PENDEKATAN
DAKWAH BERBASIS MASYARAKAT
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
1. HAFIFAH
|
1430100021
|
2. RIKA
SAFITRI
|
1430100039
|
|
|
DOSEN
PENGAMPU
ANAS
HABIBI RITONGA, MA
KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM (KPI-2)
FAKULTAS DAKWAH
DAN ILMU KOMUNIKASI (FDIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
T.A
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada
Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan pembuatan makalah dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan
salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator
terbesar dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih
kepada Bapak Dosen yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan
makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami, serta pada
anggota tim kelompok yang selalu kompak dan konsisten dalam penyelesaian tugas
ini.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas
perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi tim penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya.
Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala
kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan
dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan
pada waktu mendatang.
Padangsidimpuan,
Agustus 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR
ISI.......................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A.
Latar Belakang ............................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN ...................................................................................... 2
A.
Prinsip
Dasar Pendekatan Dakwah Berbasis Masyarakat.................... 2
B.
Model-Model
Dakwah Berbasis Masyarakat.......................................... 6
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 13
A.
Kesimpulan ................................................................................................... 13
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ajaran Islam adalah konsepsi yang sempurna dan
kompeherensif, karena ia meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik yang
bersifat duniawi maupun ukhrawi. Islam secara teologis merupakan sistem nilai
dan dan ajaran yang bersifat ilahiah dan transenden. Sedangkan dari aspek
sosiologis , Islam merupakan fenomena peradaban, kultural, dan realistis sosial
dalam kehidupan manusia.
Selanjutnya salah satu aktivitas keagamaan yang secara
langsung digunakan untuk mensosialisasikan ajaran Islam bagi penganutnya dan
umat manusia pada umumnya adalah aktivitas dakwah. Aktivitas ini dilakukan baik
melalui lisan, tulisan, maupun perbuatan nyata. [dakwah bi al-lisan, wa
al-qalam wa bi al-hal]
Secara kualitatif dakwah Islam bertujuan untuk mempengaruhi
dan mentransformasikan sikap batin dan perilaku warga masyarakat menuju suatu
tatanan kesalehan individu dan kesalehan sosial. Dakwah dengan pesan-pesan
keagamaan dan pesan-pesan sosialnya juga merupakan ajakan kepada kesadaran
untuk senatiasa memiliki komitmen [istiqomah] di jalan yang lurus. Dakwah
adalah ajakan yang dilakukan untuk membebaskan individu dan masyarakat dari
pengaruh eksternal nilai-nilai syaitaniah dan kejahiliahan menuju
internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Disamping itu, dakwah juga bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman keagamaan dalam berbagai aspek ajarannya agar
diaktualisasikan dalam bersikap, berpikir dan bertindak.
B.
Rumusan Masalah
Dilihat dari latar belakang diatas, adapun rumusan
masalahnya yaitu:
1. Apa saja prinsip dasar pendekatan
dakwah berbasis masyarakat ?
2. Bagaimana model-model pendekatan
dakwah berbasis masyarakat ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Prinsip
Dasar Pendekatan Dakwah Berbasis Masyarakat
Secara
etimologis, dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu da’a, yad’u,da’wan, du’a.
yang diartikan sebagai mengajak/menyeru, memanggil, seruan, permohonan dan
permintaan. Istilah ini sering diberi arti yang sama dengan istilah-istilah
tabligh, amr ma’ruf dan nahi munkar,
mau’idzoh hasanah, tabsyir, indzhar, wasiyah, tarbiyah, ta’lim, dan khotbah.
Istilah
dakwah dalam Al-Qur’an diungkapkan dalam bentuk fi’il maupun mashdar sebanyak lebih dari seratus
kata.dalam Al-Qur’an, dakwah dalam arti mengajak ditemukan sebanyak 46 kali, 39
kali dalam arti mengajak kepada islam dan kebaikan, dan 7 kali mengajak ke
neraka atau kejahatan. Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan
istilah dakwah dalam konteks yang berbeda.
Secara
terminologis pengertian dakwah dimaknai dari aspek positif ajakan tersebut,
yaitu ajakan kepada kebaikan dan keselamatan dunia akhirat. Sementara itu, para
ulama memberikan definisi yang bervariasi, antara lain:
1)
Ali Makhfudh dalam kitabnya “Hidayatul
Mursyidin” mengatakan, dakwah adalah mendorong manusia untuk berbuat kebajikan
dan mengikuti petunjuk [agama], menyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah
mereka dari perbuatan mungkar agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.[1]
2)
Muhammad Khidr Husain dalam bukunya “al-
Dakwah ila al Islah“ mengatakan, dakwah adalah upaya memotivasi orang agar
berbuat baik dan mengikuti jalan peunjuk, dan melakuakan amr ma’ruf nahi munkar
dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
3)
Nasarudin Latif menyatakan, bahwa dakwah
adalah setiap usaha aktivitas dengan lisan maupun tulisan yang bersifat
menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman menaati Allah SWT.
Sesuai dengan garis-garis akidah dan syariat serta akhlak Islamiah.[2]
4)
Quraish Shihab mendefinisikannya sebagai
seruan atau ajakan kepada keisafan, atau usaha mengubah situasi yang tidak baik
kepada situasi yang lebih baik dan sempurna baik kepada situasi yang lebih naik
dan sempurna baik terhadap pribadi maupun masyarakat.[3]
Prinsip-Prinsip
Berdakwah:[4]
a. Mencari
Titik Temu atau Sisi Kesamaan
Kita
menyaksikan pola dakwah Rasulullah sebelum masanya hijriah, tidak pernah
menyeru umatnya sendiri atau ahli kitab dengan sebutan orang-orang kafir,
musyrik atau munafik, melainkan dengan seruan yang sama dengan dirinya yaa
ayyuhan naas, “wahai manusa”. Bahkan untuk orang-orang munafik, sebelum
jatuhnya kota Mekkah Nabi Saw mempergunakan pangggilan yaa ayyuhal ladziina
aamanuu, “hai orang-orang yang beriman”, dan sama sekali tidak pernah
mengungkapkan secara terang-terangan kemunafikan mereka dengan menggunakan
panggilan yaaa ayyuhal munafiqun, “hai orang munafiq”. Akan tetapi setelah
sekian lama berdakwah dengan kelembutan dan ayat-ayat Ilahi sia-sia menjelaskan
kebenaran kepada mereka dan mereka tidak saja menolak kebenaran, tetapi juga
bersekongkol dan bersepakat membunuh Rasulullah. Baru Rasulullah menyeru dengan
kata-kata tegas dan jelas . “Hai orang- orang kafir” dan manyatakan berlepas
tangan dari tangan mereka da agama mereka. Ali Imran:64:
ö@è% @÷dr'¯»t É=»tGÅ3ø9$# (#öqs9$yès? 4n<Î) 7pyJÎ=2 ¥ä!#uqy $uZoY÷t/ ö/ä3uZ÷t/ur wr& yç7÷ètR wÎ) ©!$# wur x8Îô³èS ¾ÏmÎ/ $\«øx© wur xÏGt $uZàÒ÷èt/ $³Ò÷èt/ $\/$t/ör& `ÏiB Èbrß «!$# 4 bÎ*sù (#öq©9uqs? (#qä9qà)sù (#rßygô©$# $¯Rr'Î/ cqßJÎ=ó¡ãB ÇÏÍÈ
Artinya
: Katakanlah: "Hai ahli kitab,
marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka
berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
b. Menggembirakan
Sebelum Menakut-nakuti
Sudah
menjadi fitrah manusia suka kepada yang menyenangkan dan benci kepada yang
menakutkan, maka selayaknya bagi para da’i untuk memulai dakwahnya dengan
member harapan yang menarik, mempesona dan menggembirakan sebelum memberikan
ancaman. Seorang da’i seharusnya terlebih dahulu memberikan kabar gembira
sebelum ancaman, mendorong, beramal dan menyebutkan faedahnya sebelum menakut
nakuti. Memberitahu keutamaaan menyebarkan ilmu sebelum member peringatan
kepada mereka tentang besarnya dosa menyembunyikan ilmu dan memotivasi untuk
melaksanakan shalat pada waktnya sebelum memberikan peringatan tentang besarnya
dosa meninggalkan shalat. Kita memang tidak dapat menafikan manfaat tarhib,
karena beragam tabiat manusia.
Akan
tetapi, member kabar gembira terlebih dahulu sebelum peringatan itu bisa
membuat hati menerima dengan baik dan lega. Pemberian motivasi ini bisa
menumbuhkan harapan dan optimism seseorang.
c. Memudahkan
Tidak Mempersulit
Di
antara metode yang menyejukkan yang ditempuh oleh Rasulullah dalam berdakwah
yaitu mempermudah tidak mempersulit serta meringankan tidak memberatkan begitu
melimpah nash al-quran maupun teks as-Sunnah yang memberikan isyarat bahwa
memudahkan itu lebih disukai Allah daripada mempersulit.
d. Memperhatikan
Penahapan Beban dan Hukum
Untuk
mejadikan aktivitas dakwah tidak memberatkan dan menawan hati mad’u, para da’i
harus meperhatikan prinsip hokum penahapan baik dalam amar ma’ruf maupun nahi
mungkar. Hal ini sejalan dengan sunatullah dalam penciptaan makhluk dan
mengikuti metode perundang-undangan hokum Islam. Dengan mengetahui bahwa
manusia tidak senang untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan
kepada keadaan lain yang asing. Maka al-Quran tidaj diturunkan sekaligus,
melainkan surat demi surat dan ayat demi ayat, dan kadang-kadang menurut
peristiwa-peristiwa yang menghendaki diturunkannya, agar dengan cara demikian
lebih disenangi oleh jiwa dan lebih mendorong ke arah mentaatinya serta bersiap-siap
untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan lama untuk menerima hokum yang baru.
Sebagai penahapan dalam hokum Islam, demikian pula aktivitas dakwah dijalankan.
e. Memperhatikan
Psikologi Mad’u
Mengingat
bermacam-macam tipe manusia yang dihadapi da’i dan berbagai jenis antara dia
dengan mereka serta berbagai kondisi psokologis mereka, setiap da’i yang
mengharapkan sejuk dalam aktivitas dakwahnya harus memperhatikan kondisi
psikologis mad’u. Mohammad Natsir mengemukakan pendapat yang berkaitan dengan
kondisi psikologis mad’u ini bahwa: pokok persoalan bagi seorang pembawa dakwah
ialah bagaimana menentukan cara yanb tepat dan efektif dalam menghadapi suatu
golongan tertentu dalam suatu keadaan dan suasana tertentu. Seorang da’i harus
memperhatikan kedududkan sosial penerima dakwah. Jika seorang da’i mencium
adanya sikap memusuhi Islam dalam diri penerima dakwah, maka dengan alas an apa
pun dia tidak boleh memperburuk situasi. Dia mesti berusaha sebisa-bisanya
untuk menghilangkan sikap permusuhan tersebut.
Oleh
karena itu, untuk mencapai keberhasilan dalam pengembangan agama Islam, maka
perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Diperlukan
dakwah dan strategi yang jitu, sehingga perubahan yang ada akibat jalannya
dakwah tidak terjadi secara frontal, tetapi bertahap sesuai fitrah manusia.
b. Dakwah
Islam seharusnya dilakukan dengan menyejukkan, mencari titik persamaan bukan
perbedaan, meringankan bukan memberatkan, memudahkan bukan mempersulit,
menggembirakan bukan menakut-nakuti, bertahap dan berangsur-angsur bukan secara
frontal, sebagaimana pola dakwah yang dialankan oleh Radulullah saw, ketika
mengubah kehidupan jahiliah menjadi kehidupan Islamiyah.
c. Dalam
dakwah tidak mengenal kata keras kalau yang dimaksud kasar dan frontal.
B.
Model-Model
Dakwah Berbasis Masyarakat
Dakwah tidak hanya
semata-mata proses mengenalkan manusia kepada Tuhannya, melainkan juga
merupakan sebuah proses transformasi sosial, dengan sejumlah tawaran dan
alternatif solusi-solusi bagi umat dalam mengatasi masalah kehidupan yang
mereka hadapi. Sebagaimana strategi dan pendekatan komprehensif yang pernah
dikembangkan oleh Rasulullah SAW manakala mendesain dan menggerakkan program
serta agenda Dakwah yang bermuatan pengembangan atau pemberdayaan umat serta
bewawasan pembebasan.
Sementara itu di sisi
lain, masyarakat sasaran Dakwah sangatlah heterogen, mereka terdiri dari
kalangan intelektul, pejabat, pengusaha sampai rakyat jelata. Ada laki-laki,
ada perempu’an, ada orang tua, remaja, dan ada anak-anak, ada masyarakat kota
(urban) dan ada masyarakat desa (rural), disamping masyarakat, yang sering
terlupakan, dengan berbagai problem kehidupan yang mereka hadapi. Senyatanya,
bahwa ternyata Dakwah selama ini tidak/belum/kurang menyentuh kelompok-kelompok
‘masyarakat sebagai salah satu subjek dan juga obyek dakwah. Selaku
masyarakat yang terpinggirkan, jelas,
proses dakwah sangat diharapkan untuk mengangkat citra, martabat, dan
memperbaiki derajat kehidupan serta kesejahteraan. Dalam berbagai bidang,
fisik, sosial, ekonomi, budaya, pemerintahan, agama dan juga lingkungan.
Kelompok masyarakat yang
menjadi obyek dakwah dengan sejumlah ciri khas, karakteristik dan lain
sebagainya, membutuhkan dai~ atau pelaku pembangunan kultur yang relatif
berbeda dengan kelompok masyarakat obyek Dakwah lainnya.[5]
Metode, teknik, strategi maupun pendekatan Dakwah yang diterapkan untuk
masyarakat juga berbeda dan memiliki ciri khusus dari yang lain. Karena itu
pemberian ruang gerak yang lebih luas dan penekanan terhadap metode Dakwah
bil-amal atau bil-hal menjadi sangat penting dan signifikan disamping metode
Dakwah yang lain. Dakwah bil-hal yaitu metode Dakwah yang lebih menekankan pada
amal usaha atau karya nyata yang bisa dinikmati dan bisa mengangkat harkat,
martabat, kesejahteraan hidup kelompok masyarakat. Model strategi Dakwah
bil-amal ini dilakukan melalui proses dan hasil karya nyata bagi masyrakat.
Bertujuan untuk menjadikan masyarakat sebagai masyarakat yang terberdaya dalam
kehidupan, baik secara fisik, agama, ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
Jika ditelaah lebih
mendalam, akan didapati bahwa sebagian besar usaha pengembangan atau
pembangunan masyarakat (community development) atau pemberdayaan masyarakat
(social empowerment) di daerah perdesaan atau di negara-negara yang sedang
berkembang, masih bersifat mentransfer teknologi, memindahkan produk budaya
suatu masyarakat ke masyarakat yang lain.
Karena itu pendekatan dan
strategi pengembangan Dakwah bil-amal atau bil-hal terhadap pengembangan
masyarakat cukup relevan. Menurut Asep
Muhyidin dan Agus Ahmad Safei ada empat model metode pengembangan Dakwah yang
bisa diterapkan dan harus dilaksanakan secara sinergis, simultan, terkoordinasi
dan berkesinambungan, yakni tadbir, tathwir, irsyad dan tabligh/ta’lim.
Keempatnya menghendaki keterlibatan da’i secara langsung dalam pengentasan
kemiskinan dan solusi dari beragam persoalan kehidupan yang mereka hadapi.
a.
Tadbir[6]
Tadbir adalah Dakwah
melalui dakwah dan manajemen dakwah masyarakat yang dilakukan dalam rangka
perekayasaan sosial dan pemberdayaan masyarakat menuju kehidupan yang lebih
baik, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), pranata sosial keagamaan
serta menumbuhkan pengembangan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat dengan
kegiatan pokok seperti penyusunan kebijakan, perencanaan program, pembagian
tugas dan pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring serta pengevaluasian
dalam dakwah masyarakat dari aspek perekonomian dan kesejahteraannya.
Dengan kata lain tadbir berkaitan dengan Dakwah melalui dakwah untuk menjawab
kebutuhan dan tantangan zaman.
b.
Tathwir[7]
Tathwir dilakukan sebagai
upaya pemberdayaan ekonomi keumatan, yakni pengembangan masyarakat.
Pertama tathwir dilakukan dalam
rangka peningkatan sosial budaya masyarakat melalui upaya pentransformasian dan
pelembagaan nilai-nilai ajaran islam dalam realitas kehidupan masyarakat luas
seperti kegiatan humaniora, seni budaya, penggalangan ukhuwah islamiyah,
pemeliharaan lingkungan, kesehatan dan lain-lain. Dengan kata lain tathwir
berkaitan dengan kegiatan Dakwah melalui pendekatan washilah sosial budaya atau
Dakwah kultural.
Kedua, melalui program jaring
pengaman sosial (sosial safety net) yang lebih menyentuh persoalan kebutuhan
primer dan berorientasi pada kesetiakawanan serta keperdulian sosial.
Ketiga, melalui pemberdayaan
(empowerment) fungsi institusi-institusi sosial dalam menangani problematika
kehidupan masyarakat.
Keempat, melalui upaya
kondisioning dalam pemahaman, sikap dan persepsi tentang keberagaman dan dakwah
manusia seutuhnya.
Kelima, membentuk atau melalui
upaya kerjasama dengan panti-panti rehabilitasi sosial, seperti panti jompo,
panti anak yatim dan terlantar, program anak asuh, dakwah rumah singgah yang
aman dan nyaman untuk anak-anak jalanan dan sebagainya.
c.
Irsyad[8]
Irsyad merupakan
upaya-upaya Dakwah yang dilakukan dalam bentuk penyuluhan dan konseling islam.
Dakwah model ini dilakukan dalam rangka pemecahan masalah sosial (problem
solving) psikologis melalui kegiatan pokok bimbingan dan konseling pribadi,
keluarga dan masyarakat luas baik secara preventif maupun kuratif.
Mengapa hal ini harus
dilakukan? Sebab Dakwah mestinya bisa memberi jawaban dan solusi jitu atas
ragam persoalan yang melanda kehidupan masyarakat.
Jika Paulo Friere pernah
mengemukakan gagasan brilian tentang pendidikan yang membebaskan bagi manusia”
maka semestinya Dakwah pun harus berorientasi pada “Dakwah” yang
membebaskan manusia dari ragam persoalan kehidupan. Terlebih bagi manusia yang
hidup di zama modern sekarang ini, menurut analisis sosiolog problem hidup
manusia sekarang tidak keluar dari apa yang dinamakan oleh sosiolog Lyman
sebagai angkara murka, kesombongan diri, iri hati/ dengki, rakus dan lahap
jalaluddin rahmat. Ketujuh persoalan ini pada prinsipnya lebih bersifat
kultural psikologis, dalam hal ini agama (melalui pendekatan Dakwah) harus ditransformasikan
secara akurat agar bisa menjawab berbagai problem dan tantangan budaya
kontemporer dimaksud.
Itulah sebabnya, fokus
dan sentra tema Dakwah tidak lagi hanya sekadar dialog tentang halal-haram,
baik-buruk, wajib-sunnah dan seterusnya. Akan tetapi Dakwah juga harus bisa
digandengkan dengan berbagai persoalan lain yang lebih aktual, misalnya upaya dalam
meningkatkan kesejahteraan (perekonomian) hidup umat, penguasaan ilmu dan
teknologi, informasi dan komunikasi, kesehatan jiwa dan mental, ketenteraman
dan kedamaian, dan sebagainya. Dakwah mestinya hadir dalam berbagai lingkup dan
dimensi, baik sebagai upaya pencerahan, pengembangan dakwah, maupun
pemberdayaan umat. Sebab pada intinya Dakwah tidak semata-mata proses
mengenalkan manusia kepada Tuhannya, melainkan juga merupakan sebuah proses
transfomasi sosial, yang berisikan sejumlah tawaran dan alternatif solusi bagi
umat dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan yang merekahadapi.
Dengan demikian jelaslah
bahwa Dakwah yang diarahkan kepada problem solving menjadi deteminant untuk
digali dan dilaksanakan. Sebab sebagaimana yang dijelaskan Munir Mulkhan, bahwa
konsep dan strategi Dakwah yang di arahkan pada problem solving atau pembebasan
terhadap berbagai pedasalahan kehidupan umat di lapangan, pada gilirannya nanti
akan melahirkan imege dan tiga kondisi positif dalam diri umat, yakni
·
Tumbuhnya kepercayaan dan kemandirian umat serta
masyarakat, sehingga akan lahir dan berkembang sikap optimis, dan dinamis.
·
Tumbuhnya kepercayaan terhadap kegiatan Dakwah
guna mencapai tujuan kehidupan yang lebih baik dan ideal.
·
Berkembangnya suatu kondisi sosio-ekonomi, budaya,
politik, ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan peningkatan kualitas
hidup, atau peningkatan kualitas sumber daya umat.
Dengan demikian, menurut
Munir Mulkhan Dakwah pemecahan masalah merupakan upaya yang demokratis bagi
pengembangan dan peningkatan ‘ kualitas hidup sebagai bagian ‘ dari
pemberdayaan manusia dan masyarakat, termasuk dalam menuntaskan berbagai
persoalan dan problematika kehidupan obyektif dihadapi.
Ringkasnya, melalui
Dakwah pemecahan masalah dan pengembangan masyarakat seperti itu, suatu
komunitas masyarakat muslim terkecil sekalipun dapat dikembangkan menjadi
komunitas sosial yang mempunyai kemampuan internal yang berkembang secara
mandiri dalam menyelesaikan persoalannya. Itulah sebabnya pengembangan
kemampuan kualitas sumber daya umat dalam lingkup kecil, seperti keluarga
(usrah), atau kelompok (jamaah) pengajian, harus menjadi persoalan yang perlu
mendapat perhatian seluruh lembaga formal Dakwah Islam dan organisasi sosial
keagamaan secara terencana dan sistematis, guna menatap masa depan Dakwah yang
lebih cerah.
d.
Tabligh/ta’lim[9]
Model Tabligh atau ta’lim
dilakukan sebagai upaya penerangan dan penyebaran pesan Islam dan dalam rangka
pencerdasan serta pencerahan masyarakat melalui kegiatan pokok, sosialisasi,
internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai ajaran Islam, baik dengan
menggunakan sarana mimbar maupun media massa (cetak dan audio visual).
Melalui upaya Dakwah yang
sistematis, metodologis dan sirnultan, akhirnya masyarakat akan mampu
berkembang menjadi salah satu unsur kekuatan dakwah. Apalagi jika keberadaan
dan survivalitas mereka dibina, dijaga dan dikembangkan melalu sistem
ke-Dakwah-an yang harmonis dan terpadu. Karena itu menjadi satu keharusan bagi
setiap subyek Dakwah untuk memahami metodologi Dakwah secara detail.
Ke-Dakwah-an, objek Dakwah pada masyarakat dan lain sebagainya, bertujuan
agar bisa melaksanakan agenda Dakwah dengan baik, lebih profesional, bermutu,
dan elegan. Tanpa pemahaman yang baik terhadap metodologi dan strategi Dakwah
dan karakte’ristik dari objek yang dihadapi, rasanya susah untuk berharap jika
aktivitas Dakwah yang dilaksanakan oleh juru Dakwah mampu membentuk dan membawa
masyarakat kepada kondisi pemberdayaan dan pencerahan yang diharapkan, yakni
masyarakat yang memiliki kemandirian dan keswadayaan.
Dan Dakwah pada
masyarakat menggunakan metode Bi
al-Hikmah. Yaitu suatu pendekatan yang sedemikian rupa sehingga pihak objek
dakwah mampu melaksanakan apa yang didakwahkan atas kemauanya sendiri, tidak
merasa ada paksaan, konflik, maupun rasa tertekan. Hikmah merupakan suatu
metode pendekatan komunikasi yang dilaksanakan atas dasar persuasive. Karna
dakwah bertumpu pada human oriented, maka konsekuensi logisnya adalah pengakuan
dan penghargaan pada hak-hak yang bersifat demokratis.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengertian Dakwah Secara estimologi kata
dakwah adalah derivasi dari bahasa Arab “Da’wah”. Kata kerjanya da’a yang
berarti memanggil, mengundang atau mengajak.
Dan secara istilah dakwah adalah kegiatan atau
usaha memanggil orang muslim mau pun non-muslim, dengan cara bijaksana, kepada
Islam sebagai jalan yang benar, melalui penyampaian ajaran Islam untuk
dipraktekkan dalam kehidupan nyata agar bisa hidup damai di dunia dan bahagia
di akhirat. Singkatnya, dakwah, seperti yang ditulis Abdul Karim Zaidan, adalah
mengajak kepada agama Allah, yaitu Islam.
Esensi dari masyarakat adalah menyangkut
kemungkinan atau probabilitas orang atau keluarga miskin untuk melangsungkan
dan mengembangkan usaha serta taraf kehidupan.
Ciri utama yang menandai masyarakat
basanya ialah titik terjadinya apa yang disebut sebagai mobilitas sosial
vertikal, Karena itu pendekatan dan strategi pengembangan Dakwah bil-amal atau
bil-hal terhadap pengembangan masyarakat
cukup relevan. Menurut Asep Muhyidin dan Agus Ahmad Safei ada empat
model metode pengembangan Dakwah yang bisa diterapkan dan harus dilaksanakan
secara sinergis, simultan, terkoordinasi dan berkesinambungan, yakni tadbir,
tathwir, irsyad dan tabligh/ta’lim. Keempatnya menghendaki keterlibatan da’i
secara langsung dalam pengentasan kemiskinan dan solusi dari beragam persoalan
kehidupan yang mereka hadapi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali
Mahfuz,2009, Hidayat al- Mursyidin
ila Thuruq al Wa’zi wa al-Khitabath, Beirut: Dar al-Ma’rif, tt.
H.M.S
Nasarudin Latif, 2007, Teori dan Praktik Dakwah Islamiah, Jakarta: PT
Firma Dara.
Shihab
, Quraish, 1997, dakwah dalam Alam Pembangunan, Semarang: CV Toha Putra.
Malaikah
, Mustafa,1997, Manhaj Dakwah Yusuf
Al-Qordhowi Harmoni antara kelembutan dan Ketegasan, Jakarta Pustaka Al-Kautsar.
Bachtiar
, Wardi,1997, Metodologi Penelitian
ilmu dakwah, Jakarta: Logos.
Rakhmat
, Jalaludin, 1991, Psikologi Komunikasi, Bandung; Remaja Rosda Karya.
[1]
Ali Mahfuz, Hidayat al- Mursyidin ila Thuruq al Wa’zi wa al-Khitabath, [Beirut:
Dar al-Ma’rif, tt.], hlm. 17.
[2]
H.M.S Nasarudin Latif, Teori dan Praktik Dakwah Islamiah, [Jakarta: PT
Firma Dara, tt.2010] hlm.11.
[3]
Quraish Shihab, dakwah dalam Alam Pembangunan, [Semarang: CV Toha Putra,
tt.2008] hlm. 31.
[4]
Mustafa Malaikah, Manhaj Dakwah Yusuf Al-Qordhowi Harmoni antara kelembutan
dan Ketegasan, [Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 1997], hlm. 18.
[5]
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1986),
hlm. 17
[6]
Ibid., Hal 79
[7]
Dr. Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian ilmu dakwah, (Jakarta: Logos,
1997)., hlm. 35.
[8]
Ibid., hal. 76
[9]
Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung; Remaja Rosda Karya,
1991), hlm. 53-54.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar