.arrow { font-size: 18px; font-family: serif; font-weight: 900; } .readmore-link { margin-top: 20px; border-bottom: 1px solid gainsboro; margin-left: 250px; }
SELAMAT DATANG DI BLOG HOLONG MARINA COMPUTER/ INANG GROUP CORPORATION

RAJA MAKALAH

RAJA MAKALAH

Selasa, 06 Desember 2016

IJTIHAD




IJTIHAD

D
I
S
U
S
U
N
Oleh:

1.      SITI MUSYALULLAH                  133100155
2.      SAMARIA                                       133100152
3.      SURAIA

              
Dosen Pengampu:
AHMAD TAUFIK


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PADANGSIDIMPUAN
T.A 2016/2017





KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak  bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

                                                     Padangsidimpuan,   Desember  2016



                                                                 Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A.    Latar Belakang .................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah ............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 2
A.    Pengertian, Ruang Lingkup Dan Dasar Hukum Ijtihad.................... 2
B.     Macam-Macam dan Syarat Ijtihad.................................................... 5
C.     Tingkat Kekuatan Ijtihad dan Tingkatan-Tingkatan Ijtihad.............. 8
D.    Perkembangan Ijtihad ....................................................................... 10
BAB III PENUTUP..................................................................................... 13
A.    Kesimpulan........................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 14
 




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hokum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangan, ijtihad dilakukan oleh para sahabat tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolahkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai di buka kembali. Karena tidak bisa di pungkiri, adalah suatu keharusan untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang banyak ditemui perbedaa-perbedaan madzhab dalam hokum Islam disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat dll. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya utuk menemukan hokum yang terbaik. Justru dengan ijtihad Islam, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, dapat mengambil permasalahan sebagai berikut yaitu:
1.       Bagaimana definisi, ruang lingkup dan dasar hukum Ijtihad ?
2.       Berapa macam-macam Ijtihad dan syarat  Ijtihad ?
3.       Bagaimana tingkat kekuatan Ijtihad dan tingkatan-tingkatan dalam Ijtihad?
4.       Bagaimana perkembangan Ijtihad ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian, Ruang Lingkup Dan Dasar Hukum Ijtihad
1.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut lughot mempunyai arti:
بَدْلُ الْوُسْعِ فِيْمَا فِيْهِ كُلْفَةٌ
Mengerahkan kemampuan untuk sesuatu yang sulit”
Sedangkan Ijtihad menurut istilah mempunyai pengertian:
بَذْلُ الْفَقِيْهِ الْمُجْتَهِدِ مَجْهُوْدَهُ فِى نَيْلِ الْغَرَضِ الْمَقْصُوْدِ مِنَ الْعِلْمِ
“Mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki oleh seseorang  yang ahli fiqh, untuk memperoleh ilmu yang ingin dihasilkannya”.[1]
Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari dalilnya. Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalah qiyas untuk mengeluarkan (istinbat) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.
Adapun ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) adalah jalan yang diikuti hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan teks undang-undang maupun dengan mengistinbatkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.[2]
Pelestarian “pohon” fiqih dengan akar syari’at tidaklah mungkin dapat dilakukan selama disana tidak ada ijtihad yang sistematis dan terus menerus, yakni sebuah ijtihad yang mampu mengendalikan berbagai tantangan zaman. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Wahbah al-Zuhayli (syria), ijtihad itu menghidupkan syariat. Syariat tidak akan bisa bertahan selama fiqih ijtihad tidak hidup dan elastis, memiliki daya kerja dan daya gerak.[3]
2.      Ruang Lingkup Ijtihad
Dalam memberi batasan-batasan bagi ruang lingkup ijtihad, Al-Amidi mengatakan: “…bidang yang dapat diijtihadi adalah hokum-hukum syara’ yang dalilnya zhanni…
وأمّا ما فيه الاءجتهاد فما كان من الأحكام الشّرعيّة دليله ظنّى
Ungkapan “hokum-hukum syara’ “kami maksudkan untuk membedakannya dari hokum-hukm yang dalilnya bersifat qath’I (pasti), seperti ibadat yang lima seumpamanya. Ibadat yang lima ini bukanlah merupakan bidang berijtihad, karena orang yang keliru dalam bidang ini dipandang berdosa, sedangkan masalah-masalah ijtihadiyah itu adalah masalah di mana orang yang keliru dalam ijtihadnya tidak berdosa.
Masalah ke-dua: peristiwa yang dihadapi haruslah peristiwa yang hukumnya tidak terdapat dalam nash. berdasarkan ini, maka ruang lingkup ijtihad dapat menampung kegiatan panggilan hokum-hukum bagi peristiwa-peristiwa hokum baru pada saat tidak terdapatnya nash. hal itu dilakukan dengan jalan berpegang pada tanda-tanda yang telah dipancangkan sebagai petunjuk bagi hokum, seperti qiyas atau istihlah.[4]
Dalam buku “Ilmu Ushul Fiqih karangan Prof.Abdul Wahhab Khallaf” ada dua lapangan ijtihad yaitu:
1)      Sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali.
2)      Sesuatu yang ada nashnya namun tidak qath’i.
Tidak ada peluang untuk berijtihad mengenai sesuatu yang ada nashnya yang bersifat qath’i.[5]
Ada tiga hal yang harus diperhatikan:
1)        Bahwa ijtihad itu tidak ada pembagian. Artinya, dia tidak menggambarkan adanya orang alim sebagai mujtahid, dalam hokum talak, dan mujtahid yang lain dalam hokum jual beli. Atau mujtahid dalam hokum menjatuhkan sanksi hukuman. Mujtahid adalah seorang yang ahli dan teguh pendirian.
2)        Mujtahid itu mendapat pahala. Orang-orang yang melakukan ijtihad itu mendapat dua pahala. Satu, pahala untuk ijtihadnya, dan satu lagi kalau ijtihadnya itu benar. Kalau ijtihadnya itu salah, masih mendapat satu pahala.
3)        Ijtihad itu tidak boleh dibatalkan. Kalau mujtahid itu berijtihad untuk suatu masalah dan di dalamnya itu dia menjatuhkan hukuman dengan hokum yang dijalankan kea arah itu oleh ijtihadnya. Sudah itu dikemukakan pula kepadanya gambaran dari peristiwa ini lantas dia melakukan ijtihad kepada hokum lain, di sini dia tidak diperbolehkan membatalkan hukumnya yang lalu.[6]
3.      Dasar Hukum Ijtihad
Para fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nash Al-Quran.[7]
            Ulama membagi hukum Ijtihad menjadi tiga macam:
1)      Wajib Ain, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami sendiri  oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2)      Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sementara masih ada mujtahid lain selain dirinya.
3)      Sunnah, ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik ditanya maupun tidak.
4)      Haram, ijtihad haram pada perkara yang telah ditunjukkan oleh nash atau yang telah ditetapkan oleh ijma’ sahabat. Oleh karena itu, tidak boleh berijtihad didalam masalah-masalah itu seperti di dalam masalah akidah dan ibadah yang telah dinashkan dan disepakati oleh umat.[8]
B.      Macam-Macam dan Syarat Ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jam’i.
1)        Ijtihad fardi:
اَلْاجْتِهَادُ الْفَرْدِيُّ هُوَ كُلُّ اجْتِهَادٍ وَلَمْ يَثْبُتْ اِتّفَاقُ الْمُجْتَهِدِيْنَ فِيْهِ عَلَى رَأْيٍ فِى الْمَسْئَلَةِ.
Artinya:
“Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang namun tak ada keterangan bahwa semua Mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara”.
2.         Ijtihad Jami’i:
“Setiap ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin”.[9]
Menurut jenisnya, mujtahid dapat dibedakan menjadi 4 macam:
a)      Mujtahid Mutlak: Seorang mujtahid harus memeras fikiran dan mencurahkan seluruh waktunya untuk meneliti secara mendalam terhadap dalil-dalil fiqh, sehingga bisa menghasilkan dhonn atau dugaan hukum.
b)      Orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dari Al-Quran dan Hadits, dan sering kali mendirikan madzhab sendiri seperti halnya para sahabat dan imam yang empat, yaitu Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki.
c)      Mujtahid Madzhab: orang yang mempunyai kemampuan mengetahui kaidah-kaidahnya imam madzhab, kemudian ia bisa menggali pendapat yang melebihi pendapat imamnya dari sebuah dalil. Seperti Imam Buwaithi.[10]
Para mujtahid yang mengikuti suatu madzhab dan tidak membentuk madzhab tersendiri, tetapi dalam beberapa hal, dalam berijtihad mereka berbeda pendapat dengan imamnya, misalnya, Imam Syafi’i tidak mengikuti pendapat gurunya Imam Malik dalam beberapa masalah.
d)     Mujtahid Fatwa: orang yang sangat mendalam pengetahuannya tentang madzhab Imam-nya, sehingga bisa mentarjih salah satu diantara dua qoul, ketika dua qoul tersebut dimutlak-kan oleh Sang Imam.
Para ulama yang sudah mencapai derajat sebagai mujtahid fatwa ihi, seperti; Imam Ar-Rofi’i dan Imam An-Nawawi.mereka ini mempunyai otoritas (sewenang) untuk menyeleksi mana yang lebih kuat diantara qoul-qoulnya Asy-Syafi’i, sebab Imam As-Syafi’i sendiri sering kali mengeluarkan beberapa qoul yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainya.
Para mujtahid diatas, baik mujtahid mutlak, Mujtahid madzhab maupun mujtahid fatwa, apabila hasil ijtihadnya benar maka akan mendapatkan dua pahala dan apabila salah akan mendapatkan satu pahala.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda:
منِ اجتهدَ واصابَ فلهُ اجرانِ ومن اجتهدَ واخْطأَ فلهُ اجرٌ واحدٌ .
“Barang siapa melakukan ijtihad dan hasil ijtihadnya benar maka akan memperoleh dua pahala. Dan barang siapa melakukan ijtihad dan hasil ijtihadnya keliru maka akan mendapatkan satu pahala”. (H.R. Bukhori Muslim).
Para mujtahid yang mendapatkan pahala adalah mereka yang benar-benar punya keahlian dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Untuk mereka yang tidak punya keahlian untuk melakukan ijtihad, maka harus taqlid atau mengikuti pendapat yang telah ditetapkan oleh para Imam Madzhab. Dan apabila mereka memaksakan diri untuk melakukan ijtihad, maka sama sekali tidak mendapatkan pahala, bahkan akan mendapat dosa, disebabkan kecerobohannya.[11]
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:
1)             Benar-benar Muslim, beriman kepada Allah dan sifat-sifat-Nya; beriman kepada Rasul-Nya dan manaatinya.
2)             Menguasai bahasa Arab, cara-cara dalalah, susunan kalimatnya dan satuan-satuan katanya
3)             Mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur’an. Haruslah mengetahui hokum-hukum syar’iyyah yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan ayat-ayat yang menyebutkan hokum-hukum tersebut, serta cara-cara mengambil, memetik hokum itu dari ayat-ayatnya
4)             Mengetahui tentang sunnah. Yaitu, ia harus mengetahui hokum-hukum syara’ yang disebut sunnah Nabi., sekiranya ia mampu menghadiran sunnah yang menyebutkan hokum pada tiap-tiap bab dari perbuatan mukallaf, mengetahui peringkat sanad sunnah tersebut, dari segi kesahihannya, atau kedhaifannya dalam periwayatan.
5)             Mengetahui segi-segi qiyas. Misalnya ia megetahui tentang illat, dan hikmahpembentukan hokum yang karenanya hokum disyari’atkan, menegnai jalur-jalur yang dipersiapkan oleh syari’ untuk mengetahui illat hukumnya. Ia juga harus mengetahui berbagai hal ihwal manusia dan muamalah mereka, sehingga ia dapat mengetahui sesuatu kasus yang tidak ada nashnya yang terbukti illat hukumnya.
6)             Mengetahui kesepakatan-kesepakatan para ulama, baik di dalam masalah pokok-pokok syariat seperti ijma’ tentang wajibnya shalat, dll.
7)             Memahami istinbath hukum dari dalil-dalil yang ada melalui metode yang tercakup dalam ilmu ushul fiqih.
8)             Memahami tujuan-tujuan syariat. Ini merupakan salah satu syarat yang terpenting  bagi seorang mujtahid. Sebab syariat datang sebagai rahmat bagi hamba-hamba Allah.[12]
C.      Tingkat Kekuatan Ijtihad dan Tingkatan-Tingkatan Ijtihad.
a)      Tingkat Kekuatan Ijtihad
Seorang ahli fiqih yang menghabiskan tenaga dan pikirannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap suatu hukum agama dengan jalan istinbat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau dari suatu dalil yang dibenarkan syara’. Ijtihad ada dua tingkatan:
1)        Ijtihad Darakil Ahkam (menghasilkan hukum yang belum ada)
2)        Ijtihad Tatbiqil Ahkam (menerapkan hukum atau kaidah atas segala tempat menerimanya) .[13]
b.      Tingkatan-Tingkatan Ijtihad
                             Ijtihad itu terdiri dari beberapa tingkatan:
1.    Ijtihad mutlaq
2.    Ijtihad dalam satu madzhab
3.    Ijtihad dalam satu macam ilmu saja
4.    Ijtihad dalam beberapa masalah atau satu masalah dari satu macam ilmu.
     Para mujtahid demikian pula, berbeda-beda tingkatannya sesuai tingkat ijtihadnya.
a.       Ijtihad yang berdiri sendiri.
b.      Ijtihad yang tidak berdiri sendiri.
Mujtahid yang berdiri sendiri ialah orang yang mandiri dalam mengetahui ketentuan-ketentuan hokum syari’at yang bersifat furu’, dari dalildalil tanpa bertaqlid atau terikat dengan madzhab tertentu. Diantar mujtahid-mujtahid mutlaq tersebut adalah ahli-ahli fiqih dari sahabta dan tabi’in serta imam-imam yang empat.
Adapun mujtahid yang tidak mandiri, atau disebut Al-Muntashib, ialah mujtahid yang membangun pendapat-pendapatnya di atas madzhab seorang imam tertentu dalam berhujjah dengan sebagian dalil saja, seperti istihsan dan maslahah mursalah, di saat mujtahid lain tidak mau menerimanya, karena dia sendiri mengikuti imam tertentu seperti sahabat-sahabat imam empat atau yang sejalan dengan mereka dalam hal mengkuti madzhab tertentu, padahal ia sendiri mampu mandiri dalam menetapkan hokum-hukum yang bersifat furu’.
Adapun ijtihad yang terikat pada madzhab, tercakup di dalamnya mujtahid yang menggali berbagai hokum dari dalil-dalilnya, berdasarkan pada kaidah-kaidah imam madzhabnya dan dapat menampilkan berbagai kemungkinan pendapat dari beberapa riwayat yang diterima dalam bentuk nash dan imamnya.
Mujtahid terikat mempunyai 4 kelas:
Pertama: ia tidak bertaqlid kepada imamnya dalam menentukan hokum dan dalil, tetapi ia menempuh cara imamnya dalam berijtihad. Fatwa mujtahid seperti ini sama dengan fatwa mujtahid mutlaq dalam sisi pengalamannya.
Kedua: mujtahid yang terikat dengan madzhab imamnya, tetapi dia mandiri dalam menetapkan madzhabnya dengan dalil, namun dia tidak pernah melampaui dasar-dasar dan kaidah-kaidah imamnya. Ijtihad seperti ini hanya dapat dipakai sebagai alat untuk menunaikan fardhu kifayah tetapi tidak untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang dijadikan sebagai bahan suplai fatwa, karena ia telah mendudukkan fatwanya pada kedudukan fatwa imam mutlaq dan memilah-milahnya terhadap bolehnya taqlid kepada yang sudah tiada (wafat) dibolehkan.
Ketiga: ia memelihara madzhab serta mengetahui dalil-dalinya, tetapi dia tidak sampai pada tingkat para mujtahid dalam madzhab. Fatwa mujtahid kelas ini dapat diterima.
Keempat: ia bekerja memlihara madzhab, mengajarkan dan memahaminya, tetapi ia tidak mahir dalam menetapkan dalil-dalilnya. Mujtahid seperti ini dapat dipegang periwayatannya dan fatwanya tentang nash-nash imamnya atau rincian dari pendapat sahabat-sahabatnya yang mujtahid dalam madzhabnya serta komentar-komentar tambahan dari mereka. Sebab, orang yang seperti ini keadaannya, jelaslah seorang yang alim dalam bidang fiqih.[14]
D.    Perkembangan Ijtihad
1.            Ijtihad dan Fiqih di Masa Nabi SAW
Umat Islam di masa Rasul tidak melakukan ijtihad bila menghadapi suatu masalah yang baru, mereka mendatangi Nabi untuk bertanya. Mereka bertanya, lalu Nabi menjawab dengan petunjuk wahyu yang diturunkan kepadanya, atau dengan petunjuk ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari wahyu. Mereka hnay mempergunakan ijtihad bila mereka tak dapat bertanya. Ijtihad itu mereka sampaikan kepada Nabi, lalu Nabi memberi putusannya.
2.            Periode-Periode Ijtihad Sesudah Nabi SAW
Ijtihad sesudah wafat Nabi melalui tiga periode:
a)      Periode sahabat besar, periode Khulafar Rosyidin.
b)      Periode sahabat kecil, pemuka tabi’in di masa Bani Umayyah.
c)      Periode tabi’in dan Imam Mujtahiddin di permulaan masa Bani Abbas.


3.            Ijtihad dan Fiqih di Masa Khulafaur Rosyidin
Para sahabat besar, sepeninggal Rasul menghadapi berbagai permasalahan baru. Maka mereka melakukan istinbat terhadap permasalahan tersebut, namun tidak menetapkan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak member jawaban (fatwa) terhadap yang elum timbul.
Bila terjadi masalah, barulah mereka melakukan ijtihad. Mereka berpegang dalam urusan tersebut kepada:
a)      Al-Qur’an.
b)      Sunatur Rasul.
4.            Ijtihad dan Fiqih di Masa Bani Umayyah
Ketika pemerintahan (khalifah) dipegang Bani Umayyah, para sahabat pergi meninggalkan kota Madinah menuju ke kota-kota yang baru dibangun, seperti kuffah, makkah, basrah, syam, mesir dll. Di ibukota-ibukota itu, mereka mengerjakan fiqih, mengembangkan agama, dan meriwayatkan Hadits. Umat Islam di daerah-daerah itupun berdatangan ke kota-kota pusat daerah untuk menerima fiqih dan ilmu para sahabat tersebut. Murid-murid para sahabat itu dinamai tabi’in, sedangakan murid tabi’in dinamai tabi’it tabi’in. berkat pelajran-pelajaran itu, banyak para tabi’in yang tersohor, yang pandai dalam urusan fiqih dan hokum Islam.
Ulama’ulama pada periode ini terbagi kepada dua golongan besar:
a.              Golongan Ahli Hadits
b.             Golongan Ahli Ra’yu (ahli qiyas)
5.            Ijtihad dan Fiqih di Masa Bani Abbas
Pada permulaan bani abbaslahirlah imam-imam mujtahid kenamaan dari golongan ahli hadits dan golongan ahli qiyas yang mempunyai pengikut dan telah membukukan fatwa-fatwanya. Para imam mujtahidin yang timbul pada periode ini adalah imam yang empat, yang terus menerus hingga masa kini mendpaat sambutan yang ramai dan banyak dianut orang.
Dalam periode-periode ini barulah dibuat aturan-aturan ijtihad disusun ushul fiqih dan barilah ijtihad (hasil-hasil ijtihad) itu tampak jelas karena pada periode inilah fiqih itu dibukukan. Pada periode ini pula para mujtahidin mulai memperluas (membuat) hukum dan membuat macam-macam masalah yang di taqdir-taqdirkan. Pada periode sebelumnya, hokum-hukum itu diberikan dan dicari, jika ada suatu kejadian. Pada periode ini muncul pula berbagai madzhab dan berjangkitnya perselisihan dengan hebat dan luas.
Pada periode ini timbullah pertentangan pendapat tentang:
a.              Memakai hadits untuk menjadi dasar syara’ (hukum) karena telah bertebaran hadits palsu dibuat oleh para pendusta, para perusak agama. Pada masa ini timbul perselisiahan dalam hal itu dan yang menjadi titik berat perselisiahan ialah: apakah hadits itu meripakan suatu pokok dari dasar-dasar tasyri’ dan kalau benar merpakan suatu dasar, maka apakah harus berpegang kepadanya?
b.             Memakai ijma’ sebagai dasar tasri’
Sebagaimana mereka berselisish tentang hal istihsan, para ahli qiyas dengan ahli hadits pun berselisih dalam perkara mempergunakan qiyas.
6.            Ijtihad Dewasa Ini
Banyak orang berkata bahwa pintu ijtihad telah ditutup, namun pendapat ini tidak benar melihat permasalahan-permasalahan timbul silih berganti. Di dalam penghidupan masyarakat dari hari ke hari bahkan dari saat ke saat, terdapat maslah-maslah yang memerlukan pemecahan hukum yang pasti, yang tidak terdapat nash-nash Al-Qur’an atau Al-Hadits. Oleh karena itu, ijtihad sangat perlu dan sangat erat kaitannya dengan permasalahan-permasalahn itu, sebab ijtihad pada dasarnya adalah daya upaya karya otak para mujtahid untuk menemukan dalil dalam Al-Qur’an maupun di dalam As-Sunnah.[15]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.            Pengertian Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari dalilnya.
Ruang lingkup ijtihad ada dua lapangan ijtihad yaitu:
a.       Sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali.
b.      Sesuatu yang ada nashnya namun tidak qath’i.
Dasar hukum ijtihad:
a.              Wajib ‘ain
b.              Wajib Kifayah
c.              Sunnah
d.             Haram.
2.            Macam-macam dan syarat ijtihad:
a.              Ijtihad Fardhi
b.              Ijtihad Jami’i.
Syarat-syarat ijtihad:
a.              Benar-benar Muslim
b.              Menguasai bahasa Arab
c.              Mempunyai pengetahuan mengenai Al-Quran
d.             Mengetahui  sunnah
e.              Mengetahui segi-segi qiyas
f.               Mengetahui kesepakatan-kesepakatan para ulama
g.              Memahami istinbath hukum dari dalil-dalil
h.              Memahami tujuan-tujuan syariat.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim ‘Uways, 1998, Fiqih Statis dan Fiqih Dinamis, Pustaka Hidayah: Bandung.
Chaerul Umam, Ahyar Aminudin, 2001, Ushu Fiqih II, CV. Pustaka Setia: Bandung.
Dr. Ibrahim Abbas Al Dzarwy, 1993,“Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam cet. 1”, CV. Dina Utama Semarang: Semarang .
Muhammad Sya’roni Ahmadi, Terjemah Tashilut Thuruqot, 1984
Prof. Abdul Wahhab Khallaf , 1999,“Ilmu Ushul Fiqih cet. 4“, PT. Rineka Cipta: Jakarta .
Prof. Abdul Wahhab Khallaf 1994, “Ilmu Ushul Fiqih cet. 1”, Dina Utama Semrang: Semarang .



[1] Muhammad Sya’roni Ahmadi, Terjemah Tashilut Thuruqot, (Jakarta:Pustaka, 1984), hal. 146
[2] Chaerul Umam, Ahyar Aminudin, Ushu Fiqih II, ( Pustaka Setia: Bandung, 2001), hal. 131
[3] Abdul Halim ‘Uways, Fiqih Statis dan Fiqih Dinamis, (Pustaka Hidayah: Bandung, 1998),  hal. 181
[4] Ibrahim Abbas Al Dzarwy “Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam cet. 1”, (Dina Utama Semarang: Semarang 1993),  hal. 31-32
[5] Abdul Wahhab Khallaf “Ilmu Ushul Fiqih cet. 1”, (Dina Utama Semrang: Semarang 1994), hal. 340
[6] Abdul Wahhab Khallaf “Ilmu Ushul Fiqih cet. 4“, (PT. Rineka Cipta: Jakarta 1999), hal. 279-281
[7] Chaerul Umam, Ahyar Aminudin, Op.Cit.  hal. 131.
[8] Abdul Halim ‘Uways, Op.Cit, hal.187
[9] Chairul Umam, Achyar Aminudin, Op.Cit, hal. 139
[10] Muhammad Sya’roni Ahmadi, Op.Cit, hal. 147
[11] Muhammad Sya’roni Ahmadi, Op.Cit, hal. 148
[12] Abdul Halim ‘Uways, Op.Cit, hal. 192
[13] Chaerul UmamOp Cit., hal. 142
[14] Ibrahim Abbas Al Dzarwy, Op Cit., hal. 39-40
[15] Chaerul Umam, Op Cit., hal. 144-149

Tidak ada komentar:

Posting Komentar