.arrow { font-size: 18px; font-family: serif; font-weight: 900; } .readmore-link { margin-top: 20px; border-bottom: 1px solid gainsboro; margin-left: 250px; }
SELAMAT DATANG DI BLOG HOLONG MARINA COMPUTER/ INANG GROUP CORPORATION

RAJA MAKALAH

RAJA MAKALAH

Jumat, 09 Desember 2016

MA’RIFAH



MA’RIFAH


D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 6 (ENAM0
1.      MENTARI NURUL AZIZAH
2.      AMIRA ZATIL RAHMA
3.      AYU MARHAMAH

DOSEN PEMBIMBING :
Drs. H. AGUS SALIM LUBIS, M.Ag
NIP. 19630821 199303 1 003



JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2016/2017



KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang menyayangi tanpa pernah meminta imbalan dari mahluk-Nya, yang atas berkat rahmat, inayah serta hidayah-Nya lah kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta, umatnya yang membela risalahnya sampai akhir jaman.
Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar, yang merupakan salah satu tugas mata kuliah, dalam memenuhi tugas tersebut maka kami menyusun makalah yang berjudul “Ma’Rifah” kami telah mendapatkan bantuan dari beberapa sumber yang telah di lampirkan  di halaman pada Daftar Pustaka.
Kami berharap makalah ini dapat menambah wawasan kepada pihak yang membacanya. Kami sadar sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Apabila terdapat kesalahan yang kecil ataupun yang fatal kami mohon maaf  yang sebesar-besarnya kepada pihak yang membaca makalah ini. Dan kami juga menerima kritik dan saran terhadap makalah yang kami buat ini, mudah-mudahan dengan adanya kritik dan saran kami dapat membuat makalah yang lebih bagus lagi di hari kemudian.

                                                          Padangsidimpuan,    Desemberr 2016




                                                                      Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................   i
DAFTAR ISI...............................................................................................   ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................   1
A.    Latar Belakang ................................................................................   1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................   3
A.    Pengertian Ma’rifah.........................................................................   3
B.     Dalil atau Landasan Ma’rifah..........................................................   5
C.     Manfaat Ma’rifah.............................................................................   9
BAB III PENUTUP....................................................................................   12
A.    Kesimpulan......................................................................................   12
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................   13
  


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mengenal Allah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap insan. Karena dengan mengenal Allah, seseorang akan lebih dapat mengenali dirinya sendiri. Dengan mengenal Allah seseorang juga akan dapat memahami menegenai hakekat keberadaannya di dunia ini; untuk apa ia diciptakan, kemana arah dan tujuan hidupnya, serta tanggung jawab yang dipikulnya sebagai seorang insan di muka bumi.
Dengan lebih mengenal Allah, seseoran juga akan memiliki keyakinan bahwa ternyata hanya Allah lah yang Maha Pencipta, Maha Penguasa, Maha Pemelihara, Maha Pengatur dan lain sebagainya. Sehingga seseorang yang mengenal Allah, seakan-akan ia sedang berjalan pada sebuah jalan yang terang, jelas dan lurus.
Sebaliknya, tanpa pengenalan terhadap Allah, manusia akan dilanda kegelisahan dalam setiap langkah yang dilaluinya. Ia tidak dapat memahami hakekat kehidupannya, dari mana asalnya, kemana arah tujuannya dan lain sebagainya. Seakan akan ia sedang berjalan di sebuah jalan yang gelap, tidak tentu dan berkelok. Dalam Al-Qur’an Allah SWT menggambarkan (QS. 6 :122) :
`tBurr& tb%x. $\GøŠtB çm»oY÷uŠômr'sù $oYù=yèy_ur ¼çms9 #YqçR ÓÅ´ôJtƒ ¾ÏmÎ/ Îû Ĩ$¨Y9$# `yJx. ¼ã&é#sW¨B Îû ÏM»yJè=à9$# }§øŠs9 8lÍ$sƒ¿2 $pk÷]ÏiB 4 šÏ9ºxx. z`Îiƒã tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 $tB (#qçR%x. šcqè=yJ÷ètƒ ÇÊËËÈ  
Artinya: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”
Konsep inilah yang mengisyaratkan pentingnya kita sebagi mahluk mengenal diri kita, bagai, aman kedudukan kita di dunia mau dibawa kemana arah tujuan kita dan akhirnya sampailah kita pada kesdaran diri ingin mengenal pencipta diri kita. Lewat tulisan makalah yang penyusun beri judul menuju jalan ma’rifatullah diharapkan dapat akan timbulnya kesadarn kita terhadap eksistensi yang hakiki hidup di dunia ini.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ma’rifah
Dari segi bahasa, Ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan dan ma’rifah yang artinya mengetahui atau pengalaman.[1] Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
a.       Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama’ Tasawuf yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ جَزْمُ قَلْبِ بِوُجُوْدِالْوَاجِبِ الْمَوْجُوْدِ مُتّصِفاً بِساَئِرِالْكَلِماَتِ
Artinya:
Ma’rifah adalah  ketepatan  hati (dalam memercayai hadirnya)wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaan.”
b.      Asy-Syekh Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعِ الْحَقِّ، وَهُوَالْقَلْبُ بِمُوَاصَلَةِ الْاَنْوَارِ
Artinya:
Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi).... dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...”
c.       Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:

اْلْمَعْرِفَةُ يُوْجِبُ السّكِينَةَ فيِ الْقَلْبِ كَماَ اَنَّ الْعِلْمَ يُوْجِبُ السّكُوْنَ، فَمَنِ ازْدَادَتْ مَعْرِفَتُهُ اِزْدَادَتْ سَكِيْنَتُهُ
Artinya:
“Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).[2]
Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifah, antara lain:
a.          Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan prilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b.          Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, kerena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c.          Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehiduoan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa Ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
a.       Imam Rawin mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan ia berada di muka cermin, bila ia memandanginya, pasti ia melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhannya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam Tuhannya. Maka tidak lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT., saja.
b.      Al-Junaid Al-Baghdadiy mengatakan, Sufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifah, bagaikan sifat air gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Sufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhannya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendaknya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Sufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus, meskipun hanya sekejap mata saja.
c.       Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifah itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekaguman dan keheranan ketika Sufi bertatapan dengan Tuhannya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Sufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari syariat, Tarikat, Hakikat, dan Ma’rifah. Tidak mungkin dapat ditempuh secra terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.

B.     Dalil atau Landasan Ma’rifah
Ada segolongan orang Sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma’rifah. Mereka mengemukakan paham-pahamnya antara lain:
1.      Kalau mata yang ada di dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kepalanya tertutup, dan waktu inilah yang dilihat hanya Allah.
2.      Ma’rifah adalah cermin. Apabila seorang yang arif melihat ke arah cermin maka apa yang dilihatnya hanya Allah.
3.      Orang arif baik di waktu tidur dan bangun yang dilihat hanyalah Allah SWT.
4.      Seandainya ma’rifah itu materi, maka semua orang yang melihat akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.[3]
Menurut “Zunnun Al-Misrilah” (Bapak paham Ma’rifah) bahwa pengetahuan tentang Tuhan ada tiga macam:[4]
1.              Pengetahuan Awam
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat.
2.              Pengetahuan Ulama
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
3.              Pengetahuan Sufi
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.
Bahwa pengetahuan Awam dan Ulama di atas belum dapat memberikan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Sehinggga kedua pengetahuan tersebut baru disebut “Ilmu” belum dapat dikatakan sebagai “Ma’rifah”. Akan tetapi pengetahuan yang disebut ma’rifah adalh pengetahuan Sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan (ma’rifah). Sehingga ma’rifah hanya dapat diperoleh pada kaum Sufi. Mereka sanggup melihat Tuhan dengan cara melalui hati sanubarinya. Disamping itu juga mereka mereka didalam hatinya penuh dengan cahaya. Untuk  memperoleh “Ma’rifah” tentang Tuhan, Zunun Al-Misrilah mengatakan:
عَرَفْتُ رَبّى وَلَوْلاَرَبّى لَماَ عَرَفْتُ رَبّىِ
Artinya:
Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekitarnya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.”
Dijelaskan pula, bahwa tanda orang makrifat itu ada tiga:
1.       Cahaya makrifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya.
2.       Tidak meyakini ilmu bathiniah yang dapat merusak lahiriah hukum.
3.       Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya dan tidak membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal-hal yang diharamkan oleh Allah.[5]
Untuk menuju tujuan tertentu, tentulah diperlukan cara atau metode yang telah tertentu pula. Metode yang baik dan benar akan dapat mengantarkan kita pada hasil yang baik dan benar pula. Demikian juga sebaliknya, cara atau metode yang salah, akan membawa kita pada hasil yang salah pula. Dan secara garis besar, terdapat dua cara untuk mengenal Allah SWT. Pertama, melalui ayat-ayat Allah yang bersifat qauliyah. Kedua, melalui ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyah.
Ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat Allah SWT yang difirmankan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek yang dapat menunjukkan kita untuk lebih mengenal dan meyakini Allah SWT.  Allah SWT berfirman dalam (QS. 88: 17 – 20),
Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ n<Î) È@Î/M}$# y#øŸ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ   n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#øŸ2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ   n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ   n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ  
Artinya : 17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, 18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? 19. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? 20. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Ayat-ayat kauniyah adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat pada ciptaan-Nya, baik yang berada di dalam diri manusia, di alam, di angkasa, di dalam lautan, di jagad raya dan lain sebagainya. Karena pada hekekatnya, ketika manusia merenungkan segala ciptaan Allah yang Maha Sempurna ini, akan membawa pada pengenalan dan pengesaan (baca; pentauhidan) terhadap Allah SWT. Allah berfirman dalam QS. 67 : 3 – 4:
Ï%©!$# t,n=y{ yìö7y ;Nºuq»yJy $]%$t7ÏÛ ( $¨B 3ts? Îû È,ù=yz Ç`»uH÷q§9$# `ÏB ;Nâq»xÿs? ( ÆìÅ_ö$$sù uŽ|Çt7ø9$# ö@yd 3ts? `ÏB 9qäÜèù ÇÌÈ   §NèO ÆìÅ_ö$# uŽ|Çt7ø9$# Èû÷üs?§x. ó=Î=s)Ztƒ y7øs9Î) çŽ|Çt7ø9$# $Y¥Å%s{ uqèdur ׎Å¡ym ÇÍÈ  
Artinya : 3. Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang? 4. Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah.
Bahkan dalam ayat lain, Allah seolah memberikan tantangan kepada orang yang tidak mengakui ciptaan-Nya, untuk menunjukkan ciptaan-ciptaan selain-Nya. Allah mengatakan (QS. 31 : 11)
#x»yd ß,ù=yz «!$# ÎTrâr'sù #sŒ$tB t,n=y{ tûïÏ%©!$# `ÏB ¾ÏmÏRrߊ 4 È@t/ tbqßJÎ=»©à9$# Îû 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇÊÊÈ  
Artinya : 11. Inilah ciptaan Allah, Maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah. sebenarnya orang- orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata.
Pada intinya adalah bahwa sesungguhnya segala apa yang ada di bumi, di langit, di jagad raya, juga di dalam diri kita sendiri, merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Tanda-tanda tersebut demikian banyaknya hingga dapat dikatakan tak terbilang. Hanya karena keterbatasan kitalah, kita tidak mampu untuk menghitung ayat-ayat Allah tersebut.
Menurut al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah dan Reynold Alleyne Nicholson, ahli Mistisisme dalam Islam, dalam The Mystics of Islam ada tiga alat dalam tubuh manusia yang digunakan sufi untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu qalbu(the heart) untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh (ruh, the spirit) untuk mencintai Tuhan, dan sirr (inmost ground of the soul) untuk melihat Tuhan. Dari ketiga alat tersebut, sirr merupakan alat yang peka dan lebih halus dari roh apalagi dari qalbu. Sir merupakan alat yang digunakan sufi untuk memperoleh ma’rifat.
Oleh karena sirr bertempat di ruh dan ruh bertempat di qalbu, maka sirr timbul serta dapat menerima iluminasi dari Allah SWT di kala ruh dan qalbu telah suci dan kosong dari segala sesuatu yang dapat mengganggunya. Tibalah saatnya bagi sufi menangkap cahaya Tuhan yang diturunkan-Nya. Qalbu tak ubahnya seperti kaca, jika senatiasa bersih akan mempunyai daya tangkap sirr yang benar untuk untuk memperoleh cahaya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. apabila cahaya cemerlang itu diperoleh maka dikala itulah sufi bertemu dengan Zat Yang Maha Tinggi. Pertemuan dengan Tuhan merupakan puncak kebahagian. Demikianlah cara seorang sufi mencapai tingkat ma’rifat.
Memperoleh ma’rifat merupakan proses yang bersifat terus menerus. Makin banyak seorang sufi memperoleh ma’rifat, makin banyak pula yang diketahuinya tentang rahasia Tuhan dan semakin dekatlah ia kepada-Nya. Walaupun tersingkapnya tabir Tuhan memperlihatkan rahasia-Nya kepada seorang sufi, namun ma’rifat yang penuh tentang Tuhan tidak mungkin dapat dicapai oleh manuisa lantaran keterbatasan manusia, disamping kemutlakan Tuhan. dalam kaitan ini al-Junaid al-Bagdadi, tokoh sufi modern, menyatakan: “cangkir the tak akan bisa menampung semua air yang ada di laut.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun seorang sufi berusaha secara kontinyu untuk memperoleh ma’rifat, tidak mungkin ia memperolehnya dalam arti yang penuh dan sempurna, sehingga semua rahasia hakikat ketuhanan dapat diketahuinya.

C.    Manfaat Ma’rifah
Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Allah. Ketika melihat fenomena alam, idealnya kita bisa ingat kepada Allah. Puncak ilmu adalah mengenal Allah (ma'rifatullah). Kita dikatakan sukses dalam belajar bila dengan belajar itu kita semakin mengenal Allah. Jadi percuma saja sekolah tinggi, luas pengetahuan, gelar prestisius, bila semua itu tidak menjadikan kita makin mengenal Allah.[6]
Mengenal Allah adalah aset terbesar. Mengenal Allah akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan sebagainya.
Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah.
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
1)      Hidup selalu berada di jalan yang benar (on the right track).
2)      memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya keimanan.
3)      Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.
4)      seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.
5)      seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat.
6)      selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut.
7)      seorang ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat.
Kemampuan Manusia untuk melakukan Ma’rifat Allah menciptakan manusia dengan sempurna yaitu diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan pemberian Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5). Ruh sebagai power untuk menghidupkan seluruh anggota badan, Akal sebagai alat untuk menerima ilmu pengetahuan atau untuk mengetahui hakikat sesuatu secara logis tanpa mempertimbangkan hal-hal yang irasional, anggota tubuh seperti panca indra yang hanya dapat merealisasikan secara indrawi tanpa mempertimbangkan pernghalangnya. Dari semua anggota tubuh manusia hanya Hati yang dapat menerima sesuatu yang mutlak dari Allah yang maha kuasa karena hati adalah sebagai tuan dari anggota tubuh, semua aktivitas anggota tubuh digerakkan oleh hati dan hati adalah Allah yang menggerakkan.[7]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kita yang telah mengenal dan mengetahui keberadaan Allah sudah sepatutnya apabila kita senantiasa mengabdikan diri secara bulat dan utuh semata-mata demi mengharapkan Keridoannya.
Salah satu tanda bagi orang yang berma’rifat kepada allah adalah, bahwa ia senantiasa bersandar dan berserah diri kepada Allah semata. Apapun yang telah dan akan terjadi pada dirinya selalu diterima dengan baik. Apabila ia diberi kenikmatan ia bersyukur, sedang apabila ia mendapatkan musia ia terima dengan sabar.
Selain itu orang yang berma’rifat kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagi mahluk yang lemah dan tampa daya, manusia tidak bisa berbuat paa-apa kecuali atas pertolongan dan ijin-Nya.
Menurut seorang ahli ma’rifat bernama al Junaid, bahwa seorang belum bisa disebut sebagai ahli ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat :
a.       Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara langsung dengan-Nya.
b.      Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW.
c.       Berserah diri kepada Allah dalm hal mengendalikan hawa nafsu.
d.      Merasa ahwa dirinya adalah kepunyaan Allah dan kelak pasti akan kembali kepadanya.



DAFTAR PUSTAKA
Mustafa, Ahmad. 2008. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011. Studi al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Tebba, Sudirman. 2006. Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual. Jakarta: Pustaka Irvan.
Hilal, Ibrahim. 2002. Tasawuf Antara Agama dan Filsafat. Bandung: Pustaka Hidayah.
Renard, John. 2006. Mencari Tuhan Menyelam ke Dalam Samudra Makrifat. Bandung: Mizan.
Hasan F Abdillah. 2004. Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam. Surabaya: Jawara.



[1] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabay, Studi al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 303
[2] Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 254
[3] Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual, (Jakarata: Pustaka Irvan: 2006), h. 161.
[4] Ahmad Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 260
[5] Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual, (Jakarata: Pustaka Irvan: 2006), h. 162
[6] Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, op. Cit. hal. 34
[7] Abdillah F Hasan, Tokoh-tokoh Masyhur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara, 2004), h. 137-138


Tidak ada komentar:

Posting Komentar