.arrow { font-size: 18px; font-family: serif; font-weight: 900; } .readmore-link { margin-top: 20px; border-bottom: 1px solid gainsboro; margin-left: 250px; }
SELAMAT DATANG DI BLOG HOLONG MARINA COMPUTER/ INANG GROUP CORPORATION

RAJA MAKALAH

RAJA MAKALAH

Kamis, 01 Desember 2016

PENERAPAN PRINSIP NASIONALITAS (UUPA)



PENERAPAN PRINSIP NASIONALITAS

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 10 (SEPULUH)
1.      SILFIA AINUN RITONGA                         1410200071
2.      SIT HARTINI                                                            1410200072
3.      WARTAWAN PASARIBU                          1410200077


DOSEN PEMBIMBING ;
DERMINA DALIMUNTHE


JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2016



A.   
Pendahuluan
Seperti kita ketahui bahwa Indonesia dikenal sebagai Negara agraris. Dimana mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Dalam hal pertanian masalah yang identik yaitu mengenai pertanahan.
Terdapat beberapa asas mengenai hukum agraria yang mana salah satunya yaitu asas nasionalisme. Asas nasionalisme merupakan suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.
Asas nasionalisme yang seharusnya dijadikan sebagai suatu  patokan atas hak warga Negara Indonesia tentang kepemilikan tanah bumi dan ruang angkasa di Indonesia namun pada kenyataannya banyak terdapat orang asing yang memilikinya. Sehingga hak warga Negara Indonesia tidak terpenuhi dan terkalahkan oleh orang asing.

B.     Prinsip Nasionalitas
Pasal 1  UUPA
(1)       Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia.
(2)       Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3)       Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat (2)  pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
Jadi, bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia menjadi hak dari Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja.Demikian pula, tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dalam pasal 3 ayat 3 ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
Prinsip Nasionalitas yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.[1]
Prinsip ini lahir dari asas kebangsaan yang diakui oleh UUPA. Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 yo pasal 21 ayat 1 hanya warganegara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2).
Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2). Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41). Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).[2]

C.    Peran Asas Nasionalisme Dalam Hukum Agraria
Asas nasionalisme merupakan suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.
Asas nasionalisme ini terdapat dalam Undang-undang Pokok Agraria  No 5/1960 pasal 1 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Pasal 1 ayat (1) yaitu “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”.[3]
Pasal 1 ayat (2) yaitu “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Ini berarti bumi, air, dang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia menjadi hak bagi bangsa Indonesia, jadi tidak senata-mata menjadi hak daripada pemiliknya saja. Demikian pula , tanah-tanah didaerah dan pulau-pulau tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah  atau pulau yang bersangkutan saja.[4]
Pasal 1 ayat (3) yaitu “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi”. Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Oleh sebab itu, seluruh bumi, air, ruang angkasa seta kekayaan alam yang terkandung didalamnya menjadi hak seluruh bangsa Indonesia dalam hubungan yang abadi.
Dalam asas nasoionalis berarti bahwa hanya warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi air dan ruang angkasa (hak milik atas tanah). Asas nasionalitas dalam UUPA terutama sebagai hak milik turun-temurun yang terkuat dan terpenuhi. (jurnal Dinamika Hukum, Januari 2012, Vol. 12 No.1)
Sifat terkuat dan terpenuh dari hak milik ini merupakan suatu sifat kebendaan yang berarti bahwa milik itu dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain, dapat dibebani hak tanggungan dan dapat dijadikan jaminan hutang dan karena mempunyai sifat-sifat itu pula, maka hal ini memberikan arti kepada si pemegang hak milik, yaitu pemegang hak milik atau pemilik tanah hak unt berbuat bebas atas tanahmmiliknya itu. Hal ini berarti bahwa bahwa pemilik tanah mempunyai hak untuk mengasingkan atau memindahtangankan tanahnya itu dengan jalan menukarkan, mewariskan , menghibahkan atau menjualnya kepada orang lain atau suatu badan hukum.
Asas nasionalitas yang dianut UUPA sepenuhnya tertuang dalam pengaturan tentang hak milik. Warga Negara Indonesia yang dapat maempunyai hak milik atas tanah, sedangkan warga Negara asing hanya dapat memiliki hak pakai atas tanah saja. Makna pasal 1 dan 2 UUPA dengan demikian terpenuhi.[5]
Dengan adanya asas nasionalitas, terdapat jaminan mengenai hak warga Negara Indonesia atas kepemilikan tanah maupun yang berhubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam  lain yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian warga Negara asing atau badan usaha asing tidak mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Hal ini dapat di buktikan tentang masalah hak dan kewajiban Warga Negara Asing di Indonesia tentang kepemilikan tanah yaitu dengan adanya Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) dan Badan Hukum Asing (BHA)  yang mempunyai perwakilan di Indonesia ,secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41 & Pasal 42 Undang - Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah.
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing (WNA) yang berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing (BHA) yang memiliki perwakilan di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP). Dengan demikian tidak dibenarkan Warga Negara Asing (WNA) atau Badan Hukum Asing (BHA) memiliki tanah dan bangunan dengan status Hak Milik (HM). Hubungan hukum antara Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA), serta perbuatan hukum mengenai tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 9 UUPA menyatakan hanya warga negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang udara Indonesia.
Dalam penjelasannya dikatakan hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat 2 UUPA), dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi “Batal Demi Hukum.” Namun demikian UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan warga negara asing dan badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga negara asing dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh dengan status hak pakai. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan warga negara Indonesia diatas segala-galanya baik dari segi ekonomi, sosial, politis dan malahan dari sudut Hankamnas.

D.    Penerapan Asas Nasionalitas Di Indonesia
Pemberlakuan UUPA yang memuat prinsip/ asas nasionalitas dimaksudkan untuk melindungi rakyat Indonesia dari ketidakadilan dan perbuatan sewenang-wenang dari orang asing terhadap tanah republik Indonesia. UUPA mengatur bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Karena dalam praktik, tidak sedikit warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya berstatus Hak Milik di wilayah Propinsi Aceh, khususnya Sabang, dan daerah lainnya dengan cara melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing melakukan kesepakatan atau perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan.[6] Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga Negara Asing-lah yang menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak milik tersebut.
Tindakan demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam hal ini UUPA, dan karena itu merupakan tindakan yang disebut penyelundupan hukum. Dalam Pasal 26 (ayat 2) UUPA, yang menyatakan setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.[7]
Akan tetapi, pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 41 tahun 1996 yang mengatur tentang pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh WNA. Peraturan Pemerintah ini berisi antara lain:[8]
WNA yang berkedudukan di Indonesia diperkenankan untuk memiliki 1 rumah tinggal (Satuan Rumah Susun) yang dibangun di atas tanah Hak Pakai. Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Pakai tersebut dapat berasal dari Hak Pakai atas Tanah Negara atau Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Milik yang diberikan oleh Pemegang Hak Milik. Pemberian Hak Pakai oleh pemegang Hak Milik ini diberikan dengan akta PPAT & perjanjiannya harus dicatat dalam Buku Tanah dan Sertifikat Hak Milik atas tanah. Penguasaan tanah oleh orang asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah dan PP nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Dalam PP Nomor 41 tahun 1996 terdapat syarat, orang asing yang dapat mempunyai rumah  tinggal di Indonesia adalah orang asing yang kehadirannya memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. Orang asing tersebut dibatasi boleh memiliki satu rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri sendiri, atau satuan rumah susun, yang dibangun diatas tanah hak pakai. Hak pakai tersebut diberikan paling lama untuk jangka waktu 25 tahun. Berbeda dengan jenis hak berjangka waktu lainnya seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat diperpanjang untuk waktu tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama berakhir. Hak Pakai rumah tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat diperbarui untuk jangka waktu 20 tahun dengan ketentuan orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.
Jangka waktu ’hanya’ 25 (dua puluh lima) tahun tersebut dinilai banyak kalangan sudah tidak kondusif dengan perkembangan dunia global sekarang ini, tidak menarik minat orang asing untuk membeli rumah di Indonesia. Sebagai perbandingan, Singapura membolehkan warga negara asing untuk memiliki bangunan komersial, hotel dan hunian dengan jangka waktu hak tanah 99 tahun, dan untuk industri diberikan 60 tahun. Di Thailand, hak sewa menyewa dengan warga negara asing berlaku selama 30 tahun dengan perpanjangan 30 tahun. Sedangkan di Kamboja antara 70 sampai dengan 99 tahun.
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini membatasi pengertian rumah tempat tinggal yang dapat dimiliki orang asing. Rumah tinggal yang dapat dimiliki WNA adalah yang berdiri diatas ’hak pakai atas tanah negara’ atau ’hak pakai diatas hak milik’. Khusus yang diatas hak milik didasarkan pada perjanjian dengan pemegang hak milik yang dibuat dengan akta PPAT (jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN nomor 7 tahun 1996 dan nomor 8 tahun 1996). Dalam PP ini tidak disebut mengenai rumah yang berdiri di atas hak pakai yang berasal dari hak pengelolaan.
E.     Kesimpulan
Kedudukan asas nasionalitas dalam UUPA sangat penting karena menyangkut hak warga Negara Indonesia untuk memiliki bumi, air dan ruang angkasa yang berada di wilayah Negara kesatuan republik Indonesia. Negara hanya mempunyai kewenangan untuk menguasai saja untuk kepetingan dan kesejahteraan rakyat indonesia, sedangkan yang memiliki kekayaan tersebut adalah rakyat Indonesia.
Asas nasionalitas menekankan bahwa hanya warga Negara Indonesia mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan rung angkasa, sehingga orang asing sebagaimana hak yang pernah mereka miliki yaitu boleh mempunyai hak-hak di Indonesia asal mau tunduk kepada BW dan peratura-peraturan keperdataan telah diitnggalkan. sehinga dibedakan antara warga Negara Indonesia dengan pihak asing terkait dengan hak atas tanah republic Indonesia.
Namun kenyataannya di Indonesia masih terdapat  warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya berstatus Hak Milik di wilayah Propinsi Aceh, khususnya Sabang, dan daerah lainnya dengan cara melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing melakukan kesepakatan atau perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut.

F.     Daftar Pustaka
Harsono, Boedi, 2007. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional,  Universitas Trisakti, Jakarta.
Sjahdeini, Remy, 1999. Hak Tanggungan, Bandung: PT. Alumni.
Materi Acuan Pengelolaan Wilayah Laut Dan Pesisir Terpadu, Kementerian Perencaaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,  Depatemen Kelautan Dan Perikanan, Depatemen Hukum Dan Hak Azasi Manusia  bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, Jakarta, 2005.
Harsono, Budi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan
Santoso, Urip. 2006. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana
Supriadi. 2008. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika




[1] Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2007) ,hal. 46-47
[2] Materi Acuan Pengelolaan Wilayah Laut Dan Pesisir Terpadu, Kementerian Perencaaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Depatemen Kelautan Dan Perikanan, Depatemen Hukum Dan Hak Azasi Manusia bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, (Jakarta, 2005), h. 5 -8
[3] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2008), h. 228
[4] Materi Acuan Pengelolaan Wilayah Laut Dan Pesisir Terpadu, Kementerian Perencaaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Depatemen Kelautan Dan Perikanan, Depatemen Hukum Dan Hak Azasi Manusia bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, (Jakarta, 2005), h. 5 -8
[5] Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, (Bandung: PT. Alumni, 1999), hal. 51
[6] Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2007) ,hal. 46
[7] Ibid., hal. 47
[8] Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar