Arbitrase adalah
badan yang dipilih oleh pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa.
Dalam
banyak perjanjian perdata, klausula arbitrase banyak digunakan sebagai pilihan
penyelesain sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat
mengikat oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada
lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat
hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract – wanprestasi). Oleh
karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat sehingga ketua
pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase nasional tersebut. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan
dengan dipakainya Reglement op de
Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene
Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtstreglement
Bitengewesten (RBg), karena semula arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d
651 reglement op de rechtsvordering.
Ketentuan tersebut sekarang sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya UU
No 30 tahun 1999. Dalam UU No 14 tahun 1970 (tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman) arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 angka 1 yang antara
lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan
arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau
perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
2.
Jenis-jenis
Arbitrase
Terdapat
dua jenis arbitrase yaitu : [5]
a.
Arbitrase
sementara (ad-hoc) yaitu arbitrase
yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan
tertentu, setelah sengketa selesai maka keberadaan dan fungsi arbitrase ini
berakhir dengan sendirinya. Pelaksanaannya berdasarkan aturan-aturan yang
sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian
yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang
disepakati oleh para pihak. Misalnya UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase.
b.
Arbitrase
institusi yaitu suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen
sehingga arbitrase institusi tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar
meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus. Misalnya
badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
3.
Keunggulan dan
Kelemahan Arbitrase
Keunggulan
Arbitrase antara lain :[6]
a.
Kerahasiaan
sengketa para pihak terjamin.
b.
Dapat
menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan
administrative.
c.
Para pihak dapat
memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman
serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta
jujur dan adil.
d.
Para pihak dapat
menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase.
e.
Putusan
arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara prosedur sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Kelemahan arbitrase
antara lain :[7]
a.
Arbitrase belum
dikenal secara luas baik oleh masyarakat awam maupun masyarakat bisnis, bahkan
oleh masyarakat akademis sendiri.
b.
Masyarakat belum
menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada
lembaga-lembaga arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang
diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga arbitrase yang ada.
c.
Lembaga
arbitrase tidak mempunyai daya paksa dan kewenangan melakukan eksekusi
putusannya.
d.
Kurangnya
kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam
arbitrase sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik
dengan teknik mengulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
e.
Kurangnya para
pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme ekstra yudisial arbitrase
hanya dapat bertumpu diatas etika bisnis seperti kejujuran dan kewajaran.
4.
Hapusnya
Perjanjian dalam Arbitarse
Perjanjian
arbitrase dinyatakan batal apabila dalam proses penyelesaian sengketa terjadi
peristiwa-peristiwa seperti berikut :
a.
Salah satu dari
pihak yang bersengketa meninggal dunia.
b.
Salah satu dari
pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, pembaharuan utang.
c.
Pewarisan.
d.
Hapusnya
syarat-syarat perikatan pokok.
e.
Pelaksanaan
perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak
yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut.
f.
Berakhirnya atau
batalnya perjanjian pokok.
5.
Hubungan
Arbitrase dan Pengadilan
Lembaga
arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan. Ada keharusan untuk
mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa
lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk
menaati putusannya. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar
UU arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter
dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme
sistem peradilan yaitu pendaftaran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan
autentik putusan. Bagi arbitrase nasional mengambil tempat di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
6.
Pelaksanaan
Putusan Arbitrase
Pelaksanaan
putusan arbitrase nasional diatur dalam pasal 59-64 UU No 30 tahun 1999. Pada
dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan
arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan
dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan
menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh
arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 hari
setelah putusan arbitrase diucapkan.
Putusan
Arbitrase nasional bersifat mandiri, final, dan mengikat sehingga Ketua
Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua
Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan
arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Berdasar pasal 62 UU No 30 tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan,
Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi pasal 4 dan
pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka Ketua
Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu
tidak ada upaya hukum apapun.
7.
Dasar Hukum
Arbitrase[8]
a.
Keppres No
34/1981 (ratifikasi atas New York Convention); UU No 4/2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan diluar peradilan
Negara
b.
Pasal 3 ayat 1
UU No 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan “Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau
melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan.
C.
Negosiasi
1.
Pengertian
Negosiasi
Negosiasi
adalah proses yang melibatkan upaya seseorang untuk mengubah (atau tidak
mengubah) sikap dan perilaku orang lain dalam bentuk komunikasi yang
mempertemukan antara dua pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda antara
satu dengan yang lain dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang
baik.[9]
Pola
Perilaku Dalam Negosiasi :[10]
a.
Moving against (pushing) : menjelaskan, menghakimi, menantang, tidak
menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak lain.
b.
Moving with (pulling) : memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui,
membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
c.
Moving away (with drawing) : menghindari konfrontasi, menarik kembali isi
pembicaraan, berdiam diri, tidak menanggapi pertanyaan.
d.
Not moving (letting be) : mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian
pada “here and now”, mengikuti arus,
fleksibel, beradaptasi dengan situasi.
2.
Keterampilan
Negosiasi :
a.
Mampu melakukan
empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
b.
Mampu
menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang terlibat
dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
c.
Mampu mengatasi
stress dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan tuntutan diluar
perhitungan.
d.
Mampu
mengungkapkan gagasan sedemikian rupa sehingga pihak lain akan memahami
sepenuhnya gagasan yang diajukan.
e.
Cepat memahami
latar belakang, budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri dengan
keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.
3.
Negosiasi dan
Hiden Agenda
Dalam
negosiasi tidak menutup kemungkinan masing-masing pihak memiliki hiden agenda.
Hiden agenda yaitu gagasan tersembunyi/niat terselubung yang tidak diungkapkan
(tidak eksplisit) tetapi justru hakikatnya merupakan hal yang sesungguhnya
ingin dicapai oleh pihak yang bersangkutan.
4.
Negosiasi dan Gaya
Kerja
a.
Cara
bernegosiasi yang dilakukan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh gaya
kerjanya.
b.
Kesuksesan
bernegosiasi seseorang didukung oleh kecermatannya dalam memahami gaya kerja
dan latar belakang budaya pihak lain.
5.
Fungsi Informasi
dan Lobi dalam Negosiasi
a.
Informasi
memegang peran sangat penting. Pihak yang lebih banyak memiliki informasi
biasanya berada dalam posisi yang lebih menguntungkan.
b.
Dampak dari
gagasan yang disepakati dan yang akan ditawarkan sebaiknya dipertimbangkan
lebih dulu.
c.
Jika proses
negosiasi terhambat karena adanya hiden agenda dari salah satu/kedua pihak,
maka lohying dapat dipilih untuk menggali hiden agenda yang ada sehingga
negosiasi dapat berjalan lagi dengan gagasan yang lebih terbuka.
D.
Mediasi
1.
Pengertian
mediasi
Mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa melalui perundingan atau mufakat para pihak
dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian.[11]
Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak
boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak suatu gagasan atau penyelesaian
selam proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh
persetujuan dari para pihak.
2.
Prosedur Untuk
Mediasi
a.
Setelah perkara
dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim
membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
b.
Setelah
pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut
pihak-pihak yang berperkara tersebut.
c.
Selanjutnya
mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini
diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing
pihak yang berperkara.
d.
Mediator
bertugas selama 21 hari kalender, berhasil atau tidak perdamaian pada hari ke
22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.
3.
Pengertian
Mediator[12]
Mediator
adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Jadi peran mediator hanya membantu
para pihak dengan cara tidak memutus atau memaksakan pandangan atau
penilaiannya atas masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung kepada para
pihak.
4.
Tugas Mediator[13]
a.
Mediator wajib
mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas
dan disepakati.
b.
Mediator wajib
mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
c.
Apabila dianggap
perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama proses
mediasi berlangsung.
d.
Mediator wajib
mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan
mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
e.
Mediator wajib
menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi antar pihak,
menyesuaikan persepsi, dan berusaha mengurangi perbedaan sehingga menghasilkan
satu keputusan bersama.
E.
Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan
pihak yang berselisih untuk mencapai suatu penyelesaian dengan melibatkan pihak
ketiga (konsiliator).[14]
Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator berhak
menyampaikan pendapat secara terbuka tanpa memihak siapa pun. Konsiliator tidak
berhak membuat keputusan akhir dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak
karena hal tersebut diambil sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Rumusan
konsiliasi dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 alinea 9 penjelasan umum,
yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga untuk menyelesaikan sengketa.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tidak semua masalah harus diselesaikan lewat
persidangan atau pengadilan. Ada alternatif penyelesaian sengketa (ADR/
alternative dispute resolution) yaitu dengan menggunakan arbitrase, negosiasi,
mediasi, dan konsiliasi. Masalah-masalah yang dapat diselesaikan melalui
alternatif penyelesaian sengketa yaitu (1) seluruh sengketa perdata (masalah
dalam kontrak, jual beli, penyewaan, perburuhan/tenaga kerja, ganti rugi,
perceraian, keluarga, klaim, pendidikan, organisasi, dan lain-lain), (2)
perselisihan dalam bidang perbankan, kesehatan(dokter-pasien),
produsen-konsumen, pemberi jasa-klien dan lain-lain, (3) masalah-masalah
administratif.
Dengan penyelesaian sengketa diluar
persidangan/pengadilan, dapat menghemat waktu dan biaya, juga yang terpenting
adalah penyelesaian dilakukan secara damai, sehingga semua pihak yang
bersengketa menjadi “pemenang”. Penyelesaian sengketa diluar
persidangan/pengadilan dijamin kerahasiaannya sehingga tidak perlu khawatir apa
yang terjadi selama proses penyelesaian akan diketahui orang lain atau media
masa.
DAFTAR PUSTAKA
Al Munawar, Husein, Said Aqil. 1994. Arbitrase Islam di Indonesia. Jakarta : Badan Arbitrase Muamalat Indonesia Bekerjasama
Dengan Bank Muamalat.
Azhari, Tahir. 2001. Penyelesaian Sengketa Melalui Forum
Arbitrase, Prospek Pelaksanaan Putusan Arbitrase di Indonesia, Cet. Ke-1. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir. 2000. Arbitrase Nasional (Alternative
Penyelesaian Sengketa Bisnis. Cet. Ke-1. Bandung :
Citra Aditya Bakti.
Gunawan Widjaja dan
Ahmad Yani. 2003. Hukum Arbitrase. Jakarta :Rajawali Pers.
Margono, Suyud. 2004. ADR(alternative
dispute resolution) & Arbitrase, cet II. Bogor :Ghalia Indonasia.
Yahya, M. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, Cet. Ke-2. Jakarta : Sinar Grafika.
[1]
Suyud Margono, S.H., ADR(alternative dispute resolution) & Arbitrase, cet
II(Bogor :Ghalia Indonasia, 2004), hlm
36-37
[2]
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta :Rajawali
Pers,2003) hlm.15
[3]
Said Aqil Husein Al Munawar, Arbitrase
Islam di Indonesia, (Jakarta
: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia Bekerjasama Dengan Bank Muamalat, 1994),
hal. 14.
[4]
Ibid.,
[5] Gunawan
Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit, hal.
52-53
[6]
M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Cet. Ke-2. (Jakarta : Sinar Grafika,
2001), hal. 53.
[7]
Ibid., hal. 53-54
[8]
H. M. Tahir Azhari, Penyelesaian
Sengketa Melalui Forum Arbitrase, Prospek Pelaksanaan Putusan Arbitrase di
Indonesia, Cet. Ke-1. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 163.
[9]
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit, hal.
60
[10]
Ibid., hal. 61
[11]
Munir Fuady, Arbitrase Nasional
(Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis. Cet. Ke-1. (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2000), hal. 12.
[12]
Suyud Margono, S.H.,Op.cit., hlm. 60.
[13]
Ibid., hal.61
[14] Munir Fuady., Op.cit., hal. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar