AYAT TENTANG DISBLIN DAN MOTIVASI KERJA
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
NAMA
NIM
1.
ENDANG SULASTRI 1420100215
2.
SITI AISYAH 1420100244
Dosen Pengampu:
H. ALI ANAS NASUTION, M.Ag
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat kesempurnaan
nikmat dan karuniaNYA penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik-baiknya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga
akhir zaman. Aamiin.
Penyusunan
makalah “Ayat Tentang Disiblin dan Motivasi Kerja” ini penyusun buat dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah yang diadakan di semester V dalam bimbingan Bapak
H. Ali Anas Nasution, MM, selaku dosen pengampu.
Penyusun
menyadari benar bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini.
Untuk itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan
dalam penyusunan-penyusunan makalah berikutnya. Namun penyusun tetap berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun pada khususnya dan pembaca
pada umumnya.
Wassalamualaikum
Wr. Wb.
Padangsidimpuan, Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Disiplin
dalam Islam........................................................................ 2
B. Motivasi
Kerja.................................................................................. 9
BAB III PENUTUP.................................................................................... 16
A. Kesimpulan...................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 17
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an
sebagai kitab suci umat Islam yang memiliki tingkat keaslian serta keluasan
pembahasan dalam ilmu pengetahuan tidak akan pernah kering dari panafsiran,
ibarat lautan tanpa batas yang tidak akan pernah kering di minum oleh zaman,
oleh karena itu penafsiran dalam Al Qur’an tidak akan pernah mencapai titik
akhir kecuali atas kehendak Allah, Al Qur’an sendiri diturunkan Allah sebagai
kitab terakhir bagi umat di alam semesta artinya tidak akan ada lagi kitab suci
yang akan di turunkan oleh Allah SWT. Walaupun Allah mampu untuk menurunkannya,
itulah janji Allah.
Akhir-akhir ini,
kita disuguhkan dengan slogan-slogan baik di media cetak, elektronik, atau
spanduk yang bertebaran di jalan-jalan, yang berisi ajakan, seruan dari para
calon pemimpin untuk mempercayai dan memilih mereka dalam pemilu yang akan
datang. Mereka memberikan janji bahwa mereka adalah orang yang dapat dipercaya
untuk mengemban amanah rakyat dan berlaku adil jika terpilih. Meskipun pada
kenyataannya, setelah terpilih banyak yang terkena amnesia sesaat, yaitu lupa
dengan janji dan amanah yang telah diberikan kepada mereka. Selain itu,
akhir-akhir ini pun kita disuguhkan dengan berita-berita terkait kasus suap dan
korupsi yang melibatkan banyak pejabat Negara. Jumlah uang suap dan yang dikorupsi
pun sangat mencengangkan. Kasus tersebut membuka mata kita, bahwa tidaklah
mudah untuk menjalankan amanah dan berlaku adil.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Disiplin
dalam Islam
a. Pengertian
Disiblin
Disiplin
mempunyai makna yang luas dan berbeda – beda, oleh karena itu disiplin
mempunyai berbagai macam pengertian. Pengertian tentang disiplin telah banyak
di definisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Ahli yang satu mempunyai
batasan lain apabila dibandingkan dengan ahli lainnya. Menurut Djamarah disiplin adalah "Suatu tata
tertib yang dapat mengatur tatanan kehidupan pridadi dan kelompok”.[1]
Disiplin adalah
kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan
orang untuk tunduk kepada keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku.
Dengan kata lain, disiplin adalah sikap mentaati peraturan dan ketentuan yang
telah ditetapkan tanpa pamrih. Dengan kata lain, disiplin adalah kepatuhan
mentaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan.
b. Ayat
Tentang Disiblin
a) Ayat
dan Artinya
Dalam
ajaran Islam banyak ayat Al Qur’an dan Hadist yang memerintahkan disiplin dalam
arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan, antara lain surat An Nisa
ayat 59:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya : 59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
QS. Al-Maidah:49
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# wur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdöx÷n$#ur br& qãZÏFøÿt .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAtRr& ª!$# y7øs9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ßÌã ª!$# br& Nåkz:ÅÁã ÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRè 3 ¨bÎ)ur #ZÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ
Artinya : 49.
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling
(dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik.
b) Tafsir
Mufradat
Berkaitan
dengan ayat di atas, sepanjang penulusuran yang penulis lakukan bahwa kata
ا
أَطِيعُوا
sangat sering berulang dalam Al-Qur’an. Kata berulang sampai 79 kali
dengan segala perubahan katanya. Khusus untuk kata di atas berulang sampai 19
kali.[2] Mengapa
kami memilih kata tersebut untuk dikaji, kata tersebut merupakan inti dari ayat
tersebut.
Kemudian
kata selanjutnya yang penulis teliti adalah kata احْكُمْ yang merupakan potongan dari ayat 49 surah
Al-maidah. Kata ini berulang sampai 7 kali dan berulang sampai 203 kali dengan
seluruh perubahan katanya.[3]
Menurut
hemat penulis bahwa ayat yang berkaitan dengan taat dan hukum merupakan hal
yang sangat menarik, karena sebagian besar isi dalam Al-Qur’an membahas tentang
hukum. Itu berarti membahas tema ini sama halnya membahas sebagian besar isi
dalam Al-Qur’an. Buktinya saja ayat-ayat yang berkaitan dengan tema ini begitu
banyak. Kami dapat mengambil kesimpulan bahwa berulang sampai beberapa kali
karena begitu pentingnya dalam masyarakat.
c. Tafsiran
Ayat
a) Surat
An-nisa ayat 59
Pada
Ayat 59 surat An-nisa dan ayat sesudahnya masih berhubungan erat dengan ayat
ayat yang lalu, mulai dari ayat yang memerintahkan untuk beribadah kepada Allah
serta berbakti kepada orang tua. Perintah-perintah itu, mendorong manusia untuk
menciptakan masyarakatyang adil dan makmur, taat kepada Allah dan Rasul serta
tunduk kepada ulil Amri, menyelesaikan perkara berdasrkan nilai-nilai yang
diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Ketika
menafsrkan QS Al-imran ayat 35 Prof
Quraish Shihab mengemukakan bahwa kalau diamati ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan taat kepada Allah dan
rasulnya, ditemukan dua redaksi yang berbeda.[4]
Sekali perintah taat kepada Allah dirangkaikan perintah taat kepada Rasul tanpa
mengulangi kata taatilah seperti pada QS. Al-imran ayat 35 dan pada surat
An-nisa ayat 59 kata taatilah diulangi ,
masing-masing sekali ketika
memerintahkan taat kepada Allah dan sekali memerintahkan taat kepada Rasulnya.
Para
pakar Al-Qur’an menerangkan bahwa apabila perintah taat kepada Allah dan
Rasulnya digabung dengan menyebut dengan hanya satu kali kata taatilah, maka hal itu
mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang diperintahkan
Allah , baik yang diperintahkan secarea langsung di dalam Al-Qur’an maupun
perintahnya yang dijelaskan oleh
Rasul menyangkut hal-hal yang bersumber
dari Allah, bukan beliau perintahkan secara langsung. Adapun bila perintah taat
diulangi, maka disitu rasul mempunyai wewenang serta hak untuk ditaati walaupun
tidak ada dasarnya dari Al-Qur’an. Itu sebabnya perintah taat kepada ulil amri
tidak disertai kata taat karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila
ketaatan terhadap mereka bertentangan dengan ketaatan kepada Allah atau
Rasulnya.
Pendapat
ulama berbeda tentang makna kata ulil Amri . dari segi bahasa kata Uli
adalah bentuk jamak dari
Wali yang berarti pemilik atau
yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa
kalau mereka banyak. Sedangkan kata Al-amri adalah perintah atau urusan. dengan
demikian ulil Amri adalah orang yang
berwewenang mengurus urusan kaum muslimin.[5]
Perlu
dicatat bahwa kata Al Amru berbentuk
makrifat. ini menjadikan banyak ulama membatasi wewenang pemilik kekuasaan itu
hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan, bukan persoalan aqidah.
Dari
penjelasan ulama di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa taat terhadap ulil
amri hanya taat karena adanya pelimpahan wewenang hukum yang berguna untuk
mengatur kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan ketaatan terhadap Allah dan Rasulnya. Kemudian arti taat bukan berarti
menerimah mentah-mentah perintah tersebut. Tetapi kritis dan ikhlas sepenuh
hati melakukannya.
b) Surat
Al-maidah ayat 49
Sekali
lagi melalui ayat ini, Allah mengulangi perintahnya menetapkan hokum sesuai
dengan apa yang diturunkannya, yang telah diperintahkannya pada ayat yang lalu.
Ayat yang lalu menunjukkan konsekuensi turunnya petunjuk ilahi, dan perintah
pada ayat ini adalah karaena apa yang telah diturunkan itu merupakan
kemaslahatan manusia. Perintah ini ditekankan, karena orang-orang yahudi dan
yang semacam mereka tidak henti-hentinya berupaya menarik hati kaum muslimin
dengan berbagai cara.
Kemudian
potongan ayat yang berarti: supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa
yang telah diturunkan kepadamu, ayat ini menekankan kewajiban berpegan teguh
terhadap apa yang diturunkan Allah secara utuh dan tidak mengabaikannya walau
sedikitpun.. di sisi lain hal ini mengisyaratkan bahwa lawan-lawan umat islam
senantiasa berusaha memalingkan umat islam dari ajaran islam walaupun hanya
sebagian saja. Dengan meninggalkan sebagian ajarannya, keberagaman umat islam
akan runtuh. Karena sel-sel ajaran isalam sedemikian terpadu, mengaitkan
sesuatu yang terkecil sekalipun dengan Allah SWT.
Menurut
sepengetahuan penulis, bahwa setiap ayat yang turun pasti terkhusus kepada Nabi.
Dari sinilah kita dapat menyimpulkan bahwa Rasul saja yang kita anggap ma’shum
menerimah ayat ini apa tah lagi kita sebagai umat yang jauh dari kesempurnaan.
Di sisi lain ayat ini membuktikan bahwa adanya pemeliharaan Allah terhadap
hambanya.
Kemudian
lanjutan ayat selanjutnya yaitu maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak
menimpakan musibah kepada mereka, merupakan hiburan kepada Nabi SAW. Yang
menghadapi keengganan orang yahudi dan nasrani menerimah ajakan beliau.
Selanjutnya penggalan kata selanjutnya pada potongan ayat tersebut, sengaja
dicantumkan untuk mengisyaratkan bahwa penyampaian hakikat itu adalah sebagai
pengajaran kepada Nabi dan siapapun tentang kehendak Allah dalam pengertian di atas, sehingga
karena itu merupakan kehendaknya, maka tidak wajar keenggana mereka beriman
melahirkan kesedihan.
Kemudian
penggalan kalimat: disebabkan sebagian dosa-dosa mereka, mengandung makna bahwa
sebagian dosa mereka yang lain, Allah abaikan karena memang rahmatnya
sedemikian luas dan pengampunannya sedemikian besar, sehingga sebagian dosa
manusia diampuni sesuai dengan firmannya.[6]
Selanjutnya
potongan ayat sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Artinya tidak sedalam-dalamnya mengikuti tuntunan agama kebanyakan manusia
menyalahi tuntunan Allah yang menentang yang hak.[7]
Muhammad
bin ishak meriwayatkan dari ibnu Abbas berkata: terjadi percakapan anatara
Ka’ab bin Asad dan Abdullah bin Syiria dan Syas bin Qais mereka berkata: marilah pergi menemui Muhammad kalau dapat mempengaruhi
atau menyelewenkan dia dari agamanya maka mereka dating kembali dan berkataya
Muhammad anda telah mengetahui bahwa kami pendeta, guru dari kaum yahudi dan
terkemuka di antara mereka dan bila kami ikut kepadamu pasti orang yahudi
mengikuti kami dan tidak ada yangt menentang kami dan kini terjadi sengketa
antara kami dengan suku yang lain kami akan mengajak mereka bertahkim kepadamu
jika kamu berjanji memenangkan kami, kami akan percaya kepadamu namun Nabi
menolak.
d. Munasabah
dan Asbabun Nuzul Ayat
Berbicara soal
munasabah ayat, tentu saja kita akan membahas dan berusaha mekorelasikan ayat
ini sesuai dengan makna, kandungan dan
asbabun nuzul ayat tersebut.
Berdasarkan
asbabun nuzul, ayat 59 surat An-nisa turun mengenai Abdullah bin Hudzafah bin
Qais sewaktu di utus oleh nabi memimpin suatu pasukan tempur. Ini diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dari Ibni Abbas.[8]
Ad-dawudi
berkata: riwayat ini mereka menyalah
gunakan nama Ibni Abbas, karena sesungguhnya
Abdullah bin Hudzafah ketika berangkat dan keluar bersama pasukannya, ia marah-marah,
lalu ia menyalakan api dan berkata: terjunlah kalian, maka sebagian mereka
banyak yang menolak dan sebagian lagi
banyak yang terjun ke dalamnya. Ad-dawudi berkata lagi: sekiranya ayat ini
diturunkan sebelumnya, mengapa dikhususkan pada Abdullah bin Hudzafah untuk
mentaatinya bukan yang lain. Ini berarti bahwa ayat ini turun karna adanya
sebagian pasukan yang menolak untuk turun berperang.
Kemudian sebab
turun ayat 49 surat Al-maidah, diriwayatkan oleh ibnu ishak yang bersumber dari
ibni Abbas bahwa Ka’ab bin Usaid Abdullah
bin suraya dan Saisy bin Qais berkata: pergilah kalian bersama kami
menghadap Muhammad, mudah-mudahan kami dapat memalingkannya dari agamanya.
Sesampainya di tempat Nabi mereka berkata;
ya Muahammad sesungguhnya kamu tau bahwa kami adalah pendeta-pendeta
Yahudi, orang-orang terhormat, ketika kami mengikuti jejakmu maka orang yahudi
akan mengikuti jejakmu ketika kamu memenangkan kami atas mereka dalam perkara
ini, lalu Nabi menolaknya.
Ketika kita
mekorelasikan ayat ini maka pada ayat pertama turun karna penolakan atas orang
yang tidak mau turun peran dan ayat
kedua adalah perintah untuk berlaku adil terhadap semua perkara. Nah letak
kesesuaian ayat tersebut adalah bagaiman seorang rakyat menaati atas perintah
Allah, Rasul dan para pemimpin mereka. Kemudian sebaliknya para pemimpin
tersebut bagaimana berlaku adil terhadap rakyat-rakyatnya tanpa memandang bulu
dan warna. Ketika para rakyat yang disimbolkan dalam asbabun nuzul adalah
pasukan mampu untuk menaati aturan-aturan yang telahh ditetapkan oleh
pemerintah begitupun pemerintah mampu untuk berlaku adil terhadap raklyatnya,
maka apa yang disebutkan opleh akhir ayat ke 59 surat An-nisa yaitu keutamaan
dan akibat yang baik dapat terealisasikan. Keutamaan menurut hemat kami dalam
hal ini adalah adanya keseimbangan antara pemerintah dan rakyat biasa. Kemudian akibat adalah kesejahteraan, damai
dan makmur.
Inilah korelasi
di antara dua ayat tersebut. Bagaimana sesorang pemimpin mampu berklaku adil
terhadap rakyatnya, begitupun rakyat mampu mematuhi rambu-rambu pemerintahan.
Kedamaian,
kesejahteraan dan ketentraman tergantung terhadap siapa yang menjalani. Artinya
kita ini semua menginginkan hal tersebut, maka dari itu hendaklah kita mampu
merubah diri kita masing-masing minimal dengan merubah paradigma kita, cara
berpikir kita, sehingga kita dapat bersaing dengan Negara- Negara yang lebih
maju daripada Negara kita. Kita mampu berubah ketiak kita memulai dari
sekarang.
B.
Motivasi
Kerja
a. Pengertian
Motivasi Kerja
a) Pengertian
Motivasi
Dalam
Islam kata Motivasi lebih dikenal dengan Niat yaitu dorongan yang tumbuh dalam
hati manusia,yang menggerakkan untuk melaksanakan amal perbuatan atau ucapan
tertentu.
Kata
motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan didalam
subjek untuk melakukan aktivitas – aktivitas tertentu demi mencapai suatu
tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai kondisi intern (kesiap siagaan).
Berawal dari kata “motif” itu, maka “motivasi” dapat diartikan sebagai daya
penggerak yang telah menjadi aktif, motif menjadi aktif pada saat tertentu,
terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan mendesak.[9]
b) Pengertian
Kerja
Kerja
dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik
dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa
Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan
melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari
nafkah.
KH.
Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu
upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang
terbaik atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia
memanusiakan dirinya.[10]
Lebih
lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai
tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan
prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Di
dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan
yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja
tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan
hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat.
b. Ayat
tentang Mootivasi Kerja
a) Surah
At-Taubah Ayat 105
È@è%ur (#qè=yJôã$# uz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( cruäIyur 4n<Î) ÉOÎ=»tã É=øtóø9$# Íoy»pk¤¶9$#ur /ä3ã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ
Artinya
: 105. Dan Katakanlah: "Bekerjalah
kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan.
c) Teks,
Mufradat dan Terjemah[11]
c. Tafsiran
Ayat[12]
Pada ayat ke 105
dalam surat At-taubah, Allah telah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar
menyampaikan kepada umatnya, bahwa ketika mereka telah mengerjakan amal-amal
shaleh, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang - orang mukmin lainnya akan
melihat dan menilai amal-amal tersebut. Dan mereka akan dikembalikan ke alam
akhirat, dan mereka akan diberikan ganjaran-ganjaran atas amal yang mereka
kerjakan selam hidup di dunia.
Disamping itu
Allah juga telah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengatakan kepada kaum muslimin
yang ingin bertaubat dan membersihkan diri dari dosa-dosa dengan cara
bersedekah dan mengeluarkan zakat dan mengerjakan amal shaleh semaksimal
mungkin. Umat manusia dianjurkan agar tidak hanya merasa cukup dengan melakukan
tobat, membayar zakat, sedekah, dan shalat semata-mata, melainkan haruslah
mereka mengerjakan semua apa yang diperintahkan oleh Allah kepada umat-Nya.
Allah akan melihat pekerjaan yang mereka lakukan, sehingga mereka semakin dekat
kepada Allah. Rasulullah dan kaum muslimin akan melihat amal-amal kebajikan
yang dikerjakan oleh umat manusia, sehingga merekapun akan mengikuti dan
mencontohnya pula. Dan Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda bagi
mereka yag menjadi panutan, tanpa mengurangi pahala mereka yang mencontoh.
Setelah
orang-orang mukmin melihat amal-amal yang dikerjakan oleh umat manusia, Allah
akan menjadikan kaum muslimin sebagai saksi dihadapan Allah pada hari kiamat
mengenai iman dan amalan dari sesama kaum muslim. Persaksian yang didasarkan
atas penglihatan mata kepala sendiri lebih kuat dan lebih dapat dipercaya. Oleh
sebab itu, kaum muslimin yang melihat amal kebajikan yang dilakukan oleh umat
manusia yang insaf dan bertobat kepada Allah, akan menjadi saksi yang kuat
besok dihari kiamat, tentang benarnya iman, tobat, dan amal shaleh mereka. Amal
disini diartikan pekerjaan, usaha, perbuatan atau aktifitas hidup. Tanda
kesungguhan tobat mereka itu dengan amal-amal yang tampak, yang dilihat oleh
Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin.
Dapat juga
dikatakan bahwa, ayat ini menyatakan: “katakanlah, bekerjalah kamu demi karena
Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu
maupun untuk masyarakat umum, dan Allah akan melihat, yakni menilai dan memberi
ganjaran amal kamu itu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah yang Maha
Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu sanksi dan
ganjaran atas apa yang telah kamu kerjakan, baik yang nampak kepermukaan maupun
yang kamu sembunyikan dalam hati”.
d. Asbabun
Nuzul[13]
Asbabun Nuzul
ayat ini, tidak secara langsung dijelaskan mengenai sebab turunnya ayat. Dalam
kitab Lubabun Nuqul fii Asbabin Nuzul hanya menerangkan sebab turunnya ayat
sebelumnya, yaitu ayat ke-102.
Dalam kitab
tersebut menerangkan tentang peristiwa Abu Lubabah dan lima orang lainnya tidak
ikut berperang. Peristiwa tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasullah
pergi berperang. Kemudian mereka merenung,menyesal, dan mereka berkata “kita
akan celaka. Kita berada ditempat yang teduh dan tenang bersama kaum wanita,
sementara Rasulullah saw dan kaum mukminin yang bersama beliau sedang berjihad.
Kemudian mereka bersumpah, Demi Allah, kami akan mengikat tubuh kami ditiang
masjid, dan kami tidak akan melepaskannya kecuali jika Rasulullah sendiri yang
melepaskannya.”. Setelah mereka bersumpah, kemudian merekapun melakukan apa
yang sudah mereka ucapkan. Akan tetapi tidak semua dari mereka melakukannya,
ada tiga orang yang tidak melaksanakan sumpahnya. Sepulang dari peperangan,
Rasulullah bertanya, “siapakah orang-orang yang terikat ditiang ini?” ada
seseorang yang menjawab, “ini Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang tidak ikut
berperang. Mereka bersumpah tidak akan melepaskan ikatannya kecuali jika
Rasulullah sendiri yang melepaskan mereka”. Kemudian Rasulullah berkata, “aku
tidak akan melepaskan mereka kecuali jika aku diperintahkan (oleh Allah SWT)”.
Dengan adanya peristiwa itu, lalu Allah menurunkan ayat ke-102 dari Surat
At-Taubah dan kemudian Rasulullah melepaskan mereka dan memaafkan mereka.
Hal tersebut juga
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, dengan
tambahan, “setelah Abu Lubabah dan kawan-kawannya dilepaskan, lalu mereka
menghadap Rasulullah Saw dengan membawa harta benda mereka. Mereka datang
dengan membawa harta benda bermaksud agar Rasulullah mau melakukan apa yang
mereka minta, yakni agar Rasulullah saw mau menolong mereka untuk menyedekahkan
harta benda mereka, dan memintakan ampunan kepada Allah untuk mereka”. Kemudian
Rasulullah menjawab, “aku tidak diperintahkan mengambil secuil pun dari harta
kalian”. Setelah itu Allah menurunkan ayat ke-103 dari Surat At-Taubah, yang
berbunyi, “ambillah zakat dari mereka, guna membersihkan dan menyucikan
mereka”. Asbabun Nuzul tersebut juga serupa dengan yang disampaikan oleh Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Tetapi beliau menambahi, walaupun sebab turunnya
ayat ini mengenai Abu Lubabah, namun dalam pelaksanaannya bersifat umum.10
Semua petugas yang mempunyai kewenangan, yakni para kholifah dan badan-badan
yang berwajib, berhak untuk mengambil dan mengumpulkan zakat. Adapun
orang-orang yang diambil hartanya untuk zakat adalah, orang-orang yang memiiki
harta yang berlebih, termasuk orang-orang muslim yang kaya. Hal serupa juga
disampaikan didalam kitab Al-Qur’an dan Tafsirnya keluaran dari Kementerian
Agama R.I. yang menerangkan bahwa Abu Lubabah dan kawan-kawan tidak ikut
berperang karena harta bendanya, dan mereka memohon kepada Rasulullah agar
mengambil harta bendanya dan memohonkan ampunan untuk mereka.
e. Munasabah
Ayat[14]
Imam
Zuhaili menerangkan bahwa sedekah merupakan satu penebus dosa dari orang-orang
mu’min yang tidak ikut dalam perang tabuk. Pada ayat-ayat yang lalu telah
disebutkan sikap sebagian kaum muslimin yang mencampuradukkan antara perbuatan
yang baik dan yang jelek. Akan tetapi mereka menyadari perbuatannya dan mereka
ingin menebus kesalahan-kesalahan itu, baik dengan cara bertobat maupun dengan
bersedekah atau mengeluarkan zakat. Setelah itu, Allah memerintahkan kepada
Nabi Muhammad saw untuk mengambil sebagian harta dari pemiliknya baik dalam
bentuk sedekah ataupun zakat, untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya.
Dan
selanjutnya Allah memberi kabar gembira bahwa Allah akan menerima taubat dan
sedekah hamba-Nya yang benar-benar beriman dan ikhlas dalam beramal. Menurut
pendapat Hamka,16 ayat ke-105 dari
Surat
at-Taubah dihubungkan dengan surat al-Isra’ ayat 84:
قُلۡ كُلّٞ
يَعۡمَلُ
عَلَىٰ
شَاكِلَتِهِۦ
فَرَبُّكُمۡ
أَعۡلَمُ
بِمَنۡ
هُوَ
أَهۡدَىٰ
سَبِيلٗا
٨٤
Katakanlah:
“ tiap-tiap orang
beramal menurut bakatnya tetapi tuhan engkau lebih mengetahui siapakah yang
lebih mendapat petunjuk dalam perjalanan”
Setelah
dihubungkan dengan ayat tersebut, dapat diketahui bahwa Allah menyuruh manusia
untuk bekerja menurut bakat dan bawaan, yaitu manusia diperintahkan untuk
bekerja sesuai tenaga dan kemampuannya. Artinya manusia tidak perlu mengerjakan
pekerjaan yang bukan pekerjaannya, supaya umur tidak habis dengan percuma.
Dengan demikian,
manusia dianjurkan untuk tidak bermalas-malas dan menghabiskan waktu tanpa ada
manfaat. Mutu pekerjaan harus ditingkatkan, dan selalu memohon petunjuk Allah.
Adapun munasabah
ayat setelahnya yaitu ayat yang ke-106 dari surat at-Taubah yang isinya tentang
orang-orang muslim yang sedang kebingungan, karena mereka tidak ikut berperang,
serta mereka tidak pula meminta izin kepada Nabi Muhammad saw. Dan mereka tidak
mempunyai alasan untuk tidak ikut berangkat perang bersama Nabi Muhammad Saw.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aktivitas yang
kita kerjakan untuk mencari nafkah jangan hanya kita niatkan untuk kehidupan
dunia semata, melainkan kita niatkan ibadah kepada Allah SWT supaya amalan kita
tidak menjadi amalan yang rugi ketika di akhirat kelak.Karena pada hakekatnya
manusia diciptakan oleh Allah SWT hanyalah untuk beribadah kepada-Nya.
Disiplin
mempunyai makna yang luas dan berbeda – beda, oleh karena itu disiplin
mempunyai berbagai macam pengertian. Pengertian tentang disiplin telah banyak
di definisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Ahli yang satu mempunyai
batasan lain apabila dibandingkan dengan ahli lainnya
Motivasi adalah
kejiwaan dan sikap mental manusia yang memberikan energi, mendorong kegiatan
atau gerakan yang mengarah dan menyalurkan perilaku kearah mencapai kebutuhan
yang memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Djamarah, 1994. Prestasi Belajar Dan Kompetensi
Guru. Surabaya: Usaha Nasional.
Muhammad fuad Abdul Baqi, 1945. Al mu’jam Al
mufahras li Al fadz Al Qur’an Al karim .Mesir; Darul Kutub.
Muhammad Quraish Shihab, 2007. Tafsir Al Misbah,
Jilid II .cet. IX; Jakarta: lentera Hati.
Prof dr Hamka, 1983. Tafsir Al Azhar,
Juz 4, 5, 6 .Jakarta: Panjmas.
H . Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, 2003. Terjemah
Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid II. Kuala Lumpur: Victory Agencie.
Al Imam Jalaluddin As Suyuti, 1986. lubabun Nuqul
fii Asbab An nuzul, Surabaya: Mutiara Ilmu.
Zuhaili, 2005. Tafsir al-Muniir,
Suriyah: Daar Al-Fikri.
Qosim, 1992. Tafsir al-Qosimi, Libanon: Daar
al-Katab.
Maraghi, 2006. Tafsir al-Maraghi, Libanon:
Daar al-Katab.
[1]
Djamarah, Prestasi Belajar Dan Kompetensi Guru. (Surabaya: Usaha
Nasional,1994)., hal. 87
[2]
Muhammad fuad Abdul Baqi, Al mu’jam Al mufahras li Al fadz Al Qur’an Al
karim ( Mesir; Darul Kutub , 1945), h. 430.
[3]
Ibid., h. 212.
[4]
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Jilid II ( cet. IX; Jakarta:
lentera Hati, 2007), h. 483
[5]
Ibid., h. 484
[6]
Prof dr Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz 4, 5, 6 ( Jakarta: Panjmas,
1983), h. 132
[7]
H . Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu
Katsier, Jilid II( Kuala Lumpur: Victory Agencie, 2003), h. 113
[8]
Al Imam Jalaluddin As Suyuti, lubabun Nuqul fii Asbab An nuzul, (
Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986), h. 163.
[9]
Muchdarsyah Sinungan, Produktivitas Apa dan Bagaimana, (Jakarta, Bumi
Aksara, 2003), hal. 134
[10]
Winardi, Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta,
PT Raja Grasindo Persada, 2007), hal. 1
[12]
Qosim, Tafsir al-Qosimi, (Libanon: Daar al-Katab, 1992), hal. 184
[13]
Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Libanon: Daar al-Katab, 2006), hal. 243
[14]
Akh. Muwafik Saleh, Bekerja dengan Hati Nurani, (Jakarta, Erlangga, 2009), hal. 65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar