ATURAN HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL MENURUT
GATT DAN WTO
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 4
NAMA NIM
1.
IDA FEBRIANI 14102000
2.
NURHAMNA
DALIMUNTHE 1410200101
3.
SYAHRI YULIANA
LUBIS 1410200115
DOSEN PENGAMPU
PURNAMA HIDAYAH, MH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan. Segala puji hanya
bagi Allah atas segala berkah, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ Aturan Hukum Perdagangan
Internasional Menurut DATT dan WTO”.
Dalam
penyusunan dan penulisannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan dan kepercayaan yang begitu
besar.
Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat
lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi
semua pembaca.
Wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Padangsidimpuan, Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................ 2
A. Aturan
Hukum Perdagagangan General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT)................................................................ 2
B. Aturan
Hukum World Trade Organization (WTO)......................... 4
C. Hubungan
GATT dan WTO............................................................ 8
BAB III PENUTUP.................................................................................... 10
A. Kesimpulan...................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 11
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Semenjak
konferensi GATT pertama di selenggarakan di jenewa tahun 1948 merupakan tonggak
sejarah untuk pertama kali negara peserta menyepakati untuk mengurangi hambatan
dalam perdagangan internasional melalui upaya penurunan tarif masuk.Hal ini
membuktikan bahwa negara” dunia yang terlibat dalam perdagangan internasional
telah bersepakat untuk tidak melakukan perlawanan produk dalam negri dengan
cara menghalangi masuknya bahan dari negara lain. Upaya penurunan tarif masuk
dilakukan terus menerus melalui berbagai konferensi perdagangan internasional.
Terlepas dari
masih adanya kontroversi tentang perdagangan bebas, dari sudut hukum bahwa
ratifikasi yang dilakukan pemerintah indonesia terhadap WTO merupakan suatu
fakta hukum yang terbemtukl atas dasar kemauan politik pemerintah untuk
mendorong sistem perdagangan bebas yang tidak dapat di hindari. Perubahan ini
terutama disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan treknologi yang
semakin cepat meluas sejalan dengan perubahan dalam sikap dan fikiran manusia yang
semakin maju. Sebagain akibat dari proses perubahan tersebut, bangsa bangsa
harus bekerjasama baik dalam tataran global maupun regional.
Menghadapi sikap
diskriminatif dari negara-negara maju terhadap import dari negara-negara
berkembang, premerintah indonesia hendaknya lebih berperan untuk menekankan
adanya pengaturan multilateral sebagaimana memuat GATT yang didasarkan pada
prinsip-prinsip ekonomi yang dalam hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan
bangsa dapat ditingkatkan melalui perdagangan bebas serta melandaskan asas
nondiskriminasi.
Dukungan
indonesia terhadap sistem perdagangan yang terbuka yang telah berlangsung sejak
1980an. Semenjak dua puluh tahun terakhir, ekonomi indonesia dapat disebut
sebagai dasa warsa reformasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Aturan
Hukum Perdagagangan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)
GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade) atau perjanjian umum tentang tarif-tarif dan
perdagangan didirikan pada tahun 1948 di Jenewa, Swiss. Pada waktu didirikan,
GATT beranggotakan 23 negara, tetapi pada saat sidang terakhir di Marakesh pada
5 April 1994 jumlah negara penandatangan sebanyak 115 negara.
Indonesia
mengakui bahwa sejak tahun 1948 aturan-aturan GATT telah terbukti mempunyai
peranan besar dalam mengembangkan perdagangan internasional. Manfaat yang
dirasakan indonesia dari pengaturan GATT adalah keberhasilan dalam
mengembangkan ekspor, terutama ekspor nonmigas. Indonesia telah menjadi anggota
GATT sejak awal, sebagai mana negara yang memiliki kondisi khusus, memerlukan
perlakuan yang berbeda. Secara utuh ini berarti kewajiban yang lebih lemah
dalam membuat konsensi disatu pihak dan hak atas konsesi yang lebih akomodatif
dari negara industri. Secara formal, perlakuan khusus dalam diferensial bagi
negara berkembang merupakan bagian dari GATT, khusunya bagian IV GATT 1947.
Akan tetapi sacara material sistem preferensi umum merupakan satu-satunya produk
kongkrit dalam kaitan ini.[1]
Menghadapi sikap
diskriminatif dari negara-negara maju terhadap impor dari negara-negara berkembang,
indonesia menekankan perlunya pengaturan perdagangan multilateral sebagaimana
dimuat di GATT.[2]
Dalam
menjalankan fungsi-fungsinya, ada beberapa prinsip utama yang dipakai oleh
GATT. Huala Adolf menyebutkan bahwa ada
6 prinsip yang digunakan GATT yaitu Most-Favoured-Nation
(MFN), National Treatment, Prinsip
Larangan Restriksi Kuantitatif, Prinsip Perlindungan melalui Tarif, Prinsip
Resiprositas, dan Prinsip Perlakuan Khusus bagi Negara sedang Berkembang. Dalam
kaitan dengan prinsip-prinsip tersebut, dikenal juga Kaidah Dasar Minimum (Minimum Standards), Kaidah Dasar
Tindakan Pengaman dengan Klausul Penyelamat (Safeguards and Escape Clause), Kaidah Dasar mengenai Penyelesaian
Sengketa secara Damai, Kaidah Dasar Kedaulatan Negara atas Kekayaan Alam, Kemakmuran
dan Kehidupan Ekonominya, dan Kaidah Dasar Kerjasama Internasional.
Pertama, Prinsip
Most-Favoured-Nation (MFN). Prinsip
ini menekankan bahwa suatu kebijakan perdagangan negara harus dilaksanakan atas
dasar nondiskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk
memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan
kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya. Namun
demikian, ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini. Salah satu pengecualiannya
disebutkan dalam pasal XXIV yang mengatur bahwa jika ada anggota-anggota GATT
yang membentuk suatu Custom Union atau Free Trade Area, maka anggota-anggota
GATT tersebut tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota
lainnya.
Kedua, Prinsip
National Treatment. Dalam prinsip ini, negara anggota diwajibkan untuk
memberikan perlakuan yang sama atas barang-barang impor dan lokal, paling tidak
setelah barang impor memasuki pasar domestik. Ketiga, Prinsip Larangan
Restriksi Kuantitatif. Prinsip ini melarang adanya pembatasan kuantitatif
terhadap ekspor-impor dalam bentuk apapun.Keempat, Prinsip Perlindungan melalui
Tarif. Prinsip ini menekankan bahwa GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi
terhadap industri domestik melalui tarif dan tidak melalui upaya-upaya
perdagangan lainnya.
Kelima, Prinsip
Resiprositas. Prinsip ini berlaku dalam perundingan-perundingan tarif yang
didasarkan atas hubungan timbal balik yang saling menguntungkan kedua belah
pihak. Prinsip ini sering mengalami hambatan dalam pelaksanaannya dikarenakan
adanya perbedaan tingkat perekonomian antarnegara, terutama antara negara maju
dengan negara berkembang. Sebagai contoh, negara maju ingin mendapat keringanan
bea masuk seperti yang diberikan negara tersebut kepada negara sedang
berkembang. Padahal, daya saing negara berkembang tidak sekuat negara maju.
Oleh karena itu, pelaksanaan prinsip ini harus diimbangi oleh itikad baik dari
negara-negara maju untuk membantu perkembangan perdagangan internasional
negara-negara berkembang, dengan memberikan perlakukan-perlakuan khusus.
Keenam, Prinsip
Perlakuan Khusus bagi Negara sedang Berkembang. Prinsip ini berfungsi sebagai
dasar hukum bagi negara maju untuk memberikan Generalized System of Preferences (GSP atau Sistem Preferensi Umum)
kepada negara-negara sedang berkembang. Dari semua prinsip tersebut, ada sebuah
prinsip lain yang disebut Prinsip Transparansi (Transparency), yang mewajibkan negara-negara anggota GATT untuk
bersikap terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya,
sehingga memudahkan para pelaku usaha melakukan kegiatan perdagangan.[3]
B.
Aturan
Hukum World Trade Organization (WTO)
a. Proses
terbentuknya WTO
Pada tahun-tahun
awal, Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan
tariff. Pada Putaran Kennedy
(pertengahan tahun 1960-an) dibahas mengenai tariff dan Persetujuan Anti
Dumping (Anti Dumping Agreement).
Putaran Tokyo
(1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara progresif. Hasil
yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor
terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff rata-rata atas
produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama
8 tahun, mencakup unsur “harmonisasi” – yakni semakin tinggi tariff, semakin
luas pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo gagal
menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan perdagangan produk
pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai “safeguards” (emergency import measures). Meskipun
demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di
berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan
GATT yang sudah ada.[4]
Selanjutnya
adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO.
Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua
bidang perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut nampaknya akan berakhir
dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay membawa perubahan besar
bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia
II. Meskipun mengalami kesulitan dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay
memberikan hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui
suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara
berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan
laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan langkah
penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia.
b. Tujuan
WTO
Tujuan WTO meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan,
menambah lapangan pekerjaan, meningkatkan produksi dan perdagangan, juga
memanfaatkan SDA. Dari tujuan WTO tersebut, banyak negara-negara berkembang
yang sampai sekarang taraf hidup dan kesejahteraannya masih dibawah maksimum,
sama dengan lapangan pekerjaan. Padahal tujuan WTO memang harus menciptakan
perdagangan yang fair.
c. Peran
WTO
Pada tahun 1994,
perundingan perdagangan dunia Uruguay Round akhirnya dapat diselesaikan dan
berbagai perjanjian telah disepakati dalam bentuk General Agreement On Tariff and Trade (GATT).[5] Dimana
waktu itu GATT sendiri bertujuan mengatur jalannya perdagangan internasional
pada masa itu, yang meliputi perdagangan dan tarif harga. GATT sendiri awal
berdirinya ketika berakhirnya Perang Dunia II tahun 1947, di mana terjadi
krisis ekonomi besar-besaran di dunia oleh negara-negara yang kalah perang di
Perang Dunia II.
Peminjaman uang
atas kerusakan infrastruktur dan struktur dilakukan oleh negara-negara yang
tidak mempunyai sukup dana untuk membiayai negaranya sendiri. Oleh karena itu,
mereka meminjam uang kepada Amerika Serikat yang waktu itu memilik modal yang
lebih dari cukup dengan bunga yang sangat tinggi pula. Dalam pembaharuan GATT
1994 yang sekarang berkaitan dengan Uruguay Round (1986-1994) : Perdagangan
internasional mengalami distorsi (kondisi produk di negara berkembang dilakukan
secara monopoli), jadi pemerintah menerapkan pajak barang mewah. Lalu muncullah
sektor-sektor investasi asing di negara berkembang karena negara maju meminta
negara berkembang untuk membuka investasi asing karena negara maju tidak mampu
membayar upah buruh.
Waktu dari
pembentukan WTO, hambatan perdagangan internasional masih tetap tinggi. Produk
industri di 42 negara industri maju dan berkembang, rata-rata masih
memberlakukan tarif antara 18 sampai 59 persen.
Setelah Perang
Dunia II digunakanlah alat pembangunan internasional yaitu dollar melalui IMF
dan Bank Dunia. Dulunya melalui perdagangan commodity, sekarang melalui service
atau jasa. Di WTO sendiri terdapat fair trade dan market oriented. Fair trade
dikhususkan untuk negara maju dan negara berkembang.
Untuk negara
berkembang sendiri, WTO belum dirasakan cukup membantu dalam perekonomian
internasionalnya. Seperti kebijakan anti dumping lebih banyak dimanfaatkan oleh
negara-negara maju, khususnya untuk produk industri. Export subsidies mempunyai
peranan penting bagi negara berkembang atau industri baru dalam mengurangi
ledakan tenaga kerja
d. Persetujuan-persetujuan
dalam WTO
Hasil dari
Putaran Uruguay berupa the Legal Text
terdiri dari sekitar 60 persetujuan, lampiran (annexes), keputusan dan kesepakatan. Persetujuan-persetujuan dalam
WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung
prinsip-prinsip utama liberalisasi.[6]
Struktur dasar
persetujuan WTO, meliputi:[7]
a) Barang/
goods (General Agreement on Tariff and
Trade/ GATT)
b) Jasa/
services (General Agreement on Trade and
Services/ GATS)
c) Kepemilikan
intelektual (Trade-Related Aspects of
Intellectual Properties/ TRIPs)
d) Penyelesaian
sengketa (Dispute Settlements)
Persetujuan-persetujuan
di atas dan annexnya berhubungan antara lain dengan sektor-sektor di bawah ini:
a) Pertanian
b) Sanitary and Phytosanitary/
SPS
c) Badan
Pemantau Tekstil (Textiles and Clothing)
d) Standar
Produk
e) Tindakan
investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs)
f) Tindakan
anti-dumping
g) Penilaian
Pabean (Customs Valuation Methods)
h) Pemeriksaan
sebelum pengapalan (Preshipment
Inspection)
i) Ketentuan
asal barang (Rules of Origin)
j) Lisensi
Impor (Imports Licencing)
k) Subsidi
dan Tindakan Imbalan (Subsidies and
Countervailing Measures)
l) Tindakan
Pengamanan (safe guards)
Untuk jasa (dalam Annex GATS) :
a) Pergerakan
tenaga kerja (movement of natural persons)
b) Transportasi
udara (air transport)
c) Jasa
keuangan (financial services)
d) Perkapalan
(shipping)
e) Telekomunikasi
(telecommunication)
e. Prinsip-prinsip
Perdagangan Multilateral WTO[8]
a) MFN
(Most-Favoured Nation): Perlakuan
yang sama terhadap semua mitra dagang.Dengan berdasarkan prinsip MFN,
negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra
dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus
diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.
b) Perlakuan
Nasional (National Treatment) Negara
anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan
lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.
c) Transparansi
(Transparency) Negara anggota
diwajibkan untuk bersikap terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan
perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan
perdagangan.
C.
Hubungan
GATT dan WTO
Apakah GATT sama
dengan WTO? Tidak. WTO adalah GATT ditambah dengan banyak kelebihan. Untuk
lebih jelasnya General Agreement on Tarrifs and Trade (GATT) adalah :[9]
a. GATT
sebagai suatu persetujuan internasional, yaitu suatu dokumen yang memuat
ketentuan untuk mengatur perdagangan internasional.
b. GATT
sebagai suatu organisasi internasional yang diciptakan lebih lanjut untuk
mendukung persetujuan tersebut. Teks persetujuan GATT dapat disetarakan sebagai
undang – undang, organisasi GATT seperti parlemen dan pengadilan yang
digabungkan ke dalam suatu lembaga.
Walaupun upaya
untuk menciptakan suatu badan perdagangan internasional pada tahun 1940-an
mengalami kegagalan, para perumus GATT sepakat bahwa mereka menginginkan suatu
peraturan perdagangan. Para pejabat pemerintah juga mengharapkan adanya
pertemuan/forum guna membahas isu – isu yang berkaitan dengan persetujuan
perdagangan. Keinginan tersebut memerlukan dukungan suatu sekretariat yang
jelas dengan perangkat organisasi yang efektif. Oleh karena itu, GATT sebagai
badan internasional, tidak lagi eksis. Badan tersebut kemudian digantikan oleh
World Trade Organization (WTO).
GATT sebagai
suatu persetujuan, masih tetap eksis dan telah diperbarui, tetapi tidak lagi
menjadi bagian utama aturan perdagangan internasional. GATT selalu berkaitan
dengan perdagangan barang dan masih tetap berlaku. GATT telah diubah dan
dimasukkan ke dalam persetujuan WTO yang baru. Walaupun GATT tidak ada lagi
sebagai organisasi internasional, persetujuan GATT masih tetap berlaku. Teks
lama dikenal dengan GATT 1947 dan versi terbaru dikenal dengan GATT 1994.
Persetujuan GATT yang baru tersebut berdampingan dengan GATS (General Agreement
on Trade in Services) dan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual
Property Rights). WTO mencakup ketiga persetujuan tersebut dalam satu
organisasi, atau aturan dan satu sistem untuk penyelesaian sengketa.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Indonesia dalam
hal ini mendukung dengan perdagangan bebas dengan menjadi anggota GATT dan WTO
Indonesia mengakui bahwa sejak tahun 1948 aturan-aturan GATT telah terbukti
mempunyai peranan besar dalam mengembangkan perdagangan internasional. Manfaat
yang dirasakan indonesia dari pengaturan GATT adalah keberhasilan dalam
mengembangkan ekspor, terutama ekspor nonmigas. Indonesia telah menjadi anggota
GATT sejak awal, sebagai mana negara yang memiliki kondisi khusus, memerlukan
perlakuan yang berbeda. Secara utuh ini berarti kewajiban yang lebih lemah
dalam membuat konsensi disatu pihak dan hak atas konsesi yang lebih akomodatif
dari negara industri.
Dilihat dari
penerapan prinsip – prinsip nondiskriminasi, yang menguntungkan bagi Indonesia
misalnya ketika negara kita hendak mengimpor sesuatu ke negara lain, maka
berdasarkan prinsip MFN bea masuk yang akan dikenakan terhadap komoditi dari
Indonesia adalah sama dengan yang diberlakukan terhadap komoditi dari negara
lainnya, dan hal ini menguntungkan bagi negara kita.
Sebaliknya,
penerapan prinsip National Treatment bisa saja merugikan Indonesia, dimana
berdasarkan prinsip ini harus diberlakukan sama antara barang dalam negeri
dengan barang dari luar negeri. Apabila Indonesia tidak siap untuk bersaing
dengan barang – barang import yang masuk, maka barang produksi dalam negeri
tentu saja akan kalah oleh barang – barang yang masuk dari luar negeri
tersebut. Selain itu, Pemerintah Indonesia berdasarkan prinsip ini tidak boleh
membedakan perlakuan terhadap pengusaha dalam negeri dengan perlakuan terhadap
pengusaha dari luar negeri.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiono Kusumohamidjojo, 1987. Hubungan
Internasional, Kerangka untuk Analitis, Bina Cipta Jakarta.
Hans J. Morgenthau, 1990, Politik
Antabangsa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Hal Hill, 2002, Ekonomi Indonesia Edisi ke
2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Michael. P Todaro, 2000, Pembangunan Ekonomi
2 Edisi Kelima, Bumi Aksara, Jakarta.
Perwira, Anak Agung dan Yani, Yanyan, 2005. Pengembangan Ilmu Hubungan Internasional.
PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
T May Rudi, 2003, Hubungan Internsional
Kontemporer dan Masalah-masalah Global. PT. Refika Aditama.
[1]
T May Rudi, Hubungan Internsional Kontemporer dan Masalah-masalah
Global. (PT. Refika Aditama, 2003)., hal 2
[2]
Ibid., hal. 3
[3]
Budiono Kusumohamidjojo, Hubungan Internasional, Kerangka untuk
Analitis, (Bina Cipta Jakarta, 1987)., hal. 86
[4]
Perwira, Anak Agung dan Yani, Yanyan, Pengembangan
Ilmu Hubungan Internasional. (PT Remaja Rosdakarya. Bandung, 2005), hal 76.
[5]
Hans J. Morgenthau, Politik Antabangsa, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1990), hal 178.
[6]
Ibid., hal. 89
[7]
Michael. P Todaro, Pembangunan Ekonomi 2 Edisi Kelima, (Bumi Aksara, Jakarta, 2000)., hal
483.
[8]
Ibid., hal. 489
[9]
Hal Hill, Ekonomi Indonesia Edisi ke 2, (PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002). hal 227.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar