.arrow { font-size: 18px; font-family: serif; font-weight: 900; } .readmore-link { margin-top: 20px; border-bottom: 1px solid gainsboro; margin-left: 250px; }
SELAMAT DATANG DI BLOG HOLONG MARINA COMPUTER/ INANG GROUP CORPORATION

RAJA MAKALAH

RAJA MAKALAH

Sabtu, 10 Desember 2016

PENYALURAN ZAKAT UNTUK PEMUGARAN DAN PEMBANGUNAN MASJID



PENYALURAN ZAKAT UNTUK PEMUGARAN
DAN PEMBANGUNAN MASJID


D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
                        NAMA                                    : ERDINA DAULAY
                        NIM                                        :  


DOSEN PEMBIMBING :
MUHAMMAD MAHMUD



JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2016/2017



KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang menyayangi tanpa pernah meminta imbalan dari mahluk-Nya, yang atas berkat rahmat, inayah serta hidayah-Nya lah kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta, umatnya yang membela risalahnya sampai akhir jaman.
Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar, yang merupakan salah satu tugas mata kuliah, dalam memenuhi tugas tersebut maka kami menyusun makalah yang berjudul “Penyaluran Zakat untuk Pemugaran dan Pembangunan Masjid” kami telah mendapatkan bantuan dari beberapa sumber yang telah di lampirkan  di halaman pada Daftar Pustaka.
Kami berharap makalah ini dapat menambah wawasan kepada pihak yang membacanya. Kami sadar sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Apabila terdapat kesalahan yang kecil ataupun yang fatal kami mohon maaf  yang sebesar-besarnya kepada pihak yang membaca makalah ini. Dan kami juga menerima kritik dan saran terhadap makalah yang kami buat ini, mudah-mudahan dengan adanya kritik dan saran kami dapat membuat makalah yang lebih bagus lagi di hari kemudian.

                                                          Padangsidimpuan,    Desember 2016




                                                                      Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................   i
DAFTAR ISI...............................................................................................   ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................   1
A.    Latar Belakang ................................................................................   1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................   2
A.    Sumber Keuangan Masjid................................................................   2
B.     Zakat Untuk Pembangunan Masjid.................................................   3
C.     Masjid Bukan Fi Sabilillah...............................................................   5
D.    Menurut Jumhur UIama...................................................................   6
E.     Pendapat Yang Membolehkan ........................................................   7
BAB III PENUTUP....................................................................................   12
A.    Kesimpulan......................................................................................   12
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................   13





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Zakat merupakan ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (vertikal) dan sebagai kewajiban kepada sesama manusia (horizontal).
Setiap orang muslim mempunyai kewajiban untuk membayar zakat apabila telah memenuhi syrat-syarat yang telah ditentukan oleh syari’at. Di mana  zakat merupakan rukun ketiga dari rukun Islam yang kelima, yang merupakan pilar agama yang tidak dapat berdiri tanpa pilar ini.
Sampai sejauh ini, telah diargumenkan bahwa zakat memiliki peran dan potensi yang sangat menjanjikan dalam pembangunan di era demokratisasi dan otonomi daerah. Laporan ini juga telah menunjukkan bagaimana zakat secara riil dapat bekerja dalam sistem fiskal nasional dan memungkinkan untuk menjadi bagian integral  dalam strategi pembangunan nasiona. Namun harus diakui bahawa hal-hal tersebut merupakan agenda besar yang membutuhkan waktu panjang dan komitemen politik yang tinggi. Karena itu dibutuhkan langkah-langkah transisi jangka pendek-menengah untuk membuat agenda besar ini menjadi realistis.
Dalam jangka pendek-menengah, agenda yang terpenting dibutuhkan zakat agar dapat mendekat dan masuk menjadi arus utama pembangunan adalah meningkatkan kredibiltas zakat, terutama dalam program pengentasan kemiskinan. Hal ini menjadi krusial karena zakat hingga kini masih kecil dilihat dari sisi ukuran (size) anggaran maupun dampak terhadap kemiskinan.
Di Indonesia, upaya meningkatkan efektivitas dan kredibilitas zakat dalam rana pembangunan nasional semestinya berfokus pada beberapa agenda. Pertama, peningkatan penerimaan dana zakat melalui lembaga-lembaga zakat. Kedua, peningkatan efektifitas penyaluran/pendayagunaan dana zakat. Ketiga,  mampu menghadapi tantangan dan peluang dalam pengelolaan zakat.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sumber Keuangan Masjid
Masjid memerlukan biaya yang tidak sedikit jumlahnya setiap bulan, . Biaya itu dikeluarkan untuk mendanai kegiatan rutin, mengurus masjid, memelihara/ merawatnya, kegiatan masjid tentu terlaksana dengan baik  jika tersedia dana dalam jumlah yang mencukupi. Tanpa ketersedian dana , maka semua gagasan memakmurkan masjid tidak dapat dilaksanakan. Merupakan tugas dan tanggungjawab pengurus masjidlah memikirkan, mencari dan mengadakan dana yang sesuai dengan kemampuannya.
Secara tradisional aliran dana ke masjid di dapatkan dari hasil tromol Jum ’at atau dari sedekah jama’ah namun, mengandalkan income hanya dari kedua pos niscaya jauh dari memadai. Jumlah yang dihasilkan relatif sedikit, sedangakan anggaran pengeluaran masjid cukup besar.
Berapa contoh masjid di dunia islam  telah mengembangkan potensinya melalui usaha yang produktif, tidak hanya mengantungkan diri dari pemasukan rutin yang diberikan jama’ah. Misalnya Masjid Nabawi sekarang ini mengembangkan usaha produktif dengan cara sebagian lahan wakafnya disewakan untuk hotel berbintang. Keuntungan diputarkan buat operasional rutin masjid  dan kegiatan sosial lainnya. Masjid AL Azhar Kairo, dengan sejumlah tanah wakafnya dikembangkan  dengan orientasi profit. Antara lain disewakan untuk kator –kantor pemerintahan, Al Azhar  sudah lama jadi icon ’’mesin uang’’ pendidikan. Sehingga bisa memberi beasiswa bagi para mahasiswa yang datang dri pelosok negeri.
Di Indonesia, kita juga bisa menyebut , Masjid Al Azhar Jakarta dan masjid Istiqomah Bandung kedua-duanya jadi pusat pendidikan. Masjid lain yang juga menempuh usaha – usaha berorientasi profit agar bisa mendanai kegiatan nasjid, misalnya di Bengkulu Masjid Muhammadiyah, yang lokasinya strategis di jalan protokol, dengan menyewakan sebagian lahan yang sudah dibangun manjadi ruko, masjid di Batam, juga ada bisnis centernya, dan   dibeberapa kota lainnya, dalam kontek inilah Depag sejak disahkannya UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf, melalui Derektorat wakaf gencar melakukan sosialisasi pemberdayaan wakaf masjid secara produktif.[1]

B.     Zakat Untuk Pembangunan Masjid
Pertama, zakat termasuk ibadah yang semua aturannya telah ditetapkan oleh syariat. Mulai dari jenis harta yang wajib dizakati, nilai minimal harta yang wajib dizakati (nishab), kapan waktu mengeluarkannya, sampai siapa yang berhak menerima zakat.
Kedua, Allah telah menjelaskan dalam Al-Quran, semua golongan yang berhak menerima zakat. Yang berhak menerima ini telah ditetapkan, dan karena itu, tidak boleh memberikan zakat kepada selain mereka.
Allah berfirman (QS. At-Taubah: 60)
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ  
Artinya : 60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].
Ketiga, yang menjadi sebab polemik apakah masjid berhak menerima zakat ataukah tidak, adalah kalimat fi sabilillah. Apakah pembangunan masjid termasuk fi sabilillah ataukah tidak.[2]
Dr. Khalid Al-Musyaiqih menyebutkan perbedaan pendapat ulama tentang cakupan makna fi sabilillah,
وقوله جل وعلا: “وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ” اختلف العلماء رحمهم الله في تفسيره، فالإمام مالك رحمه الله يرى أن المراد به ما يتعلق بالجهاد على وجه العموم. والرأي الثاني: أن المراد بـ”وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ” هم المجاهدون الذين ليس لهم ديوان، أي ليس لهم راتب من بيت المال، وهذا ما ذهب إليه الإمام أحمد رحمه الله والشافعي. والرأي الثالث: أن طرق الخير كلها وسبله من الجهاد وغيره من بناء المساجد ومدارس التعليم وتعبيد الطرق وحفر الآبار وغير ذلك.
Makna firman Allah: ‘Fi sabilillah’ diperselisihkan ulama tentang tafsirnya,
Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa makna ‘fi sabilillah’ adalah semua yang terkait dengan jihad secara umum (baik personel maupun senjata).
Pendapat kedua, makna ‘fi sabilillah’ adalah orang yang berangkat jihad, sementara mereka tidak mendapat gaji tetap dari negara atau baitul mal. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan Imam As-Syafii rahimahullah.
Pendapat ketiga, makna ‘fi sabilillah’ adalah semua kegiatan kebaikan, baik itu jihad maupun yang lainnya, seperti membangun masjid, sekolah islam, memperbaiki jalan, membuat sumur, atau lainnya.
Selanjutnya Dr. Al-Musyaiqih menguatkan pendapat bahwa ‘fi sabilillah’ tidak tepat jika dimaknai semua kegiatan kebaikan untuk umat, karena 2 alasan,[3]
Jika zakat boleh diberikan untuk semua kegiatan sosial keagamaan, seperti membangun masjid, mencetak buku, atau semacamnya, tentu akan ada banyak hak orang fakir miskin dan 6 golongan lainnya yang berkurang dan menjadi tersita
Allah telah membatasi 8 golongan yang berhak mendapat zakat. Jika kalimat ‘fi sabilillah’ dimaknai seluruh jalan kebaikan, tentu cakupannya akan sangat luas. Karena kegiatan sosial keagamaan sangat banyak. Pemaknaan yang terlalu luas semacam ini akan menghilangkan fungsi pembatasan seperti yang disebutkan di surat At-Taubah di atas.



C.    Masjid Bukan Fi Sabilillah
Inilah pendapat jamahir ulama (hampir semua ulama). Dalam Hasyiah Ar-Raudh dinyatakan
قال الوزير وغيره: اتفق الأئمة على أنه لا يجوز ولا يجزئ دفع الزكاة في بناء مساجد، وقناطر ونحو ذلك، ولا تكفين موتى ونحوه، وإن كان من القرب، لتعيين الزكاة لما عينت له
Al-Wazir dan lainnya mengatakan; Para ulama sepakat bahwa tidak boleh dan tidak sah memberikan zakat untuk pembangunan masjid, jembatan atau yang lainnya. Tidak boleh pula untuk biaya mengkafani mayit atau semacamnya, meskipun jenazah itu adalah kerabat. Agar zakat diberikan kepada pihak yang telah ditentukan. (Hasyiyah Ar-Raudhul Murbi’, 3/309).
Dalam Ensiklopedi Fikih juga dinyatakan,
ذهب الفقهاء إلى أنه لا يجوز صرف الزكاة في جهات الخير …، فلا تنشأ بها طريق ولا يبنى بها مسجد ولا قنطرة، ولا تشق بها ترعة، ولا يعمل بها ساقية، ولا يوسع بها على الأصناف
“Para ulama berpendapat, tidak boleh menyalurkan zakat untuk semua kegiatan sosial keagamaan…, tidak boleh digunakan untuk membangun jalan, membangun masjid, jembatan, untuk membuat kanal, atau untuk membuat kincir air. Tidak boleh melebarkan zakat selain golongan yang telah ditetapkan.
Diantara alasan lain yang menguatkan pendapat, tidak boleh menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid adalah faktor tamlik (sifat memiliki). Dan masjid tidak bisa memiliki. Sebagaimana keterangan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah,
أنه لا تمليك فيها؛ لأن المسجد ونحوه لا يملك، وهذا عند من يشترط في الزكاة التمليك

Masjid tidak memiliki sifat tamlik. Karena masjid atau gedung semacamnya tidak bisa memiliki. Ini menurut ulama yang mempersyaratkan penerima zakat harus tamlik (kemampuan memiliki). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 23/329).[4]
Imam Ibnu Baz termasuk ulama madzhab hambali yang menguatkan pendapat mayoritas ulama, tidak boleh menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid. Ketika ditanya tentang hukum menyalurkan zakat untuk aktivitas masjid, beliau menjelaskan,
المعروف عند العلماء كافة ، وهو رأي الجمهور والأكثرين ، وهو كالإجماع من علماء السلف الصالح الأولين أن الزكاة لا تصرف في عمارة المساجد وشراء الكتب ونحو ذلك ، وإنما تصرف في الأصناف الثمانية الذين ورد ذكرهم في الآية في سورة التوبة وهم : الفقراء ، والمساكين ، والعاملون عليها ، والمؤلفة قلوبهم ، وفي الرقاب ، والغارمون ، وفي سبيل الله ، وابن السبيل .

Yang makruf di kalangan ulama seluruhnya, dan ini pendapat mayoritas ulama, dan pendapat ini seperti ijma (kesepakatan) dikalangan ulama masa silam, bahwa zakat tidak boleh digunakan untuk kegiatan ketakmiran masjid, membeli buku islam, atau semacamnya. Namun hanya boleh disalurkan untuk delapan golongan yang telah Allah sebutkan di surat At-Taubah, mereka adalah fakir, miskin, amil, muallaf, pembebasan budak, orang yang kelilit utang, sabilillah, dan ibnu sabil.[5]

D.    Menurut Jumhur UIama
Jumhur ulama termasuk di dalamnya empat mazhab yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, termasuk yang cenderung kepada pendapat yang pertama (mudhayyiqin). Mereka mengatakan bahwa yang termasuk fi sabilillah adalah para peserta pertempuran fisik melawan musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam.
a.       Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Quduri (w. 428 H) salah satu ulama dalam mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Al-Mukhtashar sebagai berikut :
ولا يجوز أن يدفع الزكاة إلى ذمي ولا يبنى بها مسجد ولا يكفن بها ميت ولا يشترى بها رقبة تعتق
Tidak dibolehkan memberikan zakat kepada orang kafir zimmi, tidak boleh digunakan untuk membangun masjid, atau mengkafani mayit dan tidak boleh dibelikan budak untuk dibebaskan.[6]
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata bahwa dibolehkan memberikan harta zakat buat orang yang berperang meskipun dia termasuk orang kaya. Kesimpulan dari ibarah para ulama di atas bahwa meski asnaf fi sabilillah itu bisa diluaskan, namun tidak ada satu pun yang menyebutkan tentang kebolehan zakat untuk membangun masjid.
Al-Marghinani (w. 593 H) menuliskan di dalam kitabnya Bidayatul Mubtadi sebagai berikut :
ولا يبني بها مسجد ولا يكفن بها ميت ولا يقضي بها دين ميت ولا تشترى بها رقبة تعتق
Harta zakat itu tidak boleh untuk membangun masjid, biaya memberli kafan buat mayit, atau melunasi hutangnya atau untuk membeli budak yang akan dibebaskan.
b.      Mazhab Al-Malikiyah
Al-Imam Malik (w. 179 H) di dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra yang disusun oleh Sahnun tegas menyebutkan masalah ini sebagai berikut :
وقال مالك: لا تجزئه أن يعطي من زكاته في كفن ميت لأن الصدقة إنما هي للفقراء والمساكين ومن سمى الله، فليست للأموات ولا لبنيان المساجد
Al-Imam Malik berkata tidak diperkenankan bagi seseorang memberikan dari harta zakatnya untuk mengkafani mayit, karena sedekah (zakat) itu hanya untuk fuqara dan masakin serta mereka yang telah Allah sebutkan. Harta zakat tidak boleh untuk orang mati dan juga tidak boleh untuk bangunan masjid.

E.     Pendapat Yang Membolehkan
Sedangkan para ulama yang lain cenderung meluaskan makna fi sabilillah, tidak hanya terbatas pada peserta perang fisik, tetapi juga untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain.
Di antara tokoh yang mendukung pendapat ini adalah Dr. Yusuf Al-Qaradawi telah membuka pintu ijtihadnya sendiri dan juga buat orang lain untuk meluas-luaskan pengertian fi sabilillah. Setidaknya beliau itulah yang dikenal sebagai tokoh yang sering meluas-luaskan pengertian fi sabilillah menjadi semua hal yang baik dan bermanfaat buat dakwah.
Para pengikut ‘mazhab’ Al-Qaradawi ternyata cukup banyak di Indonesia. Setidaknya, kitab Fiqih Zakat karya beliau selalu dijadikan rujukan oleh hampir semua lembaga amil zakat di Indonesia. Boleh kita katakan beliau adalah lokomotif dari gerbong-gerbong perluasan hukum zakat di Indonesia, bahkan di banyak negeri luar sana.
Dalam disertasinya yang tertuang dalam kitab Fiqih Zakat, beliau memang awalnya menyebutkan sekilas saja pendapat ulama empat mazhab yang sebenarnya justru melarang perluasan makna fi sabilillah. Intinya, seluruh ulama dari empat mazhab sepakat bahwa penyaluran zakat hanya untuk perang secara fisik atau haji. Di luar itu tidak boleh diluas-luaskan seenaknya.
Namun karena Al-Qaradawi punya keinginan untuk meluas-luaskan makna ‘fi sabilillah’, maka setelah menguraikan fatwa empat mazhab yang muktamad, beliau jelas sekali ingin meninggalkan ulama empat mazhab dan membangun ijtihadnya sendiri. Untuk itu beliau mencari tokoh-tokoh yang sekiranya membolehkan harta zakat digunakan untuk hal-hal di luar jihad dan perang.
Oleh Al-Qaradawi kita diperkenalkan beberapa tokoh yang dianggapnya mendukung pendapatnya, antara lain :[7]
a.       Imam Ar-Razi
Beliau mulai argumentasinya dengan menyebut nama Ar-Razi (w. 606 H), seorang mufassir abad ketujuh hijriyah. Dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib ketika menyebutkan asnaf fi sabilillah, Ar-Razi menuliskan sebagai berikut
فلهذا المعنى نقل القفال في «تفسيره» عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد، لأن قوله: وفي سبيل الله عام في الكل
Dengan pengertian ini, Al-Qaffal menukil dalam Tafsirnya pendapat dari sebagian fuqaha bahwa mereka membolehkan untuk menyalurkan zakat pada semua bentuk kebaikan, seperti mengkafani mayit, membangun benteng dan membangun masjid. Sebab kata fi sabilillah itu umum terkait segala sesuatu.[8]
Dalam hal ini Al-Qaradawi agak jujur ketika menyebutkan bahwa ‘sebagian fuqaha’ yang dinukil oleh Al-Qaffal itu tidak jelas siapa mereka. Seharusnya ini justru jadi pertanyaan baru, mengapa kita menyandarkan sebuah fatwa kepada orang-orang yang tidak jelas jati dirinya.
Namun ternyata dalam hal ini Al-Qaradawi malah mengajak para pembacanya untuk ‘berhuznudzhdzhan’ saja dan tidak usah meributkan siapa mereka. Menurutnya, kalau disebut ‘fuqaha’ pastilah mereka itu mujtahid.
b.      Anas bin Malik dan Al-Hasan Al-Basri
Nampaknya usaha Al-Qaradawi untuk mencari pegangan atas pendapatnya dari kalangan salaf belum usai. Beliau kemudian menukil perkataaan Ibnu Qudamah (w. 676 H) di dalam kitabnya Al-Mughni, bahwa konon Anas bin Malik radhiyallahuanhu dan Al-Hasan Al-Basri berfatwa atas kebolehan zakat untuk membangun jembatan dan jalanan.
مَا أَعْطَيْت فِي الْجُسُورِ وَالطُّرُقِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مَاضِيَةٌ
Harta yang kamu keluarkan untuk membangun jembatan dan jalanan termasuk sedekah. [9]
Yang menarik, lafadz Ibnu Qudamah yang dinukil oleh Al-Qaradawi ini terletak setelah kalimat Ibnu Qudamah yang menolak kebolehan harta zakat untuk pembangunan ini dan itu. Sayangnya Al-Qaradawi sama sekali malah tidak menukilnya, terkesan malah menyembunyikannya. Teks dari Ibnu Qudamah itu sebagai berikut :
فصل: ولا يجوز صرف الزكاة إلى غير من ذكر الله تعالى، من بناء المساجد والقناطر والسقايات وإصلاح الطرقات، وسد البثوق، وتكفين الموتى والتوسعة على الأضياف، وأشباه ذلك من القرب التي لم يذكرها الله تعالى
Pasal : Dan tidak boleh menyalurkan zakat untuk selain yang telah disebutkan Allah, seperti membangun masjid, jembatan, tempat minum, memperbaiki jalan, bendungan, mengkafani jenazah, memberi makan tamu, dan semua ibadah yang seumpama itu, selama tidak disebutkan Allah.
Dalam kitab Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan bahwa pendapat yang dianggap kuat adalah bahwa tidak layak membuat makna fi sabilillah menjadi terlalu umum. Karena dengan begitu, keumuman ini akan meluas tanpa batas dan aspek-aspeknya akan menjadi banyak sekali.
Dan orang-orang yang akan menerima zakat lewat jalur fi sabilillah akan sangat beragam, bila tidak diberi batasan yang pasti. Kalau makna fi sabilillah dibuat menjadi sangat luas, maka akan meniadakan pengkhususan sasaran zakat delapan. Buat apa Allah SWT menyebutkan khusus asnaf fi sabilillah kalau ternyata maksudnya bisa siapa saja asal berbau jalan dakwah?
Al-Quran yang sempurna dan mu’jiz pasti terhindar dari pengulangan yang tidak ada faedahnya. karenanya pasti yang dimaksud disini adalah makna yang khusus, yang membedakannya dari sasaran-sasaran lain.
Makna yang khusus ini tiada lain adalah jihad, yaitu jihad untuk membela dan menegakkan kalimat Islam di muka bumi ini. Setiap jihad yang dimaksudkan untuk menegakkan kalimat allah termasuk sabilillah, bagaimanapun keadaan dan bentuk jihad serta senjatanya.
Yusuf Al-Qaradhawi memperluas arti fi sabilillah ini tidak hanya terbatas pada peperangan dan pertempuran fisik dengan senjata saja, namun termasuk juga segala bentuk peperangan yang menggunakan akal dan hati dalam membela dan mempertahankan aqidah Islam.
Karena itu mendirikan sekolah berdasarkan faktor tertentu adalah perbuatan shaleh dan kesungguhan yang patut disyukuri dan sangat dianjurkan oleh Islam, akan tetapi ia tidak dimasukkan dalam ruang lingkup fi sabilillah.
Namun demikian, apabila ada suatu negara dimana pendidikan Islam merupakan masalah utama, dan yayasan pendidikan telah dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis ataupun sekularis, maka jihad yang paling utama adalah mendirikan madrasah yang yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman yang murni, dimana sekolah itu khusus mendidik anak-anak kaum muslimin menjadi pejuang yang menegakkan syariat Islam.
Madrasah itu juga punya misi memelihara generasi muslim dari kehancuran ideologi dan akhlaq, serta menjaganya dari racun-racun yang ditiupkan melalui kurikulum dan buku-buku, pada otak-otak pengajar dan ruh masyarakat yang disahkan di sekolah-sekolah pendidikan secara keseluruhan.
Sebaliknya, menurut Al-Qaradawi, tidak semua peperangan termasuk kategori fi sabilillah. Tidak termasuk fi sabilillah perang yang tujuannya bukan semata-mata ingin menegakkan syariat Allah atau membela agama Allah. Seperti halnya perang yang sekedar membela kesukuan, kebangsaan, kepentingan organisasi, partai politik tertentu atau membela kedudukan para politisi ‘muslim, agar bisa naik ke puncak kekuasaan atau tetap duduk di kursi jabatannya.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid menurut ulama diperbolehkan karena pembangunan masjid dianggap dalam golongan yang berhak mendapatkan zakat yaitu golongan fi sabilillah, demi menjunjung tinggi kalimat (agama) Allah tergolong fi sabilillah (di jalan Allah). Bahkan masjid memiliki peranan strategis berkaitan langsung dengan kehidupan kaum muslim dan digunakan sebagai bentuk syiar Islam dan menjadi pusat dakwah islamiyah.
Sebagian ulama yang memasukkan membangun masjid kedalam pos fisabilillah, membuat catatan dengan syarat bahwa pembangunan masjid tersebut di lakukan di daerah yang tidak terdapat sama sekali masjid, sehingga diharapkan dengan adanya masjid akan menjadi syi’ar Islam. Adapun pembangunan masjid di daerah yang sudah banyak terdapat masjid, maka hal tersebut tidak diperbolehkan, karena dana zakat harus mempunyai suatu nilai maslahat yang didapatkan oleh kaum muslimin (sebagaimana fungsi zakat yaitu mencukupkan dan membantu fakir miskin).
Al-hasil, para ulama fiqih membolehkan pendistribusian zakat untuk pembangunan masjid sebab dikategorikan sebagai kelompok fi sabilillah, dengan catatan bahwa dalam satu daerah tidak ada sama sekali masjid. Apalagi pertanyaan pak Ridwan mempertegas mustahik semuanya sudah mendapatkan bagian zakatnya, dalam konteks ini umumnya ulama membolehkan zakat di salurkan untuk pembangunan mesjid sebab alasan sangat diperlukan dan mendesak setelah semua orang yang berhak menerima zakat tersebut telah disalurkan kepada yang berhak menerimanya. Demikian semoga dapat dipahami.


DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, 2008. Pedoman Pembinaan Masjid,  Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, tahun Anggaran.
Departemen Agama RI,  Pedoman Pemberdayaan Masjid, Profil MasjidMushalla dan Langgar, Proyek Peningkatan pemberdayaan rumah Ibadah dan Masyarakat, Ditjen Binbaga Islam, Depag RI, tahun 2004
Gazalba, Sidi, 1982. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan, Pustaka Antara, Jakarta.
Hakim, Lukman, Hasibuan, 2002. Pemberdayaan Masjid di  Masa Depan,  Pt. Bina Rena Pariwara, Jakarta.
Syahidin, Dr, M.Pd, 2003. Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid,  Alfabeta, Bandung.
Syafri, Syofyan, Harahap, Drs, MSAc, 2003. Manajemen Masjid, PT Dana Bakti Prima Yasa, Yogyakarta.


[1] Departemen Agama RI, Pedoman Pembinaan Masjid,  (Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, tahun Anggaran 1980), hal. 98
[2] Lukman Hakim Hasibuan, Pemberdayaan Masjid di  Masa Depan,  (Bina Rena Pariwara, Jakarta, 2002), hal. 86
[3] Dr. Syahidin, M.Pd, Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid,  (Alfabeta, Bandung, 2003), hal. 92
[4] Sidi Gazalba, , Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan, (Pustaka Antara, Jakarta, 1982), hal. 53
[5] Sidi Gazalba, Op. Cit., hal. 52
[6] Dr. Syahidin, M.Pd, Loc. Cit., hal 95
[7] Drs. Syofyan SyafriHarahap, MSAc, Manajemen Masjid, (Dana Bakti Prima Yasa, Yogyakarta, 2003), hal. 102
[8] Lukman Hakim Hasibuan, Op. Cit., hal. 76
[9] Departemen Agama RI,  Pedoman Pemberdayaan Masjid, Profil Masjid,  Mushalla dan Langgar, Proyek Peningkatan pemberdayaan rumah Ibadah dan Masyarakat, Ditjen Binbaga Islam, Depag RI, tahun 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar