.arrow { font-size: 18px; font-family: serif; font-weight: 900; } .readmore-link { margin-top: 20px; border-bottom: 1px solid gainsboro; margin-left: 250px; }
SELAMAT DATANG DI BLOG HOLONG MARINA COMPUTER/ INANG GROUP CORPORATION

RAJA MAKALAH

RAJA MAKALAH

Jumat, 27 Januari 2017

DAKWAH DALAM SOSIOLOGI (PEJABAT DAN PEMIMPIN)

DAKWAH DALAM SOSIOLOGI
(PEJABAT DAN PEMIMPIN)




D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
        Nama                            : ARI EPENDI
        NIM                     : 1430400001


DOSEN PENGAMPU
SHOLEH FIKRI




JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN

T.A 2016


KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat illahi robbi atas curahan nikmat dan karunianya. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan pada rasullulah muhammad SAW beserta keluarga (ahli bait) sehingga penelitian tugas akhir ini dapat berjalan dengan lancar dalam penyelesaiannya.
Dengan rasa syukur dan mengucapkan “al-hamdulilahirobbil alamin”penulis hadirkan ke hadirat allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang. Atas taufik dan hidayahnya  sehingga penulisa dapat mebnyelesaikan Makalah ini, walaupun mungkin masih banyak kekurangan.
Dakwah sangat bermanfaat untuk membukaan hati dan mencerahkan hati serta juga  amar ma’ruf nahi munkar.
Semoga penelitian tugas akhir ini bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya dan bagi teman-teman lainnya.
.

Padangsidimpuan,   Oktober 2016

Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................. .. i
DAFTAR ISI................................................................................................................................. .. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................. .. 1
A.    Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................. .. 2
A.    Definisi dakwah................................................................................................................ .. 2
B.     Pemimpin atau  Pejabat..................................................................................................... .. 2
C.     Urgensi Dakwah Birokrasi (Pejabat atau Pemimpin).......................................................... 3
D.    Berdakwah Kepada Penguasa Hukumnya Wajib ............................................................... 4
E.     Nabi dan Dakwah Kepada Birokrat ................................................................................... 6
BAB III PENUTUP......................................................................................................................... 12
A.    Kesimpulan ......................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dakwah merupakan hal terpenting dalam ajaran islam, karena dengan dakwah ajaran agama dapat dilestarikan dan tidak akan hilang. Dakwah merupakan salah satu usaha yang berupa ajakan dengan sadar dan terencana untuk mengajak seseorang ataupun agar lebih sadar dan mengamalkan ajaran islam pada setiap aspek kehidupan dengan murni dan konsekuen serta pesan yang disampaikan da’i kepada mad’u tanpa adanya unsur-unsur paksaan.
Dakwah islam merupakan salah satu kewajiban umat muslim dalam mewujudkan kehidupan sosial yang baik dalam semua segi kehidupan hingga tercapainya konsep khairul ummah. Dakwah juga bisa diartikan sebagai ajakan baik secara lisan maupun tulisan, tingkah laku dan lain sebagainya
Dalam berdakwah seorang da’i tidak mudah dalam mengajak mad’u untuk bisa menerima dakwahnya, apalagi dakwah yang dilakukan seorang da’i yang dilaksanakan di daerah pedesaan yang akan menghadapi masyarakat kelas atas. Dalam dimensi agama, masyarakat kelas atas umumnya masih bersifat menganut kepercayaan yang sangat minim. Dalam masyarakat kelas atas biasanya kehidupan memiliki kesibukan yang tinggi.
Masyarakat kelas atas itu terdapat jarak hubungan sosial antar penduduknya yang bersifat khas, yakni hubungan kekeluargaan, bersifat pribadi, tidak banyak pilihan dan kurang tampak adanya sosial, atau dengan kata lain bersifat pribadi.
Sehingga pemakalah dirasa sangat penting untuk meneliti bagaimana dakwah dimasyarakat kelas atas. Seorang da’i harus bisa menggunakan berbagai cara yang bijaksana agar dalam penyampaian ajaran islamnya kepada masyarakat desa bisa menjadi dakwah yang efektif dan tepat sasaran.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi dakwah
Berikut ini beberapa definisi dakwah yang dikemukakan para ahli mengenai dakwah.
-          Menurut Prof. Toha Yahya Omar, M.A
“Mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah tuhan, untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat”.[1]
-          Menurut Prof.A.Hasjmy
“Dakwah islamiyyah yaitu mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan aqidah dan syariat islamiyyah yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah sendiri”.[2]
-          Menurut Syaikh Ali Mahfudz
“Memotifasi manusia untuk berbuat kebajikan, mengikuti petunjuk, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran agar mereka memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.[3]

B.     Pemimpin atau  Pejabat
Pemimpin atau pejabat dalam bahasa yang mencakup lebih luas adalah birokrat, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa birokrat adalah seorang yang menjadi bagian dari birokrasi. Sedangkan birokrasi, yaitu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah berdasarkan pada hierarki dan jenjang jabatan. Birokrasi juga mempunyai makna cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan yang berliku-liku.[4]
Berdakwah di kalangan birokrat, berarti menyampaikan dakwah kepada orang-orang yang berada di lingkungan instansi pemerintah atau kantor pemerintahan, baik mereka pegawai negeri sipil (PNS) biasa maupun pejabat dalam berbagai tingkatannya. Dan, sudah menjadi rahasia umum, bahwa berurusan dengan birokrasi di negeri ini sangatlah ribet dan melelahkan, sehingga banyak yang memilih “jalan pintas.” Namun demikian, kita tak boleh patah arang. Adalah kewajiban kita untuk menyampaikan dakwah Islam ini kepada berbagai kalangan dan seluruh lapisan masyarakat. Tentu, dengan cara yang baik, bil hikmah wal mau'izhatil hasanah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, QS. An-Nahl: 125
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ  
Artinya : 125. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Di atas adalah makna pertama. Adapun makna kedua yaitu, birokrat berdakwah kepada sesama birokrat, di mana dalam hal ini sang da'i adalah seorang birokrat yang bekerja di lingkungan birokrasi. Jadi, ini merupakan dakwah internal. Birokrat berdakwah kepada para birokrat yang berada di sekitarnya. Sedangkan di atas adalah dakwah eksternal.

C.    Urgensi Dakwah Birokrasi (Pejabat atau Pemimpin)
Dakwah tak pandang bulu. Dakwah disampaikan kepada siapa pun tanpa kecuali, bahkan kepada non muslim sekalipun. Khusus dakwah kepada pemerintah dan penguasa, ia mempunyai keutamaan tersendiri dan maslahat yang sangat besar. Bagaimanapun dakwah akan lebih leluasa dan relatif berjalan lebih baik manakala mendapatkan dukungan dari penguasa. Dan, munculnya penguasa yang adil inilah sesungguhnya di antara tujuan dakwah di kalangan birokrat.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ

“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari kiamat dalam lindungan-Nya di hari tiada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, yaitu; penguasa yang adil,[5].
Setidaknya, ada empat alasan pentingnya dakwah di kancah birokrasi ini. Pertama; menghilangkan atau meminimalisasi kemungkaran yang ada di lingkungan pemerintahan, baik tingkah laku orangnya maupun “kebijakan-kebijakan”nya. Kedua; memasukkan dan mewarnai pemerintahan dengan kebaikan, baik pada personnya maupun ketetapan-ketetapannya. Ketiga; mendekatkan mereka kepada Islam agar lebih mengenal ajaran-ajarannya serta mau menerapkan syariatnya, mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Dan keempat; diharapkan jika pemerintahnya baik, maka akan baik pula rakyatnya.
Semakin besar kecenderungan dan ghirah penguasa terhadap Islam, tentu pengaruhnya sangat besar bagi rakyat yang dipimpinnya, sebagaimana sebuah ungkapan terkenal mengatakan,
صِنْفَانِ مِنَ أُمَّتِي إِذَا صَلَحَا صَلَحَ النَّاسُ وَإِذَا فَسَدَا فَسَدَ النَّاسُ : الْعُلَمَاءُ وَالْأُمَرَاءُ
“Dua golongan dari umatku yang jika keduanya baik, maka baik pula orang-orang. Dan, apabila keduanya rusak, maka rusaklah orang-orang. Mereka yaitu para ulama dan penguasa.[6]

D.    Berdakwah Kepada Penguasa Hukumnya Wajib
Berdakwah kepada pemerintah bukan hanya penting, bahkan ia adalah wajib bagi siapa pun yang berkesempatan dan mampu melakukannya (baca: fardhu kifayah). Lihatlah bagaimana Allah ‘Azza wa Jalla mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimassalam untuk berdakwah kepada Fir’aun, sang raja angkuh yang mentahbiskan dirinya sebagai tuhan. Dalam Al-Qur`an Al-Karim disebutkan, QS. Thaha: 43 dan 44
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى . فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى .
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka, berbicalah kamu berdua kepadanya dengan perkataan yang lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut.
Selain itu, berdakwah kepada penguasa dan para birokrat ini pun hukumnya menjadi wajib jika tiadanya dakwah kepada mereka menjadikan umat Islam tertekan dan tidak leluasa menjalankan kewajibannya. Dalam kaedah ushul fiqih dikatakan,
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib.”
Selanjutnya, sekiranya terdapat kemungkaran pada penguasa di mana mereka gemar melakukan dosa, membiarkan atau membuka pintu kemaksiatan, dan membuat peraturan yang melanggar syariat; maka kita wajib mencegah mereka sebatas kemampuan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan apabila masih tak mampu, maka cukup dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah.[7]
Setelah menyebutkan hadits ini, Imam An-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) mengomentari bahwa sudah menjadi ijma’ umat bahwa amar makruf nahi mungkar adalah perkara wajib berdasarkan Al-Qur`an dan sunnah. Ia juga bagian dari nasehat yang merupakan agama itu sendiri. Tidak ada yang menyelisihi dalam hal ini kecuali sebagian Syi’ah Rafidhah.[8]

E.     Nabi dan Dakwah Kepada Birokrat
Ingat kisah Abdullah bin Ummi Maktum Radhiyallahu 'Anhu, seorang sahabat yang buta, dan turunnya surat 'Abasa? Ya, ketika di Makkah, saat kaum muslimin masih minoritas dan tertindas, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sangat bersemangat dan ingin sekali agar ada sebagian tokoh kaum kaum kafir Quraisy Makkah yang masuk Islam. Sampai-sampai, keinginan Nabi yang menggebu ini membuat beliau melakukan suatu “kesalahan” yang ditegur oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (w. 774 H) menceritakan, bahwa manakala Abu Jahal mendengar tentang pohon zaqum, dia berkata kepada orang-orang yang ada di sekitar Ka'bah, "Tahukah kalian apa itu zaqum? Dia itu korma yang dicampur dengan buih. Jadi, mari kita bareng-bareng makan zaqum!" Maka, Allah Ta'ala pun menurunkan ayat; QS. Ad-Dukhan: 43 dan 44.
إِنَّ شَجَرَةَ الزَّقُّوْمِ طَعَامُ الْأَثِيْمِ
(Sesungguhnya pohon zaqum itu adalah makanan orang pendosa)
Saat itu, Al-Walid bin Al-Mughirah ada di sana. Nabi pun mendekati Al-Walid dan mengajaknya bicara. Sebelumnya, Nabi memang sangat ingin Al-Walid masuk Islam. Tetapi, tahu-tahu datang Ibnu Ummi Maktum yang langsung berbicara kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan minta dibacakan Al-Qur`an.
Kedatangan Ibnu Ummi Maktum ini membuat Nabi agak kesal sehingga beliau menghardiknya.[9] Hal ini karena Ibnu Ummi Maktum dianggap mengganggu urusan beliau bersama Al-Walid yang beliau harapkan keislamannya. Dan, ketika Ibnu Ummi Maktum terus bertanya, Nabi pun pergi meninggalkannya dengan muka masam. Maka, Allah Ta'ala menurunkan firman-Nya; 'Abasa wa tawallaa, an jaa`ahul a'maa, sampai ayat marfuu'atim muthaharah.
Keinginan Nabi yang sangat besar akan keislaman Al-Walid bin Al-Mughirah yang justru membuat beliau ditegur Allah, adalah bukti betapa pentingnya nilai dakwah kepada kalangan birokrat. Mungkin Nabi beranggapan, jika Al-Walid masuk Islam, tentu risalah yang beliau bawa akan lebih mudah diterima oleh kaum Quraisy Makkah. Atau, setidaknya Islam akan bertambah kuat dengan adanya tokoh teras penduduk Makkah yang masuk Islam.
Dan, bukan hanya saat di Makkah saja ketika kaum muslimin masih lemah. Setelah di Madinah pun ketika kaum muslimin relatif sudah kuat, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam masih melangsungkan dakwah birokrasi ini, namun dalam bentuk yang berbeda. Kali ini dengan cara mengirimkan delegasi dan surat.
Sejatinya ada perbedaan antara birokrat dan rijalul qaum atau pimimpin suatu kaum. Yang terakhir, biasa disebut sebagai tokoh masyarakat. Perbedaan mendasar adalah, bahwasanya seorang birokrat merupakan pimpinan di suatu instansi pemerintah. Sementara tokoh masyarakat merupakan pemimpin informal non pemerintah di suatu wilayah tertentu. Kesamaannya, harus diakui bahwa baik birokrat ataupun tokoh masyarakat, sama-sama mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi perkembangan dakwah Islam.
Menurut Prof. Didin Hafiduddin, yang disebut birokrat di Indonesia adalah pejabat pemerintah di lingkungan departemen di bawah level dirjen (Direktur Jenderal), yakni tingkat direktur atau eselon dua ke bawah. Di tingkat inilah para birokrat mempunyai “kekuasan.” Mereka sudah mempunyai sistem yang sangat sulit diubah, siapa pun pemimpinnya. Dan, sesungguhnya di sinilah letak area dakwah seorang dai di kalangan birokrat.[10]
Seorang birokrat ada kalanya merupakan tokoh masyarakat. Sebagaimana seorang tokoh masyarakat, terkadang juga seorang birokrat. Namun demikian, tak sedikit pula seorang birokrat tidak begitu berpengaruh di lingkungan masyarakat. Sebagaimana seorang tokoh masyarakat (yang PNS), karena bukan pejabat, dia pun tak punya pengaruh di kantornya. Atau, jika tokoh masyarakat tersebut bukan pegawai negeri sipil (PNS), maka otomatis dia pun bukan seorang birokrat.
Berdakwah kepada kalangan birokrat di Indonesia adalah amal yang mulia dan terhitung “pekerjaan” berat. Bagaimana tidak, birokrat dan birokrasi di negeri ini sudah sangat terkenal keburukan dan kebobrokannya. Meski tentu tidak bisa digeneralisir semuanya. Andi Yuliani Paris (saat itu anggota komisi II DPR) menilai, bahwa aparat pemerintahan tidak mampu meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan para birokrat kepada masyarakat. Menurutnya, birokrasi di Indonesia selama ini hanya melayani dirinya sendiri, bukan melayani rakyat
Merupakan kewajiban atas para da’i untuk memperhatikan batasan-batasan syariat, dan menasehati pemimpin mereka dengan ucapan yang baik, bijak serta dengan cara yang baik pula, agar kebaikan itu bertambah banyak dan kejelekan semakin berkurang.
Dan agar da’i kepada jalan Allah bertambah, semakin giat untuk berdakwah dengan cara yang baik, bukan dengan kekerasan, menasehati para pemimpin dengan segala cara yang baik dan selamat, serta mendoakan mereka di tempat yag terpisah: semoga Allah memberi hidayah kepada mereka, menunjukkan dan membantu mereka kepada kebaikan. Dan semoga Allah menolong mereka untuk dapat meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan, serta menegakkan kebenaran.
Imam Syafi’i ra. berkata: “Barang siapa menegur saudaranya dengan cara tersembunyi, maka ia telah menasehati dan menghiasinya, dan barang siapa yang menegur saudaranya dengan cara terus terang di hadapan khalayak, maka ia telah membeberkan aibnya dan menjelek-jelekkannya.”[11]
Pada suatu saat dinyatakan kepada Mis’ar bin Qidaam rahimahullah: “Sukakah engkau kepada orang yang memberitahukanmu tentang aib/kekuranganmu? Beliau menjawab: “Bila ia menyampaikan nasehat kepadaku di tempat sunyi, maka saya akan menyukainya, dan bila ia menegurku di hadapan khalayak ramai, niscaya aku tidak akan menyukainya.”
Al Ghazali, mengomentari perkataan Mis’ar bin Qidaam dengan berkata: “Sungguh ia telah benar, karena sesungguhnya nasehat yang disampaikan di hadapan khalayak ramai adalah penghinaan.” (Ihya’ ‘Ulumuddin 2/182)
Bila hal ini berlaku pada perorangan, maka lebih pantas untuk diindahkan ketika kita hendak menyampaikan nasehat kepada para penguasa, pejabat pemerintahan, atau pemimpin suatu negara.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa dengan suatu perkara maka janganlah ia menyampaikannya secara terbuka (di hadapan umum -pen) akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan sang penguasa dan berdua-duaan dengannya (empat mata). Jika sang penguasa menerima (nasehat) darinya maka itulah (yang diharapkan-pen), dan jika tidak (menerima) maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.” (Riwayat Ahmad, At-Thobrooni, dan Ibnu Abi ‘Ashim, dan Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Zhilaalul Jannah)
Syaikh Utsaimin pernah ditanya, “Kenapa anda tidak menegur pemerintah dan menjelaskan hal itu kepada masyarakat?” Maka beliau menjawab, “…Akan tetapi nasehat telah disampaikan… sungguh demi Allah!!! Aku beritahukan kepada engkau (wahai fulan), dan aku beritahukan kepada saudara-saudaraku bahwa sikap: “Mempublikasikan sikap anda yang telah menyampaikan nasehat kepada pemerintah mengandung dua mafsadat/marabahaya:[12]
Mafsadat pertama: Hendaknya setiap orang senantiasa mengkhawatirkan dirinya akan tertimpa riya, sehingga gugurlah amalannya
Mafsadat kedua: Bila pemerintah tidak menerima nasehat tersebut, maka teguran ini menjadi hujjah (alasan) bagi masyarakat awam untuk (menyudutkan) pemerintah. Akhirnya mereka akan bergejolak (terprovokasi) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” (Dari kaset as’ilah haula lajnah al-huquq as-syar’iyah. Sebagaimana dinukil oleh Syaikh Abdul Malik Ramadani dalam Madarik an-Nazhor hal 211)
Diantara metode berdakwah kepada para penguasa ialah dengan cara mendoakannya agar mendapatkan petunjuk dari Allah Ta’ala, bukan malah mendoakan kejelekan untuknya.
Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Seandainya aku memiliki suatu doa yang pasti dikabulkan (mustajabah) niscaya akan aku peruntukkan untuk penguasa, karena baiknya seorang penguasa berarti baiknya negeri dan rakyat. (Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Dzahaby 8/434)
Seorang pengikut sunnah Nabi mestinya bergembira tatkala mengetahui bahwa metode dalam menasehati pemerintah ternyata telah dijelaskan dengan gamblang oleh Nabi SAW: “Sebaik-baik jihad adalah perkataan adil (yang diucapkan) di sisi penguasa yang jahat.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Hakim & Al Albany)[13]
Pada hadits ini, tidak ada sama sekali dalil yang menyebutkan bahwa penyampaian nasehat ini disampaikan di hadapan khalayak ramai, atau dari atas podium, atau yang serupa. Bahkan terdapat satu isyarat bahwa nasehat ini disampaikan secara langsung dihadapannya, oleh karena itu beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yg artinya): “di sisi/di hadapan seorang penguasa yang jahat“.
Dengan demikian hadits ini amat menyelisihi perbuatan banyak orang yang sok berpegangan dengan hadits ini, kemudian berorasi di mana-mana dengan menyebutkan berbagai kritikannya kepada pemerintah, atau dengan berdemontrasi, atau yang serupa. Sebab ia menyampaikan nasehat bukan di hadapan penguasa, akan tetapi di hadapan masyarakat, sehingga yang terjadi hanyalah kekacauan, keresahan dan jatuhnya kewibawaan pemerintah di hadapan masyarakat. Dan bila kewibawaan pemerintah telah jatuh, maka para penjahat, pencuri, perampok, dan orang jahat lainnya akan semakin berani melancarkan kejahatannya.
Seorang pengikut sunnah Nabi mestinya adalah orang yang semangat dalam menjalankan metode-metode yang diajarkan Nabi. Maka sungguh sangat menyedihkan jika kita mendapati seorang yang mengaku sebagai “Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah” kemudian malah mencari metode-metode lain yang tidak diajarkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.[14]
Oleh karena itu sikap menghujat pemerintah baik di mimbar-mimbar atau di ceramah-ceramah atau melalui demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan di jalan-jalan sangat bertentangan dan bertolak belakang dengan metode yang digariskan oleh Rasulullah SAW


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Birokrat sangat banyak dalam berbagai tingkatannya, dari level RT, RW, kelurahan, hingga istana presiden. Pada setiap tingkatnya pun terdapat banyak birokrat sesuai jabatannya. Bisa saja kita termasuk dalam lingkup birokrasi jika kita berada di lingkungan pemerintahan. Dan, ini adalah ladang dakwah sekaligus tantangan bagi seorang dai; apakah dia bisa konsisten ataukah hanyut dalam nikmatnya kekuasaan.
Bagi para dai yang berada di luar lingkaran birokrasi, kesempatan berdakwah kepada mereka senantiasa terbuka dan mengundang, tentu saja ini sesuai kesempatan dan kemampuan.
Ada empat alasan pentingnya dakwah di kancah birokrasi ini. Pertama; menghilangkan atau meminimalisasi kemungkaran yang ada di lingkungan pemerintahan, baik tingkah laku orangnya maupun “kebijakan-kebijakan”nya. Kedua; memasukkan dan mewarnai pemerintahan dengan kebaikan, baik pada personnya maupun ketetapan-ketetapannya. Ketiga; mendekatkan mereka kepada Islam agar lebih mengenal ajaran-ajarannya serta mau menerapkan syariatnya, mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Dan keempat; diharapkan jika pemerintahnya baik, maka akan baik pula rakyatnya.



DAFTAR PUSTAKA
Hasjmy,A. 1984. Menurut Al-Qur’an,jakarta, bulan bintang.
HR. Al-Bukhari (6308), At-Tirmidzi (2313), An-Nasa`i (5285), Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (1105), Ibnu Hibban (4563), dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (7196); dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu.
Didinhafiduddin, 1989. Dakwah Aktual(jakarta: gema Insani Prees.
Mahfudz, Ali Syaikh , 1952. Hidayah Al-M ursyidin, Cairo: Dar Kutub Al-Arabiyyah.
Natsir, M.”Fungsi Dakwah Perjuangan” dalam Abdul Munir Mukhan, Ideologi Gerakan Dakwah,yogyakarta: sipres.
Nur, ma’ruf Farid, 1981. Dinamika dan Akhlak Dakwah, surabaya: Bina Ilmu.
Omar, Yahya Toha ., 1979. Ilmu Dakwah,jakarta: wijaya.
Zuhri, Siifuddin. 2011. Intelektualitas dakwah. semarang:RASAIL Media Group.




[1] Prof. Toha Yahya Omar,M.A., Ilmu Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1979),  Hlm 1
[2] Prof. A. Hasjmy,Menurut Al-Qur’an, (Jakarta, Bulan Bintang, 1884), hlm 18
[3] Syaikh Ali Mahfudz, Hidayah Al-M ursyidin, (Cairo: Dar Kutub Al-Arabiyyah, 1952). hlm 1
[4] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Penerbit Balai Pustaka – Jakarta, Edisi 3, Cet. II, th. 2002 M, Hlm 156.
[5] HR. Al-Bukhari (6308), At-Tirmidzi (2313), An-Nasa`i (5285), Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (1105), Ibnu Hibban (4563), dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (7196); dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu
[6] HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jami' Bayan Al-'Ilmi wa Fadhlih (742) dan Tamam dalam Al-Fawa`id (1404) dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma. Hadits ini dimaudhu'kan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha'ifah wa Al-Mau'dhu'ah (16) dan Dha'if Al-Jami' Ash-Shaghir (7935)
[7] HR. Ahmad (10651), Muslim (186), Ibnu Majah (4003), Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (7297), Ibnu Hibban (308), dan Ath-Thayalisi (2298); dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu.
[8] Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawiy, tahqiq: Syaikh Muhammad Abdul Azhim, penerbit Dar At-Taqwa li An-Nasyr wa At-Tauzi’: Kairo, th 2004, jld I, juz 2, hlm 217
[9] M. Natsir,”Fungsi Dakwah Perjuangan” dalam Abdul Munir Mukhan, Ideologi Gerakan Dakwah, (yogyakarta: sipres , 1996), hlm 52
[10] Ibid , hal 7
[11] Prhof. KH. Siifuddin Zuhri, Intelektualitas dakwah (semarang:RASAIL Media Group, 2011), hlm 50
[12] Didinhafiduddin, Dakwah Aktual(jakarta: gema Insani Prees), hlm 67
[13] Farid Ma’ruf Nur,Dinamika dan Akhlak Dakwah, (surabaya: Bina Ilmu,1981), hlm 29
[14] Ibid., hlm 245-247.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar