.arrow { font-size: 18px; font-family: serif; font-weight: 900; } .readmore-link { margin-top: 20px; border-bottom: 1px solid gainsboro; margin-left: 250px; }
SELAMAT DATANG DI BLOG HOLONG MARINA COMPUTER/ INANG GROUP CORPORATION

RAJA MAKALAH

RAJA MAKALAH

Kamis, 08 Desember 2016

KEPEMIMPINAN WANITA DALAM AL-QUR’AN



KEPEMIMPINAN WANITA DALAM AL-QUR’AN


D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
                        NAMA                        : ROMA YANTI SIREGAR
                        NIM                            : 1410500009

Dosen Pengampu:
ARSAD NASUTION, MA


JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2015/2016




KATA PENGANTAR

. Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Kepemimpinan Wanita dalam Al-Qur’an”.
Makalah ini berisikan tentang informasi hukum jual beli online menurut pandangan islam atau yang lebih khususnya membahas fenomena penipuan yang terjadi dalam dunia bisnis online. Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang bagaimana jual beli online yang layak dan halal menurut ajaran-ajaran islam.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

                                                          Padangsidimpuan,    Desember  2016




                                                          Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................   i
DAFTAR ISI...............................................................................................   ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................   1
A.    Latar Belakang ................................................................................   1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................   2
A.    Defenisi Pemimpin...........................................................................   2
B.     Ayat Al-Qur’an Tentang Kepemimpinan Wanita............................   3
BAB III PENUTUP....................................................................................   11
A.    Kesimpulan......................................................................................   11
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah mencatat betapa suatu ketika perempuan dikenal sebagai makhluk kelas dua. Dalam masyarakat Hindu, keadaan perempuan tidak lebih baik. Dalam ajaran Manu dinyatakan  bahwa , “Wabah penyakit, kematian, racun, ular dan api kesemuanya lebih baik dari perempuan.” Istri harus mengabdi mengabdi pada suaminya bagaikan mengabdi pada Tuhan. Ia harus berjalan di belakangnya, tidak boleh berbicara  dsn tidak juga maka bersamanya selain dari sisanya. Bahkan, sampai abad ke- 17, seorang istri harus di bakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar atau kalau ingin tetap hidup sang istri mencukur rambutnya dan memperburuk wajahnya bahwa dia terjamin tidak akan lagi diminati lelaki. 
Kendati Eropa telah mengalami revolusi indstri (1750) dan perbudakan telah dikumandangkan penghapusannya, harakah dan martabat perempuan belum juga mendapat tempat yang wajar. Mereka bekerja di pabrik-pabrik tapi gajinya lebih rendah daripada laki-laki. Bahkan, di Inggris sampai dengan tahun 1805, mereka mengakui hak suami untuk menjual istrinya. Perempuan masa lampau juga dinilai tidak wajar mendapat pendidikan. Apakah dasar pembeda dari perlakuan ini? Sementara pakar berpendapat bahwa kenyataan biologis yang membedakan lelaki dan perempuan mengantar pada lahirnya pandangan harkat, martabat serta peran utama kedua jenis makhluk Tuhan ini.
Ada lagi yang berpendapat bahwa pembedaan harakah dan peran lelaki dan perempuan yang berkembang di masyarakat, umat manusia itu lebih banyak diakibatkan oleh budaya serta pandangan agama dan kepercayaan masyarakat. Sementara itu, Agama sering kali dijadikan dalih untuk pandangan negatife tersebut. Contohnya, dalam fenomena kepemimpinan perempuan. Banyak dari tokoh masyarakat yang mendiskreditkan andil perempuan dalam kepemimpinan bertolak dari doktrin agama. Apakah benar seperti itu?  Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba mengulas terkait.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Defenisi Pemimpin
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya di Hari Kiamat kelak.”[1]
Secara bahasa alam beberapa literature disebutkan varian akar kata pemimpin , diantaranya yaitu:
a.       Imam: Asal katanya ‘Amama’ karena ia: Berada di depan (amam), mengasuh (ummah), menyempurnakan (atammah), menenangkan (yanamma). Berkata Imam Al-Jauhary : Imam adalah orang yang memberi petunjuk (yuqtada).
b.      Amir: Yang memberi perintah (seperti dalam ayat : Amarna mutrafiha), juga sesuatu yang mengagumkan (seperti dalam ayat : laqad ji’ta syai’an imra).
c.       Waliyy: Dekat, akrab (Jalasa mimma yali=duduk dengan orang didekatnya); tempat memberikan loyalitas (ALLAHumma man waliya min amri ummati
d.      Qadah atau qiyadah: Penggiring ternak, orang yang memberi petunjuk, pemandu atau penunjuk jalan
e.       Khalifah: Para fuqaha’ mendefinisikannya sbg suatu kepemimpinan umum yg mencakup urusan keduniaan & keagamaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW yang wajib dipatuhi oleh seluruh ummat Islam. Menurut Imam Al-Mawardi sama dengan al-Imamah, karena inilah asal dari kepemimpinan di masa Nabi SAW, yaitu untuk memimpin agama & keduniaan. Menurut Ibnu Khaldun yaitu penanggungjawab umum dimana seluruh urusan kemaslahatan syari’at baik ukhrawiyyah maupun dunyawiyyah kembali kepadanya.
Kata khalifah berasal dari akar kata “kh-l-f” yang dalam al-Qur’an disebut sebanyak 127 kali dalam 12 kata jadian. Maknanya berkisar diantara kata kerja “Menggantikan”, Meniggalkan” atau kata benda “Pengganti” atau “Pewaris”. Secara terminologis, kata ini mengandung setidaknya dua makna ganda. Di satu pihak, khalifah diartikan sebagai kepala Negara dalam pemerintah dan kerajaan Islam masa lalu, yang dalam konteks kerajaan pengertiannya sama dengan sultan. Di lain pihak, khalifah juga  bisa berarti dua macam. Pertama yang diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepada Negara. Kedua, fungsi manusia itu sendiri di muka bumi sebagai ciptaan Allah yang sempurna.
Sehubungan dengan pengertian pertama, Ulama-sarjana asal Pakistan Abu A’la al Maududi mengarang sebuah buku yang berjudul Al-Khilafah wal Mulk. Menurutnya, istilah khilafah berasal dari akar kata yang sama dengan khalifa, yang berarti pemerintahan atau kepemimpinan. Khilafah, sebagai turunan dari kata khalifah adalah teori islam tentang Negara dan pemerintahan.[2]

B.     Ayat Al-Qur’an Tentang Kepemimpinan Wanita
a.       An-Nisā:34
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuzny maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.  Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
b.      Pendapat para Mufassir
Menurut Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Mishbāh menyebutkan bahwa:
Kaum laki-laki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami itu adalah qawwamun pemimpin dan penanggung jawab atas kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka yakni (laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk isteri dan anak-anaknya.[3]
Kata قَوَّامُونَ adalah bentuk jamak dari kata qawwām, yang terambil dari kata qāma. Kata ini berkaitan dengannya. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak yakni qawwāmūn sejalan dengan makna kata al-rijāl yang berarti banyak lelaki. Di dalam kata ini tercakup pengertian kepemimpinan. Namun, makna yang dikehendaki dari kata ini jauh lebih luas, yakni pemeliharaan, pembinaan dan pemenuhan hak-kewajiban. Allah swt. menetapkan lelaki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu:
Pertama, بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ bimā fadhdhala-llāhu ba’dhahum ‘alā ba’dh/karena Allah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, yakni masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimiliki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan.[4]
Bagi Ayatullah Jawadi Amuli, kelebihan ini bukanlah bukti kemuliaan atau kelebihan yang patut dibanggakan. Melainkan tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Maka lelaki diharapkan untuk tidak bersikap tidak adil terhadap apa-apa yang dipimpinnya. [5]
Kedua, وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ  wa bimā anfaqū min amwālihim/karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Kalimat ini menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini.
Disini terdapat dua persoalan penting yang berada dibawah rentetan penggunaan kata qawwam ini.
1.        Kaum lelaki bertanggung jawab untuk menyediakan segala keperluan material dan spiritual wanita dalam bentuk yang memuaskan sesuai dengan kesenangan dan perasaannya sehingga dia tenang dan tenteram.
2.        Kaum lelaki memeberikan perlindungan dan penjagaan terhadap anggota keluarganya dalam batas-batas kekuasaan terhadap keluarganya.[6]
Bagi Quraish Shihab, ayat ini tidaklah mengenai kepemimpinan lelaki dalam segala hal (termasuk sosial dan politik) atas perempuan, melainkan kepemimpinan lelaki atas perempuan dalam rumah tangga. Artinya, menggunakan ayat ini sebagai larangan terhadap perempuan untuk memimpin dalam politik tidaklah tepat.[7] Melihat konteks dan munasabah ayatnya yakni mengenai hubungan rumah tangga, tampaknya hal ini mendukung pendapat Quraish Shihab. Kemudian, dalam bukunya Wawasan al-Qur`an mengatakan bahwa ada ayat lain yang justru memberikan tanda-tanda kebolehan kepemimpinan perempuan, yakni al-Tawbah:71. Melalui teks ayatnya, kata “sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” berarti seorang perempuan dapat menjadi awliyā` bagi lelaki. Kemudian ia menyebutkan bahwa arti kata awliyā` adalah pemimpin, pelindung dan penolong. Meski dalam penerjemahan Depag menggunakan kata penolong, menurut Quraish Shihab menganggap bahwa keluasan makna kata awliyā` tentu saja dapat berimplikasi pada arti kepemimpinan.[8]
Tapi bagi ‘Allamah Thabathaba`i, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ tidaklah dikhususkan untuk suami (atau dalam konteks rumah tangga), melainkan memberi hak untuk kepada para lelaki, secara keseluruhan, untuk memimpin para perempuan dalam segala hal yang mempengaruhi kehidupan keduanya.[9] Alasannya ialah, kepemimpinan adalah suatu posisi dimana pemiliknya harus memiliki intelektual dan logika yang baik, sesuatu yang lekat kepada para lelaki. Pendapat ‘Allamah Thabathaba`i merupakan perwakilan dari pendapat ulama dan ahli fikih lainnya bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, dan ayat ini menjadi dalil mereka.[10] Namun tampaknya, Thabathaba`i tidak memperhatikan bahwa Nabi menafsirkan ayat ini terbatas pada rumah tangga. Ia sendiri hanya menyebutkan dua hadis yang berkenaan dengan ayat ini. Keduanya juga hanya berkaitan dengan rumah tangga. Hadis pertama membicarakan bahwa ada seorang Arab menanyai Imam Muhammad al-Baqīr menceritakan bahwa tentang orang yang berkata kepada istrinya, “Urusanku ada padamu”. Kemudian Imam al-Baqīr menjawab, “Bagaimana bisa, ketika Allah mengatakan: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.Hadis kedua mengatakan bahwa ada seorang sahabat Anshar datang menemui Nabi saw. untuk mengadukan bahwa ia telah memukul istrinya, lalu Nabi saw. mengatakan untuk meng-qishash. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut, dan keputusan Nabi saw. tersebut digugurkan. Hadis kedua ini disebutkan juga dalam riwayat-riwayat lain dalam kitab Sunni.[11]
Nampaknya, kondisi kehidupan dan kebutuhan kehidupan pada masa ‘Allamah Thabathaba`i dan Quraish Shihab yang berbeda menyebabkan pendapat keduanya yang berbeda. Pada masa dan tempat hidup ‘Allamah Thabathaba`i, isu feminisme bukan suatu hal yang sering dibicarakan. Komunisme, kapitalisme, dan liberalisme adalah ‘musuh’ Islam saat itu, sehingga kebanyakan tulisan-tulisan ulama Islam hanya membicarakan argumentasi melawan ideologi tersebut. Murtadha Muttahari, murid ‘Allamah Thabathaba`i pun tidak banyak membicarakan isu feminisme (dalam pengertian ideologis). Beberapa tulisannya mengenai perempuan, tidak banyak membicarakan partisipasi perempuan dalam kegiatan publik. Hanya Imam Khomeini yang banyak membicarakan partisipasi politik perempuan melalui khutbah-khutbahnya yang dibukukan menjadi Sahifah al-Nūr. Selain itu, budaya Iran yang masih kental dengan suasana patriarkisnya mungkin menyebabkan ‘Allamah Thabathaba`i berpendapat seperti itu dalam kitab tafsirnya, Al-Mizān fi Tafsīr al-Qur`ān (sama dengan keadaan ulama tradisional lainnya).
Berbeda dengan keadaan Quraish Shihab ketika menulis tafsirnya, Tafsir al-Mishbāh. Isu feminisme dan kesetaraan gender justru sedang gencar-gencarnya dibicarakan dan didiskusikan. Maka ia pun berusaha untuk menggali pendapat ulama klasik mengenai ayat ini. Ia melihat bahwa kebanyakan ulama tradisionalis menggunakan ayat ini sebagai argumen ketidak bolehan seorang perempuan memimpin, apalagi dalam kegiatan sosial-politik. Namun ia juga membaca bahwa ulama klasik justru mengatakan bahwa ayat ini sedang dan hanya membicarakan berkaitan rumah tangga. Sehingga nampak baginya ketidak kaitan ayat ini dengan tema yang diargumenkan.
Selain itu, argumen lainnya penentang kepemimpinan perempuan ialah hadis dari Abi Bakrah bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tidak akan bahagia sesuatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin mereka seorang perempuan. Akan tetapi Fatimah Mernissi mengkritik hadis ini, lantaran adanya unsur politik dalam hadis tersebut. Abi Bakrah menyebutkan hadis tersebut ketika dalam situasi Perang Jamal, dimana ‘A`isyah, bersama Zubayr dan Thalhah menjadi pemimpin bagi pasukan Jamal (unta)[12]. Abi Bakrah sebagai pihak oposisi nampak menyebutkan hadis tersebut untuk mendapatkan simpati orang-orang untuk menjelek-jelekkan ‘A`isyah. Ulama lain mencoba memahami hadis ini dengan berpendapat, bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin, namun tidak menjadi top leader seperti kepala negara Islam atau khalifah. Sedang hadis dari Abi Bakrah ini melarang kepemimpinan perempuan, al-Qur`an justru menyebutkan kepemimpinan perempuan melalui figur Ratu Bilqis dari Saba’.
Wacana Ratu Balqis dapat dijadikan renungan bagi bangsa Indonesia yang baru saja usai menyelenggarakan pemilihan umum. Keberhasilan Megawati Soekarnoputri meraih suara terbanyak sudah merupakan suatu kenyataan. Persoalan yang muncul kemudian, bisakah Megawati menjadi orang nomor satu di Republik yang dipadati oleh umat Islam?
                Pertanyaan ini mempunyai bobot yang sangat penting karena wacana konseptual mengenai kepemimpinan perempuan belum pernah tuntas di dalam lintasan sejarah dunia Islam. Banyak sekali perempuan kandidat pemimpin tetapi tercekal oleh efektivitas isu agama. Tidak sedikit jumlah laki-laki kandidat pemimpin yang underdog menjadi unggulan karena saingan terberatnya seorang perempuan. Agak ironis memang, ada yang terorbit dan ada yang tersungkur hanya disebabkan oleh faktor jenis kelamin. Tidak sedikit pula pemimpin perempuan (sulthanah) harus berhenti di tengah jalan karena isu agama. Termasuk di antaranya tiga Sultanah yang pernah memerintah secara berkesinambungan di Aceh pada abad ke-14, yaitu Sulthanah Khadijah, Sulthanah Maryam, dan Sulthanah Fatimah akhirnya harus terputus karena fatwa Qadhi Mekah. Alasan fatwa itu, perempuan tidak ditolerir menjadi pemimpin (sultanah) karena dianggap menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Padahal, Al Quran jelas-jelas tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan etnis, ras, dan jenis kelamin (49:13). Seorang kandidat pemimpin dari jenis perempuan, selain harus memiliki persyaratan dan kemampuan formal juga seolah-olah harus "direstui" oleh laki-laki.
Faktor-faktor   tabiat    wanita,   orang-orang   yang    melarang   pecalonan   wanita    juga mengemukakan  alasan bahwa wanita itu juga menghadapi kendala yang sudah merupakan tabiat atau  pembawan  mereka,   seperti   menstruasi    setiap     bulan     beserta     keluh-keluhnya, mengandung    dengan   segala   penderitaannya,    melahirkan   dengan segala resikonya,   menyusui   dengan  segala   penderitaannya   melahirkan dengan segala resiko, menyusui   dengan   segala bebannya,   dan sebagai ibu dengan segala tugasnya. Semua itu menjadikan mereka secara piskis,   fisik, dan   pemikiran   tidak mampu mengemban tugas sebagai pemimpin  ataupun   anggota   Dewan   yang bertugas  mengawasi pemerintah dan membuat Undang-Undang.
Hal   diatas   memang   benar.   Wanita  yang   sibuk  sebagai ibu dan segala dengan segala tugasnya tidak  akan  menceburkan dirinya  mengemban  tugas-tugas penting itu. Dan  jika ikut maka naka-naka dan urusannya tidak ada yang memperhatikan.Yang dimaksud dalam konteks ini ialah wanita  yang memiliki kelebihan yang berupa   kecerdasan, kemampuan, kesempatan, ilmu, serta kecerdasan dan tidak direpotkan oleh urusan diatas.
Para Ulama telah sepakat akan terlarangnya wanita   memegang   kekuasaan  tertinggi atau al-imamah al-Uzhma.   Ketentuan    ini   berlaku bagi wanita bila ia menjadi raja atau kepala Negara   yang   mempunyai   kekuasaan   mutlak   terhadap kaumnya, yang segala kehendaknya      harus    dijalankan,   semua   hukumnya   tidak   boleh   ditolak  dan selain perintahnya tidak  boleh ditolak   dan  selain  perintahnya  tidak boleh dikukuhkan dengan demikian, berarti mereka   benar-benar   menyerahkan    segala urusan kepadanya. Dengan demikian    wanita   bisa   saja   menjadi   menteri,   hakim,   atau   menjadi  muhtasib yang melakukan pengawasan umum.  Pada  masyarakat  modern   dibawah   system Demokrasi, apabila memberi kedudukan umum kepada wanita, seperti pada kementrian,   perkantoran atau   Dewan Perwakilan Rakyat  tidak berarti bahwa mereka menyerahkan segala urusan mereka   kepada wanita,   pada   praktiknya   tanggung  jawab   tersenut  bersifat kolektif, dijalankan secara bersama-sama oleh sejumlah orang dalam lembaga terkait, dan si wanita hanya menanggung sebagian saja bersama yang lain.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kebanyakan argumen yang dimiliki oleh ulama tradisionalis tidak tepat. Sehingga penulis melihat bahwa kelemahan ini justru memberikan bukti bahwa perempuan bisa saja memimpin. Pengutipan ayat al-Nisā:34 sebagai titik tolak argumen ketidak bolehan kepemimpinan perempuan terlihat tidak tepat. Justru kisah Ratu Bilqis dan ayat at-Tawbah:71 menunjukkan kebolehan seorang perempuan untuk memimpin.
Namun, ada satu hal yang menurut penulis perlu disebutkan, yakni adalah perannya sebagai pemimpin tidaklah mengganggu perannya sebagai ibu dan istri. Sehingga beberapa ulama menyebutkan salah satu syarat bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik ialah, tidak mengganggu perannya yang lain yakni ibu dan istri. Tentu saja ini patut diingatkan karena al-Qur`an lebih menekankan pada peran perempuan sebagai ibu dan istri yang baik dibandingkan peran perempuan dalam berpolitik.


DAFTAR PUSTAKA
HR Bukhari, XXII/43 no. 6605; Muslim, IX/352 no. 3408
Said Agil Husain Al Munawar, 2005. Al-Qur’an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat: PT Ciputat Press.
Quraish Shihab. 2000. Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an. Ciputat: Lentera Hati.
Ayatullah Jawadi Amuli. 2011. Keindahan dan Keagungan Perempuan: Perspektif Studi Perempuan dalam Kajian Al-Qur`an, Filsafat dan Irfan. Jakarta: Sadra Press.
Hibbah Rauf ‘Izzat, 1997. Wanita dan Politik, Pandangan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Allamah MH. Thabathaba`i. 1992. Al-Mizān: An Exegesis of the Qur`an, vol. 8. Tehran: WOFIS.
Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A.2010.  Fikih Perempuan Kontemporer. Jakarta: Ghalia Indonesia.



[1] HR Bukhari, XXII/43 no. 6605; Muslim, IX/352 no. 3408
[2] Said Agil Husain Al Munawar, Al-Qur’an membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Ciputat: PT Ciputat Press, 2005), Hal. 194
[3] Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an. (Ciputat: Lentera Hati, 2000). Hal. 402
[4] Ibid. hal. 404.
[5] Ayatullah Jawadi Amuli. Keindahan dan Keagungan Perempuan: Perspektif Studi Perempuan dalam Kajian Al-Qur`an, Filsafat dan Irfan. (Jakarta: Sadra Press. 2011), Hal. 362
[6] Hibbah Rauf ‘Izzat, Wanita dan Politik, Pandangan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997),  h. 159
[7] Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Penerbit Mizan. 1996), Hal. 314.
[8] Quraish Shihab, Op. Cit, hal 315.
[9] ‘Allamah MH. Thabathaba`i. Al-Mizān: An Exegesis of the Qur`an, vol. 8. Tehran: WOFIS. 1992. Hal 210.
[10] Asyraf Borujerdi. Op. cit hal 130.
[11] ‘Allamah MH. Thabathaba`I, op.cit, hal 217.
[12] Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A. Fikih Perempuan Kontemporer. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hal 51.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar