.arrow { font-size: 18px; font-family: serif; font-weight: 900; } .readmore-link { margin-top: 20px; border-bottom: 1px solid gainsboro; margin-left: 250px; }
SELAMAT DATANG DI BLOG HOLONG MARINA COMPUTER/ INANG GROUP CORPORATION

RAJA MAKALAH

RAJA MAKALAH

Selasa, 06 Desember 2016

KLASIFIKASI MAD’U MENURUT KEYAKINAN



KLASIFIKASI MAD’U MENURUT KEYAKINAN

D
I
S
U
S
U
N
Oleh:

NAMA                        : ALIMAR NAULI PULUNGAN
NIM                            : 1430200011

              
Dosen Pengampu:
KAMALUDDIN



JURUSAN IMBINGAN KONSELING
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2014/2015



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur mari kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmad dan karunianya kepada penulis, sehingga penulis beserta bisa menyusun makalah ini dengan judul ”Klasifikasi Mad’u menurut Keyakinan”.
 Sholawat dan salam kita hadiahkan ke arwah Nabi besar Muhammad SAW, seorang pemimpin sejati, suri tauladan yang baik bagi semua umat, yang telah membawa kita ke zaman modern yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini.
Penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat serta memberikan sumbangan pengetahuan bagi semua pihak yang tertarik dan ingin mengetahui tentang perpajakan yang ada di Indonesia. Makalah ini juga diharapkan bisa menjadi penambah literatur (daftar bacaan) khususnya bagi mahasiswa IAIN Padangsidimpuan.
Namun demikian, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, bersama ini penulis mempersembahkan makalah dengan judul ” Klasifikasi Mad’u menurut Keyakinan” kehadapan para pembaca.


                                                          Padangsidimpuan,    Desember 2016




                                                                      Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................   i
DAFTAR ISI...............................................................................................   ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................   1
A.    Latar Belakang ................................................................................   1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................   2
A.    Pengertian Mad’u.............................................................................   2
B.     Klasifikasi Mad’u Menurut Keyakinannya......................................   4
BAB III PENUTUP....................................................................................   10
A.    Kesimpulan......................................................................................   10
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai, bahwa tata cara memberikan lebih penting dari sesuatu yang diberikan itu sendiri. Semangkok teh pahit dan sepotong ubi goreng yang disajikan dengn cara sopan, ramah dan tanpa sikap yang dibuat-buat, akan lebih terasa enak dicicipi.
Dalam konteks ini tata cara atau metode lebih penting dari materi, yang dalam Bahasa Arab dikenal dengan Al-Thariqah Ahammu min Al-Maddah. Ungkapan ini sangat relevan dengan kegiatan dakwah. Betapapun sempurnanya materi, lengkapnya bahan dan aktualnya isu-isu yang disajikan,tetapi bila disampaikan dengan cara yang sembrono, tidak sistematis dan sembarangan, akan menimbulkn kesan yang tidak simpatik dan berujung kesia-siaan. Tetapi sebaliknya, walaupun materi kurang sempurna, bahan sederhana dan isu-isu yang disampaikan kurang aktual, namun disajikan dengan cara yang menarik dan menggugah, maka hasilnya akan impresif dan melahirkan manfaat.
Kehadiran makalah ini diharapkan dapat membantu memberikan landasan teori bagi pelaksanaan dakwah. Sehingga para da’i memiliki pemahaman yang utuh dan komprehensif terhadap aktifitas dakwah, dan mempermudah Da’i dalam mengetahui tipologi dan klasifikasi masyarakat serta kemampuan berfikir terhadap sasaran dakwah secara tepat. Sebab seiap sasaran atau object dakwah memiliki suatu ciri-ciri tersendiri yang memerlukan suatu kebijakan dakwah dalam penyampaian, baik menyangkut masalah metodologis maupun kerangka konseptualnya. Dengan demikian, diharapkan umat akan memahami bahwa tuga dakwah baik secra individu, maupun berorganisasi, sehingga ajaran Islam tetap membumi sebagi pegangan hidup umat.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mad’u
Mad’u adalah objek dakwah bagi seorang da’i yang bersifat individual, kolektif, atau masyarakat umum. Masyarakat sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah merupakan salah satu unsur yang penting dalam sistem dakwah yang tidak kalah peranannya dibandingkan dengan unsur unsur dakwah yang lain oleh sebab itu masalah masyarakat ini seharusnya di pelajari dengan sebaik-baiknya sebelum melangkah ke aktivitas dakwah yang sebenarnya. Maka dari itu sebagai bekal dakwah dari seorang da’i atau muballig hendaknya memperlengkapi dirinya dengan beberapa pengetahuan dan pengalaman yang erat hubungannya dengan masalah masyarakat.[1]
Para Da'i tidak cukup hanya mengetahui objek dakwah secara umum dan secara khusus tersebut, tetapi yang lebih penting lagi yang harus diketahui adalah hakikat objek dakwah atau sasaran dakwah itu sendiri. Adapun hakikat objek dakwah adalah seluruh dimensi problematika hidup objek dakwah, baik problem yang berhubungan dengan aqidah, ibadah, akhlaq, mu'amalah, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, budaya, dll.
Proses dakwah sulit berhasil tanpa adanya analisa terhadap sasaran dakwahnya terlebih dahulu. Sebagaimana diketahui, manusia bukanlah benda mati yang dapat diatur dan dibentuk tanpa mengadakan respons balik. Tetapi manusia adalah makhluk hidup dengan segala esensinya, memiliki akal, hati dan perasaan, juga memiliki kehendak dan cita-cita, selain akal yang dapat menilai mana yang baik dan harus diikuti dan mana yang tidak baik yang harus dijauhkan. Semua potensi ini merupakan realitas manusia yang dihadapi oleh da’wah sehingga da’wah harus mempertimbangkan siapa mad’unya, apa kecenderungan dan permasalahan yang dialami. Semuanya dikenal dengan analisis sosial.
Keberhasilan dakwah akan sangat bergantung kepada bagaimana da’i tersebut berdakwah. Tidak hanya penguasaan materi yang diluar kepala, kemampuan dai dalam mengenal dan memahami ilmu dakwah pun sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dakwah itu sendiri. Salah satu anasir ilmu dakwah tersebut ialah membahas tentang strata Mad’u, tipologi Mad’u dan Sasaran-nya.
Secara mendasar klasifikasi, mad’u ini tidak ada hubungannya dengan memetak-metak kelompok ataupun pengkastaan golongan manusia atas manusia lainnya. Lebih dari itu, pengklasifikasian mad’u memilii maksud tersendiri yakni untuk memperoleh pengetahuan tentang karakter-karakter yang khas dimiliki oleh suatu kelompok  mad’u tertentu yang tidak terdapat pada lainnya.
Ada banyak Ulama yang menjelaskan tentang sasaran atau orang-orang yang perlu di dakwahi namun penulis mencoba mengambil beberapa pendapat yang di anggap penting dan utama dalam makala ini :
Menurut Muhamkmad Abu Fath Al-Bayanun Dakwah itu ditujukan untuk orang  kafir agar masuk islam, juga di tujukan kepada muslim untuk memperbaiki keislaman mereka serta meningkatkan keimanan mereka. Kalau orang-orang kafir di seru itu terdiri dari berbagai macam jenis dan modelnya, demikina juga objek dakwah dari kalangan muslimin pun bermacam-macam.
Al-Quran telah mengisyaratkan bahwa muslimin itu terbagi menjadi tiga macam. Allah ta’ala berfirman :
§NèO $uZøOu÷rr& |=»tGÅ3ø9$# tûïÏ%©!$# $uZøŠxÿsÜô¹$# ô`ÏB $tRÏŠ$t7Ïã ( óOßg÷YÏJsù ÒOÏ9$sß ¾ÏmÅ¡øÿuZÏj9 Nåk÷]ÏBur ÓÅÁtFø)B öNåk÷]ÏBur 7,Î/$y ÏNºuŽöyø9$$Î/ ÈbøŒÎ*Î/ «!$# 4 šÏ9ºsŒ uqèd ã@ôÒxÿø9$# 玍Î7x6ø9$# ÇÌËÈ  
Artinya : 32. Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang Menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan[1260] dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar.[2]
   Pengetahuan ini, secara lebih jauh sangat berguna untuk menentukan kebijakan dakwah tentang bagaimana cara mensikapi dan berinteraksi dengan masing-masing kelompok manusia tersebut. Sekaligus sebagai pengalaman atas nabi: “Khatib al-nas ala qadri uqulihim/ berkomunikasi dengan manusia setara dengan taraf penalaran mereka”.
Dalam hubungannya dengan seruan dakwah,  ojek dakwah di sini digolongkan menurut empat kategori. Pertama, sikap mad’u terhadap seruan dakwah, kedua, antusiasanya kepada dakwah, ketiga kemampuan dalam memahami dan menangkap pesan dakwah, dan keempat, kelompok mad’u berdasarkan keyakinan.

B.     Klasifikasi Mad’u Menurut Keyakinannya
Pemeran utama dalam proses komunikasi adalah manusia. Dalam hal ini kita memandang komunikasi justru pada perilaku manusia komunikan. Dimulai dari menganalisa berapa banyak “noise” terjadi dijalan sebelum pesan sampai pada komunikate, dan berapa banyak pesan yang hilang. Kemudian membicarakan bagaimana manusia memproses pesan yang diterimanya, bagaimana cara berfikir dan cara melihat manusia dipengaruhi oleh lambang-lambang yang dimiliki.
Dalam dakwah juga harus memperhatikan faktor-faktor personal dan situasional yang mempengaruhi perilaku manusia atau komunikan atau mad’u. dakwah sendiri menggunakan teori komunikasi persuasi. Teori-teori persuasi sudah lama menggunakan konsepsi psikoanalisis yang melukiskan manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens). Teori “Jarum Hipodermik” (yang menyatakan media massa sangat berpengaruh) dilandasi konsepsi behaviorisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang digerakkan semaunya oleh lingkungan (Homo Mechanicus). Teori pengolahan informasi jelas dibentuk oleh konsepsi psikologi kognitif yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (Homo Sapiens). Teori-teori komunikasi interpersonal banyak dipengaruhi konsepsi psikologi humanistik yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya (Homo Ludens).[3]
Oleh karenanya, objek dakwah sebaiknya diklasifikasikan agar memudahkan pelaksanaan dakwah, seperti kelompok awam dan intelektual, kelompok masyarakat kota dan desa, kelompok industri dan pegawai negri, serta kelompok remaja pria dan wanita. Dengan pegelompokan itu diharapkan pelaksanaan dakwah akan lebih intesif dan terkendali. Apabila objek dakwah sudah jelas dari segala aspek, maka pelaku dakwah (da’i) lebih mudah untuk mengenal dan dapat mensinkronkan dengan kegiatan dakwah yang akan diproyeksikan. Kegiatan dakwah yang punya kolerasi dengan permasalahan kehidupan yang dihadapi masyarakat akan menjadikan dakwah lebih berkesan dan menarik untuk diikuti.
Dakwah tidak dapat meniscayakan agama yang beraneka ragam. Karena ada keanekaragaman agama ini, maka ada misi dakwah. Agama yang membawa kebahagiaan memungkinkan menjadi sarang konflik, tatkala tafsiran eksklusif muncul dari masing-masing agama. Mengemukakan perang atas nama agama. Kemerdekaan agama dalam lingkup dakwah jika dilihat dengan jitu, merupakan ajang agama untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (dimensi positif untuk menarik pengikut).
Setiap agama dituntut untuk bersikap dewasa dalam menghadapi segala problem yang berkaitan dengan interaksi antar agama. Pluralisme positif memiliki kaidah bahwa selain agama sendiri masih ada agama lain yang harus dihormati, sikap inilah yang harus dipupuk dan dikembangkan. Kebenaran agama pun tidak ditafsirkan secara Rigid (Kaku).[4] Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan dalam setiap agama samawi, walaupun masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkusnya yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalahpahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke permukaan.
Rasulullah SAW juga mengembangkan dan memberlakukan pluralisme positif. Ketika beliau berada di Madinah, dengan masyarakatnya yang beraneka ragam agama dan suku, ia mencanangkan Piagam Madinah (Mitsaqul Madinah). Dengan perjanjian yang merupakan manifesto politik penting ini, maka Rasul telah berhasil menyatukan penduduk Madinah yang berbeda agama dan turunan darah untuk menghadapi musuh.
Sebuah paradigma bisa dianggap menawarkan semangat pembebasan jika ia mampu meratakan jalan dan membuka kemungkinan bagi transformasi sosial dalam lingkungan kehidupan di sekitar kita. Paling tidak perubahan pada tingkat kesadaran kita, mesti lebih dahulu diwujudkan.
Agama, pendeknya, boleh menawarkan jalan kebenaran, tapi tidak boleh merasa paling benar. Agama boleh menawarkan kemenangan tapi tidak boleh cenderung ingin menang sendiri. Allah yang memiliki agama itu, boleh bersikap mutlak, tapi bukanlah kita sendiri makhluk dhaif dan tidak mutlak. Nilai toleransi beragama, ditegaskan dalam satu kaidah atau prinsip tidak ada paksaan dalam agama “tiadalah ada paksaan dalam beragama, nyatalah sudah suatu petunjuk dan kebathilan”.[5]
Maka setelah menegaskan kemerdekaan memeluk agama, Islam berkata bahwa adalah kewajiban tiap-tiap orang beriman supaya mempertahankan  kemerdekaan menyembah Tuhan. Toleransi yang diajarkan dalam Islam adalah toleransi yang mewajibkan tiap-tiap pemeluk agama untuk berjuang dan menjunjung kemerdekaan beragama, bukan bagi agama Islam saja akan tetapi juga bagi agama-agama ahli kitab. Yakni melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan dalam Gereja, Biara, Sinagong dan Masjid dimana disebut nama Allah SWT.
Dakwah diakui sebagai ajakan universal, artinya ajakan dakwah tidak dibatasi hanya kepada kelompok tertentu dan tidak yang lainnya. Terkait dengan aneka ragam keyakinan manusia di muka bumi, dakwah juga memiliki kepentingan untuk menarik orang kejalan kepentingan untuk mrnarik orang kejalan Tuhan. Untuk itu, tentu saja dakwah dituntut untuk menyiapkan sterategi yang berbeda ketika dihadapkan dengan para kelompok mad’u yang beragama Islam dan mad’u yang tidak beragama Islam. Tiga kategori mad’u yang penulis telah paparkan, sebetulnya dimaksud untuk memilih-milih tipe mad’u yang masuk dalam kelompok mad’u muslim. Dalam ruang diskusi ini, secara singkat penulis akan memaparkan mengenai kelompok mad’u yang kedua, yaitu kelompok nonmuslim.
Dalam al-qur’an, nonmuslim dalam artian mereka yang tidak mengimani Muhammad sebagai Rasul, juga digolongkan dalam banyak kelompok, misalnya ahl al-kitab, musyirikin dan kafirun. Menurut Abdul Moqsith Gazali dalam kajiannya tentang al-qur’an, kelompok musyirikun, sejauh pengguna istilah al-qur’an, disebut untuk mewakili kaum pagan Quraish yang tidak mengimani Muhammad sebagai Rasul dan tidak memiliki pegangan kitab suci pun.[6] Adapun kelompok kafirun, disebut untuk menunjuk kepada mereka yang gemar menutup-nutupi kebenaran dan memutarbalikkan fakta, baik dari golongan musyirikun maupun ahl-Kitab.[7] Khusus terkait dengan golonga tersebut terakhir, dalam tinjuan ulama ditemukan polemik yang tidak mudah untuk dikompromikan. Dalam bahasan ini, penulis menilai pendapat yang menyatakan bahwa ahl-kitab sebagai semua kelompok agama-agama di dunia yang memiliki pedoman kitab suci dan tidak terbatas pada penganut Nasrani dan Yahudi adalah yang dapat dipertanggung jawabkan.[8]
Sejauh pandangan al-qur’an tentang kelompok ahl-kitab, begitu Moqsith menjelaskan, adalah lebih positif ketimbang pandangan al-qur’an tentang musyirikun. Demikian, karena itu dinilai sebagai kelompok yang beriman kepada para rasul dan memiliki pandangan hidup Islam, (dalam artian pasrah kepada Tuhan semesta alam) seperti terejawantahkan dalam ajaran kitab suci mereka, walaupun mereka tidak memiliki keyakinan Islam par excelence.
Penilaian tersebut, secara objektif, juga disertai oleh kritik dan keamaan al-qur’an terhadap sikap-sikap tertentu yang dinlai telah menyimpang dari pandangan hidup yang benar. Begitupun al-quran melalui ayat-ayatnya masih menaruh simpati terhadap kelompok ahl al-Kitab dikarenakan banyaknya sisi kesamaan mereka denga orang-orang beriman pengikut nabi Muhammad. Melalui pandangan yang positif dan optimis itu, al-qur’an sejatinya menarh kepercayaan besar pada kelompok ahl al-kitab dan menghidupkan gelobal yang lebih bermakna dan bernilai. Adapun pandangan-pandangan negatifyang keras terhadap ahl kitab yang selama ini terdengar, sebetulnya lahir belakangan bersama dengan sejarah dinamika perkembangan agama-agama yang menurut orientalis Bernard Lewis, lebih disebabkan oleh faktor kesamaan antara agama-agama itu ketimbang perbedaannya.
Terkait dengan dakwah, pemaparan mengenai ahl al-kitab kiranya sebagai representatif dari kelompok mad’u nonmuslim, diharapkan mampu memberikan pandangan bijak dalam menyampaikan pesan dakwah. Sebagai objek dakwah, di satu sisi kelompok mad’u boleh dibilang secara instiristik telah memiliki sikap “Islam”  (berkebutuhan yang Maha Esa) seperti Tersurat dalam ajaran kitab suci  mereka, di sisi yang lain mereka seperti pemaparan agama al-qur’an tidak lepas dasri penyimpangan-penyimpangan pandangan hidup yang benar. Gambaran inilah yang akan menjadi dasar pijakan dalam pilihan metode dakwah terhadap ahl al-kitab.
Terakhir, mata juga tidak menutup mata terhadap kemungkinan sekelompokk manusia yang gemar mengingkari kebenaran atau malah berubah melawan kebenaran itu, sukar diajak berdamai atau bekerja sama dan melulu mengingkari kesepakatan. Mereka senang tiasa mengingkari kebenaran orang untuk berdakwah dan berusaha menghalang-halangi orang untuk menerima kebenaran.
Kelompok mad’u  ini yang disebut kelompok kafir (Harbi) yang dapat eksis dalam setiap kelompok/pengnut agama. Terhadap mereka itu, da’I tidak dianjurkan untuk menunjukkan sikap persahabatan dalam menyampaikan kebenaran. Lebih dari itu, adalah sikap tegas (al-ghilz) dan tegas (tasydid), bukan lagi tablig dan pertemanan (al-rifq).


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Masyarakat sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah merupakan salah satu unsur yang penting dalam sistem dakwah yang tidak kalah peranannya dibandingkan dengan unsur unsur dakwah yang lain, oleh sebab itu masalah masyarakat ini seharusnya di pelajari dengan sebaik-baiknya sebelum melangkah ke aktivitas dakwah yang sebenarnya agar dakwah yang kita sampaikan labi terarah dan mengenah ketujuan dakwah.
Dakwah dapat diartikan cara atau strategi penyampaian nilai nilai Islam baik secara lisan maupun perbuatan yang dilakukan secara individual maupun kelompok agar timbul kesadaran untuk menjelaskan nilai-nilai Islam tanpa adanya unsur paksaan demi kemaslahatan dunia dan akhirat. Dengan demikian, hakekat dakwah ialah mengajak manusia ke jalan Allah (din al-Islam) untuk memperoleh keselamatan dunia-akhirat.
Pluralisme dalam konteks keberagaman adalah mengakui adanya keanekaragaman agama di tengah-tengah kita, sebab pluralisme merupakan fakta atau realitas yang tidak dapat dipungkiri. Pluralisme adalah bukan hanya mengakui keanekaragaman agama semata, tetapi lebih jauh lagi adalah pengakuan secara akomodatif adanya  hukum kemajemukan sebagai suatu aturan Tuhan, dan terciptanya interaksi sosial antara masyarakat agama secara positif, harmonis, dan berkesinambungan.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Moqsith Ghazali, 2009. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Jakarta:Kata Kita.
Bachtiar Wardi, 1997. Metode Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos.
Muhammad Abu Fath Al-Bayanun, 2008. Nasihat untuk para Da’I, cet 1, Surakarta: indiva pustaka.
Syarif Hidayatullah, 992. Ensiklopedi Islam Jakarta: Djambatan
Saputra Wahidin, 2011. Pengantar Ilmu Dakwah,jilid 1. .Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Saputra Wahidin, 2010. Retorika Monologika: Kiat Dan Tips Praktis Menjadi Muballig, Bogor: Titian Nusa Press.
Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir, 1997), Juz 22



[1] Wahidin Saputra, Retorika Monologika: Kiat Dan Tips Praktis Menjadi Muballig,(Bogor: Titian Nusa Press, 2010), hlm.5-6
[2] Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Muashir, 1997) Juz 22, hal 266
[3] Drs.Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., “Psikologi Komunikasi” (PT REMAJA ROSDAKARYA. Bamdung.2008), Hal, 17-18.
[4] Ibrahim Ibn ‘Umar Abu Bakar al-Baqa’iy, Nazm al-Durar li Tanasub al-Ayat wa al-Suar, (Mauqi’ al-Tafsir), Juz 7, hal 479
[5] Abu al-Wahid Ibn Muhammad Ibn Rusyd al Qurtuby, Fasl al-Maqal Fi Ma Bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittisal, (Kairo: dar al-Ma’arif), Cet ketiga, hal 31
[6] Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Jakarta:Kata Kita, 2009), hal 318
[7] Ibid, hal 302
[8] Ibid, hal 275-277



Tidak ada komentar:

Posting Komentar