DAKWAH SEBAGAI PROSES BUDAYA
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
NAMA NIM
1.
MISKA RAMADHANI 14 301 0029
2.
ABDUL KARIM 14 301 0001
Dosen Pengampu:
ANAS HABIBI
JURUSAN KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PADANGSIDIMPUAN
T.A 2016/2017
KATA PENGANTAR
Segala puji atas kebesaran Sang Khalik yang telah
menciptakan alam semesta dalam suatu keteraturan hingga dari lisan
terpetik berjuta rasa syukur kehadirat
ALLAH SWT. Karena atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nyalah sehingga kami
diberikan kesempatan dan kesehatan untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Dakwah
Sebagai proses Budaya”
yang merupakan tugas kami dalam mata kuliah d SAW, yang diutus ke permukaan
bumi ini menuntun manusia dari lembah kebiadaban menuju ke puncak peradaban
seperti sekarang ini.
Kami menyadari sepenuhnya,dalam penyusunan makalah ini tidak
lepas dari tantangan dan hambatan. Namun berkat usaha dan motivasi dari
pihak-pihak langsung maupun tidak langsung yang memperlancar jalannya
penyusunan makalah ini sehingga makalah ini dapat kami susun seperti sekarang
ini. Olehnya itu, secara mendalam kami ucapkan banyak terima kasih atas bantuan
dan motivasi yang diberikan sehingga Penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya
dengan segala kerendahan hati kami menyadari bahwa hanya kepada ALLAH SWT
jugalah kita menyerahkan segalanya. Semoga makalah ini dapat menjadi referensi
dan tambahan materi pembelajaran bagi kita semua, Aamiin Yaa Robb.
Padangsidimpuan, September 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................... 3
A. Pengertian
Dakwah..................................................................... 2
B. Pengertian
Kebudayaan.............................................................. 3
C. Dakwah
sebagai Proses Budaya.................................................. 5
D. Beberapa Contoh Memaknai Dakwa
Dalam Proses Budaya ..... 8
BAB III PENUTUP ............................................................................. 13
A. Kesimpulan.................................................................................. 13
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam merupakan sebuah Din yang
mutlak kebenarannya.Nilai Keimanan tunggal yaitu beriman kepada Allah
subhanahuwataala.Nilai yang terkandung bersifat universal dan diperuntukkan
kepada semua umat manusia.Islam sebagai kesejahtraan, ketentraman, kenyamanan
dan kedamaian, keharmonisan serta kemakmuran bagi pemeluknya.Islam sebagai
risalah dibawakan oleh Rasulullah SAW.Ajaran Islam dikembangkan melalui jalan
Dakwah.Dakwah merupakan ajakan, anjuran, bujukan, dan menyeru kapada agama
Allah.Menyeru kepada kebaikan dan melarang kepada yang mungkar.
Ajaran Islam yang dakwahkan oleh
Nabi Muhammad pertama melalui periode, sembunyi-sembunyi, kemudian secara
terang-terangan kepada umat manusia.Pertama Muhammad berdakwah kepada umat manusia
di Mekkah secara diam-diam. Namun setelah Hijrah ke Ethiopia dan Mekkah baru
dakwah disebarkan secara terangan-terangan dan teroganisir.
Ketika kita membicarakan dakwah dan
komunikasi lintas budaya, kita harus bekerja keras untuk menemukan mengapa kita
penting untuk mempelajari hal itu. Dan juga apa hubungannya dakwah dan
komunikasi lintas budaya, sehingga kita harus mempelajarinya. Selain itu, jika
ditinjau dari segi makna, seolah sekilas tidak ada sinkronnya.Keduanya adalah
kata yang memiliki arti dan definisi sendiri yang kuat.Lalu dimanakah letak
kesinkronannya dari kedua pembahasan diatas? Disini akan dipaparkan secara
jelas tentang komunikasi budaya dan dakwah.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Budaya, dan Dakwah ?
2. Bagaimana Dakwah dalam komunikasi
lintas budaya ?
3. Bagaimana
Dakwah Melalui Media Massa Sebagai Sarana Komunikasi dalam Menghadapi Budaya
Globalisasi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dakwah
Dakwah
menurut bahasa berasal dari kata دعا- يدعو- دعوه ,yang berarti panggilan,
seruan dan ajakan.[1]
Warson
Munawwir, menyebutkan bahwa dakwah artinya adalah memanggil (to call), mengundang (to invite), mengajak (to summon), menyeru (to propose), mendorong (to urge) dan memohon (to pray).[2]
Dakwah
dalam pengertian tersebut dapat dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an antara lain
:
Firman Allah SWT:
tA$s% Éb>u ß`ôfÅb¡9$# =ymr& ¥n<Î) $£JÏB ûÓÍ_tRqããôt Ïmøs9Î) ( wÎ)ur ô$ÎóÇs? ÓÍh_tã £`èdyøx. Ü=ô¹r& £`Íkös9Î) `ä.r&ur z`ÏiB tûüÎ=Îg»pgø:$# ÇÌÌÈ
Artinya : 33. Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku,
penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika
tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung
untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku Termasuk orang-orang yang
bodoh."
Sedangkan orang
yang melakukan seruan atau ajakan disebut da’i (isim fa’il), artinya
orang yang menyeru. Tetapi karena perintah memanggil atau menyeru adalah suatu
proses penyampaian (tabligh) atas pesan-pesan tertentu, maka pelakunya
dikenal juga dengan istilah Muballigh, artinya penyampai atau penyeru.
Menurut Muhammad
Fuad Abdul Baqi, kata dakwah dalam Al-Qur’an dan kata-kata yang terbentuk darinya
tidak kurang dari 213 kali.[3]
Definisi mengenai dakwah, telah banyak dibuat para
ahli, dimana masing-masing definisi tersebut saling melengkapi. Walaupun
berbeda susunan redaksinya, namun maksud dan makna hakikatnya sama.
Ada banyak definisi yang di kemukakan oleh para ahli
mengenai dakwah. Berikut ini akan pemakalah sampaikan beberapa definisi dakwah
menurut para ahli:
1.
Menurut Prof. Toha Yahya Omar, M.A.
“Mengajak manusia
dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan,
untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
2.
Menurut Prof.A. Hasjmy
“Dakwah islamiyyah
yaitu mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan aqidah dan syariah
Islamiyyah yang terlebih dahulutelah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah
sendiri.”
3.
Menurut Syaikh Ali Mahfudz
“Memotivasi manusia
untuk berbuat kebajikan, mengikuti petunjuk, memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemunkaran agar mereka memperoleh kebahagiaan didunia dan akhirat.”[4]
B.
Pengertian
Kebudayaan
Budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhaya, yang merupakan
bentuk jamak dari budhhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia.
Dalam
bahasa Inggris kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latincolere,
yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai menolah tanah atau
bertani.Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa
Indonesia.
Budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[5] Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh.Budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas.Banyak
aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.Unsur-unsur sosiobudaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan social manusia.[6] Kebudayaan
sangat erat kaitannya sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala seseuata yang
terdapat masyarakat ditentuka oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri(dikenal dengan istilah
culture determinism). Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatau yang
turun temurun dari satu generasi ke generasi lain, yang kemudian disebut
superorganic.
Menurut
Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai social,
norma social, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur social,
religious, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan
artistic yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut
Edward Burnet Tylor kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo
Soemardjan dan Soelamin Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa
dan cipta masayarakat. Dari berbagai definisi tersebut dapat diperoleh pengertian
mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social,
religi seni dan lain-lain yang kesemuanya ditunjukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.[7]
C.
Dakwah
sebagai Proses Budaya
Setiap
orang akan mengatakan bahwa wawasan budaya adalah penting, tetapi belum tentu
setiap orang mau menerapkan makna pentingnya wawasan budaya itu.[8]
Setiap orang akan mengerti bahwa batu di tengah jalan itu tidak baik dan
berbahaya karena dapat mencelakakan setiap pengendara atau pengguna jalan,
tetapi tidak setiap orang akan timbul pengertiannya untuk mengambil dan
menyingkirkan batu tersebut, bahkan banyak orang yang menghindari dan
membiarkan batu itu tetap di tengah jalan.
Sebaliknya
banyak orang menyangka bahwa sesaji yang dikeluarkan oleh orang Bali setiap
hari adalah perbuatan boros dan membuang-buang harta, namun bagi orang Bali
sendiri menilai lain yakni dengan sesaji setiap hari dapat mendorong diri untuk
bekerja keras, karena tak mungkin melakukan sesaji kalau tidak punya barang
yang dipersembahkan dan barang yang akan dipersembahkan harus barang yang halal
dan suci. Untuk bisa mendapat barang yang halal dan suci seseorang harus
bekerja keras dan tidak boleh mencuri. Dengan paham dan keyakinan yang seperti
itu, maka sesaji bagi orang Bali dapat mendorong etos kerja yang tinggi.
Oleh
karena itu seorang da’i harus memahami wawasan budaya agar hal-hal yang
disampaikan tidak menjadi ”buah simalakama” bagi para audiens (mad’u).[9]
Hal-hal yang tidak pas dengan ajaran agama namun dianggap atau dijadikan
pedoman hidup (budaya) oleh masyarakat perlu dikaji dan dicermati apa yang
salah dengan budaya itu, diluruskan dengan memberi makna budaya tersebut
sehingga masyarakat (mad’u) menjadi paham dengan apa maksud dan tujuan dari
budaya tersebut.
Da’i
yang memaksakan kehendak supaya masyarakat (mad’u) mau mengikuti ajaran-ajaran
yang disampaikan dan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat itu sendiri
dijamin tidak akan sukses dalam dakwahnya. Berikut adalah contoh ilustrasi
pentingnya memahami kepentingan (atau budaya) masyarakat yaitu cerita antara
monyet dan ikan. Ceritanya dimulai ketika monyet tahu bahwa sungai tempat ikan
yang menjadi sahabatnya akan banjir. Monyet dapat tahu karena tempat tinggalnya
di pohon yang tinggi. Kemudian monyet memberitahukan kepada ikan bahwa sungai
akan banjir, sehingga monyet mengangkat ikan sahabatnya tersebut ke atas dan
tinggal bersamanya. Ketika banjir benar-benar datang monyet bangga dengan apa
yang dilakukannya, tetapi pada saat dia akan meyakinkan kepada ikan tentang
kebanggaannya itu ikan telah mati di rumahnya. Cerita tersebut barangkali tidak
perlu terjadi kalau monyet mempunyai pandangan tentang siapakah ikan sahabatnya
itu, apakah kalau banjir datang ikan akan hanyut dan mati. Mungkin kemudian
monyet berpikir, kenapa dia tidak membuat saluran air yang lebih tinggi dan
menyediakan persiapan yang cukup untuk ikan, sehingga ikan tetap dapat hidup,
menyesal monyet tersebut karena tidak memahami lingkungan dan budaya ikan.
Monyet hanya mengira bahwa lingkungan dan budaya ikan adalah sama dengan
lingkungan dan budaya monyet.
Cerita
sederhana tersebut memberikan gambaran bahwa tidak setiap perubahan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok da’i menjamin perbaikan hidup orang
atau sekelompok orang yang lainnya. Jika tidak tepat perubahan yang dikenalkan,
maka justru akan berakibat pada rusaknya kehidupan itu sendiri. Untuk itu
penting bagi da’i memahami budaya dari masyarakat yang menjadi sasaran
dakwahnya agar usahanya menjadi berhasil.
Kenyataan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki
kekayaan budaya yang luas dan beragam. Keluasan dan keberagaman tersebut ditunjukkan
dengan keberadaan budaya desa disamping budaya kota, budaya rakyat disamping
budaya kraton, budaya populer disamping budaya luhur, yang masing-masing
memiliki pola hidup dan perkembangannya sendiri.
Diantara budaya yang berkaitan dengan religi dan masih
kuat dilaksanakan pada masyarakat khususnya Jawa sampai saat ini adalah 1) yang
berhubungan dengan hari-hari atau bulan penting dalam Islam seperti padusan
(menjelang Ramadhan), kupatan (pada saat hari raya Idul Fitri dan satu minggu
setelah hari raya Idul Fitri), maulud (memperingati lahirnya nabi) dan
sebagainya, 2) yang berhubungan dengan kala rotasi dalam kehidupan manusia
seperti pernikahan, mitung wulan (hamil 7 bulan), selapanan (35 hari setelah
kelahiran), sunatan, tahlilan dan sebagainya 3) yang berhubungan dengan
pekerjaan seperti bersih desa, wiwit (upacara sebelum panen) dan sebagainya, 4)
yang berhubungan dengan kebutuhan insidental seperti masang molo, menempati
rumah baru, ngruwat dan sebagainya.[10]
Pemaknaan budaya tersebut di atas menjadi sangat penting
dalam kaitannya dengan dakwah, sehingga masyarakat memahami maksud dan tujuan
melaksanakan ritual-ritual tersebut dan tidak bercampur syirik.
Dakwah
pada hakikatnya adalah proses atau aktivitas mengajak kepada jalan allah.
Disini yang harus digaris bawahi adalah aktivitas atau proses. Dari sini kita
akan mengetahui sinkronisasi dari dakwah dan komunikasi lintas budaya. Keduanya merupakan aktivitas atau proses yang
dijalankan oleh seseorang dengan unsure unuser tertentu. Dakwah merupakan
bagian dari komunikasi, namun ia lebih
spesifik hal yang dilakukan oleh umat islam untuk mengajak kepada jalan
kebaikan yang dilakukan dengan berbagai cara, baik secara lisan ataupun
tulisan.
Dalam
dakwah, unsure dakwah meliputi dai, mad’u, wasilah, isi, media. Dan dalam
komunikasi, unsurnya dalah komunikator, komunikan, pesan, media, dan effect.
Keduanya hamper sama maknanya, hanya saja dalam unsure dakwah, effect tidak
dicantumkan. Namun pasti setiap komunikasi baik dilakukan dengan kemasan
dakwah, akan tetap meberikan effect tersendiri.
Seorang
da’i, dituntut untuk bisa memberikan wasilah kepada mad’u secara gamblang dan
dapat diterima oleh mad’u.ini merupakan keharusan. Karena seorang da’i dianggap
berhasil apabila ia telah mampu memahamkan mad’unya. Dalam komunikasi, hal ini
disebut komunikasi efektif. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, seorang dai harus
bisa memahami kondisi mad’u. Disinilah letak pentingnya komunikasi lintas
budaya, karena dengan memahami budaya yang ada, maka dakwah dapat dilaksanakan
dengan baik.
Salah
satu metode yang digunakan dalam berdakwah adalah dakwah bil hikmah, dakwah bil
hikmah dilakukan dengan cara yang arif dan bijaksana, yaitu melalui pendekatan
sedemikian rupa sehingga pihak obyek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya
sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan, mapun konflik. Inilah yang bisa
diterapkan dalam konsep dakwah lintas budaya.
Budaya-budaya
yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut
menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita
yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada
masing-masing budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita
dengan orang lain selalu mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar
budaya, karena kita akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang
lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu.
Perbedaan-perbedaan
ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan
menimbulkan komunikasi yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau
timbul kesalahpahaman. Akibat dari kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak
kita temui dalam berbagai kejadian yang mengandung etnosentrisme dewasa ini
dalam wujud konflik-konflik yang berujung pada kerusuhan atau pertentangan
antar etnis.
Komunikasi
dan dakwah tidak bisa dipisahkan.Karena dakwah adalah aktifitas berkomunikasi.
Namun lebih khusus komunikasi tentang agama islam, penyebaran islam, dan juga
anjuran baik dan buruk. Disini dakwah dan komunikasi lintas budaya diperlukan.
Mengingat majemuknya budaya di Indonesia menuntut seorang dai untuk bisa
menjadi dai yang professional. Penggunaan metode dakwah yang benar adalah
keharusan.[11].
D.
Beberapa
Contoh Memaknai Dakwa Dalam Proses Budaya
Uraian
berikut mencoba memaknai beberapa budaya dalam konteks dakwah.
1. Padusan
Padusan
adalah budaya masyarakat Islam yang dilakukan menjelang datangnya bulan
Ramadhan. Padusan biasanya dilakukan secara bersama-sama di sebuah tempat
seperti di sendang, kolam renang dan lain sebagainya dengan tujuan mensucikan
diri dalam hal ini mensucikan badan dari kotoran-kotoran yang melekat pada
tubuh, sehingga ketika melaksanakan puasa tubuh telah menjadi bersih dan suci.
Sesuai dengan namanya ”padusan” yang berasal dari kata adus (bahasa Jawa)
berarti membersihkan diri dengan air. Jika dirunut dari ajaran Islam padusan
memang disunatkan, yaitu sebelum melaksanakan puasa Ramadhan setiap muslim
disunatkan membersihkan diri dengan mandi besar.
Dari
sini jelas bahwa padusan dalam budaya Jawa merupakan akulturasi antara budaya
Jawa dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan konteks
dakwah, da’i harus pandai-pandai menjelaskan kepada mad’u agar mad’u tidak
terjebak pada ritualitas semata.
2. Kupatan
Bagi
masyarakat Jawa pada umumnya, perayaan lebaran atau hari raya Idul Fitri, belum
dikatakan lengkap atau afdol bila tidak disudahi menyantap kupat lebaran. Kupat
bisa dimaknai dengan ngaku lepat, sebab seorang akan menjadi satria kalau
berani mengakui kesalahan dan dosa-dosanya, baik kepada Allah SWT maupun kepada
sesama. Namun ada juga yang mengartikan kupat itu dengan laku papat yaitu
lebar, lebur, luber dan labur.
Lebar,
dalam bahasa Jawa juga disebut bubar yakni selesai melakukan ibadah puasa (tapa
brata), waktu penempaan baik fisik maupun batin, menjalankan kewajiban besar
yang berat selama sebulan di bulan Ramadhan. Dengan selesainya tugas luhur
tersebut, masyarakat Jawa menyimbulkan dengan memakan ketupat lebaran atau yang
sering disebut kupat luar sebagai makna telah keluar dari ujian untuk menuju
manusia taqwa dengan penuh kemenangan. Kemenangan disini adalah berhasil
mengekang hawa nafsu, terutama nafsu angkara murka dengan menahan makan dan
minum, menjauhi semua perbuatan jahat lewat indra yang dimiliki seperti mata,
telinga, hidung juga kaki dan tangan serta anggota tubuh yang lain, menutup
semua lubang tubuh yakni dengan penuh ketaqwaan melakukan apa yang menjadi
perintah Allah serta menjauhi apa yang menjadi larangannya, karena semata-mata
mencari kebahagiaan dunia dan akhirat.
Lebur,
yang berarti menghancurkan atau menjadikan sesuatu hancur menjadi tidak
berbekas. Sudah menjadi tradisi di negara kita dalam kehidupan bermasyarakat,
setelah melakukan sholat Id, sesama insan melakukan salam-salaman saling
memaafkan satu sama lain yang kemudian diteruskan dengan silaturrahmi ke tempat
orang tua, sanak saudara, teman dan handai taulan yang lain. Tujuannya yaitu
silaturrahmi, menyambung tali persaudaraan sehingga semuanya suci tanpa dosa
dan kembali fitri, suci seperti kertas putih yang belum terkena tetesan tinta.
Suci seperti bayi yang baru dilahirkan. Fitroh karena segala dosa dan kesalahan
telah lebur menjadi debu dan hilang dihembus angin.
Luber
yaitu seseorang harus mempunyai sifat atau watak yang luhur seperti mau memberi
maaf kepada siapa saja yang memintanya meskipun sebelumnya menjadi musuh dalam
hidupnya.
Labur
sesuai dengan makna Idul Fitri yang berarti kembali suci seperti labur
(gamping) yang warnanya putih dan bersih, yakni setelah melakukan tiga hal
yaitu lebar, lebur dan luber akhirnya menjadi putih dan bersih seperti bayi
yang baru keluar dari kandungan ibunya, tidak punya dosa atau kesalahan serta
masih dalam kondisi suci dan bersih.
Itulah
makna kupat dari laku papat yang harus ditempuh sehingga setelah melakukan
ibadah puasa akan selalu disayang oleh Allah SWT. Pemaknaan budaya seperti itu
harus selalu dikembangkan supaya masyarakat tidak terjebak pada masalah
ritualitas semata yang menyebabkan syirik kepada Tuhannya. Dengan mengerti
makna filosofis yang dikandung oleh suatu budaya, dimungkinkan seseorang dapat
memahami dan mengerti apa yang sedang mereka lakukan.
3. Kenduren
Kenduren
merupakan tradisi/budaya Jawa yang sampai saat ini masih banyak ditemukan di
masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di pedesaan. Kenduren dilaksanakan
setiap ada hajatan seperti pernikahan, sunatan, kematian, membangun rumah dan
sebagainya.
Unsur-unsur
yang harus dipenuhi dalam membuat kenduri sangat dipengaruhi oleh jenis hajatan
yang dilakukan, misalnya kenduri untuk memperingati orang yang meninggal dunia
adalah 1. sego golong (Nasi yang dibentuk bulat seperti bola), 2) sego suci
(nasi uduk), 3) sego bancaan (nasi berkahan), 4) ketan, kolak dan apem, dan 5)
sayur kluweh. Namun pada masyarakat modern khususnya masyarakat yang tinggal di
kota, unsur-unsur tersebut biasanya sudah diganti misalnya sayur kluwih diganti
dengan sayur daging atau ikan, sego golong sudah tidak dipakai lagi, dan
sebagainya.
Dengan
perubahan masyarakat dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern memang
berakibat pada berubahnya nilai tradisi. Nilai tradisi ini jika tidak dimaknai
akan menjerumuskan masyarakat pada masalah-masalah yang sifatnya syirik,
misalnya orang yang mengatakan yang penting kenduren, tidak masalah apa isinya
karena yang wajib adalah kenduren. Ucapan ”kenduren itu wajib” adalah ucapan
yang tidak benar. Oleh karena itu da’i harus mampu menjelaskan kepada
masyarakat apa itu syari’at dan apa yang budaya. Yang budaya perlu diberi makna
filosofisnya supaya masyarakat faham dengan apa yang dilakukan. Misalnya sego
golong maknanya menjadi masyarakat itu harus golong gilik, rukun dengan
tetangga, tidak suka berbuat yang menyakitkan hati orang lain dan sebagainya.
Sego bancaan berarti menjadi masyarakat harus mau berbagi rasa, enak dirasakan
bersama, susah juga dirasakan bersama. Dengan kebersamaan masyarakat akan dapat
mewujudkan sikap rukun dengan tetangga seperti yang disimbulkan dengan sego
golong. Sego suci memiliki makna bahwa sebagai warga masyarakat yang hidup
secara bersama dan bertetangga harus mampu menjaga diri dari perbuatan
perbuatan yang tercela, yang dapat menjauhkan diri dengan komunitas sekitarnya
dan harus memelihara diri tetap suci/ tidak tercela oleh masyarakat sekitar.
Kemampuan menjaga diri ini dapat diwujudkan dengan cara, misalnya, jika berbuat
salah harus segera minta maaf dan jika orang lain minta maaf harus segera
dimaafkan. Inilah sebagian makna filosofis yang dikandung dari simbul tiga nasi
(sego) tersebut. Tiga simbul nasi ini mencerminkan hubungan antar sesama
manusia (hablum min al annas), sedangkan hubungan manusia dengan Tuhan
disimbulkan dengan ketan, kolak dan apem.
Ketan
berasal dari kata khathoan (bahasa arab) yang berarti kesalahan. Setiap orang
hidup pasti punya banyak kesalahan baik itu disengaja maupun tidak disengaja.
Oleh karena setiap orang punya kesalahan maka dia harus meminta maaf kepada
yang Maha Pencipta. Permohonan maaf kepada Sang Pencipta itu disimbulkan dengan
apem yang berasal dari bahasa afwan (bahasa arab). Oleh karena itu dalam
kenduri seorang kaum atau rois biasanya mengajak membaca istigfar terlebih
dahulu kepada peserta yang hadir dalam perjamuan kenduri tersebut. Kemudian
simbul yang ketiga adalah kolak. Kolak berasal dari kata qaulun yang berarti
ucapan. Dalam hal ini adalah ucapan-ucapan atau kalimat-kalimat toyyibah.
Maksudnya adalah setelah peserta kenduri menyadari banyak kesalahan yang telah diperbuat
baik langsung maupun tidak langsung seperti tersebut di atas, kemudian mengakui
dan minta maaf kepada sang pencipta maka langkah berikutnya adalah memperbanyak
ucapan-ucapan yang baik sebagai wujud realisasi pertaubatannya. Oleh karena
itu, biasanya sebelum kenduri dibagikan kepada peserta, seorang kaum atau rois
mengajak tahlil dan kemudian diakhiri dengan do’a. Jadi, melalui simbul kenduri
ini sebenarnya mengingatkan kepada kita semua untuk selalu mengingat akan
dosa-dosa yang telah diperbuat dan kemudian ingat kepada Allah seraya minta
maaf atas kesalahan yang telah diperbuat dengan memperbanyak ucapan kalimat
toyyibah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dakwah adalah proses transformasi ajaran atau nilai-nilai
Islam. Karena dakwah bukan tujuan tetapi sebagai proses, maka da’i harus
pandai-pandai mencari metode yang dapat menarik perhatian mad’unya agar dakwah
berhasil dan mengenai sasarannya. Salah satu metode yang cukup menarik untuk
dikaji yaitu metode pemaknaan budaya. Metode ini sebenarnya bukan baru tetapi
sudah cukup lama ada yakni sejak para Wali Sanga mengajarkan ajaran-ajaran
Islam di Pulau Jawa.
Namun dalam perjalanannya berhenti dan terputus di tengah
jalan. Karena berhenti dan terputus di tengah jalan maka para pemeluk-pemeluk
Islam yang tidak mengerti akulturasi antara budaya dengan ajaran Islam yang
disampaikan oleh para wali menjadi dipahami apa adanya, maka kemudian muncullah
apa yang disebut dengan faham sinkretisme. Oleh karena itu upaya memaknai
kembali budaya-budaya religi menjadi sangat penting untuk kepentingan dakwah
saat ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Amrullah Ahmad (Ed).1985Dakwah Islam dan
Perubahan Sosial.Yogyakarta: PLP2M.
Deddy Mulyana dan Jalaludi Rackhmat.2006.Komunikasi
Antarbudaya :Panduan Berkomunikasi Dengan Orang Berbeda BudayaI. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Dedy mulyana, Jalaludin rachmat.2001. Komunikasi
Antar Budaya,Bandung, Rosdakarya.
Muhammad abdul Baqi.2000.Al-Mu’jam Al-Mufahras li
Alfazh Al-Qur’an.Cairo: Dar Al-Kutub Al-Arabiyyah.
Siti Muriah.2000.Metode Dakwah Kontemporer.
Syaikh Ali Mahfudz.1952.Hidayat Al-Mursyidin.
Cairo: Dar Kutub Al-Arabiyyah.
M. Natsir.1996. “Fungsi Dakwah Perjuangan” dalam
Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah.Yogyakarta:Sipres.
Prof. H.M.
Arifin, M.Ed200.Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Study. Jakarta: Bumi
Aksara.
Prof.Dr.
Abubakar Aceh.1986Potret Dakwah Muhammad saw dan Para Sahabatnya.
Solo:Ramadhani.
Ilaihi Wahyu.2010.Komunikasi Dakwah, Bandung:
PT REMAJA ROSDAKARYA.
Wafiah, Awaludin Pimay.2005.Sejarah Dakwah.Semarang
: Rosail
Warson Munawwi.1994.Kamus Al-Munawwir.Surabaya:
Pustaka Progressif.
[1]
Wafiah, Awaludin Pimay, Sejarah Dakwah, (Semarang, Rosail, 2005), Hal.3
[2]
Warson Munawwi, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1994),
hlm. 439
[3]
Muhammad abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfazh Al-Qur’an, (Cairo:
Dar Al-Kutub Al-Arabiyyah, 2000), hlm. 120, 692, 693.
[4]
Syaikh Ali Mahfudz, Hidayat Al-Mursyidin, (Cairo: Dar Kutub
Al-Arabiyyah, 1952), hlm. 1
[5]
M. Natsir, “Fungsi Dakwah Perjuangan” dalam Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi
Gerakan Dakwah, (Yogyakarta:Sipres, 1996), cet. 1, hlm. 52
[6]
Deddy Mulyana dan Jalaludi Rackhmat.Komunikasi Antarbudaya :Panduan
Berkomunikasi Dengan Orang Berbeda BudayaI. (Bandung : Remaja
Rosdakarya,2006).hlm 25
[7]
Dedy mulyana, Jalaludin rachmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung,
Rosdakarya, 200), hal 12.
[8]
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2004), hlm 69
[9]
Prof.Dr. Abubakar Aceh, Potret
Dakwah Muhammad saw dan Para Sahabatnya, (Solo:Ramadhani, 1986), hlm. 11
[10]
Ibid, hal, 5-6
[11]
Dedy mulyana, Jalaludin rachmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung,
Rosdakarya, 2001), hal 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar