AKUNTANSI ATAS
AKAD MURABAHAH
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
KELOMPOK 5
NAMA NIM
1.
RAHMAT
DAPIK 1440200
2.
UMMU
KHOIROH 1440200226
3.
DENI
HENIDA 1440200
4.
DEVI
NURJANNAH 1440200
DOSEN
PENGAMPU
WINDARI, SE,
M.Pd
JURUSAN EKONOMI
SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI
DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
T.A
2016
KATA
PENGANTAR
Segala
puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan
salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat
limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan
tugas makalah ini.
Dalam
penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain
berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala
yang penulis hadapi teratasi.
Makalah
ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari
diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan
pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa IAIN Padangsidimpuan. Kami
sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk
itu, kepada dosen pembimbing kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah
kami di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran
dari para pembaca.
Padangsidimpuan, Oktober 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................ 1
A.
Latar Belakang .................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 2
A.
Pengertian Akad Murabahah............................................................. 2
B.
Ketentuan
Syariah............................................................................. 3
C.
Jenis Akad
Murabahah...................................................................... 4
D.
Rukun Dan Ketentuan Akad Murabahah.......................................... 6
E.
Penerapan Akad Murabahah Dalam Lembaga
Syariah .................... 8
F.
Ilustrasi Kasus Akad Murabahah ...................................................... 10
BAB III PENUTUP...................................................................................... 11
A.
Kesimpulan........................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 12
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara
luas, jual beli dapat diartikan sebagai pertukaran harta atas dasar saling
rela. Menurut (Sabiq, 2008) jual beli adalah memindahkan milik dengan (ruad)
yang dapat dibenarkan (sesuai syariah) pertukaran dapat dilakukan antara uang
dengan barang-barang dengan barang yang biasa kita kenal dengan barter dan uang
dengan uang misalnya pertukaran nilai mata uang rupiah dengan yen.
Muslim
harus mengetahui jual beli yang diperbolehkan dalam syariah, agar harta yang
dimiliki halal dan baik. Seperti kita ketahui, jual beli adalah salah satu
aspek dalam muamalah (hubungan manusia dengan manusia), dengan kaidah dasar
semua boleh kecuali yang dilarang. Kalau belum tahu mana yang dibolehkan dalam
syariah, atau belum mengetahui suatu ilmu tertentu, kita wajib mencari tahu
sebagaimana sabda Rasulullah:
“Menuntut
ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang muslim”. (HR. Ibnu Majah)
Pertukaran
uang dengan barang yang biasa kita kenal dengan jual beli dapat dilakukan
secara tunai atau dengan cara pembelian tangguh. Pertukaran barang dengan
barang, terlebih dahulu harus memperhatikan apakah barang tersebut merupakan
barang ribawi (secara kasat mata tidak dapat dibedakan) atau bukan. Untuk
pertukaran barang ribawi seperti emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, anggur kering dengan
anggur kering, dan garam dengan garam maka pertukarannya agar sesuai syariah
harus dengan jumlah yang sama dan harus dari tangan ke tangan atau tunai,
karena kelebihannya adalah riba. Untuk pertukaran mata uang yang berbeda harus
dilakukan secara tunai.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad Murabahah
Murabahah adalah salah
satu bentuk jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini berlandaskan
pada sabda Rasulullah SAW dari Shuhaib ar Rumy r.a.:
"Ada
tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai (murabahah),
muqaradhah (nama lain dari mudharabah) dan mencampur tepung dengan gandum untuk
kepentingan rumah, bukan untuk diperjualbelikan." (HR. Ibnu Majah).[1]
Al Murabahah adalah
kontrak jual-beli atas barang tertentu. Pada transaksi jual-beli tersebut
penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak
termasuk barang haram. Demikian juga, harga pembelian dan keuntungan yang
diambil dan cara pembayarannya harus disebutkan dengan jelas.[2]
Dalam teknis perbankan,
murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang (penjual)
dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan
dari jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah adalah sama
dengan rukun dan syarat dalam fiqih, sedangkan syarat-syarat lain seperti
barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang
bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah
keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang diambil
oleh bank.
Pengertian murabahah secara lafdzi berasal dari
masdar ribhun (keuntungan). Murabahah adalah masdar dari
Rabaha-Yurabihu-Murabahatan (memberi keuntungan).[3]
Sedangkan secara istilahi, Wahbah al-Zuhailiy mengutip beberapa definisi yang
diberikan oleh para Imam Mujtahid. Diantaranya; Ulama hanafiyah mengatakan,
murabahah adalah memindahkannya hak milik seseorang kepada orang lain sesuai
dengan transaksi dan harga awal yang dilakukan pemilik awal ditambah dengan
keuntungan yang diinginkan. Ulama syafi’iyah dan hanabilah berpendapat
murabahah adalah jual beli yang dilakukan seseorang dengan mendasarkan pada
harga beli penjual ditambah keuntungan dengan syarat harus sepengetahuan kedua
belah pihak.
Selama akad belum
berakhir maka harga jual-beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi perubahan
maka akad tersebut menjadi batal. Cara pembayaran dan jangka waktunya
disepakati bersama, bisa secara lumpsum ataupun secara angsuran. Murabahah
dengan pembayaran secara angsuran ini disebut juga bai' bi tsaman ajil. Dalam
prak-teknya nasabah yang memesan untuk membeli barang menunjuk pemasok yang
telah diketahuinya menyediakan barang dengan spesifikasi dan harga yang sesuai
dengan keinginannya. Atas dasar itu bank melakukan pembelian secara tunai dari
pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya, kemudian menjualnya secara tangguh
kepada nasabah yang bersangkutan. Melalui akad murabahah, nasabah dapat
memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan
tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah
memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan barang tersebut.
B.
Ketentuan Syariah
Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah adalah sebagai berikut:[4]
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh
harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan
nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal
yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara
hutang.
6. Bank kemudian menjual barang
tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus
keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok
barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang
telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepaki.
8. Untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan
perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada
nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus
dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank.
C.
Jenis Akad Murabahah
Murabahah
dapat
dilakukan berdasarkan pesanan
atau tanpa pesanan:
a. Murabahah
berdasarkan Pesanan
Dalam murabahah berdasarkan
pesanan, penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli
Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak
mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya Dalam murabahah pesanan mengikat
pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Jika aset murabahah yang telah
dibeli oleh penjual, dalam murabahah pesanan mengikat, mengalami penurunan
nilai sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut menjadi
beban penjual dan akan mengurangi nilai akad.[6]
Murabahah pesanan
mengikat; mengalami penurunan nilai
karena kerusakan sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan
nilai tersebut menjadi beban penjual (bank) dan penjual (bank) akan mengurangi
nilai akad.
Secara singkat Akad Murabahah
berdasarkan pesanan dapat di gambarkan sebagai berikut:[7]
b. Murabahah
tanpa Pesanan
Dalam murabahah
tanpa pesanan, penjual melakukan pembelian barang tanpa memperhatikan ada
pemesanan dari pembeli.
Secara
singkat Akad Murabahah tanpa pesanan dapat digambarkan sebagai berikut:[8]
D. Rukun Dan Ketentuan Akad Murabahah
Oleh karena murabahah adalah salah satu jenis jual beli, maka rukun
murabahah adalah seperti rukun jual beli pada umumnya, yang menurut jumhur
ulama’ yaitu aqidain, adaya objek jual beli, shighat, dan harga yang
disepakati. Jika kempat hal tersebut ditemukan, maka jual beli dianngap
memenuhi rukunnya.
Sedangkan syarat-syarat murabah
adalah sebagai berikut:[9]
1. Harga
awal harus dimengerti oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Dalam akad
murabahah penjual wajib menyampaikan secara transparan harga beli pertama dari
barang yang akan ia jual kepada pembeli. Sedangkan pembeli mempunyai hak untuk
mengetahui harga beli barang.
2. Besarnya
keuntungan harus diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak, penjual wajib
menyampaikan keutungan yang diinginkan dan pembeli mempunyai hak untuk
mengetahui bahkan menyepakati keuntungan yang akan diperoleh oleh penjual. Jika
salah satu dari kedua belah pihak tidak sepakat terhadap keuntungan penjual,
maka akad murabahah tidak terjadi.
3. Harga
pokok harus diketahui secara pasti satuanya. Sebab dalam murabahah, dan juga
jual beli amanah lainnya, yang dikehendaki adalah adanya transparansi antara
harga pokok dan kemungkinan laba yang akan diperoleh. Jika barang yang akan
ditransaksikan tidak diketahui satuannya, maka akan sulit menentukan keuntungan
yang akan diperoleh. Sehingga murabahahpun tidak terjadi.
4. Murabahah
tidak bisa dicampur dengan transaksi ribawi. Dalam transaksi murabahah
kelebihan bukan disebut sebagai keuntungan, tetapi tetap dikatakan sebagai
riba. Lain halnya jika barang tersebut dibeli dengan mata uang kemudian dijual
lagi dengan tambahan keuntungan. Atau dibeli dengan barang jenis tertentu,
kemudian dibeli lagi oleh orang lain dengan barang yang tidak sejenis. Maka ia
tidak disebut riba.
5.
Akad pertama dalam murabahah harus
shahih. Jika pada pembelian pertama tidak dilakukan dengan cara yang shahih,
maka transaksi murabahah dianggap batal.
Senada dengan beberapa persyaratan
diatas, Syafi’i Antonio menetapkan persyaratan murabahah sebagai berikut:[10]
a.
Penjual memberi tahu biaya modal kepada
nasabah
b.
Kontrak pertama harus sah sesuai dengan
rukun yang ditetapkan.
c.
Kontrak harus bebas dari riba.
d.
Penjual harus menjelaskan kepada pembeli
bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e.
Penjual harus menyampaikan semua hal yang
berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
E.
Penerapan
Akad Murabahah Dalam Lembaga Syariah
Di perbankan syari’ah Indonesia, praktek akad
murabahah didasarkan pada Fatwa DSN MUI NO. 04/DSN=MUI/IV/2000. Secara umum
fatwa tersebut memberikan arahan baik kepada perbankan atau kepada nasabah.[11]
1. Ketentuan
fatwa terhadap bank adalah sebagai beikut;
a) Bank
dan nasabah melakukan akad murabahah yang bebas riba dan bukan barang haram.
b) Bank
membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian harga yang telah disepakati
kualifikasinya.
c) Bank
membeli barang tersebut atas nama bank sendiri.
d) Bank
menjual barang kepada nasabah dengan harga beli ditambah dengan keuntungan yang
diinginkan dan disepakati kedua pihak. Dalam hal ini bank harus secara jujur
menyampaikan harga beli kepada nasabah.
e) Nasabah
membayar harga barang tersebut dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
kesepakatan.
f) Untuk
menghindari terjadinya kecurangan, penyalahgunaan atau kerusakan bank dapat
mengadakan perjanjian khusus.
g) Jika
bank kesulitan menyediakan barang yang dibutuhkan oleh nabah karena harus
menyiapkan gudang bank dapat mewakilkan kepada nabahah utuk membeli barang yang
dibutuhkan oleh nasabah. Dalam hal seperti ini, murabahah dapat dilakukan jika
secra prinsip barang harus sudah menjadi milik bank.
2. Ketentuan
praktek murabahah terhadap nasabah;
a) Nasabah
mengajukan permohonan dan pengajuan pembelian suatu barang atau asset kepada
bank. Kemudian jika bank menerima permohonan tersebut, bank harus memlikan
terlebih dahulu asset tersebut. Dan jika keduanya sepakat, maka dapat ditindak
lanjuti dengan pembuatan kontrak jual beli.
b) Dalam
kontrak jual beli tersebuat, bank diblehkan meminta nasabah untuk membayar uang
muka terlebih dahulu saat penanda tangganan kontrak.
c) Jika
nasabah membeli barang tersebut, bank dapat meminta uang muka tersebut sebagai
biaya riil barang yang telah dibeli. Jika nilai uang muka tersebut kurang, bank
dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
d) Bank
dapat meminta jaminan kepada nasabah, semata-mata agar nasabah tidak
mengkhianati janji yang telah disepakati. Jaminan diterapkan sebagai tanda
iktan perjanjian kedua belah pihak agar para pihak yang ingkar.
e) Hutang
yang timbul dari akad murabahah secara prinsip penyeleseiannya tidak ada
kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasaba dengan pihak ketika atas
barang tersebut. Jika nasabah menjual barang lagi tersebut baik ada untung
maupun mengalami kerugian, nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk
menyeleseikan hubungan kepada bnnk sebesar harga yang telah disepakati. Jika
nasabah dapat menjual menjual barang dengan segera ia tidak wajib melunasi
hutang kepada bank. Sebaliknya jika bank mengalami kerugian dalam penjualan
barang tersebut, nasabah tidak mempunyai hak untuk menuntut bank memperhitungkan
kerugian yang diterimanya.
f) Jika
nasabah pada akhirnya dianggap pailit, dan dia tidak bisa segera melunasi
hutangnya, bank harus memberikan toleransi kepada nasabah. Bank tidak boleh
serta merta mengeksekusi jaminan yang di pegang bank. Toleransi ini di berikan
semata-mata untuk meringankan beban nasabah. Sedang batasan waktunya relatis
tergantung kelonggaran nasabah.
F.
Ilustrasi
Kasus Akad Murabahah
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual
dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai atau
tangguh (Bai’ Mu’ajjal). Hal yang membedakan murabahah dengan penjualan yang
biasa kita kenal adalah penjual secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa
harga pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang diinginkannya.
Pertukaran barang dengan barang, terlebih dahulu harus memperhatikan apakah
barang tersebut merupakan barang ribawi/secara kasat mata tidak dapat dibedakan
atau bukan. Jika pertukaran barang ribawi harus dilakukan dengan jumlah yang
sama dan harus dari tangan ke tangan atau tunai.
Harga tidak boleh berubah sepanjang akad, kalau
terjadi kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau tidak
membayar karena lalai dapat dikenakan denda. Denda tersebut akan dianggap
sebagai dana kebajikan. Pembayaran uang muka juga diperbolehkan.
Ada
beberapa jenis akad murabahah seluruhnya halal asalkan memenuhi rukun dan ketentuan
syariah. Untuk biaya yang terkait dengan aset murabahah boleh diperhitungkan
sebagai beban asalkan itu adalah biaya langsung-menurut jumhur ulama-atau biaya
tidak langsung yang memberi nilai tambah pada aset murabahah. Pelaksanaan
akuntansi untuk murabahah diatur dalam PSAK 102 dan Exposure Draft PSAK 108.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Ath-Thoyaar, Prof. DR., al-Bunuuk al-Islamiyah Baina
an-Nazhoriyah wa at-Tathbii. Cet. II, 1414H.
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2007, Bank Syariah dari Teori ke Praktek,
cet. V, Jakarta: Gema Insani Press.
Afandi, M. Yazid, 2009, Fiqh Muamalah dan
Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah, cet. I, Yogyakarta: Logung
Pustaka.
Syafi’i
Antonio, Muhammad, , 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
Wiroso,SE,MBA. 2009,
Jual Beli Murabahah. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
Rasjid, sulaiman,
2011, Fiqh Islam (hukum fiqh
lengkap), cet 51, bandung;
sinar baru algesindo.
[1]
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah dari Teori ke Praktek (Cet.
I: Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 101.
[2]
Ibid. hal. 103
[3]
M. Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek. (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), hal.
98
[4]
. Yazid Afandi, M. Ag, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga
Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm.95-98.
[5]
Ibid., hal. 211
[6]
Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar, al-Bunuuk
al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at-Tathbii. (Cet. II, 1414H), h. 307.
[7]
Ibid., hal. 308
[8]
Ibid., hal. 308
[11]
Rasjid, sulaiman; Fiqh Islam (hukum fiqh lengkap), cet 51,
(bandung; sinar baru
algesindo, 2011), hal. 98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar