STUDY ISLAM
ZAMAN MODERN JAZIRAH ARAB
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
1.
FITRIH RIZKYANI 1530200001
2.
ZARIMA SIAGIAN 1530200014
3.
HESNITA 1530200009
4.
AYU MARHAMAH 1530200021
DOSEN
PENGAMPU
Dr. ICHWANSYAH
TAMPUBOLON, SS, M.Ag
JURUSAN BIMBINGAN
KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
T.A
2016/2017
KATA PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Dakwah Islam dan Paham- paham Modern.
Makalah
ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir
kata saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.
Padangsidimpuan, Nopember 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGSNTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDHULUAN............................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Dakwah Islam.................................................................................. 2
B. Paham – paham Modern.................................................................. 6
BAB III PENUTUP.................................................................................... 14
A. Kesimpulan...................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 15
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk
memahami konsep modern akan lebih mudah kalau dilacak dari akar katanya.
Secara etimologis term modern berasal dari bahasa Latin “moderna” yang
berarti sekarang, baru, atau saat ini. Atas dasar itu, manusia dikatakan
modern sejauh kekinian menjadi pola kesadarannya.
Sebagai
halnya di Barat, menurut Harun Nasution di dunia Islam juga timbul
pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu.
Dengan jalan demikian, pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat
melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada
kemajuan.
Kaum
orientalis, yang sejak lama mengadakan studi tentang Islam dan umat Islam,
mempelajari perkembangan modern tersebut. Hasil penyelidikan itu pada mulanya
mereka siarkan dalam bentuk artikel di majalah-majalah ilmiah seperti Muslim
World, Studia Islamica … dan sebagainya, kemudian dalam bentuk buku
seperti Islam and modernism in Egypt yang dikarang oleh CC. Adams tahun
1933, Modern Islam in India, yang ditulis oleh W.C. Smith di tahun 1943,
Modern Trends in Islam yang disusun oleh H.A. R Gibb di tahun 1946.
Hasil penyelidikan kaum Orientalis Barat ini segera melimpah ke dunia Islam.
Kaum terpelajar Islam mulailah pula memusatkan perhatian pada
perkembangan modern dalam Islam dan kata moderrnisme pun mulai diterjemahkan ke
dalam bahasa-bahasa yang dipakai dalam Islam seperti al-tajdid
dalam bahasa Arab, dan pembaharuan dalam bahasa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dakwah Islam
Dakwah
menurut etimologi (bahasa) berasal dari kata bahasa Arab : da’a – yad’u – da’watan yang berarti mengajak, menyeru, dan
memanggil.[1] Di
antara makna dakwah secara bahasa adalah:[2]
-
An-Nida
artinya memanggil; da’a filanun Ika
fulanah, artinya si fulan mengundang fulanah
-
Menyeru, ad-du’a ila syai’i, artinya menyeru dan
mendorong pada sesuatu.
Dakwah
juga bisa berarti do’a yakni harapan, permohonan kepada Allah swt. sebagaimana
tercantum dalam firman Allah QS. Al-Baqarah [2] : 186.
#sÎ)ur y7s9r'y Ï$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=Ìs% ( Ü=Å_é& nouqôãy Æí#¤$!$# #sÎ) Èb$tãy ( (#qç6ÉftGó¡uù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 crßä©öt ÇÊÑÏÈ
Artinya: 186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Dalam dunia dakwah, rang yang berdakwah biasa disebut Da’i
dan orang yang menerima dakwah atau orang yang didakwahi disebut dengan Mad’u.[3]
Dalam pengertian istilah dakwah diartikan sebagai
berikut:[4]
1.
Prof. Toha Yaahya Oemar menyatakan bahwa dakwah Islam
sebagai upaya mengajak umat dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar
sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat.
2.
Syaikh Ali Makhfudz, dalam kitabnya Hidayatul
Mursyidin memberikan definisi dakwah sebagai berikut: dakwah Islam yaitu;
mendorong manusia agar berbuat kebaikan dan mengikuti petunjuk (hidayah),
menyeru mereka berbuat kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, agar mereka
mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
3.
Hamzah Ya’qub mengatakan bahwa dakwah adalah mengajak
umat manusia dengan hikmah (kebijaksanaan) untuk mengikuti petunjuk Allah dan
Rasul-Nya.
4.
Menurut Prof Dr. Hamka dakwah adalah seruan
panggilan untuk menganut suatu pendirian yang ada dasarnya berkonotasi
positif dengan substansi terletak pada aktivitas yang memerintahkan amar ma’ruf
nahi mungkar.
5.
Syaikh Muhammad Abduh mengatakan bahwa dakwah adalah
menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran adalah fardlu yang
diwajibkan kepada setiap muslim.
Dari beberapa definisi di atas secara singkat dapat
disimpulkan bahwa dakwah merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh informan
(da’i) untuk menyampaikan informasi kepada pendengar (mad’u)
mengenai kebaikan dan mencegah keburukan. Aktivitas tersebut dapat dilakukan
dengan menyeru, mengajak atau kegiatan persuasif lainnya.
Dakwah menjadikan perilaku Muslim dalam menjalankan Islam
sebagai agama rahmatan lil’alamin yang harus didakwahkan kepada seluruh
manusia, yang dalam prosesnya melibatkan unsur: da’i (subyek), maaddah
(materi), thoriqoh (metode), wasilah (media), dan mad’u (objek)
dalam mencapai maqashid (tujuan) dakwah yang melekat dengan tujuan Islam
yaitu mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[5]
Islam sebagai agama merupakan penerus dari
risalah-risalah yang dibawa nabi terdahulu, terutama agama-agama samawi seperti
Yahudi dan Nasrani. Islam diturunkan karena terjadinya distorsi ajaran agama,
baik karena hilangnya sumber ajaran agama sebelumnya ataupun pengubahan yang
dilakukan pengikutnya. Dalam agama Nasrani misalnya, hingga saat ini belum
ditemukan kitab suci yang asli.
Karena dakwah merupakan aktivitas amar ma’ruf nahi
mungkar, dakwah tidak selalu berkisar pada permasalahan agama seperti pengajian
atau kegiatan yang dianggap sebagai kegiatan keagamaan lainnya. Paling tidak
ada tiga pola yang dapat dipahami mengenai dakwah.
1.
Dakwah Kultural
Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah yang mendekatkan pendekatan Islam
Kultural, yaitu: salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan
doktrinasi yang formal antara Islam dan negara. Dakwah kultural merupakan
dakwah yang mendekati objek dakwah (mad’u) dengan memperhatikan aspek
sosial budaya yang berlaku pada masyarakat. Seperti yang telah dilaksanakan
para muballigh dahulu (yang dikenal sebagai walisongo) di mana mereka
mengajarkan Islam menggunakan adat istiadat dan tradisi lokal. Pendekatan
dakwah melalui kultural ini yang menyebabkan banyak masyarakat yang tertarik
masuk Islam. Hingga kini dakwah kultural ini masih dilestarikan oleh sebagian
umat Islam di Indonesia.
2.
Dakwah Politik
Dakwah politik adalah gerakan dakwah yang dilakukan
dengan menggunakan kekuasaan (pemerintah); aktivis dakwah bergerak mendakwahkan
ajaran Islam supaya Islam dapat dijadikan ideologi negara, atau paling tidak
setiap kebijakan pemerintah atau negara selalu diwarnai dengan nilai-nilai
ajaran Islam sehingga ajaran Islam melandasi kehidupan politik bangsa. Negara
dipandang pula sebagai alat dakwah yang paling strategis.
Dakwah politik disebut pula sebagai dakwah struktural.
Kekuatan dakwah struktural ini pada umumnya terletak pada doktrinasi yang
dipropagandakannya. Beberapa kelompok Islam gigih memperjuangkan dakwah jenis
ini menurut pemahamannya.
3.
Dakwah Ekonomi
Dakwah ekonomi adalah aktivitas dakwah umat Islam yang
berusaha mengimplementasikan ajaran Islam yang berhubungan dengan proses-proses
ekonomi guna peningkatan kesejahteraan umat Islam. Dakwah ekonomi berusaha
untuk mengajak umat Islam meningkatkan ekonomi dan kesejahteraannya. Ajaran
Islam dalam kategori ini antara lain; jual-beli, pesanan, zakat, infak dan lain
sebagainya.
Makna “dakwah” juga berdekatan dengan konsep ta’lim,
tadzkir, dan tashwir. Ta’lim berarti mengajar,
tujuannya menambah pengetahuan orang yang diajar, kegiatannya bersifat
promotif yaitu meningkatkan pengetahuan, sedang objeknya adalah orang
yang masih kurang pengetahuannya. Tadzkir berarti mengingatkan dengan
tujuan memperbaiki dan mengingatkan pada orang yang lupa terhadap tugasnya sebagai
serang muslim. Karena itu kegiatan ini bersifat reparatif atau
memperbaiki sikap, dan perilaku yang rusak akibat pengaruh lingkungan keluarga
dan sosial budaya yang kurang baik, objeknya jelas mereka yang sedang lupa akan
tugas dan perannya sebagai muslim.
Tashwir berarti melukiskan
sesuatu pada alam pikiran seorang, tujuannya membangkitkan pemahaman akan
sesuatu melalui penggemaran atau penjelasan. Kegiatan ini bersifat propagatif,
yaitu menanamkan ajaran agama kepada manusia, sehingga mereka terpengaruh untuk
mengikutinya.[6]
Dakwah yang diwajibkan tersebut berorientasi pada
beberapa tujuan:[7]
1.
Membangun masyarakat Islam, sebagaimana para rasul Allah
yang memulai dakwahnya di kalangan masyarakat jahiliah. Mereka mengajak manusia
untuk memeluk agama Allah Swt, menyampaikan wahyu-Nyan kepada kaumnya, dan
memperingatkan mereka dari syirik.
2.
Dakwah dengan melakukan perbaikan pada masyarakat Islam
yang terkena musibah. Seperti penyimpangan dan berbagai kemungkaran, serta
pengabaian masyarakat tersebut terhadap segenap kewajiban.
3.
Memelihara kelangsungan dakwah di kalangan masyarakat
yang telah berpegang pada kebenaran, melalui pengajaran secara terus-menerus,
pengingatan, penyucian jiwa, dan pendidikan.
B.
Paham – paham Modern
Paham relativisme merupakan akar berbagai paham
aliran-aliran modern, seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme agama,
secara gamblang menggerogoti prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Para penganut
paham sekularisme, liberalisme, pluralisme agama dengan sendirinya akan
menggunakan -atau setidaknya- membenarkan pendekatan relativisme kebenaran
dalam memahami al-Qur’an dan Hadits.
Paham relativisme kebenaran berarti bahwa setiap
orang dengan perbedaan tingkat intelektual dan kapabilitasnya, berhak
memberikan pemaknaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadits dan
masing-masing tidak berhak mengklaim dirinya lebih benar dari lainnya. Sebab
menurut mereka, kebenaran mutlak hanyalah milik Allah SWT, sedangkan al-Qur’an
adalah Firman-Nya yang kebenarannya dijamin secara mutlak. Namun kebenaran
mutlak tersebut hanyalah diketahui oleh Allah; dan manusia tidak akan pernah
dapat mencapainya. Sebab manusia adalah makhluk yang nisbi dan relatif, maka
kebenaran yang dicapainya juga bersifat relatif, samar dan senantiasa berbeda
antara satu individu dan individu lainnya. Bahkan terkadang kebenaran tersebut
kerap berubah seiring dengan kondisi, situasi dan kecenderungan manusia yang
berkaitan. Para penganut paham ini biasanya menguatkan pandangannya dengan
dalih bahwa manusia tidak pernah tahu maksud Tuhan yang sebenarnya. Oleh karena
itu manusia tidak boleh mengklaim dirinya paling benar atau menyalahkan pihak
yang berbeda dengannya.
Dalam pandangan MUI, pluralisme agama adalah suatu
paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan
hidup berdampingan di surga.[8]
Liberalisme agama adalah memahami nas-nasagama
(Alquran dan Sunah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya
menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari
agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan,
sedangkan hubungan sesama manusia diatur berdasarkan kesepakatan sosial.[9]
Sekularisme dan Liberalisme Agama yang telah
membelokkan ajaran Islam sedemikian rupa menimbulkan keraguan umat terhadap
akidah dan ibadah dalam Islam; seperti pemikiran tentang relativisme agama,
penafian dan pengingkaran adanya hukum Allah, serta menggantikannya dengan
hukum-hukum hasil pemikiran akal semata. Penafsiran agama secara bebas dan
tanpa kaidah penuntun ini telah melahirkan pula paham Ibahiyah/Permisifisme
(menghalalkan segala tindakan) yang berkaitan dengan etika dan agama serta
dampak lainnya.
Sejalan dengan berkembangnya sekularisme dan
liberalisme agama juga berkembang paham pluralisme agama. Pluralisme agama
tidak lagi dimaknai adanya kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama.
Relativisme agama semacam ini jelas dapat mendangkalkan akidah. Paham
pluralisme dengan pengertian setuju untuk berbeda (agree in disagreement) serta adanya klaim kebenaran masing-masing
agama telah dibelokkan kepada paham sinkretisme (penyampuradukan ajaran agama),
bahwa semua agama sama benar dan baik, dan hidup beragama dinisbatkan seperti
memakai baju dan boleh berganti-ganti. Oleh karena itu, MUI memandang perlu
bersikap tegas terhadap berkembangnya pemikiran sekuler dan liberal di
Indonesia.[10]
1.
Paham Pluralisme
Kata
“pluralisme agama” berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama” dalam
bahasa Arab diterjemahkan dengan “al-ta’ddudiyah”
dan dalam bahsa Inggris “religius
pluralism”. Dalam bahasa Belanda, merupakan gabungan dari kata plural dan isme. Kata “plural”
diartikan dengan menunjukkan lebih dari satu. Sedangkan isme diartikan dengan sesuatu yang berhubungan dengan paham atau
aliran. Dalam bahasa Inggris disebut pluralism yang berasal dari kata “plural” yang berarti lebih dari satu
atau banyak. Dalam Kamus The Contemporary
Engglish-Indonesia Dictionary, kata “plural” diartikan dengan lebih dari
satu/jamak dan berkenaan dengan keaneka ragaman. Jadi pluralisme, adalah paham
atau sikap terhadap keadaan majemuk, baik dalam konteks sosial, budaya,
politik, maupun agama. Sedangkan kata “agama” dalam agama Islam diistilahkan
dengan “din” secara bahasa berarti
tunduk, patuh, taat, jalan.[11]
Pluralisme
agama adalah kondisi hidup bersama antarpenganut agama yang berbeda-beda dalam
satu komonitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik ajaran
masing-masing agama.
Dengan
demikian yang dimaksud “pluralisme agama” adalah terdapat lebih dari satu agama
(samawi dan ardhi) yang mempunyai eksistensi hidup berdampingan, saling bekerja
sama dan saling berinteraksi antara penganut satu agama dengn penganut agama
lainnya, atau dalam pengertian yang lain, setiap penganut agama dituntut bukan
saja mengakui keberadan dan menghormati hak agama lain, tetapi juga terlibat
dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam
keragaman. Dalam prepektif sosiologi agama, secara terminology, pluralisme
agama dipahami sebagai suatu sikap mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan
sebagai yang bernilai positif dan merupakan ketentuan dan rahmat Tuhan kepada
manusia.
Pengakuan
terhadap kemajemukan agama tersebut adalah menerima dan meyakini bahwa agama
yang kita peluk adalah jalan keselamatan yang paling benar, tetapi bagi
penganut agama lain sesuai dengan keyakinan mereka agama mereka pulalah yang
paling benar. Dari kesadaran inlah akan lahir sikap toleran, inklusif, saling
menghormati dan menghargai, serta memberi kesempatan kepada orang lain untuk
beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hal ini sesuai dengan sila
pertama Pncasila “Ketuhanan yang Maha Esa”, dan UUD’45 pasal 29 ayat (2) yang
menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai menurut agama dan kepercayaan
masing-masing. Pasal 29 ayat (2) UUD’ 45, di samping jaminan kebebasan
beragama, keputusan yang fundamental ini juga merupakaan jaminan tidak ada
diskriminasi agama di Indonesia. Mukti Ali, secara filosofis mengistilahkan
dengan agree in disagreement (setuju dalam perbedaan).
Pemikiran
pluralisme Djohan Efendi berangkat dari
suatu pemahaman bahwa dakwah (baik Islam maupun Kristen) adalah sesuatu yang
penting, tapi ia kurang setuju jika keberagamaan seperti itu bertolak dari
pandangan keagamaan yang bersifat mutlak dan statis (menganggap bahwa kebenaran
atau keselamatan menjadi klaim satu kelompok). Dari sinilah, menurut Djohan,
dialog merupakan sesuatu yang esensial untuk merangsang keberagamaan kita agar
tidak mandeg dan statis. Sekali lagi,
Djohan tidak menyetujui absolutisme agama, sehingga paksaan atau kekerasan
apapun tidak boleh mendapat tempat di dalam usaha-usaha dakwah. Dalam hal ini,
yang dibutuhkan adalah sikap moderat dan
liberal terhadap iman lain. Dari situlah, teologi kerukunan akan bisa terwujud.
Djohan mengemukakan:
“Dengan pendekatan dan pemahaman yang
menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan ketidakmutlakan manusia, boleh jadi
bisa dikembangkan semacam Teologi Kerukunan, yaitu suatu pandangan keagamaan
yang tidak bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan, suatu pandangan
keagamaan yang didasarkan atas kesadaran bahwa agama sebagai ajaran kebenaran
tidak pernah tertangkap dan terungkap oleh
manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa keagamaan seseorang pada
umumnya, lebih merupakan produk, atau setidak-tidaknya pengaruh lingkungan.”[12]
2.
Paham
Liberalisme
Liberalisme,
adalah sebuah istilah asing yang diambil dari bahasa Inggris, yang berarti
kebebasan. Kata ini kembali kepada kata “liberty”
dalam bahasa Inggrisnya, atau “liberte”
menurut bahasa Perancis, yang bermakna bebas. Istilah ini datang dari Eropa. Para peneliti,
baik dari mereka ataupun dari selainnya berselisih dalam mendefinisikan
pemikiran ini. Namun seluruh definisi, kembali kepada pengertian kebebasan
dalam pandangan Barat. The World Book
Encyclopedia menuliskan pembahasan Liberalism, bahwa istilah ini dianggap
masih samar, karena pengertian dan pendukung-pendukungnya berubah dalam bentuk
tertentu dengan berlalunya waktu.[13]
Syaikh
Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan, liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan
kebebasan individu. Madzhab ini memandang, wajibnya menghormati kemerdekaan
individu, serta berkeyakinan bahwa tugas pokok pemerintah ialah menjaga dan
melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berfikir, kebebasan menyampaikan
pendapat, kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan individu, dan sejenisnya.
Pemikiran Liberal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin
melalui para penjajah kolonial. Kemudian disambut orang-orang yang terperangah
dengan modernisasi Eropa waktu itu. Muncullah dalam tubuh kaum muslimin
madrasah al-Ishlahiyah (aliran reformis) dan madrasah at-tajdîd (aliran
pembaharu) serta al-’Ashraniyûn (aliran modernis) yang berusaha menggandengkan
Islam dengan liberal ditambah dengan banyaknya pelajar muslim yang dibina para
orientalis di negara-negara Eropa.
3.
Paham
Sekularisme
Sekularisme adalah suatu paham
atau aliran dalam kehidupan yang memisahkan
agama/wahyu dari kehidupan duniawi. Jelasnya nilai-nilai agama/wahyu tidak boleh dibawa-bawa untuk diperankan
dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan masyarakat dan negara. Karena
menurut pikiran orang-orang sekular, agama hanya urusan individu dengan
Tuhannya. Sedang persoalan bermasyarakat dan bernegara urusan bersama dari
seluruh anggota masyarakat dan warga negara.[14]
Selanjutnya, sekularisme menurut M.
Natsir adalah paham yang memandang kehidupan manusia ini terbagi menjadi dua
“kotak”: kotak dunia dan kotak spiritual, dan agama mestinya hanya berhak
mengatur kotak spiritual.[15]
Serbuan kolonialisme, baik di seluruh dunia Islam maupun
secara khusus di kepulauan Nusantara, dengan kepentingannya untuk melucuti
peran sosial-politik Islam, membawa gangguan pada sistem religio-politik
tradisional. Upaya untuk menghalau Islam dari ruang publik berarti penolakan
terhadap premis-premis orisinal dari sistem politik yang berbasis keagamaan.
Gangguan dan keterputusan peran politik keagamaan ini merupakan awal dari
sekularisasi politik.[16]
Trayek sekularisasi dalam jurusan ini terus
dilanjutkan oleh rezim-rezim pemerintahan pascakolonial. Hal ini utamanya
disebabkan oleh watak elit politik negeri ini, yang hingga belum lama berselang
tidak pernah menunjukkan komitmen yang terbuka terhadap Islam. Sebagian besar
dari generasi pertama elit politik berpendidikan tinggi dan perwira militer
berasal dari lingkungan priyayi yang ter-Barat-kan atau dari latar Protestan,
Katolik, dan sinkretik (abangan) dalam orientasi keagamaannya. Minoritas elit
terhormat ini, karena eksposnya yang tinggi terhadap ide-ide Barat dan
permusuhannya yang panjang terhadap elit-elit berorientasi Islam, cenderung
mempertahankan afiliasinya dengan politik yang berorientasi sekular dalam
oposisinya terhadap ide negara Islam.[17]
Menurut catatan
Fuad Amsyari bahwa setelah masa kemerdekaan terselesaikan lalu terjadi
kemelut khususnya menyangkut ideologi mana yang dijadikan acuan untuk mengisi
kemerdekaan itu. Karena mayoritas bangsa pada saat kemerdekaan diperkirakan
masih 95% lebih adalah muslim maka kemelut itupun banyak berasal dari kalangan
muslim sendiri, khususnya pertentangan antara golongan umat yang berbeda
pemahaman Islamnya oleh pengaruh non-Islam ke dunia pemikiran Islam. Proses ini
nampaknya terus berjalan hingga sekarang.[18]
4.
Paham Nativisme
Persoalan pokok di bidang sosial-budaya yang
dihadapi oleh umat Islam adalah dampak dari masyarakat industrial. Salah
satunya ialah dengan munculnya nativisme. Nativisme adalah kepercayaan dan
anutan-anutan yang dianggap berasal dari nenek moyang yang dilestarikan secara
turun temurun. [35]Pada dasarnya nativisme timbul dari kepercayaan yang dikenal
sebagai “warisan nenek moyang” dan kesederhanaan berfikir, dan bukan dari
sifat-sifat tercela yang membuat penganutnya jauh dari cahaya ilahi. Tidak
semua warisan nenek moyang itu perlu ditinggalkan, selama tidak bertentangan
dengan aqidah Islamiyah.Warisan nenek moyang seperti itu dapat saja
dilestarikan. Bahkan dapat dikembangkan secara baik-baik dengan jiwa baru,
yakni jiwa Islam.[19]
Terdapat hubungan kepentingan yang erat antara
sekularisme dan nativisme. Hal ini terjadi karena gerakan nativisme menawarkan
suatu spiritualisme yang sesuai dengan konsepsi spatialisme agama dari
cita-cita sekular. Spriritualisme-nativisme sampai batas tertentu mempunyai
raison d’etre, berhubung masyarakat industri selalu mempunyai kecenderungan
alienasi yang diduganya dapat ditolong oleh spiritualisme yang merupakan terapi
psikologis terhadap perasaan tidak aman warga masyarakat industrial.
Terhadap nativisme, Islam mempunyai kepustakaan yang
panjang yang mengungkap ketinggian spiritualitas Islam, sehingga secara teoritik
sebenarnya ajaran Islam dengan mudah dapat mengatasi persoalan spirituaisme
itu. Demikian pula secara empirik, sifat-sifat paguyuban dari nativisme yang
rindu pada masyarakat kecil, dan hubungan dekat, misalnya, akan dapat dipenuhi.
Justru persoalan yang tersulit dalam menghadapi nativisme adalah masalah
kelembagaan. Tetapi karena sudah tersedia sumber daya kelembagaan dan manusia,
persoalannya tinggal bagaimana mendekatkan para penganut nativisme pada
lembaga-lembaga itu. Perlu diusahakan semacam sarasehan atau pertemuan tatap
muka antara mereka dengan penganut tarekat dan ahli-ahli tasawuf. Meskipun
pertemuan personal akan lebih penting
bagi para penganut nativisme, sebab kebanyakan mereka hidup dalam lingkungan
tertutup dan jauh dari sumber bacaan. Jadi mereka lebih percaya pada hubungan
personal daripada hubungan impersonal melalui bacaan.[20]
Nativisme
kebanyakan didukung oleh keturunan priyayi (aristokrat) yang kemudian menjadi
birokrat, yang secara historis pernah mempunyai jarak dengan budaya Islam.
Karena jarak sosial antara priyayi dan santri semakin dekat, maka dapat
diharapkan bahwa perkemb-angan sejarah sendiri akan cenderung untuk menyusutkan
dukungan priyayi birokrat kepada nativisme. Proses yang natural ini akan
terjadi sesudah masa generasi yang sekarang berada dalam birokrasi itu
berakhir. Proses sejarah ini bisa dipercepat dengan dakwah yang lebih intensif
. Gerakan-gerakan kebudayaan yang menuju kearah ini patut dikembangkan,
sekalipun tidak mempunyai hubungan langsung dengan dakwah.[21]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dakwah
merupakan aktivitas yang wajib dilakukan oleh setiap umat Islam. Subyek
dakwah disebut da’i, objek dakwah disebut mad’u . Esensi dari dakwah ialah menyampaikan kebaikan dengan
amar ma’ruf nahi mungkar.
Dakwah
dapat dilakukan dengan bermacam cara dan berbagai kondisi karena pelaksanaan
dakwah tidak hanya dilakukan dengan ceramah.
Tentu dalam usaha dakwah Islam tersebut mengalami
banyak tantangan antara lain dengan munculnya berbagai paham baik yang berasal
dari Barat maupun paham yang terdapat secara lokal. Yaitu : Sekularisme,
Liberalisme, Pluralisme Agama, dan Nativisme.
Dalam menghadapi tantangan dakwah yang berupa
paham-paham tersebut maka dakwah Islam harus terus dilanjutkan dengan
peningkatan secara kuantitas maupun kualitas. Hendaknya dakwah Islam dilakukan
baik dengan pendekatan struktural maupun kultural. Tentu harus didukung oleh
para pegiat dakwah yang memiliki kompetensi keilmuan, dedikasi, dan integritas
moral yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. 2008. Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.
Amsyari, Fuad. 1995. Islam
Kaffah:Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia. jakarta: Gema Insani Press.
Aziz, Jum’ah Amin Abdul. 2011. Fiqih Dakwah; studi atas berbagai
prinsip dan kaidah yang harus dijadikan acuan dalam dakwah islamiah. Solo: Era
Intermedia.
Arif, Syamsuddin.
2008. Orientalisme dan Diabolisme
Pemikiran. Jakarta: Gema
Insani Press.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
2007. Khittah Dakwah Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Effendi, Djohan. “Dialog Antar Agama:
Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan?”, dalam Majalah Prisma 5, Juni
1978
Husnan, Ahmad. Tt. Tantangan Penerapan
Syariah Islam. Surakarta: Isy Karima.
Latif, Yudi.
2007. Dialektika Islam : Tafsir
Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Luth, Thohir. 2005. M.
Natsir: Dakwah dan Pemikirannya.
Jakarta:
Gema Insani Press.
Majelis Ulama
Indonesia. 2011. Himpunan Fatwa MUI Sejak
1975 (Jakarta: Sekretariat MUI dan Penerbit Erlangga.
Malik, Anis. 2005. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Gema
Insani Press.
Saputra, Wahidin. 2011. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
[1]
Drs. Samsul Munir Amin, M.A, Rekonstruksi
Pemikiran Dakwah Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), hal. 3
[2]
Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih
Dakwah; studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus dijadikan acuan dalam
dakwah islamiah, (Solo: Era Intermedia, 2011),hal. 45-46
[3]
Drs. Wahidin Saputra, M.A, Pengantar
Ilmu Dakwah, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 1
[4]
Ibid, hal. 1-2
[5]
Ibid,
[6]
Ibid, hal. 4-5
[8]
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa
MUI Sejak 1975 (Jakarta: Sekretariat MUI dan Penerbit Erlangga, 2011), hal.
93.
[9]
Ibid,
[10]
Ibid.,
[12]
Djohan Effendi, “Dialog Antar Agama: Bisakah Melahirkan
Teologi Kerukunan?”, dalam Majalah Prisma 5, Juni 1978, hlm.
16. Lihat juga Djohan Effendi, “Kemusliman dan Kemajemukan Agama” dalam Th. Sumarthana dkk. (ed.), Dialog:
Kritik dan Identitas Agama, hlm. 54-58.
[13]
Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hlm. 79.
[16]
Yudi Latif, Dialektika Islam : Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi
di Indonesia, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal. 12.
[18]
Fuad Amsyari, Islam Kaffah:Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia,
(jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 156-157.
[19]
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Khittah Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2007), hal. 13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar